Cerita di bawah ini tidak untuk mengganggu pendapat Anda perihal kenaikan BBM. Cerita ini pun tidak berniat untuk mendorong anda memikirkan sebuah strategi yang jitu dalam rangka kenaikan harga BBM. Anggap saja cerita ini seumpama anda menyaksikan film Denias atau Laskar Pelangi. Yang berbeda adalah di dalam cerita ini tidak ada satu tokoh pun yang bernasib baik hingga mendapatkan beasiswa belajar di Prancis atau ada guru baik hati dari kampus ternama di kota ternama yang setia mengajar di pedalaman. Ini kisah tentang perjalanan Seliter Bensin hingga tiba di sebuah desa nun jauh di sana. Saya akan menggunakan sebuah desa bernama Puor di Kabupaten Lembata, NTT, sebagai tujuan Seliter Bensin ini. Saya ingin sedikit melucu, meski saya tahu akan hambar, ini juga adalah perjalanan Seliter Bensin untuk memenuhi identitasnya; identitas sebagai Seliter Bensin. Sebuah perjalanan eksistensial, katakanlah begitu.

Barangkali Seliter Bensin kita ini nenek moyangnya adalah salah satu sudut lepas pantai Nusantara. Tetapi ia lantas pergi jauh entah ke benua mana di luar sana. Kemungkinan ke arah barat. Di sana Seliter Bensin kita dilahirkan sebagai Bensin.  Narator tidak berhasil mendapatkan informasi seperti apa perjalanan tersebut lantaran tenggak waktu penulisan cerita yang sudah setinggi leher. Maka, cerita tentang Seliter Bensin ini akan kita mulai dari sebuah kota bernama Denpasar. Di kota itulah Seliter Bensin kita awalnya berada. Sebelum itu, andaikanlah saja sebuah perjalanan mengarungi lautan luas dengan resiko perompak, penjualan ilegal, dsb., dari sebuah tempat nun jauh di barat sana hingga tiba di Denpasar. Barangkali sebelumnya ia mampir di Kilang Cepu. Denpasar adalah pusat pendistribusian BBM di Wilayah Distribusi Niaga IV yang meliputi Provinsi NTB dan NTT.

Dari Denpasar inilah akan disalurkan BBM ke beberapa kota di provinsi NTB dan NTT. Sebut saja ke kota Ampenan, Bima, dan Kupang. Di Denpasar ini, identitas Seliter Bensin sebagai Seliter Bensin tentu belum terwujudkan. Masih jauh perjalanannya. Di sini, Seliter Bensin belum menemukan dirinya yang sesungguhnya lantaran ia masih tercampur baur tanpa pemisah yang pasti dengan seliter-seliter bensin lainnya dalam entah berapa kiloliter. Pada suatu ketika beberapa persen dari mereka kembali mengarungi laut. Namun jarak yang ditempuh mereka saat ini tidaklah sejauh jarak-jarak yang pernah mereka arungi sebelumnya. Mereka hanya perlu pergi ke kota bernama Kupang di pulau Timor untuk selanjutnya sebagian pula dari mereka akan melanjutkan perjalanan ke kota Maumere, di Pulau Flores.

Nah di kota ini Seliter Bensin kita lantas menghuni Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Pertamina. Di sana terdapat satu tanki untuk premium dengan kapasitas 1200 kiloliter (satu tanki) dan 2 tanki solar dengan kapasitas 2400 kiloliter. Pada suatu hari, Seliter Bensin kita dan beberapa temannya pun lantas diangkut oleh sebuah Mobil Tanki milik Pertamina. Mereka mengarungi jalan-jalan berkelok, gunung dan lembah menuju sebuah kota kecil lainnya. Larantuka namanya. Dahulu, di kota ini ada sebuah TBBM. Narator belum sempat mengecek lebih lanjut, kenapa kini tak berfungsi lagi. Tentu di Larantuka ini beberapa kolega dari Seliter Bensin kita mendapatkan identitas mereka yang sesungguhnya. Mereka berumah pula di salah satu dari dua SPBU di kota itu. Namun tentu kita perlu bersabar. Kita memang memilih untuk mengenali Seliter Bensin di suatu tempat yang lebih jauh dari itu.

Di Larantuka ini, Seliter Bensin kita dengan seliter bensin yang lain akan dipindahkan pula dari mobil tanki minyak ke drum-drum. Lantas drum-drum ini akan dibawa oleh kapal motor menuju Pulau Lembata, Kabupaten Lembata. Di Lewoleba, ibukota kabupaten ini, tak ada SPBU. Yang ada adalah satu APMS (Agen Pemyaluran Minyak Subsidi).

Kapal Tanker | Sumber: https://solarindustri.com/wp-content/uploads/2022/03/kapal-tanker.jpg

Sebutlah saja seorang anak manusia bernama Bala. Ia tinggal desa Puor. Di desa ini, sebagaimana desa-desa lainnya di Lembata dan juga NTT pada umumnya, moda transportasi darat yang paling ngetren saat ini adalah sepeda motor. Maka Bala menangkap sedikit kesempatan usaha. Ia pun berjualan bensin ketengan, dan juga minyak tanah. Maka, pada hari-hari tertentu, Bala mendatangi Kota Lewoleba dan mengantri di APMS itu. Ia mengantri dari jam 7 pagi. Sedangkan APMS baru buka pukul 10 pagi. Ia menggunakan sepeda motor. Polisi menjaga dengan ketat perihal antrian ini sehingga pembelian menggunakan jerigen tidaklah diperkenankan. Bala tentu berinisiatif datang pagi-pagi untuk bisa berada di antrian terdepan.

Maka sekira pukul 11, tanki bahan bakar sepeda motor Bala sudah terisi. Ia tidak langsung pulang ke kampungnya, kawan. Ia akan bermalam di rumah seorang saudaranya di Lewoleba. Sebelum malam tiba, ia akan ‘menyedot’ bensin dari motornya dan memindahkannya ke jerigen. Aktivitas itu ia lakukan beberapa hari. Peraturan satu kendaraan boleh mengisi bensin sekali dalam sehari di kota itulah penyebabnya.

Nah, setelah jerigennya terisi penuh, ia barulah kembali ke kampungnya. Bensin siap dijual ketengan di kampungnya. Maka saudara-saudari, Satu Liter Bensin, tokoh kita dalam cerita ini, barulah akan mendapatkan realisasi dirinya di Desa bernama Puor itu. Di sana saudara-saudari, realisasi dirinya. Ia dibeli oleh seorang pemuda yang berprofesi sebagai tukang ojek di kampung itu. Harganya tak tanggung-tanggung saudara; Rp. 25.000 per liter. Terkadang bisa jadi Rp 40.000 per liternya.

Nah, saudara-saudari, bayangkanlah pada suatu hari pasar, di daerah tersebut terkadang pasar terjadi hanya sekali dalam seminggu, seorang ibu tua menyewa ojek itu. Ibu itu butuh angkutan untuk membawa komoditas ladang tadah hujannya untuk dijual di pasar. Berapakah kira-kira uang yang dikeluarkannya? Berapa pula harga yang dimintakannya pada pembeli untuk hasil kebunnya? Maka tak heran bila Ibu, ketika pulang ke rumah berhemat begitu rupa. Akibat harga BBM yang demikian, genset kampung pun tak saban hari beroperasi. Alhasil, listrik tak selamanya menemani malam sang Ibu. Ia tentu menggunakan penerangan lain. Kita sebut saja pelita. Ibu ini terpaksa juga harus merogok dompetnya, atau merogoh bagian bawah bantalnya untuk minyak tanah. Yang juga tak kalah berat harganya untuk ibu itu.

Maka, pada pukul 18:00 lewat, Ibu itu akan menyalakan pelita dengan minyak tanah. Setelah anaknya, yang kebetulan baru duduk di bangku kelas 6 SD selesai belajar kira-kira pukul 21:30 malam, Ibu itu akan mendekatkan bibirnya ke pelita. Ditiupnya. Dan rumahnya pun melalui malam dalam gelap gulita.***


*Catatab: Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Rubrik Oase IndoPROGRESS, 14 September 2014.

Please follow and like us:

2 Comments

Post Comment

RSS
Instagram