Cover “Dead Poets Society” Terjemahan Indonesia yang Diterbitkan Oleh Penerbit Jalasutra | Sumber Gambar: bukalapak.com

 

Semua manusia pasti berkeinginan agar hidupnya menjadi bermakna. Tentu saja kebermaknaan hidup ini akan berbeda-beda pada setiap individunya. Di sini dibutuhkanlah kesepahaman bahwa, manusia memang diciptakan berbeda-beda. Sehingga dengan saling memahami, konflik dan perpecahan bisa diminimalisir.

Masalah keseragaman manusialah yang dikritik habis Dead Poets Society. Cerita yang diadaptasi dari film karya Tom Schulman ini mengambil setting sebuah sekolah berasrama khusus pria, Akademi Welton, yang tersembunyi di kaki pegunungan Vermont, Amerika. Sekolah ini digambarkan sebagai sekolah konvensional yang sangat berpegang teguh pada peraturan-peraturan lama yang kaku. Para muridnya hidup dalam tuntutan keluarga yang sudah merencanakan jalan hidup anaknya masing-masing. Neil Perry misalnya, telah digariskan ayahnya untuk menjadi seorang dokter. Singkat kata Neil, dan kawan-kawannya Todd, Knox, Charlie, Cameron, Meeks dan Pitts hidup dalam keadaan yang serupa.

Salah Satu Gambar dari Film “Dead Poets Society” (1989) Karya Peter Weir | Sumber Gambar: salamyogyakarta.com

Hidup yang berbeda mulai tersuguhkan di hadapan mereka ketika datang guru Bahasa Inggris yang baru, John Keating. Guru nyentrik ini menanamkan pada mereka pentingnya perbedaan dan kebebasan. Hidup Neil dan kawan-kawan semakin berubah ketika salah satu dari mereka menemukan buku tua di perpustakaan sekolah. Buku tulisan tangan itulah yang membawa mereka pada sebuah gua terselubung di dekat sekolah mereka dan menginspirasikan mereka untuk menghidupkan kembali Dead Poets Society.

Dari semangat pembebasan diri yang ditimbulkan oleh kelompok Dead Poets Society ini, cerita membawa kita pada ketragisan hidup Neil Perry. Neil yang sangat ingin menjadi seorang aktris teater berbenturan dengan ayahnya, prototipe orang tua konfensional yang suka memaksakan kehendak, yang menginginkan anaknya menjadi seorang dokter. Neil tetap mengikuti kata hatinya dan dengan berbagai cara berhasil menjadi pemeran penting dalam sebuah pertunjukan drama. Namun sang ayah mengetahui hal itu. Setelah selesainya pertunjukan yang menawan, di tengah gegap gempita pujian atas aktingnya yang sempurna, Neil diseret ayahnya. Di sana ayahnya membuat keputusan yang tak diduga-duga Neil. Ia akan dipindahkan ke sekolah militer. Itu berarti Neil akan berpisah dengan teaternya, Dead Poets Society-nya dan guru bahasa Inggris yang sangat dipujanya.

Pada tengah malam, ketika teman-temannya dan Pak Keating tengah bersuka ria puisi, Neil merenungkan ketakbermaknaan hidupnya akibat keinginannya dipaksa tunduk dengan keinginan ayahnya. Di tengah keputusasaan, Neil mengambil pistol ayahnya dan mempercepat kedatangan kemerdekaan abadinya.

Dengan sedikit melupakan terjemahan yang kurang konsisten dan cerita yang sangat berbau lokal Amerika, buku ini sangat layak dijamah oleh mereka yang mencintai kebebasan, para pencinta puisi, dan tentu saja semua saja yang mencintai hidup penuh makna, semua yang merayakan perbedaan. Selamat mencari dan menjelajahi gua gelap kebebasan dalam Dead Poets Society.

Salah Satu Adegan di Dalam Film “Dead Poets Society” | Sumber: moviemania.io

Judul: Dead Poets Society
Pengarang: N. H. Kleinbaum
Penerjemah: Septina Ferniati
Penerbit: Jalasutra, 2004
Tebal: 226 hal.


Catatan: Review buku ini pertama kali di publikasikan di Buletin Achtung Edisi #2. Dipublikasikan lagi di blog kecoamerah pada Februari 2008.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram