Semacam pengantar: Saya menurunkan di sini tulisan Bagus Purwoadi Arianto. Di dalam tulisannya ini, Bagus mengkritik dengan pedas buku Sudah Lama Tidak Bercinta Ketika Bercinta Tidak Lama, kumpulan puisi saya yang diterbitkan oleh Penerbit EA Books (Yogyakarta) pada 2018 yang lalu. Tulisan ini merupakan pengantar untuk diskusi buku tersebut di Toko Buku Post Santa pada 24 November 2018. Di dalam diskusi itu, Bagus menjadi pembicara bersama Kak Jenni Anggita.


Jika ragu, bertanyalah kepada Borges. Jorge Luis Borges, barangkali, adalah satu-satunya orang yang membawa aktivitas membaca karya sastra ke tingkat yang berbeda. Ia membaca, lalu berspekulasi. Karangan-karangannya adalah karangan seorang pembaca—bukan penulis. Karangan-karangan Borges tak lain adalah spekulasi dari teks-teks yang pernah ia baca. Saya pun bertanya kepada Borges tentang puisi, dan ia berkata, “Aku telah memberikan sebagian besar hidupku pada sastra, dan aku hanya bisa menawarkan keraguan-keraguan (This Craft of Verse, Harvard University Press, 2000).” Borges tidak pernah mengecilkan peran seorang pembaca di hadapan teks sebab ia percaya bahwa kehidupan sebuah teks sangat bergantung pada pembacanya. Sebuah teks bisa mempunyai seratus kehidupan jika dibaca oleh seratus pembaca yang berbeda dalam waktu yang berbeda-beda pula. Maka, sebagai seorang pembaca, seperti Borges, saya pun sepertinya juga hanya bisa menawarkan keraguan-keraguan dan berspekulasi.

Sebagai orang yang tumbuh di lingkungan yang berbahasa Jawa, saya sudah akrab dengan kalimat yang dipakai Berto Tukan sebagai judul buku kumpulan puisinya, Sudah Lama Tidak Bercinta, Ketika Bercinta Tidak Lama. Kalimat aslinya adalah, suwi ora ngono, ngono pisan ora suwe, yang sebenarnya merupakan semacam parodi dari lagu Suwe Ora Jamu. Tapi, Berto bukan orang Jawa. Ia meminjam kalimat itu dari tulisan di bokong truk. Pertanyaan saya, kenapa ia meminjam/memilih kalimat yang ditulis di bokong truk tersebut sebagai judul bukunya?

Eka Kumiawan juga meminjam kalimat dari bokong truk untuk memberi judul salah satu novelnya, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Dalam salah satu wawancaranya, ia mengatakan bahwa itu ia lakukan untuk membela kaum pinggiran atau kelas bawah. Membela mereka, menurutnya, tidak hanya bisa dilakukan dengan cara mengadvokasi hak-hak mereka, melainkan juga dengan mengangkat kultur mereka. Lalu, apakah dengan mencomot puisi supir truk, Berto juga ingin menunjukkan keberpihakkannya pada kaum pinggiran?

Saya, Jenni Anggita, dan Bagus Purwoadi Pada Diskusi Buku “Sudah Lama Tidak Bercinta Ketika Bercinta Tidak Lama” di Post Santa

Sebelum membaca puisi-puisi Berto, saya sempat bertemu dengan Dirdho Adhityo (Edo), yang kebetulan menulis epilog untuk Sudah Lama Tidak Bercinta, Ketika Bercinta Tidak Lama. Pada kesempatan itu ia mengatakan bahwa puisi-puisi Berto tak lain adalah bentuk curahan hatinya. Melihat bahwa Berto adalah seorang mantan mahasiswa Sastra Jerman yang kemudian lulus sebagai sarjana Filsafat, curhatan Berto tentu tak bisa disetarakan dengan atau mewakili curhatan supir truk. Pemilihan kata bercinta untuk menyebut senggama juga sangat tidak kelas bawah. Bercinta, kata Mario Vargas Llosa dalam The Way To Paradise adalah temuan para penyair dan novelis, fantasi yang tidak lahir dari kenyataan sehari-hari orang kebanyakan. Penyair dan novelis, dalam kamus Llosa, saya asumsikan sebagai kalangan kelas menengah. Tentu saja Anda bisa tidak sepakat pada pengarang asal Peru itu, tapi untuk saat ini saya masih sepakat dengannya. Maka, setelah membaca bagian Satu dari Sudah Lama Tidak Bercinta, Ketika Bercinta Tidak Lama, saya pun sepertinya hanya bisa bersepakat dengan Edo, bahwa puisi-puisi Berto adalah curahan hatinya.

Sebagian besar warga Jakarta agaknya memang memiliki hubungan benci-tapi-cinta dengan kota mereka. Mereka memaki kekusutannya, tapi tetap menghidupinya. Bagaimana kau lupa/Beribu manusia/Dikalahkan kota ini, ungkap Berto. Apakah yang kalah kemudian pergi meninggalkan gelanggang? Barangkali ada yang pergi, tapi pada kenyataannya masih banyak yang tinggal. Jakarta tidak selalu memberi mereka kehidupan, tapi mereka selalu menghidupi kota ini. Seperti Ian dalam puisi Jakarta IV, mereka tetap tinggal sampai mal mencelakai mereka. Hidup dalam lugu/mati dalam lugu (VII), banyak di antara mereka yang tak benar-benar mengenal kota ini sekalipun sudah lama mendiaminya (mendudukinya?), lalu beranggapan bahwa kota ini tak memberikan apa-apa seperti juga mereka tak memberikan apa-apa (V). Mereka salah. Mereka yang tak memberikan apa-apa setidaknya telah memberi/menambah masalah bagi kota ini, dan itulah yang menjadikan Jakarta sebagai Jakarta, kota yang penuh masalah. Dalam delapan nomor Jakarta, Berto menggugat kota ini, tapi kemudian ia mengakhirinya dengan menyusun alasan untuk tetap tinggal. Demi sehela nafas/Demi sekelas kapas/Demi selekas langkah/Demi selengkap angka (IX). Apakah alasan itu adalah juga alasan bagi orang-orang yang dikalahkan untuk tetap tinggal? Saya tidak punya data statistik tentang itu. Sementara ini, saya akan menganggap bahwa itu adalah alasan Berto pribadi.

Sebagai pembaca, yang kemudian dimintai pertanggungjawabannya sebagai pembaca untuk membagi pengalaman bacanya kepada publik agar tak hanya menjadi pembaca hedonis, waktu saya terlalu singkat untuk bisa mencema seluruh puisi yang terkumpul dalam Sudah Lama Tidak Bercinta, Ketika Bercinta Tidak Lama. Saya adalah pembaca novel dan cerita-cerita pendek dan sangat tidak akrab dengan puisi. Satu-satunya buku puisi yang saya baca dan bisa nikmati walaupun tidak sepenuhnya saya pahami adalah The Divine Comedy-nya Dante Alighieri. Barangkali, itu karena The Divine Comedy adalah puisi naratif, yang bentuknya hampir sama dengan novel dan cerita pendek. Jadi, sekalipun saya tak bisa menangkap seluruh simbol di dalamnya, saya masih bisa menikmati perjalanan isra miraj penyair asal Italia tersebut. Inilah agaknya yang membuat salah satu puisi Berto yang berjudul Ruang adalah puisi yang paling nyantol di kepala saya. Puisi adalah ruang yang asing dalam pengalaman membaca saya. Menalar simbol-simbol yang ada di dalam sana seperti membaca kunang-kunang. Saya kebingungan menalar/membaca pingiunpinguin yang tiba-tiba muncul di Laut Mimpi, yang pada bait-bait sebelumnya memaparkan suasana pantai di kampung halaman Berto di Flores. Pertanyaan naif saya, pinguin memang akan selalu berada di dekat laut, tapi apakah mereka juga ada di Flores? Ada sesuatu yang hilang di sini, tapi itu barangkali karena saya hanya bergantung pada cahaya kunang-kunang (minimnya pengalaman saya membaca puisi). Pinguinpinguin itu pun sama janggalnya dengan beruang kutub yang berhibernasi, yang dipakai oleh Eka Kurniawan untuk menggambarkan kemaluan seorang supir truk dengan trayek Jawa-Sumatera dalam Seperti Dendam, Rindu Dibayar Tuntas, sama janggalnya dengan cara bercinta Srintil, si gadis dusun dalam film Sang Penari, yang bercinta seperti aktris-aktris Hollywood.

Om Ekky Imanjaya Sepertinya Sedang Bertanya Kala Itu

Bagi sebagian orang, Jakarta memang tidak menyediakan waktu yang lama bagi seseorang untuk bercinta dengan karya sastra. la seperti kekasih yang menyebalkan, yang akan selalu memanggil-manggil, dan membuat Sentuhan terasing, Katakata gelinding, dan Hurufhuruf menggasing. Ia tidak mengizinkan kita berselingkuh (bereksperimen?) terlalu lama. Seingat saya, karya sastra terakhir yang bisa membuat saya orgasme adalah Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer, dan itu saya baca sepuluh tahun lalu, sebelum saya berhadapan dengan tuntutan hidup di Jakarta. Barangkali, Berto pun demikian. Barangkali, kita pun demikian.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram