Oleh Bagus Purwoadi

 

“berilah kami ketakutan tentang siang nanti,” demikian bunyi satu baris puisi dalam buku ini (merujuk ke buku kumpulan puisi, Aku Mengenangmu dengan Pening yang Butuh Panadol – Penerbit Anagram, 2021), yang kemudian dilanjutkan dengan, “seperti pendingin ruangan pertama di tanah tropis.” Apakah pendingin ruangan pertama di tanah tropis takut pada siang? Atau, manusia tropis takut pada pendingin ruangan pertama?

Pendingin ruangan adalah salah satu faktor pendukung kebangkitan ekonomi Asia Tenggara, khususnya di Singapura, setidaknya menurut Lee Kuan Yew. Jadi, pendingin ruangan bukanlah sesuatu yang menakutkan. Memang, hingga saat ini masih ada beberapa manusia tropis yang belum terbiasa dengan air conditioner (AC). Tapi, AC bukan momok bagi mereka. Bahkan, bagi banyak orang, pendingin ruangan adalah simbol kemakmuran dan kesejahteraan. Bekerja di ruangan ber-AC jelas lebih nyaman (dan, menurut Lee Kwan Yew, lebih produktif) ketimbang bekerja di bawah terik matahari atau paparan langsung angin malam. Lalu, kenapa dalam puisi berjudul “NONGKRONG MALAM DI MONAS, MINUM SEGELAS PLASTIK KOPI, ENGGA JADI APA-APA” ini pendingin ruangan setara dengan ketakutan tentang siang?

Barangkali, baris pertama dan kedua puisi tersebut berfungsi sebagai suara si pendingin ruangan? Jika memang demikian, maka ketakutan yang dimaksud bukan ketakutan manusia tropis pada pendingin ruangan melainkan sebaliknya. Tapi, baris selanjutnya berbunyi, “kami menggigil/meliburkan diri/bermain-main dengan trauma,” sehingga ketakutan yang dimaksud sepertinya memang ketakutan yang pertama, yaitu ketakutan manusia tropis pada pendingin udara pertama. Atau, pendingin udara pertama di tanah tropis pada baris kedua “NONGKRONG MALAM DI MONAS” sesungguhnya adalah personifikasi ‘kami,’ yang “menggigil/meliburkan diri,” dan “bermainmain dengan trauma” pada baris selanjutnya? Pendingin ruangan seharusnya tidak boleh menggigil, apalagi mengalami trauma karena panas, sebab itu akan mengkhianati tugasnya.

Ungakapan yang membingungkan semacam itu muncul lagi dalam puisi selanjutnya, yaitu “HUJAN-HUJAN, ADA GENANGAN DI GANG, NEDUH DI POS SATPAM, EH TEKDUNG.” Pada baris kedua puisi ini ada ungkapan, “menelusuri lekuk hujan.” Asumsi sementara, “HUJAN-HUJAN” adalah puisi tentang pasangan yang sedang tenggelam dalam birahi. Baris yang berbunyi, “membuat anak di gang sempit,” memperjelas hal itu. Sebagai pembaca, saya pun membayangkan bahwa pada situasi yang dibayangkan oleh si penyair, bunyi hujan dan aroma tanah basah telah meredam dan menggantikan bunyi dan aroma apa pun yang keluar dari kegiatan mengasyikkan dalam puisinya tersebut sehingga pasangan yang diceritakan dalam “HUJAN-HUJAN” pun merasa seolah mereka sedang bercinta dengan hujan. Bayangan yang indah, sebenarnya, sampai kemudian Gajah Mada muncul secara tiba-tiba. Kenapa tiba-tiba ada Gajah Mada?!

Kemunculan yang tiba-tiba itu kemudian disusul dengan munculnya ‘ahli waris dunia,’ yang mengingatkan pembaca pada Gelanggang Seniman Merdeka. Lalu, serat-serat optik galau buatan Cina dan Comforting Sounds, muncul pada baris-baris selanjutnya dan melahirkan gangguan-gangguan yang belum juga reda dari kemunculan Gajah Mada dan para seniman Gelanggang. Dan, itu semua bermula dari gang sempit! Pasangan mana pula yang membuat anak di gang sempit di tengah hujan sambil memikirkan Gajah Mada, Surat Kepercayaan Gelanggang dan serat-serat optik galau buatan Cina?

Pasangan yang ingat pada pemuda penjaga loket di Ragunan, kata baris terakhir “HUJAN-HUJAN.” Kemunculan pemuda penjaga loket di Ragunan tidak setiba-tiba Gajah Mada dan ‘ahli waris dunia.’ Sebab, pada baris sebelum baris Gajah Mada terdapat ungkapan, “dunia binatang menjelma dunia manusia,” yang masih ngena dengan baris “membuat anak di gang sempit.” Sebab, berdasarkan norma-norma manusia, memang cuma binatang yang ‘boleh’ membuat anak di gang sempit. Maka, wajar jika pasangan dalam “HUJAN-HUJAN” teringat pada pemuda penjaga loket di (kebun binatang) Ragunan. Barangkali, setelah “membuat anak,” pasangan itu menyadari bahwa mereka mirip binatang dan, siapa tahu, di ujung gang sana ada pemuda yang mengintip atau mengawasi mereka, atau menarik bayaran bagi siapa pun yang ingin melihat apa yang sedang mereka lakukan pada saat itu, seperti penjaga loket di Ragunan. Siapa tahu.

“HUJAN-HUJAN” membawa pembacanya ke gang sempit, lalu ke Majapahit, lalu ke Republik pada masa pasca kemerdekaan, kemudian ke satu loket di Ragunan, dengan kesewenang-wenangan yang tak kenal ampun. Tapi, barangkali, puisi yang baik memang puisi yang tidak ‘memperlihatkan semuanya.’ Bisa jadi, Gajah Mada, ahli waris dunia, serat-serat optik galau buatan Cina dan Comforting Sounds dalam puisi itu adalah semacam pucuk-pucuk gunung es. Tapi, menganggap baris-baris janggal tersebut sebagai pucuk gunung es pun ternyata tidak terlalu banyak membantu. Sebab, “ketika Gajah Mada tak menyentuh kelapa,” itu berarti ia sedang menjalankan Sumpah Palapa. Itu berarti ia sedang berpuasa, menahan diri dari segala kenikmatan dunia. Anehnya, dalam “HUJAN-HUJAN,” laku tersebut disetarakan dengan kenikmatan. “ketika Gajah Mada tak menyentuh kelapa,” “dunia binatang menjelma manusia,” yang jika dikaitkan dengan baris sebelumnya, adalah “membikin anak di gang sempit.”

Tapi, tak semua puisi dalam buku ini memiliki lompatan-lompatan imajinasi sebebas “NONGKRONG MALAM DI MONAS” dan “HUJAN-HUJAN.” Untuk pembaca seperti saya, puisi seperti “JALANAN PUISI MACET, PAK POLISI MALAS BEKERJA, BERASA NYERI DI KI’I” masih lebih ngena ketimbang dua puisi tersebut.

“JALANAN PUISI MACET” dibuka dengan baris yang berbunyi, “banyak yang terbuang pada pagi tak berangin.” Mungkin, subyek dalam puisi ini bangun terlalu siang, sehingga pagi yang ia temui tak lagi berangin. Lalu, apa saja yang terbuang? Endapan mimpi di lipatan selimut dan abu rokok di asbak. Endapan mimpi tersebut, demikian puisi ini melanjutkan, tak mau ikut mengarungi hari. Dengan demikian, subyek yang diceritakan dalam puisi ini adalah seseorang yang menjalani hidup yang tidak sesuai dengan mimpinya. Dan, itulah sebabnya ia mencoba menulis puisi, sekalipun hidup di dunia yang melupakan puisi, di mana puisi tidak lagi memiliki taji. Ia ingin mengirimkan kabar, tapi kemudian mengurungkannya. Ia mengurungkannya karena mungkin beban pekerjaannya menumpuk sehingga ia tak punya waktu untuk diri sendiri. Baris yang berbunyi, “banyak kabar berdatangan/tapi bukan yang kuingini,” sedikit menerangkan situasi tersebut. Kabar yang berdatangan itu bisa jadi adalah E-mail dan pesan-pesan di Whatsapp dari sejumlah kolega yang tidak memiliki hubungan emosional dengan subyek dalam puisi ini. Alih-alih mengarahkan perhatiannya pada pesan-pesan tersebut, ia pun memperhatikan sisa kopi semalam dan tisu yang berhamburan. Mungkin ia sedang flu akibat begadang. Dan, tiba-tiba saya merasa sedang bercermin.

Sumber: https://nextren.grid.id/read/011596395/waktu-pulang-kerja-paling-macet-di-jakarta-ternyata-hari-kamis-ini-datanya?page=all

“JALANAN PUISI MACET” lebih ngena bukan karena sosok dalam puisi itu melalui hari yang pernah saya, sebagai pembaca, lalui, melainkan karena referensi ungkapan-ungkapannya tidak ‘sebebas’ dua puisi sebelumnya. Ia tidak perlu mundur terlalu jauh ke belakang, ke masa Majapahit, untuk kemudian maju empat abad dari masa itu, lalu maju lagi beberapa dekade kemudian, sehingga pembaca lebih mudah mengikuti ekspresi-ekspresi yang disampaikan, dan tidak tersesat dalam labirin ingatan dalam kepalanya.

Tapi, bisa jadi, sebagai pembaca, saya kewalahan mengikuti lompatan-lompatan imajinasi dalam “NONGKRONG MALAM DI MONAS” dan “HUJAN-HUJAN” karena saya terbiasa membaca novel. Kebiasaan ini membuat saya selalu berusaha mencari-cari gambaran peristiwa atau alur yang utuh untuk memahami satu komposisi teks, sementara sejumlah puisi yang ditawarkan dalam buku ini—dan barangkali juga banyak buku puisi lainnya—menghadirkan banyak ruang jeda, seperti beberapa lukisan Rusli. Membaca “HUJAN-HUJAN,” misalnya, seperti sedang memandangi “Tanah Lot,” salah satu karya Rusli yang dilukis pada 1977. Sejumlah ungkapan dalam “HUJAN-HUJAN” seperti bidang-bidang warna dalam lukisan tersebut; tidak memiliki bidang (baca: baris) yang mengaitkannya dengan bidang-bidang yang lain.

Maka, akhir kata, sebagai pembaca yang tidak terbiasa dengan alur atau lompatan-lompatan imajinasi yang hadir di sejumlah puisi dalam buku ini, pada akhirnya saya pun tidak bisa menawarkan apa-apa selain kebingungan-kebingungan dan gambaran imajinasi saya yang tidak sebebas penulis puisi-puisi tersebut.

Jakarta, 2020


*Catata: Tulisan ini awalnya dimaksudkan sebagai epilog untuk buku kumpulan puisi saya, Aku Mengenangmu dengan Pening yang Butuh Panadol. Namun setelah beliau diskusi dengan pelbagai teman dan merenungkannya, ia menggantinya dengan tulisan yang lain.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram