Beberapa hari yang lalu, saya mendapatkan kabar via media sosial bahwa Harian Sore Suara Pembaruan akan berhenti terbit edisi cetaknya sejak 1 Februari 2021 yang akan datang. Berita seperti ini lumrah di hari-hari belakangan ini. Namun demikian, Harian Sore Suara Pembaruan punya kesan tertentu pada saya. Semasa kecil dahulu, sekitar usia SD, saya teringat sempat mengikuti cerita bersambung di koran ini. Saya membacanya di rumah paman saya yang berjarak cuma beberapa langkah kaki dari rumah orang tua saya. Lantas, ketika hijrah ke Jakarta pada 2003, saya juga kerap membaca koran ini di rumah paman saya yang lain. Hal terakhir ini lantaran saya diberi pekerjaan oleh paman saya itu untuk membantunya membuat kliping, salah satu tugasnya di NGO tempat ia bekerja kala itu.

Berbeda dengan koran-koran lain kala itu, Harian Sore Suara Pembaruan akan muncul edisi hari minggu atau akhir pekannya di hari jumat sore, bersamaan dengan edisi hari jumatnya. Dan di edisi akhir pekan itu tentu saja ada laman sastra/budayanya. Saya kerap membaca cerpen dan puisi atau terkadang esai di koran itu. Tentu saja karena ‘dipaksa keadaan’; di sela-sela pekerjaan mengkliping berita politik dan sosial yang sudah ditandai oleh paman saya. Maka lantas entah dorongan dari mana, saya pun menulis puisi a la a la. Lalu, saya mencoba mengirimkannya ke alamat email yang juga tertera di laman itu.

Seingat saya, ada tiga puisi saya yang dipublikasikan Harian Sore Suara Pembaruan, kalau tak salah, pada Oktober 2003. Masih seingat saya, ada tiga judul puisi saya yang dipublikasikan di hari yang sama saat itu. Namun sampai saat ini saya tak berhasil mengingat judul puisi ketiga, saya hanya berhasil mengingat puisi pertama, “Awal Prasasti”, dan kedua, “Rengganish”. Ketidak-presisian ingatan ini tentu ditunjang oleh pengarsipan pribadi yang masih sangat lemah di era-era itu. Pengarsipan pribadi yang lemah ini ditunjang oleh beberapa peristiwa seperti komputer yang rusak akibat kesiram New Port atau Anggur Merah serta juga berpindah kamar kos dengan terburu-buru. Tentu saja perkara ‘kira-kira’ atau ‘kalau tak salah ingat’ ini bisa dipecahkan dengan mudah seandainya saya cukup rajin dan punya waktu untuk memeriksa arsip koran cetak Harian Sore Suara Pembaruan periode akhir 2003 dan juga edisi tahu 2004-nya. Bisa jadi yang saya pikir terjadi pada 2003 ternyata terjadi pada 2004, bukan? Sayangnya saya belum punya kesempatan untuk memeriksa arsip tersebut.

Lantas, pada 2008, tiga puisi saya kembali dipublikasikan Harian Sore Suara Pembaruan. Pada harian sorelah sesungguhnya awalnya saya mencoba mempublikasikan karya-karya tulis saya. Maka jika memang boleh menyandang judul pekerjaan itu, baiklah saya tambahkan dengan; ‘penulis kesorean’.

Kelima puisi yang saya ceritakan di atas saya turunkan kembali di sini sebagai ucapan selamat jalan untuk Harian Sore Suara Pembaruan edisi cetak dan ucapan terima kasih atasnya karena pernah mau menampung puisi-puisi kemarin sore tersebut. Kelima puisi ini juga saya sertakan di dalam kumpulan puisi saya, Sudah Lama Tidak Bercinta Ketika Bercinta Tidak Lama.

Sumber: https://www.beritasatu.com/nasional/536275/rayakan-hut-ke32-suara-pembaruan-siap-songsong-era-digital

 

Awal Prasasti

kerasnya tanah ini
kuingin pinjam cangkulmu lagi

-jengkalan lahan terlewati, gambar
sketsa wajahmu di cakrawala-

lesu ladang rantau
aku rindu reguk airmu

-harapan pun sejenak singgah
di putih senyummu-

kembaraku terdampar di sahara
potretmu cuma fatamorgana
terpanggang mentari siang

aku rindu sepoi angin pasang
pulang bersamamu mencari ikan

pantai penantian
menari di kaki langit merah jingga

Agustus 2003

 

Rengganish*
Magdalena JSCC

rengganish…
ia ada di sini
di panggung sepi ini
siang pun rampungkan diri
bersama mentari tak jadi sembunyi

(aku hermes yang kelanai kelam
aku budak aphrodite kini)

rengganish…
ia hampir mampir kemari
menggaris garis-garis biru
kusiapkan kanfas untuknya

(aku hermes yang kelanai kelam
aku budak aphrodite kini)

rengganish berlalu dengan manis
cinta yang menangis
hari seperti kemarin kembali

(aku hermes yang kelanai kelam?
aku budak aphrodite kini?)

September 2003
*Rengganish: Salah satu tokoh dalam novel Cantik Itu Luka, karya Eka Kurniawan.

Patung Dewa Hermes | Sumber: https://www.allwicca.com/hermes-greek-god-statue-8220

Buku Harian

tercatat
membekas
membekas
terkenang

Dedaunan kering luruh dan berkecipak
di setapak
Dentangdenting botol menyapa malam
dunia temaram
Dendang gagak kecil di pucuk cempaka
darah membara

tak’kan terulang
tak’kan terulang
terlupakan
terlupakan

17/7/2006
*Dipublikasikan di Harian Suara Pembaruan, 11 Mei 2008.

 

Bayangan

Betapa cintanya sang bayangan
Pada tubuh
Selalu ia ada di sana, “kehendaknya”
Menemani tubuh
Betapa cintanya sang bayangan
Pada tubuh
Ia selalu “ingin” ada bersama tubuh
Kapan dan di mana saja
Betapa cintanya bayangan
Pada tubuh
Walau ia “tahu” tubuh tak “tahu”
Ia “ingin”

Betapa cintanya sang bayangan pada tubuh
Gerlap gemerlap cahaya ia pun berubah-ubah
Ke kiri ke kanan selatan utara berputar menafikan matahari
Kaki tubuh tumpuan bayangan

Betapa cintanya sang bayangan pada tubuh
Walau ia tahu, ya bayangan tahu
Tubuh tak pernah memandang ke bawah
Walau ia tahu, ya bayangan tahu
Tubuh tak selalu tahu ia ada.

Ketika gelap tiba, dan matamu tak mungkin melihatnya
Bayangan selalu “ingin” ada di sana, “ingin” beserta tubuh
Hingga tiba di bawah sinar lampu

Betapa cintanya sang bayangan
Pada tubuh
Dan ia tahu, ia harus pergi
Suatu hari.

Markas Sastra, 28/11/07; 02:40
*Dipublikasikan di Harian Suara Pembaruan, 11 Mei 2008.

Karya Tim Noble dan Sue Webster | Sumber: https://culturacolectiva.com/art/tim-noble-and-sue-webster-transformative-art

Dari Sebuah Lukisan Udara

Para tualang tolong dengarkan;
akankah kalian tempuh sunyi
alam sempurna di malam purba
pula pagi sang embun sulung?

Jejak-jejak tercipta lantas menghilang
adalah kisah-kisah yang sayang diabaikan.
Jejak-jejak tercipta kadang membekas
hanya kilasan rasa; panas dan dingin.

Para tualang tolong dengarkan;
mendatangi negeri mimpi, sendiri menenun impian
mengabarkan hidup pada debu dan kayu
pendengarmu bisu beku?

Kisah-kisah keluh di ingatan
mengalir lintas lidah menyentil hati lapar,
menyambar kilat-kilat angan
kadang mabuk kemabukan kadang… ah
sudahlah.

Wahai pengembara, teruslah berjalan.
Walau jejak bukan abadi pun sempurna.
Namun setidaknya cipta lukisan udara,
dengan debu peleset alas kakimu!

September 2006
*Dipublikasikan di Harian Suara Pembaruan, 11 Mei 2008.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram