“Seniman besar selalu adalah pionir dalamp eradaban umat manusia. Melalui kerja kreatifnya, mereka membuka interkoneksi antara hal-hal yang sebelumnya tak diketahui—interkoneksi yang dapat diangkat ke bentuk yang eksak oleh filsafat dan sains beberapa saat setelahnya.” Gregory Lukacs[1]

 

Gregory Lukacs bisa dikatakan sebagai pemikir Marxsis pertama yang menerapkan marxisme dengan benderang dan secara sistematis di dalam ranah estetika. Meski pun demikian perlu dipahami bahwa Gregory Lukacs sendiri memang pemikirannya merentang dari marxisme, estetika, dan politik. Sebelum Lukacs memang banyak pemikir marxsis yang sudah menyentuh ranah estetika ini. Bukan cuma dari para pemikir saja, banyak juga para praktisi seni yang terinspirasi oleh pemikiran marxisme pun menulis tentang hubungan antara seni dan filsafat marxsis. Namun secara umum bisa dikatakan barulah pada Lukacs, pemikiran sistematis estetika yang menggunakan metode materialisme-historis-dialektis mendapatkan tempatnya. Namun, lebih jauh dari itu, Gregory Lukacs pun dikenal sebagai seorang pemikir yang sangat cemerlang yang pemikirannya mewamai perjalanan sejarah sejak dari era Perang Dunia I hingga era Perang Dingin.[2]

Lukacs dikenal sebagai pemikir yang terlibat aktif dalam perdebatan-perdebatan filsafat pada masanya di wilayah kontinental, terkhusus di Jerman, Hungaria hingga Uni Soviet kala itu. Bukan hanya di ranah filsafat, perdebatan pun terjadi secara cukup ramai di ranah estetika. Salah satu perdebatan yang sampai sekarang dianggap cukup penting di ranah yang barusan disebutkan melibatkan para pemikir tradisi marxsis Jerman yang di dalamnya termasuk juga Lukacs. Selain Lukacs, para pemikir marxsis yang terlibat di dalam perdebatan tersebut adalah Ernst Bloch, Walter Benjamin, Theodor Adorno dan Bertolt Brech. Perdebatan mereka lebih banyak berkutat dalam perkara hubungan antara seni dan politik. Perdebatan ini sebenarnya jika dilihat dalam tradisi pemikiran di Jerman sendiri lumrah karena tradisi pemikiran Jerman sejak Baumgarten menjadi tempat yang paling subur membicarakan perihal estetika sejak 1920-an hingga 1950-an dan para pemikir marxsis di sana pun turut ambil bagian, untuk menghindari disebut sebagai yang utama di dalam perdebatan tersebut.[3]

Pemikiran Lukacs kerap dibagi di dalam dua periode.[4] Namun pembagian ini tidaklah berlaku hitam putih. Ada saling keterhubungan satu sama lainnya. Lukacs sudah membaca dan terlibat dalam beberapa gerakan yang dipengaruhi marxisme sejak belajar di Hungaria pada awal 1900-an. Lantas, pemikirannya yang kerap dilabeli sebagai Periode Pertama mendapatkan tempat ketika ia belajar di Jerman dan ia ikut pada kecenderungan pemikiran kala itu yakni Neo-Kantian. Ia lantas beralih dari kecenderungan Neo-Kantian ke marxisme yang kental, disebut sebagai Periode Kedua, pada tahun 1913-1914. Pada kedua era itu, di samping menulis tentang filsafat dalam pengertian luas dan juga politik, Lukacs pun menulis tentang estetika. Perlu dicatat bahwa Lukacs sangat terlibat aktif di dalam politik praktis, bahkan ia sempat duduk sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di era ketika Hungaria dipimpin oleh seorang politisi marxsis Bela Kun.

Periode awal pasca Perang Dunia II, Lukacs semakin aktif secara politis di Hungaria. Di era ini pula, dan juga beberapa tahun sebelum itu, Lukacs sedikit kurang memperhatikan ranah estetika dan lebih cenderung memikirkan perihal marxisme secara luas serta politik. Lukacs termasuk yang getol melawan dogmatisme Stalinisme yang dipraktekan oleh Partai Komunis Soviet di era 1950-an. Ia bahkan sempat melarikan diri dari Hungaria ketika Uni Soviet menduduki negara itu dan baru kembali ke Hungaria pada 1957.

Pada buku yang disunting oleh Clive Cazeaux, The Continental Aesthetics Reader, teks Lukasc yang disajikan adalah “Spesific Particularity as The Central Category of Aesthetics” yang pertama kali muncul di jurnal The German Jurnal for Philosophy pada 1956. Bisa dikatakan, tulisan itu dibuat Lukacs pada periode ketika ia baru mulai membaca ulang karya-karya tulisnya di bidang estetika yang pada akhirnya mendorong ia untuk lebih berkonsentrasi pada perihal estetika marxisme di era pasca 1957 hingga meninggalnya pada 1971. Memang, kalau melihat di dalam keseluruhan pemikiran dan tulisan-tulisan Lukacs perihal estetika, tulisan ini bukanlah tulisannya yang paling kuat perihal itu. Namun tentu ada alasan kuratorial dari Cazeaux ini. Pada hemat saya, Cazeaux hendak menunjukkan dari tulisan tersebut bagaimana posisi estetika marxsis yang berbeda dengan posisi estetika yang dipaparkan sebelumnya pada buku tersebut. Itulah kenapa Cazeaux setelah rnenempatkan karya Karl Marx yang sebetulnya tidak terlalu menyentuh estetika tetapi kuat menunjukkan perbedaan pemikirannya dengan pemikiran Hegel terlebih dahulu lantas menempatkan tulisan Lukacs itu.

Bertumpu pada hal terakhir di atas, pada tulisan ini saya akan memaparkan sedikit banyak hasil bacaan saya atas “Spesific Particularity as The Central Category of Aesthetics” (selanjutnya akan disingkat dengan “Specific Particularity” saja) yang akan dibagi di dalam beberapa pokok yang menurut saya penting dari tulisan tersebut.

Zentrlabild/Sturm 3.7.1952. Ausserordentliche Tagung des Weltfriedensrates vom 1.- 5.7.52 im Haus der VAB in Berlin. UBz:: Der ungarische Schriftsteller Prof. Georg Lukacz im Gespräch mit Stalinfriedenspreisträgerin Anna Seghers.

Pembedaan Karya Seni dan Ilmu Pengetahuan

Lukacs membuka tulisan “Specific Particularity” ini dengan membahas pemaparan Goethe tentang partikularitas spesifik yang menurutnya merujuk kepada refleksi seorang seniman akan kenyataan obyektif. Seniman akan menggambarkan apa yang direfleksikannya itu sebagai sesuatu yang partikular spesifik. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh sains terhadap fenomena yang sama. Sains cenderung untuk berkonsentrasi pada perihal universal dan individual. Pembedaan cara kerja ini menurut Lukacs sudah berjalan sepanjang sejarah dalam bentuk yang berbeda-beda.

Menurut Cazeaux, yang dimaksudkan dengan partikularitas ini adalah sebuah bentuk tertentu yang bisa diberikan seorang seniman kepada realitas; sebuah bentuk yang mengesampingkan abstraksi yang bersifat umum dari konsep universal dan juga detil-detil pada individu yang tak mampu dikonseptualisasikan.[5] Yang partikular ini dengan demikian berada di antara yang individual dan yang universal, serta merupakan apa saja yang kita dapatkan melalui pengalaman yang menampak pada kita sebagai karakter-karakter khas individu. Sedangkan yang universal dipahami sebagai pengetahuan kita tentang konsep tertentu, justifikasi kita atasnya, dan kita sendiri tahu cara menghadapinya. Hubungan antara yang partikular dengan yang individual ini tampak dengan menggunakan pendekatan dialektika yang dikembangkan Hegel dan lantas Marx.

Terdapat dua pandangan tentang hubungan yang universal dan yang partikular ini di dalam pemikiran Lukacs. Yang pertama, pembedaan secara epistemis antara sains dan seni sebagaiamana yang kita lihat di atas bahwa cara menggambarkan dan mengungkapkan realitas obyektif pada masing-masingnya berbeda. Yang kedua adalah cara pengetahuan ini bekerja dengan cara yang berbeda-beda yakni ilmuwan ‘melewati’ kekhususan, baik dalam abstrak universal dari individualitas atau menggunakan abstrak universal itu untuk fokus pada individu. Sebaliknya, artis ingin mempertahankan dan memberikan ekspresi ketegangan tertentu yang ada antara sensualitas individual dan pengakuan universal.[6]

Yang partikular ini bukan sesuatu yang fiks melainkan spielraum (ruang untuk bermain). Selain itu karya seni juga bisa membuat tensi antara bentuk: individunya (saya pahami sebagai bentuk individual karya itu) dengan genre atau kategori di mana ia termasuk.[7] Pembedaan antara universal dan individual ini bersifat historis yakni bahwa ia merupakan bagian dari produksi dan juga bagaimana ia pun ditentukan oleh kondisi ekonomi sosial di masa itu sendiri. Secara ringkas bisa dikatakan bahwa menurut Lukacs karya seni bisa menampilkan realitas dengan lebih kaya jika dibandingkan dengan ilmu pengetahuan dan filsafat.

Idealisme vs Materialisme dan Seni Realis vs Seni Borjuis

Hal terakhir tadi, yakni kesaradan bahwa spesivikasi bentuk pengungkapan realitas obyektif di dalam karya seni dan juga sains sebagai sebuah perjalanan sejarah yang berhubungan dengan perihal kerja dan perkembangan ekonomi politik memberi pembedaan antara filsafat idealisme dan filsafat materialisme. Idealisme yang subyektif itu mengandaikan adanya model a priori spesifik yang berelasi dengan realitas. Di pihak lain, dialektika materialisme mengafirmasi berbeda dengan itu. Menurut Lukacs:

Konsep dialektis yang tepat untuk materialisme terdiri dari, mengafirmasi substansi dan kesautan formal dari dunia yang direfleksikan di satu sisi, tetapi juga menekankan karakter non-mekanis, non-fotografis dari refleksi tersebut di sisi lainnya, dimensi aktif yang mencirikan keterlibatan konkret subjek dengan dunia yang terefleksi di dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan kondisi sosial dan masalah yang dihasilkan dalam pengembangan kekuatan produktif dan dimodifikasi oleh perubahan hubungan produksi.[8]

Dari kutipan di atas, teranglah bagaimana menurut Lukacs pembedaan antara idealisme dan materialisme. ldealisme di satu sisi menggunakan a priori sedangkan materialisme dialektis pada satu sisi harus menangkap keseluruhan gerak dunia, namun juga tidak menggambarkannya dengan kaku dan mimetik.

Lebih lanjut, pengkategorian antara individualitas [Einzelheit], partikularitas [Besonderheit] dan universalitas [Allgemeinheit] membawa pada diskusi perihal bentuk dan isi dari karya seni. Pada kategori-kategori di atas, sains dan ilmu pengetahuan juga bermain di ranah tersebut. Namun yang membedakan adalah jika sains dan filsafat lebih cenderung bergerak dari satu hal ke hal lainnya,[9] sedangkan refleksi artistik memperlakukan ketiga kategori itu dengan berbeda. Refleksi artistik memanfaatkan term tengah menjadi penting. Partikularitas menjadi tempat di mana refleksi atas yang universal bertemu dengan refleksi atas yang individualitas. Bersamaan dengan itu, refleksi artistik juga memproduksi cerminan dunia yang berkualitas. Pada saat yang bersamaan juga katagori-katagori itu diangkat (aufgehoben) dan mendapatkan bentukannya yang baru dan lebih segar serta merefleksikan kedua sisi tersebut; sisi individualitas dan universalitasnya.

Berdasarkan pemikiran yang bersifat dialektis di atas, Lukacs selanjutnya menunjukkan ketidak-setujuannya kepada para pemikir estetik yang melepaskan seni dari ekonomi sosial politik dunia yang spesifik. Ia menyebut filsuf-filsuf yang demikian sebagai posisi-posisi filsafat reaksioner, para filsuf dengan pemikiran yang mencoba memistifikasi seni pada hal-hal yang irasinoal. Yang mana menurut Lukasc, semua bentuk seni bisa dijelaskan dalam cara rasional dengan menggunakan dialektika yang rasional. Pada titik ini, Lukacs lebih mempertegas lagi seni sebagai sesuatu yang bersifat materialisme-dialektis- historis, “…setiap bentuk seni yang signifikan bertalian secara intensif dengan semua masalah-masalah besar dari zamannya”[10] Lebih lanjut dikatakan Lukacs bahwa karya seni akan semakin menjadi baik dan mampu merefleksikan dunia dengan cara yang sama sekali baru dan indah justru mengandaikan independensi seni itu sendiri dari beban-beban sains maupun filsafat. Seni mendialektikan dengan caranya sendiri keberadaan dunia tanpa ada beban dari sains dan filsafat.

Lukacs mengutip Kant untuk menunjukkan bagaimana seni borjuis mendapatkan rumusannya yang tepat. Kutipan dari Kant ini sesungguhnya memperbincangkan perihal keunikan karya seni serta kegeniusan seniman yang tentu saja banyak diagung-agungkan para pemikir estetika lainnya. Menurut Lukacs, ada tendensi irasional dari pandangan Kant yang menempatkan seni sebagai sebuah karya yang genius dan lebih jauh tak bisa dipahami dengan cara apa pun juga; bisa dikatakan tidak memberi tempat pada analisa atasnya. Lebih lanjut menurut Lukacs, para estetikawan borjuis kontemporer tidak ada yang bisa melampaui pemahaman yang seperti dibahasakan oleh Kant tersebut. Terkecuali Benedeto Croce dan George Simmel.

Lukacs mengakui juga bahwa aplikasi sederhana dari hukum estetika kepada seni mendestruksi essensi estetika. Namun, ia mengajukan sebuah konsep estetika yang berasal dari konsepsi Karl Marx. Lebih jauh menurut Lukacs, konsepsi ini merupakan sebuah konsep yang bertolak belakang dengan konsep borjuis yang irasional di atas tadi. Konsepsi ini dianggapnya bisa ‘mendamaikan’ perihal abstraksi estetika dan ‘keunikan’ individual. Materialisme historis hanya menerapkan menyediakan sebuah metode estetika untuk perspektif teoritis-estetika pada umumnya. Di sinilah letak problem berikutnya di mana harus ditemukan sesuatu untuk mendamaikan perihal abstraksi estetika yang umum dengan ‘keunikan’ individual sebuah karya. Pada titik inilah pentingnya partikularitas spesifik mengemuka.

Sumber: https://minnevangelist.com/museum-of-russian-art-minneapolis-minnesota/

Pentingnya Partikularitas Spesifik

Partikularitas ini seperti yang sudah digambarkan sebelumnya merupakan wilayah tengah antara universalitas dan individualitas yang mana pada ekspresi artistik merupakan sebuah fokus point. Dengan kata lain, bukan sekedar wilayah yang memediasi tetapi juga menjadi wilayah yang benar-benar penting. Perlu diingat bahwa yang disebut dengan fokal point ini bukanlah dipahami sebagai sesuatu yang kaku melainkan fokus tengah dengan interaksinya yang dinamis. Fokus point ini menjadi pilihan titik tengah yang menentukan karakter artistik setiap karya seni juga dilihat sebagai gerakan di sekitar fokus point tersebut; gerakan pada wilayah partikularitas.

Pendekatan intelektual atas seni menurut Lukacs lebih kepada organisasi artistik dari ‘dunia’ karya itu yang dinamis sebagai sebuah sistem gerak yang ada ketegangan dan kontrasnya. Cara bagaimana hubungan timbal balik antara elemen-elemennya dikondisikan oleh faktor sosial-historis, genre, dan juga pilihan artistik senimannya. Lebih jauh, ditekankan juga oleh Lukacs bahwa karya seni itu sendiri adalah sebuah refleksi atas realitas obyektif dan dengan demikian ia tidak pernah independen dari realitas obyektif itu. Karya seni selalu dan senantiasa dikondisikan oleh realitas obyektif.

Penutup

Demikianlah, pertama-tama bagi saya yang terpenting dari Lukacs adalah bahwa karya seni tidak pernah independen dari realitas obyektif. Ia selalu merupakan cerminan realitas obyektif itu dengan caranya sendiri. Namun ia berbeda dengan ilmu pengetahuan dan juga filsafat yang adalah juga cerminan dari realitas obyektif, refleksi seni bermain dalam dialektika dan dengan demikian ia mengafirmasi yang individual dan universal sekaligus. Ia mengambil posisi tengah di antara keduanya itu yang disebut oleh Lukacs sebagai posisi partikular spesifik. Pada partikular yang spesifik inilah universalitas dan individualitas didialektikakan oleh karya seni untuk memberi sebuah refleksi yang baru atas realitas obyektif dalam caranya sendiri.

[1] Sebagaimana dikutip oleh Maynard Solomon, Marxism and Art: Essays Classic and Contemporary, (Sussec: The Harvester Press Limited), 1979, hlm. 389.
[2] Pengakuan akan hal ini, sebagai contoh, diberikan misalnya oleh Tom Rockmore, “As this century nears an end, it has become increasingly clear that Georg Lukacs is one of the most talented intellectuals of our time, not only in the Marxist tradition, but in general. Lukacs’ name is well-known, and his views are increasingly attracting attention; but it cannot be said that his thought has so far been widely studied, or that it has been studied to the degree its place in the Marxist tradition warrants or its intrinsic interest demands.” Tom Rockmore (ed.),Lukacs Today: Essays in Marxist Philosophy, (Dordrecht: D Reidel Publishing Company), 1988, hlm. 1.
[3] Untuk lebih detil perihal perdebatan ini dan teks-teks perdebatan tersebut, bisa dilihat pada Ronald Taylor (ed.), Aesthetics and Politics, (London: Verso), 1980. Di dalam buku yang disebutkan, Lukacs lebih banyak berdebat dengan Bloch perihal ekspresionisme, sebuah—katakanlah genre dan juga gerakan seni—yang kuat di dalam seni lukis namun juga di sastra serta musik. Ekspresionisme ini muncul di Prancis dan lantas merebak hampir ke seluruh Eropa, termasuk Jerman dan Hungaria. Di dalam perdebatan dimaksud, Lukacs menyerang ekspresionisme yang menurutnya merupakan refleksi dari kecenderungan pemisahan antara politik, ideologi dan ekonomi. Lebih lanjut, ekspresionisme melakukan perlawanan terhadap kecenderungan borjuis, namun dalam pandangan Lukacs, ekspresionisme tak mampu menempatkan borjuis dalam kelas yang spesifik. Lih. Ronald Taylor, Aesthetics and Politics…, hlm. 10-11.
[4] Pemaparan perihal periodesasi pemikiran Lukacs dan sedikit biografi intelektual serta aktivitas politik Lukacs ini disarikan dari Ibe Karyanto, Realisme Sosialis Georg Lukacs, (Jakarta: Gramedia dan Jaringan Kerja Budaya), 1997, hlm. 17-34.
[5]“Lukacs adopts the term ‘particularity’ (Besonderheit) to denote the form an artist is able to give to reality, a form which avoids both the abstract generality of the universal concept and the uncontextualizable detail of the individual thing”. Gregory Lukacs, “Spesific Particularity as The Central Category of Aesthetics”, dlm. Clive Cazeaux (ed.), The Continental Aesthetics Reader, (London: Routledge), 2000, hlm. 200.
[6]Knowledge consists of judgements made up of universals, that is, judgement which indicate that we have met this kind of object before, know how to categorize it, and have some idea of how to deal with it’. Gregory Lukacs, “Spesific Particularity as The Central Category of Aesthetics”…, hlm. 201.
[7] Bayangkanlah sebuah judul novel yang spesifik dengan genre novel itu send.iri. Sebuah lukisan yang spesifik, dengan genre lukisan itu sendiri.
[8] Gregory Lukacs, “Spesific Particularity as The Central Category of Aesthetics”…, hlm. 221.
[9] Saya mencoba memahami hal ini dengan perihal deduksi dan induksi. Di mana dua metode ini digunakan di dalam sains sehingga kerapnya lebih pada gerak dari satu katagori langsung ke katagori lainnya; yakni dari universalitas ke individualitas dan sebaliknya.
[10]Every significant form of art engages intensively with all the major problems of its age…”, Gregory Lukacs, “Spesific Particularity as The Central Category of Aesthetics”…, hlm. 222.


*Catatan: Tulisan ini dibuat dalam rangka mata kuliah Seminar Teks Estetika pada Program Pascasarjana STF Driyarkara, 2015.

 

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram