“The elixir of the Goddess” karya Darwin Leon | Sumber: https://artist.com/darwin-leon/the-elixir-of-goddess/?artid=5675

PHANTA REI

Pandanganku bertemu lagi dengannya sepersekian detik ketika ia menoleh sebentar ke arahku dan sedikit melepaskan pandangannya dari jalanan.  “Gimana, dah ada kabar dari anak-anak?” Saat itulah, di waktu yang sepersekian detik itu, aku menemukan kembali perempuan yang begitu kurindukan.

Yah. Sejak bertemu dengannya dua jam yang lalu, rinduku belum terobati. Aku merindukan dia yang seperti itu. Merindukan dia yang seperti aku pikirkan. Pasalnya, dia telah berubah sama sekali, saudara. Dandanannya tak seperti dulu, gaya bahasanya telah berubah kini, bahkan raut wajahnya pun menampakan sesuatu yang baru, sesuatu yang entah. Padahal, kami baru tak bertemu tiga minggu. Itu pun lantaran beberapa kesibukannya dan beberapa kesibukanku yang tak bisa berjalan berdampingan dan memang begitulah siklus pertemuan kami dari dulu. Bertemu dalam sehari pada minggu terakhir bulan dan akan tak bertemu selama tiga minggu sampai suatu hari di minggu terakhir bulan berikutnya.

***
Aku tak pernah menyangka bahwa perempuan manis meskipun cerewet yang hampir sangat mendominasi waktu bertanya jawab di seminar tiga hari yang lalu itu harus menjadi temanku, setidak-tidaknya sejawat dalam sebuah kegiatan untuk waktu yang lama, bahkan waktu tanpa batas yang pasti. Biasalah, pertemuan sekejap di suatu kegiatan sehari habis tidak pernah menimbulkan bekas apa-apa tentang orang yang kau temui waktu itu. Begitu juga aku. Sudah begitu banyak orang yang membuatku begitu tertarik, kagum, bahkan mungkin jatuh cinta pada pertemuan-pertemuan singkat seperti itu. Ada perempuan berkuku lebah ratu di KRL Ekonomi AC Gondangdia-Depok, lelaki kurus yang terlihat idealis di acara bedah buku, baby sister keluarga Paman yang mampir di Jakarta sehari, waitres restoran kambing guling di Duren Tiga, balerina progresive trace pada sebuah malam di Retro dan masih banyak lagi adalah beberapa contoh orang yang ditemui sekali dan sekejap namun sudah mampu menjadi perbendaharaan kenanganku.

Beda dengan perempuan manis meskipun cerewet di acara seminar itu. Ia juga termasuk orang yang  ku kategorikan sebagai sekali dan sekejap bertemu, namun ia belum mampu menjadi perbendaharaan kenangan, setidaknya sampai tiga hari kemudian.

Bukti bahwa dia saat itu belum menjadi perbendaharaan kenangan adalah ingatan saya tentang dia dan seminar tiga hari yang lalu itu hampir hilang sama sekali. Kenangan itu lantas menyeruak ketika ia melontarkan dua pertanyaan padaku.

Demikian ceritanya. Sore itu, ketika Jakarta tengah dilanda hujan, aku dan seorang teman yang lain mendatangi suatu tempat yang pernah kukunjungi kira-kira lima tahun yang lalu. Seorang teman yang lain ini menemani saya lantaran tempat itu sudah aku lupa di mana letaknya. Maklum saja, Jakarta semacam rimba beton yang terkadang mampu membuatmu tersesat bahkan ketika engkau baru saja menghafalkan sebuah peta penunjuk arah keluaran termutakhir dari sebuah lembaga yang paling terpercaya. Maka, kebetulan tempat itu letaknya pasti dilewati temanku bila pulang ke rumah itu, ia pun mau menemaniku.

Nah, ketika sampai ke tempat yang pernah kukunjungi lima tahun yang lalu itulah, aku bertemu lagi dengannya. Seperti yang kukatakan tadi, aku tak tahu sama sekali bahwa ada di antara sekumpulan orang baru itu, ada orang yang pernah bersua denganku tiga hari yang lalu. Hingga ketika aku dan temanku, yang datangnya terlambat itu, tengah mengopi, perempuan manis meskipun cerewet di seminat itu menghampiri, menyapa Jo, temanku (ternyata mereka sudah lebih dulu saling menyimpan kenangan) baru melontarkan dua kalimat yang mengorek-ngorek kenangan.

“Temen lo ga ganti baju ya selama tiga hari? Pantes bau.”

Tentu saja aku keheranan, karena ia membicarakan itu sambil memandang ke arahku.

“Baju ini kan yang lu pake di acara kemaren?” kalimat kedua ini dilontarkanya sambil melirik ke arahku dengan pandangan sedikit jijik, hendak ketawa, hendak menjitak yang, pastinya, tetap membuatnya kelihatan manis.

Memakai baju yang sama selama tiga hari tanpa diganti, sesuatu yang biasa saja buatku. Kecuali kalau baju itu dipakai untuk sebuah kerja berat sehingga tubuhmu menghasilkan begitu banyak keringat. Namun selama aktifitasku hanya itu-itu saja dan tidak melelahkan benar, baju yang sama di hari kemarin akan dengan sangat tak sunkam kupakai lagi. Itulah sebabnya, saat itu aku langsung merasakan perbedaan yang besar sekali dengannya.

***

Sejak lontaran dua kalimat yang membuatku merasa sangat berbeda dengannya itulah, persahabatan kami terjalin. Tapi tunggu dulu, benarkah itu dikatakan sahabat? Pasalnya, kata orang, sahabat adalah orang yang selalu berdiri bersamamu dalam suka mau pun duka. Jadi, karena dari dua kalimat itu kami sudah terasa berbeda, dia tentu tak pernah berdiri bersamaku ketika, misalnya dalam dua minggu tanpa jedah aku harus rela untuk makan cuma sekali dengan lauk tempe goreng atau ia tidak bersamaku ketika seseorang tanpa ada hujan angin atau asap dan sengsara menghadiahkanku sebuah i-pod seharga satu setengah juta, yang tentu saja beberapa jam kemudian telah kujual lagi dengan harga serupa. Maka, akhirnya aku memutuskan untuk tidak menyebutnya sahabat. Baiklah aku menyebutnya sebagai kenalan saja.

TANPA JUDUL

Hari itu, seperti biasanya ia datangi warnet yang terletak di samping belokkan gelap itu. Dinding biru warnet itu seakan tertawa dan tersenyum padanya. Ayo, cerita licik apa yang akan kau bohongkan pada gadis berbibir kelabu itu? Ia tersenyum. Dilepaskannya perlahan sepatu adidas putih kumalnya. Hm, aku ingin menceritakan padanya kisah tentang seorang pria yang mengembarahi beribu hati perempuan.

Perempuan muda gelisah di bangku kelas. Sering sudah ia sembunyi-sembunyi memandang jam di Nokia 3530-nya. Ah, gerangan apa yang membuat dosennya siang ini begitu betah di kelas, pikirnya. Bukankah biasanya ia hanya mengajar setengah jam saja? Perempuan muda itu semakin gelisah.

Ia lantas masuk ke bilik 11, menyalakan PC, login sebagai langganan. Beberapa menit kemudian terpampang layar biru dengan berbagai pilihan di deskopnya. Ia tak langsung memencet salah satunya. Dibiarkannya saja di sana. Kingston ‘IHATEYOU’ disambungkannya pada PC.

Dipindahkannya beberapa lagu kegemarannya ke My Document komputer itu. Dinyalakannya winamp media player, memasukkan semua lagu kesayangannya ke playlist, mengenakan earphone, duduk manis di bangku plastik hijau muda, lantas menyalakan yahoo messenger. Ah, benar saja. Ia belum nampak di sini, batinnya. Ia pun masuk ke lembaran pribadinya. Ditemukannya di sana, dua pesan baru untuk suicide alone, dua request pertemanan untuk suicide alone dan beberapa komentar baru untuk sang suicide alone. Dia membaca pesan-pesan itu sejenak. Satu dibalasnya, satu langsung dihapusnya. Beberapa testimoni baru dibacanya pula. Banyak di antaranya yang membuatnya tersenyum simpul sekilas. Tiba-tiba, sebuah bunyi petanda salah satu teman yang sering bercengkrama ria dengannya telah hadir.

Haiiiii

Hoooouw

Dri tadi?

Baru 5 mnit mungkin,. Santai J

Oks! Cerita apa yg kau bawa dri angin murka di situ…?

Ketika siang menenjelang dan malam beranjak pergi, lelaki ini sendirian terkapar di jalanan sunyi sambil mendengarkan desau angin pegunungan yang bahkan datangnya perlahan. Bila siang telah pergi dan hari berganti petang sang surya hendak pergi entah ke mana, saat itulah pria ini berjalan pergi tak tentu arah, mengikuti tiupan angin di kepalanya. Itulah hari-hari di mana manusia tak sempat melanglang ke arah pegunungan. Anak-anak berdiam di dipannya, orang-orang tua cemas menjaga pintu-pintu rumah mereka. Tak ada satu pun makhluk yang bisa tersenyum di kota itu. Semuanya hidup dalam kecemasan tak terkira, dalam ketakutan tak menentu.

Hari-hari berlalu dan mereka berharap semoga berita bagus tentang kematian atau lebih tepatnya dijebloskannya pria itu ke dalam penjara akan datang ketika pintu rumah mereka diketok tamu yang datang.

Lelaki gila itu kini bersembunyi di dalam hutan dengan tangan terborgol pada selangkangannya. Hingga malam menghinggapi bumi, ia masih sajah tertawa-tawa di atas sebuah batu besar. Bulan pun enggan ke luar dari awan malam itu. Mungkin, keberadaan lelaki ini membuatnya enggan. Naomi, nama pria itu. Nama yang sering didesahkan anak-anak perawan berusia belasan di ranjang mereka ketika malam menggigilkan tulang mereka dan mereka butuh kehangatan. Naomi, desah mereka, akan sering datang di mimpi-mimpi malam mereka. Menjelajahi setiap lekuk tubuh dan menelanjangi setiap perawan kecil.

Malam itu, Naomi tengtah di padang belantara. Kelelahan dan kantuk menyerangnya. Dicarinya sebuah batu besar yang mana bisa disembunyikan dirinya di ceruk batu itu. Naomi pun terlelap ketika bulan memeraki pasir di sekelilingnya. Desau angin gurun malam hari bagaikan dendang ibu meninabobokannya.

Naomi bersama sang gadis berrambut jingga berkulit tembaga. Di atas ranjang sang gadis yang biru langit, Naomi ditelanjanginya. Sang gadis dengan geram merobek-robek pakaiannya. Menjilati seluruh keringat tualangnya, pengembaraannya, daki-daki gurun dan pantainya, pegunungannya. Gadis itu bagaikan lapar, mengunyahnya, sambil berdesah, ”bercintalah dan ceritak beribu kisah kembaramu. Ceritakannlah betismu yang kekar oleh bermil-mil jalanan, ceritakanlah pahamu yang terendam beribu air beraneka rupa, ceritakanlah selangakanganmu yang  yang didera beribu-ribu tiupan angin dingin dan panas, ceritakanlah pinggangmu yang letih oleh beribu hentakan tanah, ceritakan pusarmu yang berdaiki beratus mili meter, ceritakan semuanya padaku.” Sambil dilemparinya satu-persatu pakaian di tubuhnya. Naomi hanya diam dan tersenyum, dibayangkannya gadis-gadis berlidah sutera dari Alaska, dibayangkannya gadis-gadis berdada  kulit beruang di Mongolia, dibayangkannya gadis-gadis bermata panah di India.

“The Queen Of Dreams” karya Alex Lavrov | Sumber: https://alexlavrovart.com/gallery/archive-2/paintings-2015/

TELEVISI

“Ayah masih menyimpan televisi itu, Kak! Dia suka berlama-lama menatapnya, sambil merokok tentu saja. Uh, tak mau berhenti-berhenti dia merokok. Kini, tanpa fungsi, televisi diletakan di kamarnya.”

Entah sudah berapa kali televisi di rumah kami ganti. Mungkin sepuluh atau lebih. Aku lupa. Semuanya sudah jadi rongsokan, diberikan ke pemulung, ada juga yang diberikan ke saudara. Namun, televisi yang satu itu masih tetap disimpan ayah, walau pun sudah lebih dahulu rusak dari yang lainnya.

Mungkin televisi itu memang istimewa untuk ayah. Itu televisi pertama yang dibelikannya untuk kami. Kalau tak salah, waktu itu aku masih di SMP. Yah benar. Aku dan adikkulah yang merengek-rengek waktu itu untuk dibelikan televisi. Pasalnya sederhana, kami mau nonton Piala Dunia yang terjadi di Perancis itu.

***
Setelah saya dan adik pagi itu merengek-rengek sejadinya untuk dibelikan televisi dan juga caci-maki ibu bahwa ayah bikin malu saja lantaran tetangga yang mendengar tangisan dua anaknya hanya gara-gara tak ada televisi di rumah, ayah rupanya tergerak hati untuk membeli televisi. Sedangkan, masih menurut ibu, tetangga yang kerjanya hanya tukang cuci saja sudah punya televisi. Aku selalu hafal akhir dari pertengkaran jenis ini; ayah akan menyalakan rokoknya dan sambil berjalan pelan ke teras rumah bergumam sendiri, “susah menghadapi manusia dengan apresiasi hidup rendah.”

Kukira, semenjak peristiwa waktu aku duduk di kelas satu SD itu, tak ada lagi televisi di ruang keluarga kami. Aku pulang ke rumah dengan membawa oleh-oleh bahwa aku diharuskan oleh guru untuk menonton sebuah film malam nanti. Kami tinggal di sebuah perumahan baru yang masih sedikit penghuninya. Bisa dikatakan perumahan itu tidak terlalu laku dijual sehingga meski pun sudah tiga tahun menetap di tempat itu kami tak punya banyak tetangga. Aku juga dengan demikian tak punya banyak teman bermain.

Ayah hanya mendengarkannya diam-diam. Aku lalu disuruh cepat tidur oleh ibu, ia memang seorang ibu yang selalu mewajibkan anaknya tidur siang. Ketika bangun sore harinya, televisi itu sudah tak ada. Ayah dan ibu lagi-lagi bertengkar. Ternyata televisi itu sudah diberikan ayah pada seorang tamunya tadi. Entah apa yang ada dalam pikiran ayah.

Setelah dewasa ini, aku baru sadar ketika baca-baca ke sana ke mari, apa itu film yang membuat ayah menyerahkan televisi kami kepada orang itu. Pengkhianatan G30 S PKI. Tentu ada sedikit rasa beruntung saat ini. Semenjak ayah memberikan televisi itu kepada orang lain, aku tak lagi berkesempatan menonton film itu. Kebetulan pula, guru yang mewajibkanku untuk menontonnya adalah teman lama ayah. Aman.

Itulah terakhir kali rumah kami mempunya televisi ketika diriku masih kecil.

Aku tak tahu apa yang menyebabkan ayah melakukan hal tersebut. Aku mencari tahu ke sana ke mari di dalam keluarga mau pun orang-orang yang mengenal ayah. Ku pikir, mungkin ayah korban juga dari tragedi itu. Nihil. Tak ada satu keluarga dari ayah pun yang terlibat dalam masalah itu. Mereka semua adalah orang-orang Kristen taat yang mungkin tak mau meninggalkan kekristenan mereka. Namun mengapa ayah tak mau membiarkanku menyaksikan film itu?***

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram