Setelah mengarungi jarak 60 kilometer dari ujung timur Jakarta ke ujung selatan Jakarta, kau menghempaskan pantatmu ke kursi kayu kaku. Lima menit yang lalu, perhitungan waktu sebagaimana yang dikatakan google maps di layar telepon pintarmu tadi, engkau masih membayangkan kursi sofa empuk dengan bantal-bantal kecil yang bisa mengelus pundakmu, ruangan dengan nuansa sedikit kelam. Aku tahu, kau hendak menambahkan imajinasi perihal perapian yang akan menyeruakkan hangat pada tubuhmu; tubuh yang baru saja, kira-kira pada jarak sekitar 10 kilometer dari tempat ini, bersua dengan gerimis. Sudah beberapa hari ini dirimu bersua dengan gerimis serupa. Ketakutan akan terkena flu atau demam dan semacamnya tidak merisaukanmu benar pada akhirnya. Tetapi kau seketika menghilangkan imajinasi terakhir ini dengan alasan terlalu beraroma Eropa abad pertengahan.

Pada titik yang demikian ini, meski pun dengan takaran yang sedikit saja, kau berterima kasih pada—entah nasib, entah sifat, entah kebiasaan atau perpaduan dari ketiganya atau pun hal lainnya di luar ketiganya ditambah perpaduan ketiganya—sikapmu yang lebih percaya pada kenyataan daripada hayalan. Memang, ini bukan sesuatu yang penting betul di dalam kehidupan. Nyatanya, kau begitu kerap diselamatkan oleh hal kecil itu. Dalam berbagai hal. Tentu saja, kau bisa saja membuat daftarnya di sini namun hal itu menurutmu tidak penting benar untuk dilakukan saat ini.

Setelah beberapa kejap mendamaikan diri dan harapan dengan realitas yang ada di hadapanmu—kursi kayu keras yang sudah kau keluhkan di atas, dinding-dinding putih yang menurutmu tak terlalu artistik, kipas angin yang ada tepat di hadapanmu dan hembusan angin yang ditimbulkannya yang tak mengenakkan untuk tubuhmu, musik kekinian dari loudspeaker yang sungguh jauh dari playlistmu—engkau memutuskan untuk ke toilet—mencuci muka, sebuah tindakan kecil yang biasanya berhasil mengembalikan moodmu dan membuang isi kantong kemih yang kau percayai secara biologis juga membantu membuatmu riang gembira. Apakah kota ini adalah pabrik manusia-manusia sadomasokis?

Di toilet itulah kau pertama kali bersua perempuan itu. Kau masuk. Ia tengah menata diri di hadapan cermin, membelakangimu. Kaos dan jeans serba hitam dengan rambut dicat orange jatuh hingga ke pinggang. Kau terpaku. Ada semacam kekuatan-kekuatan tertentu dari rambut perempuan sepanjang pinggang di dalam hari-harimu yang telah berlalu. Biasanya, di dalam keadaan yang demikian, menyulut rokok akan mengembalikan kemampuan motorikmu. Tulisan “no-smoking”—akhir-akhir ini mereka muncul di seluruh kota bagaikan wabah belalang yang dikirimkan Yahwe untuk menghukum Firaun—tepat di atas cermin itu membuatmu semakin kaku. Di saat itulah, mata si perempuan menangkap bayanganmu di ujung cermin. Engkau melihatnya juga. Ada situasi aneh yang muncul ketika matamu menangkap bayangan matanya melihat ke arah bayanganmu di dalam cermin. Ia tersenyum, engkau membalas.

“Bentar ya, Mas.”
“Iya, ga apa-apa. Santai aja, Mba.”
“Kehujanannya tadi?”
“Oh, engga.”

Bunyi air mengalir dari kran yang dinyalakan menyela perbincangan terbata-bata itu. Sepertinya perempuan itu baru saja mencuci tangannya.

“Saya mau performance, Mas. Di depan. Jadi siap-siap.”
“Oh, di panggung depan itu? Emang bisa kalau masih hujan gini?”
“Nah, itu dia. Ga tau juga sih.”

Perempuan itu melangkah, semacam meminta izin padamu untuk lewat. Ketika itulah kau baru sadar, posisi berdirimu menghalangi pintu toilet. Padahal, masih ada ruang lapang di kiri dan kananmu.

“Oh, sorry. Semoga jadi ya. Saya pengen nonton.”
“Makasih.”

Sumber: https://id.pinterest.com/pin/1970393574613932/

Hujan masih saja saja rintik-rintik ketika itu. Sejatinya, engkau masih harus mengarungi 30 kilometer lagi ke arah barat daya agar bisa sampai ke rumah pamanmu pada pukul 8 malam. Namun kau tahu, bisa saja kau tiba di sana pukul 9 malam. Atau bahkan lebih.

***

Bangkai laron tertempel di dalam jeruji-jeruji kipas angin. Masih utuh. Bagaimana ceritanya hingga makhluk itu terdampar di sana? Tubuhnya kaku dan bisu. Barangkali di balik dinding pagar bambu di samping kiri parkiran itu ada seonggok tanah dan di atasnya berdiri sebatang pohon mati. Pada tubuh pohon itu, rayap-rayap membuat sarangnya. Dan barangkali pada dua atau tiga hari yang lalu atau mungkin beberapa jam yang lalu rayap-rayap itu ke luar dari sarangnya. Beberapa ekor darinya, alih-alih hanya mengitari bohlam yang ada beberapa meter di atas kepala perempuan itu—kini ia bisa kau tangkap dengan ujung mata kananmu—meneruskan terbangnya ke dalam ruangan Kedai Johny.

Engkau kembali menekuni laptop yang ada di depanmu. Beberapa hal perlu kau selesaikan sebelum hari senin. Sembari menunggu perempuan tadi entah melakukan apa, engkau memutuskan untuk mencoba—sekaligus mengisi waktu sekaligus mengada-adakan alasan untuk berlama-lama di tempat ini—menyelesaikan beberapa di antaranya.

Kaosmu yang tipis tak kuasa menahan hembusan angin dari kipas angin yang berputar ke kiri dan ke kanan. Kajon sudah mulai dimainkan oleh salah satu kawan dari perempuan tadi. Kopi susu panas yang kau pesan tadi mendingin lebih cepat dari kopi-kopi susu panas lainnya di dunia ini. Engkau tersedak seketika lantaran dinginnya kopi susu panasmu yang terseruput bersamaan dengan suara perempuan itu ke luar dari loud speaker. Engkau teringat bir lhecy yang kau sesap tadi malam. Engkau teringat pada keringat pengemudi gocar yang mengantarkanmu membelah macet pada sebuah senin tiga bulan yang lalu, hari pertama engkau mulai bekerja. Engkau teringat pada sebuah mobil yang menabrak tiang lampu jalan di Jalan Pramuka Raya, Jakarta Pusat pada sebuah malam, entah kapan. Lantas engkau teringat senyum seseorang.

***

Jalanan di depanmu lenggang saja. Ada seorang perempuan paruh baya turun dari entah apa kendaraan yang dikendarainya. Seorang gadis remaja di awal tahun-tahun kuliahnya dipaksa oleh pacarnya untuk maju kedepan untuk bernyanyi. Perempuan berambut merah itu pun mundur ke belakang. Ia berada tepat di sampingmu kini. Engkau seketika menghentikan pekerjaanmu. Hotel California yang dinyanyikannya memaksamu untuk memandang ke arah panggung. Barangkali ia vokalis pada sebuah band di kampusnya.

Engkau kesulitan mencari konflik. Pandangan matamu terbatas sedangkan ide tentang sebuah cerita sedang tak ada di benakmu. Mengapa perempuan itu memilih Hotel California untuk dinyanyikan? Apakah itu lagu kegemarannya? Ataukah dia hendak mencoba kemampuan band di hadapannya? Atau dia adalah teman dari salah satu personel band malam itu dan pada waktu yang lalu ketika mereka sedang dekat-dekatnya mereka kerap membawakan lagu itu? Ada apa dengan Hotel California—di titik ini engkau ingin mengulik sedikit tentang lagu itu agar bisa membuat sebuah rekaan atau jukstaposisi antara Hotel California dan hidup seorang anak gadis yang baru berada di semester-semester awal kuliahnya?

Perempuan itu hendak turun. Teman-temannya, lagi-lagi engkau tak bisa melihat wajah teman-teman perempuan itu, meneriakkan untuk ia menyanyikan satu lagu lagi. Perempuan itu duduk lagi. Engkau semakin bingung dengan motif apa yang membuat perempuan itu mau menyanyikan sebuah lagu lagi. Untuk perempuan seusia dia, engkau cukup terpukau dengan pilihan lagunya. Whats Up dari Blondie.

Apa yang dilakukan orang-orang ini di siang hari? And I say Whats Going On.

Sumber: https://globalnews.ca/news/4035165/syria-shelling-rebel-held-damascus/

Engkau membayangkan seseorang terbangun pada suatu pagi dan mendapatkan dirinya telah berubah menjadi seekor serangga, seperti kecoa, raksasa. Demikianlah Metamorfosis dibuka. Sedangkan ceritamu berpindah-pindah dari satu sosok ke sosok lain. Jari-jarimu terasa buntu. Beberapa jam lalu engkau kembali masuk studio musik setelah sekitar tujuh tahun lamanya tidak masuk ke dalamnya. Jari jemarimu kaku di atas tuts-tuts keyboard roland. Hari ini engkau duduk di sudut sebuah kedai kopi di ujung barat daya kota ini dan lagi-lagi jemarimu kaku, sebeku ujung-ujung syaraf di otakmu. Engkau membayangkan beberapa tahun ke depan, sebuah kehidupan yang kaku akan menghampirimu. Engkau membayangkan orang-orang masuk ke kedai kopi ini, menghancurkan kursi-kursi, menggelandangi orang-orang yang tengah minum bir dan kopi ke tanah lapang di luar sana, memerintahkan mereka meneriakkan sekalimat ‘aku percaya’ dan beberapa di antaranya ditembak tepat di atas hidungnya.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram