Subjek termasuk salah satu tema penting di dalam filsafat. Filsafat bisa dikatakan sebagai sebuah laku berpikir. Dengan demikian di dalam filsafat terkandunglah kata kerja. Untuk itu filsafat membnutuhkan subjek. Dari segi etimologinya ini sendiri tampaklah bahwa subjek menjadi penting untuk filsafat. Subjek filsafat dengan demikian membicarakan laku berfilsafat itu sendiri. Subjek filsafat adalah seseorang yang memikirkan hakekat sesuatu dengan sungguh dan mendalam. Lantaran membicarakan subjek adalah membicarakan pelaku filsafat itu sendirilah, posisi perbincangan seputar subjek menjadi penting di dalam filsafat. Maka dari itu kita sangat kerap menemukan pendefinisian subjek (dan juga objek) dalam berbagai aliran filsafat dan juga dalam formulasi berbagai pemikir.

Persoalan subjek ini di dalam filsafat barat misalnya sudah ada sejak pemikiran Platon. Perihal subjek dalam pemahaman antropologi filosofis menjadi makin kental dalam masa pencerahan dengan diktum terkenal Descartes, “saya berpikir maka saya ada”. Semenjak itu, subjek manusia sebagai sentra menjadi kental dalam filsafat barat. Barulah ketika postmodernisme dengan hilangnya kepercayaan pada subjek muncul, pentingnya subjek dalam filsafat barat ini semakin memudar. Sebenarnya, pengnihilan atas subjek ini sudah dimulai setidaknya sejak Heidegger ketika Heidegger mengkerangkeng semua entitas dalam Ada. Ada-lah yang terpenting menurut Heidegger dibandingkan dengan hal yang lainnya. Ada yang melingkupi semua entitas selain dirinya.

Di dalam filsafat timur, perihal subjek barangkali jarang kita dengar. Namun demikian, sesungguhnya filsafat timur pun kental dengan subjek. Kesimpulan ini sangat mungkin kita dapatkan ketika kita memahami bahwa filsafat timur itu bukan sekadar laku berpikir melainkan sekaligus juga dan terutama laku hidup. Hal ini dikatakan misalnya oleh Radhakrishnan bahwa filsafat bukan sekadar sistem pemikiran abstrak atau disiplin teknis dari mashab-mashab, melainkan sikap dari budi.[1] Dengan demikian, dalam filsafat timur pun subjek sebagai pelaku filsafat ditarik lebih jauh menjadi pelaku kehidupan itu sendiri melalui filsafat. Jika pada filsafat barat subjek lebih kepada laku berpikir semata, maka di dalam filsafat timur subjek adalah sang pelaku kehidupan melalui filsafat. Filsafat bagi tradisi filsafat timur bukan sekadar laku berpikir melainkan laku hidup itu sendiri.

Pada tulisan ini akan coba dibandingkan pemahaman subjek dalam filsafat barat dan filsafat timur. Oleh karena terlalu beragamnya pemikiran subjek dalam filsafat barat, maka untuk kesempatan ini saya akan berkonsentrasi pada subjek pasca pemikiran Descartes di mana subjek dilihat sebagai yang berpikir. Pada bagian ini saya akan berkonsentrasi pada pemikiran subjek Sartre sebagai salah satu varian pemikiran subjek filsafat barat. Sedangkan dari filsafat timur saya akan berkonsentrasi pada subjek sebagai pelaku kehidupan. Pada bagian ini saya tidak spesifik pada satu pemikir saja atau satu aliran filsafat timur saja. Saya akan coba menyarikan beberapa pandangan subjek dari tradisi fisafat timur. Selanjutnya, tulisan ini akan ditutup dengan sedikit catatan singkat serta kesimpulan persamaan dan perbedaan subjek dari tradisi filsafat barat dan timur.

Sumber: https://www.crux.pk/is-philosophy-a-dying-subject/

Subjek Filsafat Barat

Seperti yang disinggung pada bagian awal tulisan ini, term subjek yang merujuk pada aku atau manusia yang berpikir adalah panorama umum filsafat barat era Pencerahan. Hal ini dimulai dari Descartes yang menegaskan bahwa “aku berpikir maka aku ada.” Menurut Descartes yang terpenting dari seluruh kenyataan adalah aku yang berpikir. Segala hal bolehlah diragukan tetapi aku yang berpikir tak bisa diragukan. Manusia sebagai sentral berpikir ini lantas menjadi panorama utama filsafat barat zaman modern. Setelah Descartes, Kant, Husserl, maka muncullah eksistensialisme. Eksistensialisme tetap menekankan manusia sebagai sentralnya. Salah satu pemikir eksistensialisme ini adalah Sartre. Dari Descartes hingga Sartre (sebagai salah satu pentolan eksistensialisme) manusia dianggap subjek dan bahkan terkadang manusia lain dianggap sebagai objek. Dari subjek dan objek yang demikian muncullah intersubjektivitas entah dari jalan negative mau pun positif.

Dari jalan positif kita bisa melihatnya pada contoh pemikiran intersubjektivitas dari Martin Buber dan juga Levinas. Pada kedua pemikir ini, tentu juga bersama Gabriel Marcel, orang lain yang adalah subjek itu justru memberi pemenuhan kepada subjek. Levinas misalnya menekankan tentang tatapan orang lain yang justru memanggil aku untuk melakukan tindakan etis. Kematian lantas oleh Levinas dipandang sebagai sebuah jalan menuju yang lain Absolut. Optimisme yang demikian akan intersubjektivitas lantas dilawan oleh para pemikir intersubjektivitas via negatifa. Pada yang terakhir ini kita bisa melihatnya pada Jean Paul Sartre.

Sartre bisa dikatakan memandang subjek atau diri manusia dengan cara yang negatif. Hal ini kentara terlebih dalam pemikirannya tentang orang lain. Sartre terkenal dengan kalimatnya orang lain adalah neraka. Kalimat ini bisa kita pahami dengan menelusuri pemikiran Sartre tentang tatapan mata atau l’autre. Dalam pembacaan atas riwayat hidup Sartre, Setyo Wibowo berkesimpulan bahwa pemikiran Sartre tentang tatapan mata ini bisa dipahami dari jalan hidupnya.[2] Sartre barangkali termasuk pemikir yang sangat terpengaruh dengan kisah hidupnya sendiri. Sejak kecil, Sartre sudah mengalami rasa sakit dalam pengalamannya dengan orang lain. Hal ini berhubungan dengan pengalamannya bersama keluarga. Demikian Catherine Clement menulis tentang Sartre,

Pada Sartre, masa kecil menentukan segalanya, kejelekannya menjadi dasar eksistensinya. Benar, dalam dirinya ada hasrat untuk dibakar oleh cinta. Itulah yang saya dengar dari wanita-wanitanya. Ia membangkitkan percikan-percikan cinta untuk menghangatinya dan melindunginya, ia juga membangkitkan tangis penuh emosi. Itu semua ia butuhkan untuk pemikirannya.[3]

Tatapan mata dari orang lain inilah yang membuat kejatuhan eksistensi diri sang subjek. Tanpa tatapan mata dari yang lain, tak akan ada eksistensi. Eksistensi lahir dari tatapan mata yang lain ini.[4] Dalam tatapan orang lain, manusia menjadi sekadar objek. Sebaliknya, dengan demikian, ketika menatap orang lain, manusia menjadi subjek. Situasi manusia menurut Sartre ditentukan oleh cara pandang orang lain.

Le Penseur (1904) karya Auguste Rodin | Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/The_Thinker

Dalam keadaan ditentukan oleh pandangan yang lain demikian ini, manusia punya dua pilihan yakni menyesuaikan diri secara pasif atau menidaki dan menolak obyektifikasi tersebut. Permasalahannya, menurut Sartre, dengan adanya tatapan dari orang lain manusia kehilangan kebebasan. Dengan demikian, dari dua kemungkinan dalam menghadapi tatapan orang lain tersebut, Sartre memilih yang kedua yakni memberontak terhadap obyektifikasi. Dengan memberontak terhadap obyektifikasi, manusia mengembalikan defisit kebebasan yang diambil oleh tatapan orang lain tersebut. Kebebasan menurut Sartre adalah diri manusia yang tidak ditentukan, yang tidak diembel-embeli apa pun. Manusia menurut Sartre adalah kebebasan sebagai sebuah pour-soi (ada untuk dirinya sendiri). Lawan dari pour-soi adalah en-soi (ada pada dirinya sendiri). Manusia berusaha untuk lepas dari en-soi ini sekaligus juga berusaha untuk mengembalikan defisit kebebasan.

Menurut Sartre, situasi asli manusia adalah kejatuhan. Dan karakter utama dunia dan manusianya adalah absurd dan tanpa makna. Makna hanya mungkin ada ketika manusia melakukan penidakan secara terus-menerus terhadap obyektifikasi yang lain terhadap dirinya.

Subjek Filsafat Timur

Seperti yang sudah diketahui secara umum, filsafat timur tidak membedakan antara filsafat dan teologi. Kerapnya pada filsafat timur kedua hal tersebut berjalan seiring. Dengan demikian dalam pandangannya tentang subjek pun kita bisa membuat sebuah asumsi awal; subjek filsafat timur adalah subjek filosofis sekaligus teologis. Maka kerap kita menemukan konsep-konsep subjek yang tidak hanya berkutat perkara kehidupan duniawi tetapi juga seiring dengan itu kepada keselamatan jiwa. Lebih jauh di dalam filsafat timur, membicarakan subjek manusia tidak pernah lepas dari membicarakan jiwanya. Keduanya tidak dipisahkan.[5]

Menurut A. Sudiardja filsafat timur cenderung membicarakan manusia dan kedalaman jiwanya. Hal ini berbeda dengan eksistensialisme di filsafat barat misalnya yang kerap melihat manusia dalam relasinya dengan sesama dan dunianya. Filsafat timur pun membedakan antara kepentingan jiwa sebagai identitas manusia dengan kepentingan manusia dalam realitasnya dengan dunia.[6]

Dalam filsafat tradisi Hindu, manusia sebagai realitas di dunia mempunyai empat tujuan yakni artha, kama, dharma, dan mokhsa. Keempat tujuan ini harus dicapai secara serentak. Ketiga tujuan pertama merupakan tujuan yang berhubungan dengan keduniawian. Artha bisa dikatakan adalah tujuan kepenuhan kebutuhan hidup secara material. Kama adalah tujuan kesenangan secara sensual mau pun intelektual. Sedangkan dharma secara singkat bisa diartikan sebagai semua hal yang mengatur kehidupan dan kebersamaan manusia di dunia ini. Setelah ketiga tujuan ini terpenuhi barulah manusia berpikir tentang keselamatan jiwanya atau tujuan mokhsa di mana manusia melihat ke dalam jiwanya sendir.[7]

Konsep self dalam filsafat India pertama kali dikembangkan oleh aliran Samkhya. Samkhya membedakan antara self sebagai diri empiris dan Self sebagai yang tertinggi. Aliran ini juga membedakan antara self sebagai subjek yang mengetahui dan objek yakni hal-hal yang ia ketahui.[8] Dari penjelasan ini terlihatlah bahwa sepertinya aliran Samkhya berpikir secara relasional; adanya subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Pemikiran tentang self ini lantas secara praktis terlihat dalam praktik Yoga. Pertanyaan mendasar dalam Yoga adalah “…bagaimana kebijaksanaan itu dapat dicapai di mana purusha, Self tertinggi sebagai subjek murni, menyadari bahwa ia hanyalah penonton prakriti dan bukan secara nyata satu bagian dari prakriti atau berhubungan dengan prakriti?”[9]

Pada praktik Yoga ini terlihatlah perhatian yang sangat dari filsafat timur terkhusus tradisi Hinduisme-Budhisme terhadap self. Yoga sesungguhnya sudah ada sejak lama namun baru pada abad ke-3 SM Patanjali menyusun Yoga-Sutras, sebuah kompendium lengkap yoga. Dalam Yoga-Sutras, yoga ditempatkan sebagai sebuah disiplin praktis yang terdiri dari beberapa aspek seperti: tindakan moral (Yama), Disiplin diri (Niyama), Postur tubuh (Asanas), Pengendalian napas (Pranayama), Pengendalian indera (Pratyahara), Konsentrasi (Dharanai), Meditasi (Dhyana), dan Kontemplasi serta kondisi Suprasadar (Samadhi).[10] Yoga sendiri berarti penyatuan kesadaran individu dan kesadaran yang lebih transenden, kekal dan ilahi.[11]

Sedangkan tujuan Yoga itu sendiri adalah,

…untuk mencapai pembebabasan melalui konsentrasi dan Samadhi. Istilah teknis untuk pencapaian ini adalah pembebasan (kaivalya). Kata ini identic dengan keilahian, karena hal-hal material tergantung dari penyebab lain atau daya-daya di luar, sehingga tidak dapat menggerakan diri sendiri….Menurut Sri Arubindo, Raja-yoga bertujuan untuk mencapai pembebasan dan penyempurnaan diri mental, yakni pengendalian seluruh perangkat pencerapan, emosi, pikiran, dan kesadaran.[12]

Sedangkan dalam tradisi Konfusianisme dari Tiongkok subjek manusia dilihat sebagai indvidu. Manusia secara kodrati adalah sederajat sebagai individu. Kedewasaan diri hanya mungkin dicapai oleh manusia individu. Pandangan Konfusius tentang manusia sendiri sepertinya beraroma empirisisme karena menurutnya manusia dilahirkan dengan kosong. Pengalamanlah yang mengisi dan membentuknya. Jen-lah, menurut Konfusius, yang menjadikan manusia itu manusia seutuhnya[13].

Jen ini menurut Konghucu adalah apa yang membuat manusia benar-benar sebagai manusia. Jen bisa diterjemahkan sebagai “kebajikan”, “kemanusiaan,” kemurah-hatian”, “sosok manusia yang benar”, dan “kemurah-hatian.” Jen lebih cocok atau tepat dikatakan sebagai “kemurah-hatian” ini. Karena Jen adalah sebuah jalan yang membuat manusia, dasar dari segala relasi, dan merupakan perkara pikiran dan rasa. Konfusius sendiri tidak mendefinisikan Jen dengan sebuah definisi, meskipun Jen kerap disebutkannya. Bagi Konfusius, Jen adalah sebuah jalan yang sangat personal dan ada dalam diri setiap manusia yang harus diwujudkan dalam kehidupan pribadi orang tersebut. Sebuah definisi yang pasti pada Jen dengan demikian akan mengkerdilkan makna Jen yang sesungguhnya ini. Konfusius pernah menjawab demikian ketika ditanyakan tentang Jen, “Ia adalah mencintai manusia.” Dan kemampuan manusia untuk mencintai inilah yang membentuk kodrat manusia.

The Daoist immortal Lü Dongbin crossing Lake Dongting | Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Taoist_art

Kemampuan manusia untuk mencintai ini memiliki implikasi moral juga. Dengan demikian Jen pun harus dipikirkan dalam artian moral tertentu. Jen adalah sebuah prinsip tertinggi bagi manusia dalam bertindak. Sehingga, Jen pun adalah juga prinsip-prinsip moral yang menjadi pedoman tindakan manusia. Hidup tanpa Jen menurut Konfusius adalah hidup yang tak bernilai. “Seorang cendikiawan yang teguh dan seorang yang memiliki kemanusiaan (jen) tidak pernah berusaha hidup dengan melukai kemanusiaan (jen). Ia tentunya ingin berkorban demi mewujudkan kemanusiaan (jen).

Dengan demikian pengabaian atas jen membuat manusia tidak hidup sebagai manusia. Dengan lain perkataan, dengan jen-lah manusia mencapai kemanusiaannya. Atau bisa pula dikatakan, jen-lah yang membedakan makhluk manusia dengan makhluk lainnya. Hidup menurut jalan Jen menuntut tumbuhnya rasa belas kasih pada diri manusia dan rasa belas kasih itu hendaknya diwujudkan kepada orang lain. Seorang murid Konghucu, Tzen Tzu mengatakan, “Jalan Guru kita (Konghucu) tidak lain adalah penyadaran hati nurani (chung) dan altruism (shu).” Chung adalah usaha pengembangan hati nurani itu sedangkan shu adalah pengejawantahan belas kasih kepada orang lain. Kedua hal ini lantas membentuk apa yang disebut Hukum Emas Konghucu yakni jangan melakukan untuk orang lain apa yang engkau tidak inginkan orang lain lakukan itu untukmu.

Kesimpulan

Demikianlah telah kita lihat perihal subjek dalam filsafat timur dan filsafat barat. Subjek pada akhirnya membicarakan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, tidak bisa tidak, sebuah pembicaraan tentang subjek lantas membawa kita membicarakan manusia itu sendiri. Jika kita perhatikan maka pada zaman Descartes, subjek menjadi subjek yang seutuhnya berpikir. Laku kehidupan praktis dan lain-lainnya seakan-akan tak terlalu terlihat. Pada filsafat barat, subjek manusia seutuhnya berpikir dan berada pada tatanan yang selalu berhubungan dengan orang lain atau manusia lain dan dunia itu sendiri. Hal ini terlihat sangat kental misalnya pada pemikiran Jean Paul Sartre yang kita sarikan pada sub judul subjek fisafat barat. Pada Sartre, orang lain bahkan menjadi sentral dan menentukan subjek manusia itu. Jadi, sesama justru yang menentukan sang subjek manusia itu.

Jika subjek filsafat barat penuh dengan argument-argumen spekulatif, tidak demikian pada filsafat timur. Bahkan dalam tradisi Hinduisme terkhusus dalam Samkhya, pemikiran tentang self (diri manusia) membawa pada sebuah praktek pendisiplinan tubuh yang nyata melalui Yoga. Bukan hanya bermain dalam aras pemikiran abstrak, filsafat timur, dalam hal ini Hinduisme-Budhisme, menurunkan konsep yang abstrak itu dalam praktik nyata, laku Yoga. Sedangkan pada Konfusianisme kita temukan semacam subjek yang penuh etika. Hidup yang baik ini didasari atau digerakkan oleh apa yang disebut jen yang oleh Konfusius sendiri tak mau didefinisikan. Hal ini tentu saja jauh berbeda dengan filsafat barat di mana subjek, self, diri harus mendapatkan sebuah definisi yang beku, kaku, dan dingin. Sedangkan pada Konfusianisme, justru pendefinisian itu malah mengkerdilkan apa yang hendak dimaksudkan.

Daftar Bacaan:

Ali, Matius., “Filsafat Yoga: Ashtanga-yoga Menurut Yoga-Sutras Patanjali”, Jurnal Filsfat dan Teologi Diskursus, Volume 9, No. 2, Oktober 2010, hlm. 161-192.
Koller, John M., Filsafat Asia, diterjemahkan oleh Donatus Sermada. Maumere: Penerbit Ledalero. 2010.
Sudiarja, A., “Perbandingan Ajaran Shankara dan Ramanuja Mengenai Manusia dan Pembebasannya”, Jurnal Filsafat dan Teologi, Diskursus, Volume 10, Nomor 2, Oktober 2011, hlm. 147-165.
Wibowo, Agustinus Setyo, SJ., “Eksistensi yang Kontingen, Satu Sudut Pandang membaca Kisah Hidup Sartre”. Jurnal Filsafat Driyarkara. Tahun. XXVIII no. 4/2006, hlm. 7-40.

[1] A. Sudiarja, “Perbandingan Ajaran Shankara dan Ramanuja Mengenai Manusia dan Pembebasannya”, Jurnal Filsafat dan Teologi, Diskursus, Volume 10, Nomor 2, Oktober 2011., hlm. 149.
[2] Lih. Agustinus Setyo Wibowo, SJ., “Eksistensi yang Kontingen, Satu Sudut Pandang membaca Kisah Hidup Sartre”. Jurnal Filsafat Driyarkara. Tahun. XXVIII no. 4/2006, hlm. 7-40. Bagian tentang Sartre ini sebagian besar disarikan dari tulisan tersebut. Jika ada sumber lain akan dinyatakan pada catatan kaki selanjutnya.
[3] Sebagaimana dikutip dalam Agustinus Setyo Wibowo, SJ., “Eksistensi yang Kontingen…”, hlm. 14.
[4] Agustinus Setyo Wibowo, SJ., “Eksistensi yang Kontingen…,” hlm. 14.
[5] A. Sudiarja, “Perbandingan Ajaran Shankara dan Ramanuja…”, hlm. 151.
[6] A. Sudiarja, “Perbandingan Ajaran Shankara dan Ramanuja…”, hlm. 151.
[7] A. Sudiarja, “Perbandingan Ajaran Shankara dan Ramanuja…”, hlm. 151-152.
[8] John M. Koller, Filsafat Asia, diterjemahkan oleh Donatus Sermada, (Maumere: Penerbit Ledalero), 2010, hlm. 103.
[9] John M. Koller, Filsafat Asia…, hlm. 115.
[10] Matius Ali, “Filsafat Yoga: Ashtanga-yoga Menurut Yoga-Sutras Patanjali”, Jurnal Filsfat dan Teologi Diskursus, Volume 9, No. 2, Oktober 2010, hlm. 163.
[11] Matius Ali, “Filsafat Yoga…”, hlm. 163.
[12] Matius Ali, “Filsafat Yoga…”, hlm. 165.
[13] Selanjutnya penjelasan tentang Jen ini disarikan dari John M. Koller, Filsafat Asia…, hlm. 538-540.


*Catatan: Tulisan ini dibuat dalam rangka Mata Kuliah Filsafat Komparatif/Filsafat Asia di Program Magister Filsafat STF Driyarkara, 10 Januari 2014.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram