Menerbitkan karya ilmiah dalam bentuk buku sebagai usaha memperkenalkan hasil kerja akademis pada masyarakat awam di negeri adalah usaha mendekatkan dunia akademis dengan masyarakat luas, sebuah upaya mengkonkretkan tujuan kerja akademis; membangun dan menyumbang pada kehidupan yang lebih baik. Kita tahu, di negeri ini dunia akademis terkesan berada di menara gading bila dipandang dari sisi masyarakat umum. Meski pun dunia akademis punya segudang pemahaman dan solusi seputar masyarakat umum, tetap saja ia terasa asing oleh masyarakat umum.

Buku Banalitas Kekerasan: Telaah Pemikiran Hannah Arendt tentang Kekerasan Negara (selanjutnya disingkat BK) yang diangkat dari tesis Rieke Diah Pitaloka pada Program Pascasarjana Filsafat UI dengan demikian patut diapresiasi. Sekilas membaca, buku ini lolos dari jebakan kekakuan dunia akademis yang tak mudah diterima pembaca umum. Ia pun menjadi relevan dibaca masyarakat umum karena ia mengangkat problem yang aktual di tengah masyarakat; kekeraksan. Jebakan kedua yang mampu dilalui buku ini adalah ia mampu membumikan teori filsafat barat di dunia Indonesia lantaran ia menelaah pula sebuah moment sejarah kekerasan yang pernah terjadi di negeri ini. Oleh karena itu, usaha untuk sedikit mengintip secara garis besar isi buku ini patut kita lakukan.

Relevansi Pemikiran Arendt

Dalam BK, Rieke mencoba membaca problem kekerasan Orde Baru dengan menelaah gagasan Hannah Arendt perihal hubungan antara kekuasaan dan kekerasan negara serta turut andilnya masyarakat dalam peristiwa kekerasan. Kedangkalan berpikir dan ketidakmampuan untuk kritis adalah penyebab masyarakat melakukan kekerasan karena sebelumnya masyarakat telah terkondisikan untuk melumrahkan kejahatan. Inilah konsep banality of evil (banalitas kejahatan)nya Arendt (hl. x).

Arendt sendiri bisa dikatakan sebagai ‘korban’ kekerasan negara yakni rezim Nazi Jerman. Ia adalah filsuf asal Jerman yang berhasil pergi ke Amerika setelah lolos dari kamp tawanan Nazi di Prancis Selatan (Ettinger, 1995). Tidak heran, dalam The Origins of The Totalitarianism (terbit pertama kali tahun 1951) Arendt mendasari pemikirannya pada pengalaman Nazi Jerman dan juga Stalinisme di Russia.

Berdasarkan karya ini dan juga Eichmann in Jerusalem: Report in Banality of Evil, Rieke menemukan alasan relevansi pemikiran Arendt untuk Indonesia. Kerelevansiannya terlihat pada pertama Arendt menunjukan prakondisi yang memungkinkan munculnya totalitarianisme. Dari sana, jelaslah bahwa rezim Orde Baru sangat bermekanisme totaliter misalnya satu orang sebagai pemimpin tertinggi, sistem satu partai dan juga mempunyai polisi rahasia, dan pembersihan berulang-ulang dengan alasan ‘musuh bersama’. Yang kedua adalah kejahatan yang dilakukan negara lama kelamaan menjadi biasa bagi masyarakat. Propaganda dan terror dari rezim totaliter mengikis kesadaran dan kemampuan berpikir kritis masyarakat sehingga kebaikan dan kejahatan menjadi rancu. Dengan demikian, sangat dimungkinkanlah masyarakat terlibat dalam kekerasan.

Rieke Diah Pitaloka | Sumber: https://voi.id/berita/8494/rieke-diah-pitaloka-dicopot-dari-wakil-ketua-baleg-pdip-tugaskan-m-nurdin-kawal-ruu-omnibus-law-ciptaker

Keseharian kita di Indonesia dewasa ini memang tidak lepas dari kekerasan. Entah itu kekerasan yang dilakukan individu masyarakat terhadap individu masyarakat yang lain, apparatus negara terhadap masyarakat, atau juga kekerasan-kekerasan yang dilakukan organisasi masyarakat tertentu. Hal yang ketiga ini, jika mau ditilik lebih jauh, malah justru yang lebih memiriskan. Bukan rahasia bila ormas yang terkenal dengan ciri kekerasan itu adalah ormas yang berlandaskan pada agama.

Kekerasan Berlandaskan Agama

Sungguh ironis. Agama yang seyogyanya membawa kedamaian, justru membawa malapetaka. Bukan saja malapetaka untuk sesama di luar agamanya, terkadang juga sesama di dalam satu kepercayaannya. Dua kontradiksi ini mampu dipahami dari sudut pandang pemikiran Arendt dalam buku BK ini.

Problemnya bukan terletak pada agama itu sendiri melainkan pada masyarakat yang terkondisikan untuk melakukan kekerasan. Dengan kata lain, banality of evil terjadi dalam masyarakat kita. Individu yang melakukan kekerasan dalam ormas berlandaskan agama secara tak sadar sesungguhnya bukan karena agama itu an sich melainkan kondisi kesepian (loneliness). Kondisi kesepian ini mengakibatkan sang individu kehilangan jati dirinya. Arendt membedakan kesepian (loneliness) dengan kesunyian (solitude). Jika dalam kesunyian manusia bisa berdialog dengan dirinya sendiri, dalam kesepian tidak (hal. 60-61).

Manusia yang kesepian ini akan kehilangan kepercayaan diri, dengan demikian kehilangan kepercayaan terhadap nuraninya. Akibatnya, kemampuan berpikir kritis menghilang, kejahatan dan kebaikan bertumpang tindih tanpa distingsi yang jelas. Dalam kondisi demikian, ‘manusia kesepian’ akan sangat mudah termakan propaganda dan percaya pada ideologi yang sifatnya mendikte kepala yang tak kritis. Demikianlah, bisa kita simpulkan bahwa individu yang melakukan kekerasan atas nama agama pertama-tama bukan terdorong oleh agama yang diyakininya dalam keadaan terjaga, melainkan ideologi agama yang merasuki dirinya yang kesepian, lantas diterima oleh kepalanya yang kehilangan ruang berdialog dan berpikir kritis.

***

Selain beberapa intisari buku BK yang sudah diutarakan di atas, tentu masih banyak lagi butir pemikiran Arendt yang oleh Rieke dianggap penting untuk kondisi Indonesia. Sebut saja soal tindakan politis dan kebebasan serta pluralitas dalam ruang publik. Selain itu kritik Habermans tentang absennya kekerasan struktural dalam pemikiran Habermans pun adalah butir berharga dari buku ini.

Ada satu lagi fenomena kekerasan yang luput dibahas buku ini. Jika kekerasan oleh negara dalam buku ini beranjak dari pengalaman totaliter Nasi dan Stalinis, bagaimana dengan soal kekerasan dari negara terhadap negara lain? Infasi USA terhadap Afghanistan misalnya. Selain itu, terkesan bahwa masyarakat yang terkondisikan oleh rezim otoriter sangat berpotensi untuk larut dalam kekerasan. Namun kenyataannya bahwa di negara paling liberal demokratis sekalipun, USA, bukanlah tanpa kekerasan. Selain kekerasan terhadap negara lain yang dilakukan negara itu, kita juga melihat kekerasan antar warga pun terjadi di sana. Memang untuk hal ini, perihal kesepian individu modern dalam buku ini sudah sedikit menjawab, namun kita tidak menemukan penjelasan bagaimana kebebasan yang terwadahi sistem demokrasi masih mampu khilaf sehingga kejahatan masih juga ada.

Terlepas dari itu, buku ini sudah mampu menjelaskan—mesikpun tidak bisa dilihat sebagai satu-satunya—akar masalah dari kekerasan di tengah masyarakat Indonesia dewasa ini. Untuk itu, saya sepakat dengan apa yang dikatakan Rieke bahwa buku ini bermanfaat agar kita mewaspadai tendensi totaliter dan juga tendensi banalitas kekerasan dalam kehidupan kita. Sebuah ideologi yang dianggap baik untuk kehidupan bersama memang harusnya bukan melalui jalan propaganda pada otak-otak tak berisi melainkan harus melalui jalan kesepakatan di antara otak-otak yang terjaga dan penuh daya kritis.

Sampul Buku “Banalitas Kekerasan” | Sumber: https://1.bp.blogspot.com/-TF3FEo-XoN8/TbpVTHC4wkI/AAAAAAAAAHs/S1IjvWeYnxE/s1600/banalitas%2Bkekerasan.jpg

Judul: Banalitas Kekerasan: Telaah Pemikiran Hannah Arendt tentang Kekerasan Negara
Penulis: Rieke Diah Pitaloka
Penerbit: Penerbit Koekoesan
Cetakan I: Desember 2010
Tebal: xvi + 133


*Catatan: Tulisan ini pertama kali terbit di Majalah Majemuk edisi 46, Januari-Februari 2011.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram