Haruki Murakami bisa dikatakan sebagai penulis Jepang kontemporer yang populer di dunia dan Indonesia saat ini. Setidaknya, sudah tiga novelnya diterjemahkan ke Indonesia; Norwegian Wood (2006), Dengarkan Nyanyian Angin (2008), dan yang terakir Dunia Kafka (judul bahasa Inggris, Kafka On The Shore)Dua yang lebih dahulu punya kesamaan seperti berprotagonis mahasiswa Jepang era 1970-an, cerita terpusat pada tokoh tunggal, dan berciri cerita realis.  Dalam Dunia Kafka Murakami menggunakan dua cerita yang terkesan terpisah namun saling mendukung. Ia menggunakan dua protagonis—seorang anak lima belas tahun (Kafka Tamura) dan seorang kakek yang terbelakang mentalnya dan punya kemampuan berbicara dengan kucing (Satoru Nakata). Selain itu Dunia Kafka berlatar Jepang tahun 2000-an serta bermain-main dengan dunia fantasi dan metafisis.

Dunia Kafka bercerita tentang pelarian diri Kafka (secara metaforis mau pun secara nyata) dari rumahnya dan juga tentang perjalanan Nakata mencari batu pintu. Di ujung cerita atau di ujung perjalanan kedua protagonisnya, kedua kisah itu bertemu.

Novel Haruki Murakami Versi Terjemahan Indonesia, “Dunia Kafka”

Surealisme Setengah Hati

Mimpi menempati posisi penting dalam Dunia Kafka. Digambarkan bahwa setiap tokoh punya mimpi mereka. Ada yang lantas jadi lebih nyata dari realitas (Kafka dan Nona Saeki). Ada yang baru mulai tersadar tentang dirinya dan mimpinya (Hoshino). Ada pula yang sedang berusaha bangun dari mimpi (Satoru Nakata).

Mimpi dalam novel ini menunjukan kedekatannya dengan gerakan/genre seni surrealisme. Mimpi sebagai sebuah unsur penting dalam surrealisme berhutang sangat pada pemikiran Freud yang muncul dan menggemparkan dunia pada awal abad ke-20. Mimpi adalah salah satu cara di mana id  melepaskan dirinya dari belenggu ego dan super ego. Melalui mimpi-mimpinya—membunuh ayahnya, memperkosa Sakura, bercinta dengan Nona Saeki—Kafka melepaskan hasrat-hasrat purbanya. Keterpautan dengan pemikiran Freud diberikan clue-nya dalam cerita melalui kutukan ayah Kafka serta kisah Oedipus yang kerap muncul (hal. 313-314).

Mimpi sebagai unsur penting penciptaan karya sastra dikembangkan Andre Bretong dkk setelah bersua dengan pemikiran Freud. Itulah yang disebut dengan ‘menulis otomatis’; menulis tanpa tendensi ide tertentu sebelumnya sehingga karya dibiarkan mengalir begitu saja langsung saat itu dan di situ. Mengalirnya ide secara bebas tanpa tekanan inilah yang tak didapatkan dalam Dunia Kafka.

Cerita dalam Dunia Kafka begitu mengalir dan terstrukturnya. Karena itu maka ia kehilangan kesurrealannya. Di titik inilah, Dunia Kafka bukanlah sebuah karya surrealis melainkan surrealis setengah hati; surrealisme yang tidak anarkis melainkan surrealisme yang patuh pada rambu-rambu penulisan sastra pada umumnya. Atau, karya yang coba menertibkan yang surreal. Namun, hal ini tidak mengurangi indahnya imajinasi dalam Dunia Kafka. Telusurilah halaman-halamannya maka ciri khas surrealisme mau pun realisme magis akan menghampiri anda yang dapat membuat anda lupa mengedipkan mata.

Antara Timur dan Barat

Di tengah berseliwerannya Freud, Beethoven, Machbet, François Truffaut, dalam Dunia Kafka tercecer juga puisi-puisi lama dan mitos Jepang. Salah satu yang paling mencolok adalah ide tentang ‘proyeksi jiwa’. Dugaan tentang ‘proyeksi jiwa’ yang tertanam kuat dalam Kisah Genji misalnya diungkapkan oleh Profesor Shigenori Tsukayama (hal. 83). ‘Proyeksi Jiwa’ ini menjadi benang merah untuk banyak hal aneh dan terpisah-pisah dalam cerita ini.

Dunia timur dan modernitas barat lantas menggeliat berkelindan bersama dalam Dunia Kafka. Meskipun demikian, melalui kaca mata postkolonial, keduanya punya dunia masing-masing yang diwakili oleh dunia Kafka yang mandiri, suka membaca, mendengarkan musik-musik barat (representasi Modernitas) dan dunia Nakata yang terbelakang, tak bisa membaca, mampu berbicara dengan kucing (representasi Dunia Timur). Dua representasi ini semakin menarik ketika dua jalan cerita yang independen pada akir novel menyatu dan saling melengkapi.

Haruki Murakami | Sumber: https://www.theguardian.com/books/2018/oct/11/haruki-murakami-interview-killing-commendatore

Tempat metafisis Limbo, tempat antara kematian dan kehidupan, adalah juga sebuah unsur kepercayaan timur yang menarik ketika dipadukan dengan teori-teori barat tentang hasrat, kenangan. Keterjebakan dan penyerahan diri tokoh-tokoh cerita dengan latar pemikiran masing-masing untuk berada dalam Limbo membaptis tempat itu sebagai pembeku  kenangan, tanggung jawab, dan juga persinggahan sementara. Karena di Limbo, “…waktu tidak merupakan unsur…” (hal. 556).

Hebatnya lagi dari Murakami adalah dia menyisipkan tokoh yang minor namun sesungguhnya memiliki posisi penting dan bisa menjadi sesuatu yang bermakna luas dalam penafsiran. Tokoh Hoshino baru muncul di tengah-tengah kisah. Namun tanpanya, Niscaya akir yang segar tak terjadi dalam kisah. Hoshino seakan mendapat tugas mengakhiri cerita. Ia tipikal warga Jepang dari kalangan menengah yang bekerja sebagai supir truk pengangkut. Dia tak tahu menahu soal musik klasik dan juga tak suka membaca. Hidupnya hanya diisi dengan bekerja, menabung, bercinta, tanpa keluhan. Hoshino merepresentasikan pekerja keras yang menerima keadaan dirinya namun juga punya kesempatan untuk merefleksikan keadaan hidupnya, melihat masa lalunya, untuk kembali bekerja dan hidup dalam dunia seperti biasa.

***

Dunia Kafka dengan demikian bisa dipandang sebagai metafora tentang Jepang yang Timur dalam perubahannya menuju Jepang yang modern. Ia juga bisa diseruput sebagai kemisteriusan mimpi sebagai cerobong unconsciousness. Via mimpi dan hasrat, Murakami menggambarkan ketegangan Timur yang menghilang, tinggal kenangan dan Modernitas lantas berjalan terus dalam keseharian kehidupan.

Tetapi Murakami menyelipkan kalimat postif dan memihak kehidupan. Kafka (atau anda, atau saya) diantarnya kembali pada dunianya, dunia yang real, bukan dunia metafisis, mimpi, hasrat atau pun terjebak pada kenangan. Hidup tidak bisa berhenti di belakang, terjebak dalam kenangan masa lalu. Hidup adalah menghadapi realitas dengan keberanian dan mengambil resiko apa pun yang ditawarkan realitas. Itulah mengapa, “…akirnya kau (Kafka) tertidur. Dan ketika kau (Kafka) bangun, ternyata benar. Kau (Kafka) menjadi bagian dari sebuah dunia yang baru”. Lantaran selalu ada yang baru dalam hidup yang real, Dunia Kafka pun selalu menyuguhkan kembali hal-hal terlewati setelah selesai membacanya atau setelah selesai menulis sedikit catatan tentangnya.


Judul: Dunia Kafka (novel)
Penulis: Haruki Murakami
Penerjemah: Dewi Wulansari
Terbit: Juni 2011 (Jakarta, Alvabet)
Tebal: 608 hlm.


*Catatan: Tulisan ini pernah saya publikasikan di blog lama saya, kecoamerah, pada 14 September 2011.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram