Ia seorang pencerita ulung, kukira. Betapa tidak. Sepuluh orang yang duduk melingkar mengelilinginya tak satu pun memberi tanda-tanda akan beranjak. Setidak-tidaknya, itu pengamatanku selama sepuluh jam ini. Ia seorang backpaker miskin, backpaker tanpa tas ransel. Ujung Kulon sampai Pantai Kuta sudah dijamahnya dengan berjalan kaki. Pencuci piring di sebuah rumah makan padang sampai pengendus di salah satu usaha aroma terapi ilegal di Ubud pun pernah dilakoninya. Hanya satu cita-citanya; membunuh Borges dalam Labirin Impian-nya.

“Beginilah hidupku sekarang, sobat. Membunuh waktu, sebelum kembali bertemu dengannya,” sebuah cerita dimulainya lagi.

“Kalian tentu tahu, seperti apa jatuh cinta untuk pertama kalinya. Yah, jatuh cinta yang benar-benar jatuh cinta. Cinta yang membuatmu bahkan rela lebur dalam udara yang akan dihirupnya. Cinta seperti ini kawan, bisa merubah hidupmu seratus persen. Seperti diriku saat ini.

“Namanya Niskala, Niskala Rengganish tepatnya. Perempuan yang kutemui ketika matahari enggan beralih ke belahan bumi lain dan rembulan, oh rembulan, betapa sakit hatinya ia karena matahari tak membiarkannya muncul dari balik bukit. Waktu itu, hari jumat, aku iseng mengunjungi salah satu kafe plus perpustakaan di kotaku. Di sanalah aku berpapasan dengannya. Kalian tahu, ketika Niskala tersenyum padaku, dua jiwaku terjaga bersamaan.

“Manusia ini punya dua jiwa. Jiwa yang satu terjaga ketika jiwa yang lain tertidur. Misalnya ketika engkau tidur, secara refleks engkau akan bangun pada pukul lima pagi karena setengah jam lagi engkau harus menjemput kenalanmu yang datang dari luar kota. Apa yang membuatmu bisa terbangun secara refleks? Tentu saja salah satu jiwamu yang membangunkanmu, jiwa yang terjaga ketika jiwa yang satunya tertidur. Setelah engkau bangun, maka jiwa yang tadi terjaga akan tertidur.

“Baiklah, kita kembali pada Niskala. Sejak pertemuan itu, aku jatuh cinta, begitu saja tanpa alasan yang pasti dan yang mampu dimengerti, pada Niskala. Seminggu penuh aku terus mendatangi tempat itu, berharap berpapasan lagi dengan Niskala. Sia-sia. Ia tak datang dari rabu sampai senin. Namun di hari jumat, ia muncul lagi. Ternyata, memang hanya setiap hari jumatlah, Niskala mendatangi tempat itu. Semacam sebuah rutinitas baginya. Pada pertemuan, tepatnya saling berpapasannya kami atau lebih tepatnya kesengajaanku untuk berpapasan dengannya, ke duapuluh satu, kami saling menyapa, berbincang-bincang, menghabiskan petang hari berdua. Bayangkan sobat, tak ada kata-kata yang mampu menggambarkan kebahagiaanku saat itu.

Where Two Souls Meet | Sumber: https://www.deviantart.com/loorzii/art/where-two-souls-meet-687373384

“Enam hari sejak hari jumat itu adalah masa terindah dalam hidupku. Enam jam sehari kami habiskan berbincang-bincang lewat handphone. Aku masih ingat kalimat terakhirnya di malam jumat itu, ‘jangan lupa bawakan The Famished Road-nya Ben Okri besok’.

“Pukul tiga aku sudah di sudut kafe plus perpustakaan itu. Niskala akan muncul pukul empat. Si sinting Zappa iseng dengan Return of the Son of Shut Up. Aku tersenyum, penuh suka cita. Ah, Niskala cepatlah kemari. Mari kita nyanyikan bersama sambil membayangkan Modigiliani dan Jeane.

“Pukul 4.30, Niskala belum juga muncul. Aku mengirimkan pesan singkat untuknya, ‘Hai. Kmu dah d mna?’ Aku menunggu laporan pengiriman beberapa menit. Iseng, kupandangi televisi yang tengah menyiarkan berita. Kulirik pula handphone-ku. Masih pending. Kupandangi lagi televisi yang tengah menyiarkan berita. ‘Coba di-pause,’ spontan aku berteriak. Sekelebat, kusaksikan Niskala diangkat keluar dari reruntuhan oleh tim SAR.

“Aku langsung berlari, menyetop taksi, meluncur ke arah barat daya kotaku. Aku tak yakin, aku pasti tak yakin, Niskala telah menghempaskanku ke rutinitas indah, lantas mencampakanku sendirian begitu saja.

“Nama Niskala Rengganish tak kutemui. Sosok Niskala yang kulihat itu pun tak terlacak lagi. Dan sms yang kukirimkan, masih juga pending….

“Begitulah, Sobat. Kawanku itu, beberapa hari kemudian bunuh diri. Ia memintaku menemuinya di pinggir danau tempat kami sering bertemu. Ketika aku ke sana, darah sudah mengalir dari pergelangan tangannya. Begitu banyak darah. Silet menancap di sana. Aku panik. Kupandangi dia. ‘Bertahan!’ kataku. Ia hanya menggeleng. ‘Aku hanya ingin mati. Mati demi mati. Tidak untuk kehidupan, tidak untuk kekalahan atau kemenangan, tidak untuk Niskala. Mati untuk mati. Aku ingin menikmati kematian ini tanpa panik dan tanpa tak sadarkan diri seperti Niskala… Niskala’. Selepas nama Niskala untuk ketiga kali disebutnya, ia pun menutup mata.

Backpaker tanpa tas ransel itu pun beranjak. Namun ia sempat berbisik padaku, “Aisyah, bolehkah kumuntahkan kisah-kisah petualanganku di kamarmu malam nanti?”


*Catatan: Semacam cerpen lama yang ditulis sekitar awal 2009 dan dipublikasikan di blog lama saya pada 4 Februari 2011.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram