Etika dalam ranah filsafat kerap dianggap sebagai disiplin filsafat di ranah praktis. Artinya, ia berisi tentang bagaimana manusia hidup, bagaimana manusia berpraktis—bisa dikatakan mempraktekan filsafat moral—dalam kehiduapnnya. Etika dengan demikian, sebagai sebuah ilmu, adalah semacam mempelajari tools untuk melakukan atau bertindak; dalam kondisi seperti ini kita bertindak demikian, tentu saja dengan pendasaran filsafat (moral) tertentu. Ia tidak ‘sespekulatif’ metafisika-ontologi, misalnya. Maka dalam etika sendiri kita lantas mengenal adanya ‘etika situasi’, ‘etika budaya’, ‘etika agama’, dsb. Etika dengan demikian, secara umum, punya landasan-landasan moral dan cara pandang yang berbeda-beda. Ada yang melalui religiositas, ada yang memilih mendengarkan keputusan ‘suara hati’, ada pula yang berdasarkan sebuah kesepakatan pada kelompok masyarakat tertentu.

Sebagai sebuah cabang ilmu dalam filsafat, etika tentu saja, sebagaimana filsafat itu, memiliki banyak aliran di dalamnya. Salah satunya adalah utilitarisme. Utilitarisme terkenal dengan penekanannya pada hasil yang dicapai dari sebuah tindakan etis itu. Slogan yang terkenal dari utilitarisme adalah “keuntungan sebanyak-banyaknya dan sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya dan sebesar-besarnya orang”.

Tulisan singkat ini bermaksud memaparkan perihal utilitarisme sebagai sebuah aliran etika tersebut. Perihal utilitarianisme menarik untuk diangkat lantaran kerapnya, terkhusus dalam tradisi filsafat kontinental Jerman-Prancis, utilitarisme dicibir dan dianggap mustahil. Namun demikian, tanpa sadar, sebenarnya pokok-pokok yang dibahas utilitarisme merasuk dalam pikiran atau kepala para pemangku jabatan untuk mengambil keputusan. Oleh karen itu menimbang baik buruknya utilitarisme perlu dilakukan karena klaimnya untuk mendapatkan kebahagiaan untuk sebanyak mungkin orang menjadi sebuah alasan yang sama untuk para pemangku jabatan dalam membuat keputusan-keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Dalam rangka itu maka tulisan ini akan dibagi dalam beberapa bagian. Pertama kita akan melihat perkara utilitarisme secara umum. Selanjutnya kita akan secara spesifik melihat utilitarisme modern wabil khusus dalam pemikiran Peter Singer pada bagian kedua. Kenapa melihat pemikiran utilitarisme modern ini penting karena pada Peter Singer misalnya ia mengembangkan utilitarianisme sampai pada titik merangkum hak-hak binatang. Selanjutnya, pada bagian ketiga kita akan membandingkan pemikiran utilitarisme dengan etika Aristoteles dan Immanuel Kant. Kedua nama terakhir ini mewakili dua aliran besar etika lainnya yakni Aristoteles untuk teleologi dan Immanuel Kant untuk deontologis. Selanjutnya pada bagian keempat sebagai penutup kita akan memberikan sedikit rangkuman dan catatan kritis.

Membahagiakan Sebanyak Mungkin Orang

Bagi tradisi utilitarisme, sebuah tindakan dikatakan benar jika dan hanya jika hasil akhir dari tindakan itu bermanfaat bagi semakin banyak orang. Prinsip utilitarisme berbunyi demikian, “suatu tindakan dapat dibenarkan secara moral apabila akibat-akibatnya menunjukkan kebahagiaan semua yang bersangkutan dengan sebaik mungkin.”[1]

Secara garis besar, utilitarisme ini bisa kita katagorikan sebagai aliran etika konsekuensialis. Berdasarkan etimologi katanya, utilitarisme berasal dari kata Latin utilis yang berarti guna atau manfaat. Dengan demikian, bagi utilitarisme sebuah tindakan dikatakan bermanfaat atau berguna dilihat dari konsekuensi tindakan tersebut. Sebuah tindakan sebelum dilaksanakan perlu memperhitungkan prinsip kegunaannya atau dampaknya. Sebuah tindakan yang paling benar secara moral adalah tindakan yang menghasilkan kebahagiaan paling besar dan bagi paling banyak orang.

Jeremy Bentham-lah orang pertama yang merumuskan etika utilitarisme ini. Ia merumuskan sebuah kalimat terkenal yang nantinya menjadi pegangan bagi utilitaisme selanjutnya yakni “the greatest happiness of the greatest number.”[2] Menurut Prof. Magnis-Suseno dengan demikian Bentham menggabungkan antara utilitarisme dengan hedonisme.

Jeremy Bentham | Sumber: https://www.britannica.com/biography/Jeremy-Bentham

Namun demikian, teori Bentham ini masih banyak kelemahan dan dicela banyak pemikir. Di kemudian hari muncullah John Stuart Mill yang berusaha untuk merevisinya. Dalam bukunya bertajuk Utilitarism ia mengatakan bahwa apa yang disebut nikmat di dalam utilitarisme janganlah dianggap sebagai nikmat jasmani saja melainkan juga nikmat rohani. Selanjutnya ia pun menegaskan bahwa utilitarisme tidak berhubungan dengan egoisme. Utilitarisme menekankan kebahagiaan bagi banyak orang dan bukan untuk diri sendiri.[3]

Jika hendak melihat lebih jauh, teori nilai apa yang dipegang utilitarisme maka teori nilainya adalah eudemonisme. Eudimosme berbunyi yang baik pada dirinya sendiri adalah kebahagiaan. Kebahagiaan itu sendiri dipahami oleh utilitarisme sebagai nikmat dan bebas dari perasaan yang tidak enak karena manusia menginginkan kedua hal itu.[4] Utilitarisme pun bukanlah bersifat egois. Jika egoisme etis berpandangan bahwa kebahagiaan itu yang benar adalah kebahagiaan bagi saya sendiri atau pelaku tindakan etis maka bagi utilitarisme kebahagiaan itu berlaku bagi semua yang terkena dampak tindakan etis tersebut. Dengan demikian bisa dikatakan utilitarisme menganut universalisme etis.[5]

Peter Singer dan Utilitarisme yang Merangkul Binatang[6]

Salah satu pemikir kontemporer dari tradisi etika utilitarisme adalah Peter Singer[7]. Pada Singer, prinsip utilitarisme pada akhirnya merangkum sampai pada tingkat hak-hak dari binatang. Hal ini dilakukannya melalui penerapan prinsip utilitarisme dan perkembangan lingkaran wilayah moral. Singer menunjukan bahwa vegetarianisme adalah sebuah aksi niscaya sebagai konsekuensi dari makhluk manusia dengan kemampuan pengembangan moralnya.

Prinsip utilitarianisme menyatakan bahwa kepentingan pihak-pihak yang terkena dampak tindakan harus dipertimbangkan secara setara dari sudut pandang imparsial. Ini semakin menegaskan prinsip kesetaraan (equal consideration of interests) di dalam utilitarisme. Sikap ini, menurut Singer, menempatkan binatang masuk sebagai moral patient. Dengan prinsip kesetaraan ini mengakibatkan pelaku tindakan etis memposisikan kepentingan moral patient secara setara bukan hanya terhadap manusia tetapi juga terhadap non-human beings. Demikian Singer menulis, “…but the principle [of equal consideration] also implies that the fact that beings are not members of our species does not entitle us to exploit them, and similarly the fact that other animals are less intelligent than we are does not mean that their interests may be disregarded”.[8]

Adalah sikap utilitarismelah yang menempatkan binatang masuk sebagai moral patient. Demikian prinsip-prinsip utilitarian itu, kepentingan pihak-pihak yang terkena dampak tindakan harus dipertimbangkan secara setara dari sudut pandang imparsial menegaskan prinsip kesetaraan (equal consideration of interests). Prinsip kesetaraan inilah yang memungkinkan pelaku moral memosisikan kepentingan moral patient secara setara bukan hanya terhadap manusia tetapi juga terhadap non-human beings. Demikian Singer menulis, “…but the principle [of equal consideration] also implies that the fact that beings are not members of our species does not entitle us to exploit them, and similarly the fact that other animals are less intelligent than we are does not mean that their interests may be disregarded[9].

Salah satu kalimat dari pemikir pertama dalam tradisi utilitarisme, Jeremy Bentham pun sangat menginspirasi Singer. Kalimat tersebut berbunyi sebagai berikut, ”each to count for one and none for more than one”. Singer lantas menyimpulkan dari kalimat tersebut demikian, “the interest of every being affected by an action are to be taken into account and given the same weight as the like interests of any other being[10]. Dalam kalimat ini kita melihat bahwa Singer menggunakan seluruh makhluk hidup (being). Posisi manusia di sini tidak menjadi sesuatu yang lebih di atas makluk-makluk yang lain.

Dermikianlah kita sudah melihat bahwa pada Singer pemikiran dalam tradisi utilitarisme mendapatkan sentuhan baru. Jika utilitarisme klasik lebih melihat hanya manusia sebagai pelaku dan yang terkena dampak tindakan etis maka pada Singer, dengan menggunakan konsep lingkaran wilayah moral, memperluas makhluk etis itu hingga mencapai binatang. Pengalaman saya pribadi, dengan membaca pemikiran Singer ini tampaklah bahwa menjalankan sebuah prinsip utilitarisme ini begitu sulitnya. Karena ia mengandaikan sebuah lingkaran moral yang terus berkembang dengan kewajiban nalar untuk memikirkan dengan sungguh-sungguh dampak dari tindakan kita. Menjadi utilitarian, setidaknya melalui pembacaan atas pemikiran Singer, sungguhlah tidak mudah.

Utilitarisme vs Etika Aristoteles dan Kant

Demikianlah, sudah kita lihat dua pokok pembahasan tentang utilitarisme. Pada bagian pertama kita sudah melihat secara garis besar utilitarisme. Bisa dikatakan pada bagian itu kita menyarikan pokok-pokok dari utilitarisme klasik. Sedangkan pada bagian berikutnya yang khusus mengangkat pemikiran Peter Singer, kita pun melihat sebuah pemikiran utilitarisme. Bedanya dengan bagian sebelumnya adalah pada bagian yang mengangkat pemikiran Peter Singer ini kita menemukan utilitarisme yang berada pada masa sekarang. Pada bagian ini kita akan membandingkan pemikiran etika utilitarisme dengan pemikiran etika Kant dan Aristoteles.

Ketika tradisi etika ini–utilitarisme, Kant (deontologis), Aristoteles (teleologis)–bisa dikatakan mewakili tiga model pendekatan etika yang cukup besar. Utilitarisme berpegang pada dampak atau hasil dari sebuah tindakan etis, Aristoteles berpegang pada tujuan dari sesuatu, sedangkan Kant berpegang pada kewajiban. Dengan demikian kita sudah melihat sebuah pembedaan yang mencolok dari ketiganya.

Lebih lanjut, kita sebenarnya juga melihat adanya kesamaan-kesamaan. Pada Aristoteles dan utilitarisme misalnya kita menemukan adanya teori nilai eudemonisme sebagai pegangannya. Sedangkan Kant justru tidak berpegang pada hal itu. Ia justru mengatakan bahwa pertanyaan mengenai bagaimana caranya saya bahagia merupakan pertanyaan yang salah. Bagi Kant, hakikat moral tidak terletak pada perihal kebahagiaan melainkan pada perihal kewajiban. Namun demikian pada titik ini pun Kant mendapatkan kritiknya. Kant tidak menyebutkan sebuah nilai tertentu yang melatar-belakangi kewajiban tersebut.[11]

Namun, kebahagiaan pada utilitarisme dan Aristoteles pun berbeda. Jika pada Aristoteles, kebahagiaan itu sebenarnya adalah kebahagiaan untuk diri sendiri. Aristoteles misalnya memang berbicara tentang politik yang berarti sesuatu yang bersifat sosial dan komunal. Tetapi seseorang dalam bertindak pada komunitas politik tersebut (polis) adalah mementingkan kebahagiaannya sebagai manusia. Dalam politik manusia menjalankan kodratnya yang berbeda dengan binatang dan di sanalah ia mencapai kebahagiaannya. Hal ini berbeda dengan utilitarisme yang menekankan dampak dari tindakan etis terhadap kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Bahkan lebih jauh, pada pemikiran Singer misalnya, kebahagiaan itu bukan hanya pada manusia tetapi binatang. Di sinilah letak perbedaan teori nilai kebahagiaan pada Aristoteles dan pada utilitarisme.

Demikianlah kita sudah melihat beberapa pokok persamaan dan perbedaan dari tradisi etika utilitarisme dan juga Aristoteles serta Kant. Pada apa yang menjadi pendasaran dari sebuah tindakan etis, ketiganya terlihat berbeda. Namun pada pendasaran teori nilai, utilitarisme dan Aristoteles sepertinya sependapat, meski pun masih ada perbedaan keduanya pada untuk siapakah kebahagiaan itu. Sedangkan pada Immanuel Kant ia menekankan perihal kewajiban sebagai pendasaran dari tindakan moral wabil khusus tindakan etis.

Penutup

Demikianlah sudah kita lihat secara garis besar pemikiran etika utilitarisme. Kita memulai pembahasan tentang utilitarisme ini dengan membahas perihal utilitarisme secara garis besar atau lebih tepat dikatakan pula sebagai mempelajari utilitarisme klasik. Dari sana kita menemukan bahwa utilitarisme mendasarkan dirinya pada teori kebahagiaan. Sebuah tindakan dikatakan beretika apabila dampak dari tindakan itu mampu membawa kebahagiaan sebesar-besarnya untuk semakin banyak orang.

Peter Singer | Sumber: theguardian.com/world/2023/may/

Penekanan utilitarisme ini sempat juga dituduh sebagai sebuah etika yang egoistis. Rupanya hal itu cukup sulit dibuktikan. Lebih jauh, etika utilitarisme justru tidak mementingkan diri melainkan mementingkan begitu banyak orang bahkan lebih jauh mementingkan makhluk yang lainnya. Hal ini kita lihat pada sub bab berikutnya di mana kita khusus melihat pemikiran dari pemikir kontemporer Peter Singer. Pada Singer, dengan konsep lingkaran wilayah moralnya, tindakan etis utilitarisme tidak hanya harus memikirkan manusia dan semakin banyak manusia sebagai pihak yang terkena dampak tindakan, melainkan ia juga harus memikirkan sentient being yang lainnya, dalam hal ini binatang. Yang dicari bukanlah kebahagiaan manusia melainkan penghormatan atas kebahagiaan dan hak dari binatang tersebut.

Selanjutnya kita juga sudah berupaya sedikit banyak untuk membandingkan antara utilitarisme dengan pemikiran etika Aristoteles dan Kant. Kita lihat pada perbandingan itu bahwa utilitarisme punya kemiripan dan kedekatan dengan etika Aristoteles. Sedangkan dengan Immanuel Kant, sepertinya tidak ada kesamaan apa-apa yang cukup penting dan signifikan. Jika Aristoteles dan utilitarisme menekankan pada pokok kebahagiaan sebagai pendasaran beretika, maka Kant menekankan pada pokok kewajiban sebagai pendasarannya. Namun demikian, kebahagiaan pada utilitarisme dan Aristoteles pun masih terlihat adanya perbedaan.

Pemikiran utilitarisme dalam etika ini sebenarnya cukup baik jika dipelajari secara saksama. Tradisi ini memberikan sebuah pendasaran untuk tindakan-tindakan etis yang menyangkut kepentingan begitu banyak orang. Pada hemat penulis, etika utilitarisme ini sangat cocok untuk melihat dampak atau tindakan dari para pemangku jabatan dalam membuat keputusan yang menyangkut kepentingan orang banyak. Ketakutan pada utilitarisme adalah kemungkinan ia lebih menekankan kepentingan mayoritas dan cenderung untuk mengabaikan minoritas. Namun pada hemat saya, dengan mengadopsi pemikiran Peter Singer perihal lingkaran wilayah moral, utilitarisme bisa saja tidak terjebak pada ketakutan tersebut.

Daftar Bacaan

Jamieson, Dale (ed). 2000. Peter Singer and His Critics. Oxford: Blakwell Publishers Ltd.
Jena, Yeremias. 2008. Kemampuan Nalar dalam Memperluas Wilayah Moral Menurut Singer. Tesis Program Pascasarjana. Jakarta: STF Driyarkara
Magnis-Suseno, Franz. 1997.  13 Model Pendekatan Etika. Yogyakarta: Penerbit Kanisius).
Magnis -Suseno, Franz. 1997. 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

[1] Franz Magnis-Suseno, 13 Model Pendekatan Etika, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius), 1997, hlm. 195.
[2] Franz Magnis-Suseno, 13 Model Pendekatan Etika…, 195.
[3] Franz Magnis-Suseno, 13 Model Pendekatan Etika…, 195-196.
[4] Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19, (YOgyakarta: Penerbit Kanisius), 1997,  hlm. 179.
[5] Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19…, hlm 179.
[6] Penulis mengangkat Peter Singer dalam sub ini setelah membaca dan terinspirasi karya Yeremias Jena, Kemampuan Nalar dalam Memperluas Wilayah Moral Menurut Singer, tesis Program Pascasarjana, STF Driyarkara, Jakarta, Desember 2008. Sub bab ini pun sedikit banyak merupakan penyarian dari sumber tersebut. Jika ada referensi yang lain akan disebutkan di dalam catatan kaki.
[7] Singer lahir di Melbourne, Australia pada 6 Juli 1946 di Australia dari orang tua keturunan Yahudi Austria.. Sampai sekarang ia masih hidup dan mengajar.
[8] Dale Jamieson (ed). Peter Singer and His Critics, (Oxford: Blakwell Publishers Ltd), 2000, hlm. 135.
[9] Dale Jamieson (ed). Peter Singer and His Critics…, hlm. 135.
[10] Sebagaimana dikutip dalam Yeremias Jena, Kemampuan Nalar dalam Memperluas Wilayah Moral Menurut Singer
[11] Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19…, hlm. 154-155.


*Catatan: Makalah Untuk Mata Kuliah Filsafat Praksis di Program Magister Filsafat, STF Driyarkara, 20 Mei 2014.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram