Dunia kehidupan kita dewasa ini dipenuhi juga salah satunya dengan ketakutan akan kerusakan alam yang diakibatkan oleh tindakan konsumtif manusia. Permasalahan kerusakan alam ini pada gilirannya juga mendorong para pemikir untuk serius berpikir tentang manusia dan hubungannya dengan alam semesta, lebih jauh bagaimana bersikap terhadapnya. Memang, bukan baru dewasa ini para pemikir merenungkan perihal hubungan manusia dengan alam. Sudah sejak filsafat ada, para pemikir sudah serius berpikir tentang itu. namun terlihat adanya perhatian yang lebih khusus untuk perkara itu dewasa ini. Bahkan para pemikir cenderung ikut terlibat aktif dalam usaha-usaha penyelamatan lingkungan.

Arne Diekke Eide Naess adalah salah satu dari pemikir yang demikian. Selain mengembangkan filsafatnya yang berhubungan dengan alam dan hubungan manusia dengannya, ia juga dikenal terlibat aktif dalam gerakan penyelamatan lingkungan hidup. Bahkan di negara asalnya, Norwegia, Arne Naess sempat terlibat dalam sebuah kerusuhan besar dalam rangka demonstrasi menuntut kebijaksanaan pro lingkungan hidup negara tersebut. Dalam kesempatan kali ini saya akan coba memperkenalkan sosok pemikir Arne Diekke Eide Naess dan beberapa poin penting pemikirannya. Untuk itu tulisan ini akan dibagi dalam beberapa bagian. Pertama mengenai biografi singkat Arne Naess. Selanjutnya pada bagian kedua kita akan melihat pemikirannya mengenai ecosophy T. Pemikirannya mengenai “manusia ekologis” akan kita bahas pada bagian ketiga. Dan pada bagian keempat kita akan melihat ajakannya untuk mengangkat konsep ecosophy T dalam wilayah sebuah gerakan.

Biografi Singkat Arne Naess[1]

Arne Dekke Eide Naess adalah seorang pemikir asal Norwegia. Ia adalah profesor di Universitas Oslo. Selain sebagai filsuf, ia juga terlibat aktif dalam politik melalui Partai Hijau Norwegia. Ia juga terlibat dalam demonstrasi besar untuk perjuangan lingkungan hidup di Norwegia pada 1970-an. Pemikirannya mengenai deeper ecology-lah yang menghantarnya menduduki gelar profesor. Deeper ecology adalah pemikirannya mengenai sebuah sistem etika yang berhubungan dengan lingkungan hidup dan hubungan manusia dengannya. Arne Diekke Eddie Naess lahir pada 27 Januari 1912 di Norwegia sebagai anak terakhir dari empat bersaudara. Naess sendiri sudah mulai tertarik dengan filsafat di bangku SMA, ketika dia begitu terpukau dengan pemikiran Baruckh Spinosa. Pada waktu ini jugalah ia mulai tertarik untuk mendaki gunung yang mana kegiatan ini tanpa disadari mempengaruhi pemikirannya di kemudian hari.

Setelah SMA, ia pergi ke Vienna dan menjadi anggota termuda dalam Lingkaran Vienna (Lingkaran Wina). Lingkaran Vienna kita tahu adalah kelompok filsuf yang berkutat dalam permasalahan filosofis yang dimulai oleh karya-karya Ludwig Wittgenstein. Di kota ini juga Naess bertemu dan belajar tentang psikoanalisa dari salah satu kolega Freud yang masih mengajar saat itu. Pada 1937, Naess menikah dengan Else Hertzberg. Namun demikian, kecintaan Naess pada perjalanan dan pekerjaan serta pemikirannya rupanya tidak terlalu cocok dengan institusi pernikahan. Ia bercerai dengan Else dan juga istri keduanya setelah itu. Pada 1938, Naess belajar psikologi perilaku di Universitas Berkley pada E. C. Tolman. Pada umur 27 tahun ia menjabat sebagai profesor di Universitas Oslo, Norwegia. Naess menjabat proffesor di Universitas Oslo sampai tahun 1982. Ia meninggalkan kursi proffesornya dengan alasan bahwa ia ingin menjadi hidup dan bukan menjadi fungsional.[2]

Sejak awal kariernya, Naess memang dikenal bukan hanya sebagai pemikir tetapi juga seorang aktivis. Semasa menjabat Profesor, ia turut mereformasi sistem pendidikan di negeri itu, terkhusus di universitas. Salah satu sumbangannya adalah memasukan pelajaran sejarah ide dalam semua jurusan di Universitas di Norwegia sebelum mahasiswa mengambil jurusan yang lebih spesifik. Banyak pengamat melihat hal ini sebagai langkah penting dalam kehidupan intelektual di Norwegia dan membentuk sebuah generasi baru ilmuwan Norwegia yang lebih toleran dan bekerja dengan perspektif lintas ilmu. Ia juga kerap mengadakan kuliah sambil mendaki gunung bersama mahasiswanya, sebuah aktivitas yang membuahkan pemikirannya mengenai deep ecology belakangan hari. Bahkan pada tahun 1937 ia membangun sebuah pondok kayu kecil di puncak gunung dan memberinya nama Tvergastein. Belakangan nama ini pun diadopsinya sebagai nama teorinya (ecosophy T).

Arne Dekke Eide Naess | Sumber: https://www.britannica.com/explore/savingearth/arne-naess

Aktivitas Naess bukan di bidang pencinta alam saja. Ketika Nazi pada Perang Dunia II menduduki Norwegia, Naess memimpin sebuah aksi perlawanan dengan diam yang terinspirasi dari Gandhi. Ia pun membantu menyelamatkan banyak mahasiswa berdarah Yahudi untuk bebas dan melarikan diri ketika kampus diduduki Nazi. Pada periode 1950-1960, Naess berkonsentrasi pada problem bahasa terkhusus semantik. Ia menjadi pemimpin apa yang disebut Lingkaran Oslo. Lingkaran ini menelorkan pemikiran-pemikiran filsafat bahasa yang merupakan reaksi terhadap Lingkaran Wina. Ia menekankan pentingnya bahasa yang empiris. Karya tulisnya dari 1937 menunjukkan kecenderungan itu yakni “Truth as Conceived by Those Who Are Not Proffesional Philosophers.

Ecosophy T

Menghadapi keadaan dunia yang semakin rusak ini, Arne Naess mengajukan sebuah pemikiran etika yang disebutnya dengan ecosophy T. Menurutnya, para pejuang, pemikir, dan pekerja yang mencurahkan kerja mereka untuk masalah ekologi haruslah menunjukan pentingnya ekosopi itu langsung pada sebuah norma dasar. Ecosophy T dapat kita pahami sebagai sebuah konsep mengenai kerangka berpikir manusia tentang alam dan relasi manusia dengan alam itu. Ecosophy T merupakan totalitas kerangka berpikir manusia dengan alam dan juga bagaimana relasi manusia dengan hal itu. Kata ecosophy sendiri berasal dari kata bahasa Yunani yakni okis dan nomos yang digabungkan dengan sophia. Atau ecosophy bisa pula dilihat sebagai gabungan dua hal yakni ecology yang kita tahu merupakan ilmu pengetahuan tentang lingkungan hidup atau alam semesta secara keseluruhan dan sophia berarti kebijaksanaan. Jadi ecosophy adalah, secara sederhana, pengetahuan ekologis, pengetahuan tentang lingkungan hidup, keseluruhan alam semesta, yang dijalankan dengan bijaksana.

Naess memaksudkan ekologi sebagai segala jaringan kehidupan di alam semesta yang mana terdapat komunikasi atau relasi antara manusia dengan alam, organisme dengan keseluruhan alam. Dengan demikian, bisa dikatakan ekosofi adalah sebuah relasi dengan alam yang bijaksana. Di sini kita tentu harus mencari lebih jauh apa yang dimaksud dengan berelasi secara bijaksana dengan alam tersebut. Demikian ungkap Naess, “so an ecosophy becomes a philosophical world-view or system inspired by the condition of life in the ecosphere[3].

Bagi Naess, kehidupan manusia dan segala yang dihadapi, dialami, serta diketahuinya tentang lingkungan hidupnya, semestanya, dunianya tidak bisa tidak selalu disumbangkan oleh lingkungan hidup itu sendiri. Setiap bagian dari alam semesta punya andil atau turut menyumbang untuk pengetahuan atau kehidupan manusia itu sendiri. Dengan demikian bisa dikatakan ada sebuah hubungan korelasional antara alam semesta, lingkungan manusia dengan manusia itu sendiri. Pengetahuan pun dilihat Naess dalam kerangka ini. Pengetahuan adalah hasil dari korelasi kehidupan pada keseluruhan alam semesta. Penghormatan terhadap konteks inilah yang menjadi penekanan Naess yang patut diperhatikan dan dipertimbangkan manusia.

Sedikit banyak dari beberapa penlejasan di atas kita sudah memahami apa yang dimaksudkan Naess dengan ecosophy. Pertanyaan berikutnya apakah yang dimaksudkan Naess dengan huruf T yang mengikuti di belakang kata ecosophy. T menurut David Rothenberg dalam pengantar buku Naess bertajuk Ecology, Community, and Lifestyle merujuk pada nama gunung yang digemari Naess yakni Tvergastein yang berarti menyeberangi bebatuan. Namun yang terpenting dari T ini adalah intuisi personalnya. Lebih jauh dikatakan Rothenberg bahwa dengan menyebutnya dengan T, yang dimaksudkan bahwa ada begitu banyak ekologi dari A sampai Z dan kita masing-masing bisa merujuk atau menentukan yang mana yang menjadi pilihan kita[4]. Naess memformulasikan ecosophy T (dengan penekanan pada T ) ini dengan T0 ◊ T1 = T0 + T1.

Dengan demikian, Naess sebenarnya tidak menetapkan sesuatu tolok ukur yang patut diikuti. Justri yang ditekankan Naess adalah setiap orang bisa menetukan ecosophy-nya masing-masing. Namun demikian Naess bukan bermaksud bahwa semua manusia secara gampang bisa menentukan ecosophy-nya. Ada langkah-langkah atau prasyarat yang perlu dilewati sebelumnya.

Pertama-tama individu manusia haruslah terlebih dahulu memahami dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dari alam semesta. Sebaliknya, ia juga perlu memahami, dan ini lebih penting, ia tak mungkin ada tanpa keseluruhan atau sebagian kecil saja dari alam semesta tak berfungsi maka keberadaan manusia individu ini pun akan terancam. Dengan kata lain manusia individu punya peran yang besar dalam alam semesta, sebaliknya bagian terkecil dari alam semesta pun berperan besar pada kehidupannya. Dari pemahaman inilah nantinya manusia individu ini bisa melakukan realisasi diri (yang akan dibahas lebih jelas di bagian setelah ini). Pemikiran Naess bersifat biosentris yang mana melihat semua makhluk hidup sebagai bermakna. Makhluk biotis mau pun abiotis itu menyusun kehidupan di alam semesta ini sehingga dengan demikian keduanya sama bermaknanya,

Pada dirinya, makhluk biotis dan abiotis itu punya andil dalam alam semesta. Kehidupannya atau keberadaannya menyumbangkan sesuatu pada keberlangsungan alam semesta. Dengan demikian yang diperhatikan bukanlah nilai guna dari makhluk biotis dan abiotis ini. Meski pun ecosophy T tidak bermaksud untuk mengabaikan sama sekali masalah nilai guna. Namun pada kenyataannya, perhatian pada nilai guna instrumentalis inilah yang membuat dunia menjadi rusak sana-sini.

Menurut Naess, jika kepedulian terhadap permasalahan ekologis berdasarkan pengalaman peribadi maka hal ini merupakan proses kritisisme. Masuk ke dalam perihal pengalaman, Naess sesungguhnya menggunakan metode fenomenologi yang dikembangkan pertama kali oleh Edmund Husserl dan dilanjutkan oleh Martin Heidegger dan beberapa filsuf setelahnya. Naess menggunakan apa yang disebut Gestalt yang merupakan sebuah bagian dari struktur intensionalitas. Intensionalitas sebagaimana yang kita tahu dalam fenomenologi adalah proses keterarahan obyek pada subyek dan sebaliknya bagaimana subyek mempersespi obyek.

Pengalaman dalam fenomenologi tidak selalu sama; ia merupakan sebuah kebaruan dalam setiap peristiwanya. Hal ini mengakibatkan pengalaman selalu berbeda. Naess misalnya menggambarkannya dengan contoh ketika kita mendengarkan melodi musik tertentu. Persepsi akan melodi ini haruslah mengandaikan adanya pengetahuan tentang nada-nada. Jika tanpa pengetahuan tentang nada ini maka pengalaman akan sebuah melodi tersebut akan jauh sama sekali[5]. Pengalaman akan nada-nada dan pengalaman akan melodi ini menjadi sebuah kesatuan total. Kita mengetahui nada do dan mi serta sol dan nantinya pengalaman kita akan susunan nada ini menjadi satu kesatuan melodi. Dengan demikian, dari hari ke hari, pengalaman yang didapatkan manusia memberikan kekayaan padanya. Gestalt adalah sebutan untuk intensionalitas yang hadir pada pengalaman. Gestalt ini merupakan hal yang penting dalam ecosophy T Naess. Gestalt menyangkut kompleksitas, simbiosis, dan keanekaragaman. Naess mengatakan demikian mengenai gestalt,

“Are easily destroyed by attempts to analyse fragments of them conciously… [for example] some people can distinguish between species of birds in flight a great distance with great certainty even in dim light. Attempts to formulate precisely the telling characteristics (that is the individual components of the gestalt perception) prove to be futile, however, and can reduce one’s ability to distinguish between species under difficult conditions.”[6]

Sumber: https://www.marinemammalcenter.org/science-conservation/conservation/ocean-trash

Sampai pada pemahaman tentang gestalt ini pada akhirnya akan membawa kita pada point pemikiran Naess berikutnya yakni menyangkut manusia ekologis.

Manusia Ekologis

Gestalt sebagai bagian dari etika ecosophy T tadi pada akhirnya menciptakan manusia ekologis. Manusia yang sudah memiliki gestalt dan mengembangkan konsep ekosofi-nya akan menjadi manusia ekologis. Yang dimaknai sebagai manusia ekologis adalah manusia yang menyadari dirinya dalam kompleksitasnya dan keterkaitannya dengan alam.

Di sini manusia sebagai self sudah merealisasikan dirinya menjadi Self yang memiliki totalitas. Dengan realisasi diri ini, pandangan manusia atas alam akan berubah. Manusia yang sudah mengalami realisasi diri akan melihat dirinya sebagai bagian dari alam dan terintegrasi dengan alam. Pandangannya akan alam akan berubah dari berpusat pada manusia menjadi berpusat pada keseluruhan alam itu sendiri.

Realisasi diri ini tidak terjadi serempak dan sama pada setiap individu. Setiap orang akan mengalami realisasi dirinya masing-masing. Namun bagi Naess perbedaan ini tidaklah menjadi sebuah masalah sejauh itu kompatible. Karena, sekali lagi, pengalaman pada diri setiap manusia itu pun bersifat subyektif dan bukannya obyektif. Di sini kita melihat bahwa Naess sungguh mengikuti apa yang dijalankan  atau dipahami dalam fenomenologi.

Keseluruhan alam tidak mungkin atau sulit untuk dipahami oleh manusia secara bersamaan pada titik yang sama. Akan ada cara pandang dan cara melihat dengan penekanan pada titik-titik yang berbeda. Perbedaan titik pandang ini pada akhirnya menciptakan suatu keutuhan juga. Inilah kenapa bagi Naess tidak menjadi alasan bila realisasi diri itu berbeda-beda pada masing-masing orangnya jika dan hanya jika kompatible dengan alam itu sendiri.

Sifat dari realisasi diri sendiri bukanlah sesuatu yang bersifat bertumpu pada subjek itu sendiri. Justru realisasi diri ini bersifat terbuka dan aktif melihat ke luar dari dirinya. Tindakan realisasi diri dilihat sebagai gestalt bagi yang lain. Dan dengan realisasi diri harus pula dilihat tidak berbeda dengan realisasi diri dari yang lain bahkan membantu yang lain untuk mengembangkan dirinya.

Dengan pandangan bahwa realisasi diri haruslah menempatkan dirinya sebagai gestalt bagi yang lain dan juga melihat bahwa realisasi dirinya tidak berbeda dengan realisasi diri dari yang lain maka kita masuk pada apa yang disebut sebagai egalitarianisme biosfer. Kita tahu egalitarianisme adalah sebuah pandangan yang berasal dari kosa kata bahasa Prancis, egal, yang berarti sama. Egalitarianisme dengan demikian adalah pandangan bahwa seseorang atau sesuatu harusnya diperlakukan atau dilihat secara sama dan setara. Egalitarianisme biosfer dengan demikian tidak hanya menempatkan egalitarianisme dalam taraf manusia semata melainkan membawanya pada keseluruhan alam. Dengan demikian egalitarianisme biosfer dimakusdkan sebagai sebuah cara pandang yang melihat semua makluk biotik mau pun non-biotik secara sama, sederajat dan merata, sejauh ia merupakan bagian dari alam semesta.

Pandangan ini dengan demikian hendak menunjukkan konsekuensi lebih lanjut dari pemikiran etika Naess yang memulianya dengan gestalt. Ciri pengalaman manusia dalam intensionalitasnya dengan alam semesta adalah pengandaian bahwa pengalaman tidak pernah berdiri sendiri melainkan selalu dan senantiasa dalam kaitannya dengan konteks dan lingkungannya. Pengalaman yang berkembang dalam realisasi diri yang berujung pada Self yang menyadari keberadaannya di tengah alam semesta tentu juga selalu ada dalam konteks alam semesta itu. Setiap entitas dalam alam semesta dengan demikian menyumbangkan sesuatu pada pengalaman hidup itu sendiri.

Di sini kita harus melihat bahwa manusia sebagai subyek ini pengalamannya selalu merupakan andil dari segala isi alam semesta. Dengan kata lain setiap entitas alam semesta punya nilai intrinsik dan ekstrinsiknya dalam hubungannya dengan alam semesta sebagai tempat di mana ia berada. Dengan begitu egalitarianisme biosfer adalah konsekuensi lanjutan dari manusia ekologis sebagai self yang telah merealisasikan dirinya sebagai Self yang menyadari keberadaannya di tengah alam semesta. Pada titik akhir ia lantas menerapkan kesederajatan setiap entitas dalam alam semesta dalam pandangannya.

Namun jika sampai pada titik ini saja pemikiran Naess maka pemikirannya bisa dikatakan sebagai sebuah petuah moral tanpa ada aksi tertentu. Naess tentu saja bukan berhenti di situ. Ia lebih lanjut memformulasikan sebuah deep ecology sebagai gerakan.

Deep Ecology Sebagai Gerakan

Deep ecology yang dirumuskan Naess tidak berhenti hanya pada perihal teori yang merumuskan hubungan manusia dengan alam semesta. Ia lebih jauh mengajak manusia untuk memikirkan dan mengevaluasi hubungan manusia dan alam selama ini yang terejawantah dalam gaya hidup dan pola konsumsi; singkatnya perlakuannya terhadap alam. Namun, deep ecology lebih jauh dikenal sebagai sebuah gerakan. Gerakan deep ecology bisa dipahami sebagai gerakan yang mengajak manusia untuk mengubah gaya hidupnya sehingga sesuai dengan alam. Pemikiran Naess tentang deep ecology ini bisa dikatakan mendapat inspirasi juga dari beberapa pemikir sebelumnya antara lain Aldo Leopold, Dave Brower, Paul Erlich, John Muir, Henry David Thoreau, D. H. Lawrence, dll.[7]

Bisa dikatakan tahun 1972 adalah tahun yang penting dalam perjalanan pemikiran Naess tentang deep ecology. Ketika itu, Naess menuliskan sebuah artikel bertajuk Deep. Long-Range Ecology Movement dalam rangka sebuah konferensi di Bucharest. Namun, intuisinya akan pentingnya dan kesejajaran alam dan manusia sudah sejak lama dirasakannya. Hal ini disumbangkan pertama-tama oleh aktifitas yang digemarinya yakni mendaki gunung. Pada awalnya deep ecology sendiri diformulasikannya sebagai sebuah intuisi kesadaran lingkungan. Dalam sebuah artikelnya yang lain, The Shallow and the Deep, long range Ecology Movement: A Summary, Naess menulis demikian,

“The emergence of ecologist from their former relative obscurity marks a turning point in our scientific communities. But their message is twisted and misused. A shallow, but presently rather powerful movement, and a deep, but less influential movement, compete for our attention. I shall make an effort to characterize the two.

    1. The Shallout Ecology mouement:
      Fight against pollution and resource depletion. Central obiective: the health and affluence of people in the developed countries.
    2. The Deep Ecology mouement:
      Rejection of the man-in-environment image a favor of the relational, total-field image. Organisms as knots in the biospherical net or field of intrinsic relations. An intrinsic relation between two things A and B is such that the relation belongs to the definitions or basic constitutions of A and B, so that without the relation, A and B are no longer the same thing. The total-field model dissolves not only the man-in-environment concept, but every compact thing-in-milieu concept-except when talking at a superficial or preliminary level of communication.”[8]

Pada kutipan ini terbacalah pada kita bahwa Naess hendak membedakan sebuah pemikiran ekologinya yang berbeda dari para pendahulunya. Katakanlah ada sebuah pembaharuan yang hendak dicari Naess, DI sana ditunjukannya kelemahan dari para pemikir ekologi sebelumnya. Baginya mereka hanya memikirkan ekologi sejauh ada dampak yang timbul dari manusia. Dengan kata lain pemikir ekologis yang dikatakan Naess ini masih berada dalam cuaca pemikiran antroposentris (berpusat pada manusia). Inilah letak perbedaan dengan deep ecology yang menolak antroposentris dan memikirkan alam semesta secara keseluruhan dan dalam waktu yang lebih jangka panjang.

Pada kutipan di atas terlihat ada perbedaan yang dibuat Naess sendiri yakni shalow ecology dan bisa dibandingkan dengan deep ecology. Yang dimaksudkan Naess dengan shalow ecology adalah sebuah pemikiran ekologis yang berpusat pada manusia dan memikirkan ekologi sejauh hubungannya dengan kepentingan manusia. Perbedaannya dengan deep ecology adalah deep ecology mengutamakan non egoistik, memperhatikan pihak lain, dalam hal ini keseluruhan ekosistem alam, dan mencoba menciptakan sebuah bentuk tindakan baru darinya. Dari sana, Naess lantas memformulasikan apa yang disebutnya sebagai 8 poin deep ecology.

Naess, seperti yang diutarakan pada bagian sebelumnya memberikan delapan poin untuk menjelaskan apa itu gerakan ekologi dari sudut pandangnya yang menurutnya merangkumkan keseluruhan dari gerak ekologi itu sendiri. Kedelapan point ini sengaja dibuat sesederhana mungkin oleh Naess agar bisa dipraktikan dan diperhatikan serta dipahami oleh setiap orang, tidak hanya dari kalangan filsuf semata.

Delapan poin itu adalah,

    • The well-being and flourishing of human and non-human life on Earth have value in themselves (synonyms: intrinsic value, inherent worth). These values are independent of the usefulness of the non-human world for human purposes.
    • Richness and diversity of life forms contribute to the realization of these values and are also values in themselves.
    • Humans have no right to reduce this richness and diversity except to satisfy vital needs.
    • The flourishing of human life and cultures is compatible with a substantially smaller human population. The flourishing of non-human life requires a smaller human population.
    • Present human interference with the non-human world is excessive, and the situation is rapidly worsening.
    • Policies must therefore be changed. These policies affect basic economic, technological, and ideological structures. The resulting state of affairs will be deeply different from the present.
    • The ideological change will be mainly that of appreciating life quality (dwelling in situations of inherent value) rather than adhering to an increasingly higher standard of living. There will be a profound awareness of the difference between bigness and greatness.
    • Those who subscribe to the foregoing points have an obligation directly or indirectly to try to implement the necessary changes.[9]

Dari delapan poin di atas kita melihat bahwa Naess menempatkan manusia di nomor ke dua. Manusia harus menempatkan dirinya bukan sebagai tujuan dari alam semesta ini melainkan manusia harus melihat dirinya sebagai bagian dari keseluruhan hidup ini. Naess menekankan bahwa term “life” pada poin 1 merujuk kepada apa yang diklasifikasikan oleh biologi sebagai “non-living: sungai-sungai (batas air), pemandangan-pemandangan, ekosistem-ekosistem”. Point kedua pun masih berbicara perihal kesamaan atau egalitarianisme ekologis.

Orang Dayak dari Borneo karya van Pers (sekitar 1858) | Sumber: https://bartelegallery.com/product/antique-print-of-dayak-people-of-borneo-by-van-pers-c-1858/

Pada point ketiga, Naess memasukan perihal manusia. Lebih khusus bagaimana manusia dan relasinya dengan alam. Point keempat dan kelima Naess memberikan semacam wanti-wanti jika pertambahan jumlah populasi manusia tidak dibendung. Secara politis, Naess pun memasukannya. Diperlukan, katanya dalam point keenam, kebijakan-kebijakan yang punya perspektif akan pentingnya alam. Sedangkan point ketujuh dan kedelapan Naess menekankan pentingnya hutan di mana di sanalah ekosistem ada. Ia juga mengingatkan perihal konsumsi manusia atas alam.

Rangkuman

Delapan poin yang merupakan hal-hal yang harus diperhatikan dalam gerakan ekologi ini seakan-akan merangkum keseluruhan pemikiran Naess. Di sana terdapat juga apa yang disebutnya sebagai Ekosofi T sebagai salah satu bentuk dari deep echology. Ekosofi T secara substansial adalah realisasi-Diri (Self-realization). Perlu ditekankan bahwa Diri (Self) ini bukan merujuk pada manusia saja. Diri (Self) ini merujuk pada diri yang tidak egoistis yang individual melainkan Diri dalam keseluruhan hubungannya dengan keseluruhan entitas di semesta atau sesuatu yang di dalam tradisi filsafat timur disebut atman. Demikian Naess, “This large comprehensive Self (with a capital “S”) embraces all the life forms on the planet (and elsewherel) together with their individual selves (jivas)[10]

Dengan menempatkan Diri (Self) yang demikian, Naess tidaklah kembali menekankan manusia pada keegoisan a la humanism Barat melainkan menempatkan manusia sebagai makhluk yang pasrah dalam keberadaannya dengan segala entitas di alam semesta. Dengan kata lain, manusia menjalankan egalitarianisme biosfer. Manusia menjadi ada dan hidup serta memahami dan menjalani hidup hanya karena keberadaan dirinya bersama diri-diri lain dari entitas lain alam semesta dalam satu Diri yakni alam semesta; Diri individu manusia adalah Diri dari keterpautan segala ihwal alam semesta.***

Daftar Bacaan:
Bankston, Carl L., “Arne Naess”, dalam John K. Roth, Christina J. Moose, dan Rowena Wildin (eds.). World Philosophers and Their Works. Salem Press. 2000.
Naess, Arne. Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy Cambridge. Cambridge: Cambridge University Press. 1989.
Session, George (ed.). Deep Ecology for The 21st Century. Boston: Shambhala. 1995. 

Internet:
Fox, Warwick,. http://trumpeter.athabascau.ca/index.php/trumpet/article/view/426/695, diakses pada Mei 2014.

[1] Bagian ini sebagian besar disarikan dari Carl L. Bankston, dalam John K. Roth, Christina J. Moose, dan Rowena Wildin (eds.), World Philosophers and Their Works, (Salem Press), 2000.
[2] Sebagaimana dikutip oleh Warwick Fox, http://trumpeter.athabascau.ca/index.php/trumpet/article/view/426/695, diakses pada Mei 2014.
[3] Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy Cambridge,(Cambridge: Cambridge University Press), 1989, hlm. 38.
[4] Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle…, hlm.  4-5.
[5] Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle…, hlm. 57.
[6]  Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle…, hlm. 60-61.
[7]  George Sessions (ed.), Deep Ecology for The 21st Century, (Boston: Shambhala), 1995, hlm. ix.
[8]  George Sessions (ed.), Deep Ecology for The 21st Century…, hlm. 150.
[9] Naess sebagaimana dikutip dalam George Sessions (ed.), Deep Ecology for The 21st Century…, hlm. 68.
[10]  Naess sebagaimana dikutip dalam George Sessions (ed.), Deep Ecology for The 21st Century…, hlm. 80.


*Catatan: Tulisan ini merupakan makalah untuk mata kuliah Filsafat Kontemporer pada Program Magister Filsafat, STF Driyarkara, 12 Juni 2014.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram