Panorama filsafat dewasa ini, khususnya filsafat kontinental, tak lepas dari pengaruh fenomenologi yang muncul di sekitar era Perang Dunia I dan Perang Dunia II melalui Edmund Husserl. Dunia ilmu pengetahuan dan dunia sosial budaya yang dihadapi Husserl ketika mencetuskan fenomenologi adalah kemajuan demi kemajuan yang dicapai oleh modernisasi dan ilmu pengetahuan modern bersamaan juga dengan titik-titik pencapaian itu yang menuju pada kekelaman. Sebut saja kemajuan industrialisasi yang adalah juga sumbangsih dari ilmu pengetahuan pada akhirnya menciptakan industri senjata yang menyumbang pada betapa dahsyatnya Perang Dunia I. Di ranah ilmu pengetahuan berkembanglah psikologisme dan naturalisme yang mana keduanya berusaha untuk ‘menyederhanakan’ dunia yang begitu kompleksnya.

Apa yang dicanangkan oleh Husserl adalah usaha untuk kembali kepada benda itu sendiri, zuruck zu den sachen Selbst. Dengan demikian apa yang dicanangkan Husserl adalah bagaimana cara kita mengetahui. Kembali kepada bendanya sendiri ini bisa dikatakan adalah jawaban Husserl atas perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa yang cenderung ‘menyederhanakan’ kompleksitas kehidupan kepada apa yang dipahami dan dicapai oleh ilmu pengetahuan tersebut. Bagi Husserl, ilmu pengetahuan tidak bisa masuk kepada kompleksitas dunia kehidupan lantaran ilmu pengetahuan bekerja dengan objek sebuah butir kehidupan yang spesifik sedangkan kehidupan itu sendiri sangatlah kompleksnya.[1] Di sini ilmu pengetahuan butuh filsafat yang bisa merenungkan kompleksitas kehidupan tersebut.

Apa yang dimaksudkan oleh Husserl dengan kembali kepada benda itu sendiri adalah kembali kepada kenyataan pengalaman hidup manusia itu sendiri. Pengalaman hidup inilah hal yang paling otentik menurut Husserl. Bisa kita simpulkan bahwa apa yang membuat ilmu pengetahuan—yang kala itu di Eropa dipenuhi oleh aroma naturalisme dan psikologisme— merasa begitu digdaya dan menyederhanakan perihal kompleksitas kehidupan adalah pelupaannya akan hidup keseharian ini.

Tulisan ini bermaksud hendak melihat lebih jauh apa yang disumbangkan fenomenologi Husserlian untuk ilmu pengetahuan; apa yang didakunya sebagai perkakas untuk memahami kompleksitas kehidupan dengan kembali pada benda itu sendiri. Yang menjadi konsentrasi tulisan ini dengan demikian adalah posisi dari benda itu sendiri tersebut. Pertanyaan yang hendak diajukan oleh tulisan ini adalah seperti apakah Husserl melihat realitas obyektif, yang eksternal terhadap pikiran manusia? Tentu saja pertanyaan ini bertolak dari sebuah posisi realisme yang menganggap realitaf obyektif yang eksternal dari pikiran manusia itu ada. Untuk itu pertama tulisan ini akan mencoba memaparkan secara ringkas fenomenologi Husserl dalam kaitannya dengan kebenaran dan ilmu pengetahuan. Di bagian ini juga sebisanya akan dipaparkan posisi-posisi fenomenologi Husserl dalam hubungannya dengan hal-hal di atas. Selanjutnya, bagian kedua akan dipaparkan kritikan atas pandangan fenomenologi Husserl, terkhusus perihal obyek yakni realitas obyektif. Tulisan ini, ketiga, akan ditutup dengan sedikit kesimpulan.

Fenomenologi Husserl

Seperti yang sudah diungkapkan di atas bahwa di masa Husserl mencetuskan fenomenologinya, ilmu pengetahuan dan filsafat di Eropa dipenuhi oleh aroma naturalisme dan psikologisme. Yang dimaksudkan dengan naturalisme adalah[2]:

The claim that everything is a part of the world of nature and can be explained using the methodology of the natural sciences. Naturalism accepts explanatory monism rather than dualism or pluralism, is committed to science, and is opposed to mysticism. In different areas, naturalism has different forms. In metaphysics, it rejects the postulation of any unnatural theoretical entities, faculties, or causes, and it rejects supernatural beings and processes that are inaccessible to scientific inquiry. It also contests the claim that first philosophy is prior to natural science. In epistemology, naturalism holds that epistemological justification and explanation are continuous with natural science and argues that scientific method is the only way to secure our knowledge. According to nineteenth-century psychologism and twentieth-century naturalistic epistemology, epistemology should be assimilated to empirical psychology….In aesthetics, naturalism holds that an artwork should represent the world as it is. In philosophy of mind, naturalism holds that mental phenomena are, or are caused by, brain processes.

Pada kutipan di atas kita sudah melihat bagaimana naturalisme mengetengahkan metode-metode ilmiah sebagai yang paling utama dalam hal epistemologi. Naturalisme juga mengklaim bahwa dengan metode-metode ilmiah tersebutlah pengetahuan kita dibenarkan. Lebih jauh, menurut naturalisme, segala sesuatu di dunia ini hanya bisa dijelaskan melalui ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan natural. Barangkali di sinilah letak keberatan dari Husserl; bahwa naturalisme yang ada dalam ilmu pengetahuan kala itu menyederhanakan ihwal kesemestaan dan kompleksitas kehidupan.

Edmund Husserl | Sumber: https://www.britannica.com/biography/Edmund-Husserl

Selanjutnya, psikologisme adalah juga sebuah kecenderungan kala itu yang menjadi problem Husserl. Psikologisme bisa dipahami sebagai[3]:

A theory that became popular in the nineteenth century and was initiated by the German philosophers J. F. Fries and F. E. Beneke. According to its neo-Kantian position, psychology is the basis of philosophy and introspection is the primary method of philosophical enquiry. Every discipline in philosophy is nothing more than applied psychology. The view was especially associated with logic. In that area it rejected Kant’s transcendental psychology as unscientific and claimed that logic is based upon laws of thought that can be explained in terms of empirical psychological principles. It attempted to explain logical connections in terms of psychological causes and therefore tended to confuse logical issues and psychological issues.

Dari psikologisme kita melihat bahwa segala sesuatu dimungkinkan oleh psikologi manusia. Hal ini juga berlaku di dalam logika. Jadi kebenaran logika dimungkinkan oleh psikologi. Posisi psikologisme seperti ini sebelum Husserl memang sudah menuai kritik. Salah satunya dari Gottlob Frege. Menanggapi problem batas antara psikologi dan logika, Frege menyatakan bahwa logika bertugas menentukan hukum-hukum kebenaran bukan hukum psikologi dalam berpikir.[4]

Jika melihat posisi naturalisme dan psikologisme yang demikian maka bisa kita simpulkan bahwa Husserl keberatan dengan pendekatan yang mementingkan obyek semata—di dalam naturalisme—dan pendekatan yang mementingkan subyek semata—di dalam psikologisme. Naturalisme menekankan kebenaran terletak pada science, sedangkan psikologisme pada proses psikologi manusia. Melalui science yang ditemukan adalah hukum-hukum alam yang mana dari situlah kebenaran berpegang. Sedangkan proses psikologis sebagai salah satu juga yang menjadi kecenderungan saat itu melihat segala sesuatu, termasuk juga proses mencapai kebenaran, kembali pada proses psikologi yang ada di dalam diri manusia. Dengan demikian agaknya Husserl akan mencoba mencari jalan tengah di antara keduanya.

Menurut Husserl ada kesalahan fundamental dalam pemahaman psikologisme. Psikologisme tak memahami perbedaan fundamental dari logika dan psikologisme. Logika tidak berurusan dengan science empiris. Ia berurusan dengan hukum-hukum dan struktur-struktur ideal. Sedangkan psikologi adalah science empiris yang memeriksa natur yang faktual dari kesadaran.[5] Sedangkan menghadapi naturalisme tentu saja hal yang sama bisa digunakan. Tetapi hal yang penting kemudian adalah yang mengetahui itu adalah manusia. Manusialah yang mengetahui sehingga penting pula melihat posisi manusia.

Husserl lantas mengetengahkan pentingnya melihat posisi dari dunia kenyataan (obyek) dan pentingnya dunia kesadaran (subyek). Pengetahuan perlu melihat dua hal ini secara bersamaan dan tidak melupakan salah satunya. Demikian Dan Zahavi menjelaskan posisi Husserl[6]:

…[H]usserl also tries to specify the conditions that have to be fulfilled if knowledge is to be possible, and he distinguishes between two types of ideal and a priori conditions of possibility: the objective (logical) and the subjective (noetic) (Hua 18/240). The objective conditions are the fundamental principles, structures, and laws that constitute the a priori foundation for any possible theory and that cannot be violated without violating the very concept of theory. Husserl also calls atten tion to the so-called noetic conditions of possibility. These are the conditions that have to be fulfilled if we are to speak of realized knowledge in the subjective sense.

Dengan demikian bagi Husserl ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk membuat pengetahuan itu mungkin yakni kondisi ideal dan kondisi apriori. Kondisi ideal merujuk pada logika yakni seperangkat hukum dan cara mengetahui dan juga kondisi a priori yang subyektif (yang disebutnya dengan noetic). Ini adalah kondisi-kondisi untuk memungkinkan pengetahuan dalam hal subyektif.

Namun demikian, Husserl juga memperhitungkan obyek dari pengetahuan di mana padanyalah kesadaran terarah. Keterarahan obyek pada kesadaran inilah fenomena. Kebenaran dengan demikian adalah hubungan antara keduanya ini, keterarahan obyek dan juga penerimaan subyek atasnya. Pengetahuan bagi Husserl bersifat obyektif. Hal yang penting dari Husserl dalam hubungan dengan kemungkinan pengetahuan adalah konsep intensionalitas yang dipinjam dan dimodivikasinya dari pemikiran Franz Brentano. Menurut Brentano intensionalitas merupakan kekhasan semesta mental yang membedakannya dari bukan fisik. Yang dimaksudkannya dengan intensionalitas adalah fakta bahwa kesadaran senantiasa terarah pada sesuatu, kendati sesuatu yang kepadanya kesadaran terarah tidak sungguh-sungguh ada.[7]

Husserl menilai intensionalitas Brentano masih mungkin jatuh ke dalam empirisme dan atau psikologisme.[8] Intensionalitas ini menjadi penting dalam analisa Husserl tentang struktur pengalaman. Intensionalitas adalah seperangkat pengalaman partikular yang dikarakterisasikan dalam kesadaran akan sesuatu, dalam, keterarahan pada sesuatu itu. Intensionalitas tidak selamanya adalah fitur kesadaran akan obyek-obyek yang benar ada melainkan juga obyek atas fantasi kita yang mana bisa jadi tidak ditemukan secara nyata ada. dan juga bahwa obyek pada dirinya yang diintensikan tidak selamanya merupakan bagian dari kesadaran kita.[9] Jadi, ketika kita mengintensikan obyek gelas misalnya, bisa saja gelas pada dirinya tidak ada sama sekali, atau hilang, dari kesadaran kita akan gelas tersebut.

Dengan demikian, bagi Husserl pengetahuan dimungkinkan oleh adanya obyek pengetahuan dan subyek yang mengetahui. Apa yang menghubungkan keduanya adalah konsepnya tentang intensionalitas. Intensionalitas mengandaikan adanya obyek yang selalu memberikan dirinya kepada kesadaran manusia dan adanya subyek yang sudah selalu terarah pada obyek yang ada di luar dirinya. Posisi Husserl dengan demikian di satu sisi mengakui keberadaan obyek di luar manusia namun juga di sisi lain menekankan pentingnya posisi manusia yang mengetahui perihal obyek tersebut. Namun, pengetahuan manusia tentang obyek bisa jadi tidak mengandung obyek itu an sich. Sekilas kita melihat bahwa walau pun demikian, Husserl mengakui akan adanya obyek real yang berada di luar pemikiran manusia. Namun pengetahuan manusia bisa jadi tidak bisa mencakupnya.

Posisi Realitas Obyektif dalam Pemikiran Husserl

Simpulan kita bahwa Husserl mengakui akan adanya realitas obyektif di luar pengetahuan manusia adalah sebuah tafsiran yang lumrah terhadap pemikiran Husserl. Dengan tafsiran yang demikian ini maka belakangan pemikiran Husserl kerap dibagi menjadi dua periode yakni periode Husserl awal dan Husserl idealis. Ini juga terlihat di dalam buku karya Dan Zahavi yang membagi babnya sesuai dengan pembagian periode pemikiran Husserl tersebut.[10] Hal ini juga berlaku umum untuk para komentator Husserl lainnya.[11] Namun pendapat Tran Duc Thao, pemikir asal Vietnam, sedikit berbeda dalam hal ini. Kita akan melihat kritik dari Tran Duc Thao tersebut.[12]

Menurut Thao, pada Husserl awal dan Husserl akhir ada kesinambungan pemikiran. Thao menolak pandangan yang mengatakan bahwa pada Husserl awal ada posisi realis. Apa yang dicari Husserl dari ajakan ‘kembali pada benda itu sendiri (zuruck zu den sachen Selbs)’ kerap diartikan sebagai kembali ke benda obyektif itu. Yang hendak dilihat adalah benda sejauh ia menampakan diri kepada pikiran. Benda yang dimaksud di sini adalah benda sejauh berkorelasi dengan kesadaran[13]. Dengan demikian sebenarnya Husserl juga tidak beranjak dari kebenaran sebagai sebuah representasi.

Tran Duc Thao | Sumber: https://gz.diarioliberdade.org/opiniom/item/180752-o-centenario-de-nascimento-de-tran-duc-thao.html

Tran Duc Thao menunjukkan bukti akan hal itu melalui teks karya akhir Husserl yang tak diterbitkan, Krisis Science Eropa dan Fenomenologi Transendental, yang berisi dakuan Husserl tentang latar belakang karyanya Logical Investigationi[14]:

A remarkable text of the unpublished part of the Krisis provides us with enlightenment here. The author tells how he discovered, during the writing of the Logische Untersuchungen around 1898, the universal correlatim between subject and object. Every existent, no matter to what domain of being it belongs, is an index for a system of the lived in which it is ‘given’, in accordance with a priori laws. This revelation, declares Husserl, “affected me so deeply that my whole subsequent life-work has been dominated by the task of systematically elaborating on this a priori of correlation.”

Dari kutipan ini, Thao menunjukkan kepada kita bahwa sedari awal Husserl memang tidak berniat untuk melihat realitas obyektif. Yang hendak dilihatnya adalah realitas sejauh terberi pada kesadaran manusia. Dengan demikian yang hendak dicari oleh Husserl adalah hubungan antara subyek dan obyek dalam laku mengetahui (intensionalitas). Pada Husserl akhir, hubungan ini dibahasakan dengan hubungan antara noesis (subyek yang menyadari) dan noema (obyek yang disadari). Hubungan antara keduanya menurut pandangan Tran Duc Thao sudah bisa ditemukan dalam Husserl awal yakni dalam karyanya Logische Untersuchungen.

Hal ini saya kira juga ditemukan oleh Dan Zahavi. Sedikit banyak, dari pemaparan Zahavi bisa kita simpulkan bahwa obyek yang menjadi konsentrasi Husserl pada Ligische Untersuchungen bukanlah obyek real obyektif, yang independen dari manusia, “…. Husserls concept of object is very broad (basically everything about which something can be predicated is an object), and fundamentally speaking he distinguishes between two different types of objects: real (perceptual) objects and ideal (categorial) objects[15]. Obyek dalam pandangan Husserl adalah segala sesuatu yang dapat diperdikatkan sebagai obyek. Pembedaan Husserl atas dua jenis obyek pun bukan antara obyek yang dipahami pikiran dan obyek yang ada di luar pikiran. Dua-duanya adalah obyek yang ada di dalam pikiran tetapi yang satu, obyek real, adalah obyek yang dipersepsikan dan yang lainnya, obyek ideal, adalah obyek kategorial pemikiran.

Bisa kita contohkan demikian. Ketika saya melihat Tugu Monas maka yang ada pada saya adalah obyek Tugu Monas yang saya persepsi dan juga obyek Tugu Monas yang sudah terkena kategori-kategori a priori tertentu di dalam kepala saya. Dengan demikian, sekilas tampak, seolah-olah ada obyek Tugu Monas yang obyektif di luar sana. Tetapi pada akhirnya, yang diakui sebagai obyek adalah Tugu Monas yang saya persepsi dan katagori-katagori tertentu yang ada di dalam kepala saya secara a priori yang membentuk pemahaman saya akan Tugu Monas tersebut.

Lebih jauh dikatakan oleh Tran Duc Thao bahwa intensionalitas Husserl menjadi berbeda dengan intensionalitas Franz Brentano. Bagi Brentano, intensionalitas adalah hubungan antara realitas eksternal dan pemikiran manusia. Sedangkan pada Husserl, realitas eksternal hanya diakui sejauh menampak pada kesadaran.[16] Demikian Tran Duc Thao menggambarkan intensionalitas Husserl[17]:

At issue is not the relation between two realities which could exist apart, but of an essential relation, defined by a priori laws, without which neither consciousness nor the world would be conceivable. The subject to which we returned was from then and thereafter a constituting subject.

Yang terpenting dengan demikian adalah hukum-hukum a priori yang ada pada kesadaran manusia. Realitas eksternal diakui sejauh tunduk pada hukum-hukum a priori tersebut. Pada titik ini tentu saja kita sudah bisa menemukan seperti apa posisi realitas obyektif dalam pemikiran Husserl. Tentu saja kritikan Tran Duc Thao masih panjang lagi tentang fenomenologi Husserl. Namun posisi pembacaan Thao atas perihal subyek dan obyek di dalam fenomenologi Husserl tetap sama seperti kesimpulan di atas.

Penutup

Kiranya pertanyaan yang hendak dijawab oleh tulisan ini sudah ditemukan. Bahwa, bagi Husserl realitas obyektif yang eksternal itu ada jika dan hanya jika dikonstitusi oleh hukum-hukum a priori pikiran. Dengan demikian obyek dalam skema intensionalitas Husserl hanya bisa sampai pada realitas obyektif dan ia tidak bisa mencapai realitas obyektif yang eksternal dan independen dari pikiran manusia. Namun demikian, posisi pendakuan akan obyek eksternal yang tetap membutuhkan hukum-hukum a priori dalam pikiran masih memungkinkan Husserl dibaca dengan posisi sebagai realisme transendental.   

Realisme punya dua tesis penting yang perlu diperhatikan yakni[18]:

Realism about a particular domain is the conjunction of the following two theses: (i) there are facts or entities distinctive of that domain, and (ii) their existence and nature is in some important sense objective and mind-independent. Let us call the first thesis the “existence thesis” and the second thesis the “independence thesis.

Pada Husserl, pada hemat penulis, tesis kedua tidak kita temukan. Dengan demikian realisme Husserl, setidaknya mengikuti penjelasan tentang dua tesis di atas, cukup lemah. Namun demikian bisa jadi di sini adalah efek dari dua cara baca atas perjalanan pemikiran Husserl. Cara baca pertama memandang bahwa pada Husserl awal masih ada unsur realismenya sedangkan cara baca kedua melihat bahwa sedari awal Husserl memang tidak punya posisi realisme.***

Daftar Bacaan
Brock, Stuart dan Edwin Mares. Realism and Anti-Realism. Durham: Acumen. 2007.
Bunnin, Nicholas Bunnin dan Jiyuan Yu. The Blackwell Dictionary of Western Philosophy. Oxford: Blackwell Publishing. 2004.
Husserl, Edmund. “From The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology,” dalam Gary Gutting. ed. Continental Philosophy of Science. Oxford: Blackwell Publishing. 2005.
Nugroho, Vict. Ito Prajna. “Kebenaran dalam Tegangan Antara Intensionalitas Kesadaran dan Kepenuhan Makna: Sketsa Awal Tesis-tesis Dasar Fenomenologi Edmund Husserl,” Jurnal Filsafat Driyarkara, Th. XXIX, No. 2/2007 (2007). hlm. 11-38.
Suryajaya, Martin. “Intensionalitas Fisik: Argumen untuk Fisikalisme Non-Reduktif”. Jurnal Pemikiran Marxis INDOPROGRESS, Vol. II, Agustus 2014 (2014). hlm. 1-33.
______________. Materialisme Dialektis: Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer. Yogyakarta: Resist Book. 2012.
Thao, Tran Duc. Phenomenology and Dialectial Materialism. diterjemahkan oleh Daniel J. Herman dan Donald V. Morano. Dordrecht: D. Reidel Publishing Company. 1986.
Wawolumaya, Marlando. Manifestasi Logika pada Bahasa dalam Pemikiran Gottlob Frege: Sebuah Telaah Kritis, tesis Magister Humaniora, Program Studi Filsafat, tidak diterbitkan. Depok: FIB UI. 2011.
Zahavi, Dan. Husserl’s Phenomenology. Stanford: Stanford University Press. 2003.

Catatan Belakang
[1] Edmund Husserl, “From The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology,” dalam Gary Gutting Ied.), Continental Philosophy of Science, (Oxford: Blackwell Publishing), 2005, hlm. 117-118.
[2] Nicholas Bunnin dan Jiyuan Yu, The Blackwell Dictionary of Western Philosophy, (Oxford: Blackwell Publishing), 2004, hlm. 458-459.
[3] Nicholas Bunnin dan Jiyuan Yu, The Blackwell Dictionary of Western Philosophy, hlm. 575.
[4] Marlando Wawolumaya, Manifestasi Logika pada Bahasa dalam Pemikiran Gottlob Frege: Sebuah Telaah Kritis, tesis Magister Humaniora, Program Studi Filsafat, tidak diterbitkan, (Depok: FIB UI), 2004, , hlm. 11-12.
[5]According to Husserl, this position commits the error of ignoring the fundamental difference that exists between the domain of logic and psychology. Logic (as well as, for instance, mathematics and formal ontology) is not an empirical science and is not at all concerned with factually exist­ ing objects. On the contrary, it investigates ideal structures and laws, and its investigations are characterized by their certainty and exactness. In contrast, psychology is an empirical science that investigates the factual nature of consciousness, and its results are therefore characterized by the same vagueness and mere probability that marks the results of all the other em­ pirical sciences. To reduce logic to psychology is consequently a regular category mistake that completely ignores the ideality, apodicticity (indubitable certainty), and aprioricity (nonempirical validity) characterizing the laws of logic.” Dan Zahavi, Husserl’s Phenomenology, (Stanford: Stanford University Press), 2003, hlm. 8-9.
[6] Dan Zahavi, Husserl’s Phenomenology…. hlm. 10-11.
[7] Martin Suryajaya, “Intensionalitas Fisik: Argumen untuk Fisikalisme Non-Reduktif”, Jurnal Pemikiran Marxis INDOPROGRESS, Vol. II, Agustus 2014, hlm. 3.
[8] Vict. Ito Prajna Nugroho, “Kebenaran dalam Tegangan Antara Intensionalitas Kesadaran dan Kepenuhan Makna: Sketsa Awal Tesis-tesis Dasar Fenomenologi Edmund Husserl,” Jurnal Filsafat Driyarkara, Th. XXIX, No. 2/2007, hlm. 30.
[9] “…it should be clear 1) that Husserl claims that intentionality is not merely a feature of our consciousness of actually existing objects, but also something that characterizes our fantasies, our predictions, our recollections, and so forth; and 2) that Husserl argues that the intended object is not itself a part of or contained in consciousness.” Dan Zahavi, Husserl’s Phenomenology…. hlm. 19.
[10] Lih. bagian pengantar Dan Zahavi, Husserl’s Phenomenology…. hlm. 3-4.
[11] Lih. Martin Suryajaya, Materialisme Dialektis: Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer, (Yogyakarta: Resist Book), 2012, hlm. 171-172.
[12] Pada bagian kritik dari Tran Duc Thao atas Husserl ini, penulis mengikuti pemaparan dari Martin Suryajaya, Materialisme Dialektis: Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer…. hlm. 167-211. Selain itu penulis juga sedapat mungkin mengikuti pandangan dari Tran Duc Thao sendiri dalam Tran Duc Thao, Phenomenology and Dialectial Materialism, diterjemahkan oleh Daniel J. Herman dan Donald V. Morano, (Dordrecht: D. Reidel Publishing Company), 1986.
[13] Martin Suryajaya, Materialisme Dialektis: Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer…. hlm. 177.
[14] Tran Duc Thao, Phenomenology and Dialectial Materialism…. hlm. 13. Bdk. Martin Suryajaya, Materialisme Dialektis: Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer…. hlm. 178.
[15] Dan Zahavi, Husserl’s Phenomenology…. hlm. 35.
[16] Martin Suryajaya, Materialisme Dialektis: Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer…. hlm. 178. hlm. 181.
[17] Tran Duc Thao, Phenomenology and Dialectial Materialism…. hlm. 14. Bdk. Martin Suryajaya, Materialisme Dialektis: Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer…. hlm. 182.
[18] Stuart Brock dan Edwin Mares, Realism and Anti-Realism, (Durham: Acumen), 2007, hlm. 2.


Catatan: Tulisan ini berasal dari makalah mata kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan, Program Magister STF Driyarkara, 15 Januari 2015.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram