Sebagai salah satu varian posmodernisme, sastra Indonesia beberapa tahun terakhir menggali kembali karya-karya yang lama tak dilirik. Terbitnya Sastra Melayu Tionghoa oleh KPG dalam beberapa jilid semakin memakhtubkan pengakuan terhadap jenis-jenis tulisan seperti ini. Adalah cerita lama bahwa karya-karya ini sungguh sangat lama tak dilirik oleh sejarah sastra Indonesia.

Buku Konglomerat dan Cinta adalah kumpulan dua roman, yakni Lou Fen Koi karya Gouw Peng Liang dan Soepardi dan Soendari karya Tan Hong Boen. Kedua roman yang terbit pada 1903 dan 1925 ini, termasuk karya sastra yang sempat terpinggirkan itu. Ketersingkiran karya-karya sastra semacam ini sebenarnya bila ditarik akarnya dimulai dari diberlakukannya kebijakan politik bahasa dan penerbitan oleh pemerintah Hindia Belanda kala itu.

***

Pada medio abad 18 lalu, dunia kapitalisme dan perkembangan teknologi percetakan merambah Hindia Belanda. Pada awalnya, hanya orang Belanda yang berkecimpung dalam dunia usaha baru ini, lalu diikuti orang Tionghoa, kemudian barulah pengusaha percetakan pribumi. Lalu pada 1917, tatkala Balai Poestaka menjadi penerbitan resmi milik pemerintah kolonial, bertambahlah akselerasi produksi buku-buku yang menggunakan Bahasa Melayu Tinggi. Selain dari yang diterbitkan Balai Pustaka dianggap bacaan liar dan rendahan biasanya menggunakan bahasa Melayu Pasar. Maka, masuklah pula kita pada politik bahasa, di mana pertarungan diam-diam bahasa Melayu Rendah dan Melayu Tinggi. Bahasa Melayu Tinggi pada akhirnya mengalahkan Melayu Rendah; bermetamorfosis menjadi Bahasa Indonesia (Baca: Hilmar Farid dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim (ed), 1996; dan pengantar Daniel Dhakidae pada buku Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang, (versi Indonesia) Benedict Anderson, 2001).

Pada Suatu Masa, Jauh Jauh Jauh Dari Hari Ini, Nama ‘Corona’ Pernah Menjadi Semacam Penolong Untuk Kerja Penulis Dalam Rupa Mesin Ketik | Sumber: maaf, saya lupa mengambil foto ini di mana

Celakanya, warisan kolonial Belanda dan “ketaksengajaan” para founding father ini dituruti oleh para pengamat sastra dan bahasa Indonesia. Saya kira, keterasingan itu semakin asing lantaran kemelut sosial politik Indonesia pasca kemerdekaan yang membatasi ruang napas WNI peranakan. Dalam buku ini kita bisa menemukan nama-nama tokoh semisal Lo Nam Koei atau Poei Laij Nio bersanding dengan nama tokoh semisal Demang Tabrie dan Haji Sa’ari. Fenomena penggunaan nama tokoh dalam karya sastra yang demikian sungguh jarang kita lihat pada karya-karya sastra Indonesia jaman Orba. Proses dominasi dan penghilangan etnis tertentu dalam karya sastra Indonesia turut menghilangkan ciri-ciri unik dari sastra Tionghoa Peranakan yang subur berkembang di masa sebelum kemerdekaan.

Dikotomi warisan kolonial yang membedakan sastra Tinggi (Balai Poestaka) dan bacaan rendahan (penerbitan liar), dengan alasan-alasan estetis politisnya, ditunjang pandangan umum akan bacaan populer yang cukup negatif. F.R. Leavis dan Denys Thompson misalnya menyalahkan fiksi populer karena menawarkan bentuk adiktif berupa ‘kompensasi’ dan ‘distraksi’ (dalam Storey, 2007). Padahal, jika produk Balai Poestaka selalu melewati sensor, bacaan liar kerap tidak tersentuh sensor ini. Tentu bacaan populer saat itu berbeda dengan bacaan populer masa sekarang yang lebih tunduk pada “sensor” kapitalis, ketimbang sensor pemerintah. Maka, dengan membaca bacaan populer Tionghoa Peranakan, kemungkinan untuk mendapatkan gambaran keadaan dan lingkungan saat itu secara lebih jernih dan apa adanya bisa diandaikan terjadi; sebuah pembacaan yang memungkinkan pengungkapan apa yang tak terkatakan.

Di Balik Cinta Kaum Ambtenaar dan Feodal Pedesaan

Kedua roman yang dirampaikan dalam Konglomerat dan Cinta bertema besar Cinta. Sebagaimana bacaan populer, alurnya sederhana, tokohnya bulat, dan pesan yang disampaikannya pun terlihat begitu gamblang. Persinggungan dengan kaum penjajah pun secara gamblang tak terlihat dalam keduanya. Problem-problem yang dihadirkannya pun bukanlah problem-problem besar yang mengernyitkan dahi, semisal perbenturan budaya dalam Salah Asuhan. Latarnya pun sederhana dan dominan pada suatu tempat saja, tidak sejelimet Siti Noerbaya. Hal ini menggambarkan sungguh sungguh posisi keduanya sebagai bacaan rakyat. Hal ini diperkokoh lagi dengan tidak adanya persinggungan dengan kaum penjajah, problem orang terjajah, karena bagaimana pun juga kerap problem seperti itu adalah milik kelas menengah ke atas di Hindia Belanda.

Sebagai bacaan rakyat, bacaan populer, Lou Fen Koi serta Soepardi dan Soendari menghadirkan permasalahan yang benar-benar milik kaum bawah, masyarakat biasa. Lou Fen Koi yang lebih menceritakan kehidupan para warga Tionghoa menggambarkan bagaimana di antara sesama warga Tionghoa pun terjadi saling menindas. Yang lebih berkuasa dan kaya menindas yang lebih lemah dan miskin. Lou Fen Koi yang kaya dan berkuasa mendatangkan kesusahan pada keluarga Tan Hin Seng yang seorang penjual sayur miskin di pasar. Hal itu terjadi lantaran cinta birahi Lou Fen Koi pada anak gadis perawan Tan Hin Seng, nona San Nio, yang ditolak mentah-mentah oleh si tukang sayur itu.

Dari cerita Lou Fen Koi terlihat bagaimana pada masa itu anak gadis tidak punya pilihan atas hidupnya. Stereotip pada warga Tionghoa (kaya, kikir, dsb) yang kerap memicu konflik etnis diruntuhkan pula oleh roman ini. Warga Tionghoa yang diceritakan Gouw Peng Liang sungguh beragam. Di roman ini pun kentara sekali praktik suap dan korupsi serta penyalah-gunaan kekuasaan yang sewenang-wenang. Namun demikian, roman ini pun menghadirkan sosok panutan dalam diri Souw Gi Tong, orang muda yang kaya, berpendidikan, halus budi bahasanya dan baik hati. Melalui tokoh inilah, keadilan dan kebenaran dapat ditegakkan, meskipun Souw Gi Tong sendiri harus mendapatkan kesusahan karenanya.

Roman ini tetap masih mengandaikan adanya kekuasaan di tangan orang baik dan yang menggunakan segala kekuasaan dan pengaruhnya untuk mewujudkan keadilan. Tak ada sebuah sistem yang dipercayai mampu mengharmoniskan kehidupan. Yang ada adalah pertarungan antara kekuasaan yang satu dengan kekuasaan yang lainnya. Minimal, roman ini masih memberikan pengharapan pada masyarakat pembacanya bahwa ada kebaikan di tengah sistem yang buruk. Bahwa sistem yang buruk itu adalah reranting kecil dari jejaring sistem pemerintahan Kolonial Belanda, tentu tak sukar dibayangkan. Sebuah warisan yang ada hingga saat ini.

Soepardi dan Soendari adalah karya Tan Hong Boen, seorang penulis yang juga memakai nama samaran Im Yang Tjoe. Tan Hong Boen adalah wartawan yang sering mengkritik Belanda dan sering mendekam di penjara karenyanya. Ia juga menulis biografi Bung Karno, terinspirasi ketika keduanya dipenjarakan di penjara yang sama. Selain itu, ia juga menulis sejumlah roman dan novel yang menarik Di samping biografi Bung Karno itu Tan Hong Boen menulis sejumlah novel yang menarik. Ia dikenal luas lantaran bukunya berjudul Orang-orang Tionghoa Terkemuka di Pulau Jawa (Monna Lohanda, 2004). Soepardi dan Soendari adalah roman pertamanya yang dimuat di majalah Penghidoepan (1925-1942).

Cover Depan, “Soepardi _ Soendari”, Penghidoepan, No. 10, 15 Oktober 1925

Roman ini mengambil latar peristiwa gempa bumi 12 November 1924 di desa Bandingan Jawa tengah sebagai latarnya. Seperti Lou Fen Koi, latar, konflik dan penokohannya pun bisa dibilang sederhana. Soepardi yang seorang pemuda miskin jatuh cinta pada Soendari, anak orang terkaya di desa Bandingan. Tentu cinta ini mendapat banyak rintangan, namun pada akhirnya, mereka bersatu juga. Soepardi dan Soendari menyuguhkan akhir cerita yang menggenaskan; kematian dalam bencana gempa, setelah perjalanan panjang demi penyatuan mereka berakhir dengan rencana pernikahan yang direstui orang tua Soendari. Namun apa daya, kematian jualah yang menjemput mereka; bahwa hidup hanya sekadar singgah, bukan abadi.

***

Hal yang patut dicatat dari kedua roman ini adalah selalu ada tempat, keadilan, dan kebahagiaan untuk masyarakat kelas rendahan. Keadilan ada di Lou Fen Koi dan kebahagiaan cinta ada dalam Soepardi dan Soendari, meski pun yang terakhir ini harus tunduk juga pada kehendak Yang Ilahi. Dua novel ini memang novel yang pembacanya adalah masyarakat rendahan, masyarakat Hindia Belanda kala itu yang menggunakan bahasa Melayu rendah. Terlihatlah di sini sebuah janji yang emansipatoris dihadirkan dalam ruang-ruang kehidupan pembacanya. Sehingga bisa saja kita mengatakan, bacaan bacaan liar, populer jaman itu adalah bacaan-bacaan yang memberikan pengharapan, setidak tidaknya memberikan pegangan pada masyarakat kecil itu akan pengharapan keadilan dan kebenaran cinta. Sehingga, hidup di tengah-tengah isapan penjajahan dan kaum ambtenaar yang lebih sering menyengsarakan bisa menemukan pengharapan dari bacaan-bacaan liar dan populer ini.


Judul buku: Konglomerat dan Cinta
Editor: Nurinwa Ki S. Hendrowinoto
Tahun terbit: 1993
Penerbit: Puspa Swara, Jakarta
Tebal: X + 182


*Catatan: Review buku ini pertama kali dipublikasikan di “PendarPena Vol 2 No 3 Februari 2009” (Tema: Cinta sebagai Komiditi Budaya Populer).

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram