‘Insomnia’ karya Jerry de Stexhe |Sumber: https://www.artlimited.net/1047679/art/image-insomnia/en/11804162


INSOMNIA

II
Kronos adalah pencuri
Pedang tajam mengeruk malam
Berlari tanpa ritme
Mengawang ambang tapaltapal kelelahan
Dan bisikbisik di tengah malam
Ingatkan akan sedetik melirik

Kenanganku tempat sampah kehidupan
Senyummu serupa kabut di pagi buta

2008


MENUNGGU JUDUL

malam ini, andaikan kau di sini.
sentuhan semilir suaramu
matikan indra dengarku
ah, bisingnya luar sana

malam ini, bila saja kau di sini
menisik waktu yang lamban ini
celoteh riang, tawa lepas
pun pula tatap mata langit selepas hujanmu

malam ini kuingin seperti malam kemarin
yang merindingkan tubuhku, menggelombangkan
darahku, membekukan bibirku, mengikat lidahku
namun
mataku tersenyum, hidungku lahap mengunyah
ketika memandangmu di sudut itu
ketika berpapas sejenak kita dan aromamu
membelit, belit, membelitku begitu rupa.

Depok, 25 Februari 2007

KABAR MALAM CAHAYA LILIN

papas ceritamu dalam murung,
ada angin kebebasan, membawanya dan
renyah nyanyi Portishead western eyes.
usik kenang malam cahaya lilin,
ngeri lari anakanak bersoraksorai
gema gertak hilangkan pendar cahaya

aku coba mengulang,
“Ya Bapa, ampunilah mereka
Karena mereka tidak tahu
Apa yang mereka perbuat.”

namun terdengar,

“Ya Bapa, ampunilah kami
Karena kami tidak tahu
Apa yang kami perbuat.”

SENJA TEMARAM MALAM

Aku batu menyatu dalam waktu; menunggu

I.
bersama Aisyah

Hei! Apa yang terjadi di sini?
Mata kosong otak ompong, menunggu
fatamorgana menyata?
(jangan pernah sebut aku binatang jalang,
walau pedih, perih dan bisa, bisa kubawa berlari)

Hei! Apa yang dilakukan di sini?
Engkau lanskap indahku, kutunggukah
Hingga hisapan rokok terakhir?

Aku ternyata masih di sini. Tak kumatikan
rasa ini; kan kugapai. Atau kubawa
berlari walau tak hilang pedih perih?

Salmeba, 14.45, 26/11/2005

II.
menanti kereta terakhir

Fatamorgana tak bisa menyata; jadi luka.
Aku pergi, permisi; rayuan nada indah
tak mampu tahan aku.

“Maaf, jangan kau sebut aku perusuh. Sungguh!
Sungguh, aku tak tahu.”

Apa mungkin dia tak mau kumuh?
Lanskap indahku, kumuh tak selalu rusuh.

JGTC, 21.00, 26/11/2005

Lanskap indahku langlang waktu; tak tercemar.
Aku batu mewaktu; menunggu.

(Puisi ini dipublikasikan di majalah SmaGZ, Maret 2007)


*Catatan: masih edisi puisi lama yang dipungut dari blog lama saya, kecoamerah.

 

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram