Adalah seorang tokoh sejarah yang ceritanya pun samar-samar sampai pada kita yang dikisahkan Rosihan Anwar dalam buku ini. Ialah Radja Ketjil yang kerap dikenang juga dengan berbagai nama; Radja Hitam, Ibahim, Ibn Iskandar. Banyak pula dugaan-dugaan tentang asal-usul tokoh yang satu ini. Selain dispekulasikan berasal dari Minangkabau, dia juga diduga sebagai anak dari Sultan Mahmud Sjah II dari Djohor.

Suatu keuntungan dari genre novel sejarah pada hemat saya adalah kemampuannya membawa pembaca pada suatu hal yang beda sama sekali dengan keseharian sang pembaca. Dalam hal ini masa lalu; masa yang lebih sering dilihat oleh masyarakat masa kini sebagai sebuah masa yang eksotis dan menyimpan misteri. Apalagi di tengah kemerosotan sebuah jati diri kebangsaan dan kebanggan sebagai bangsa yang kian melemah akibat keterpurukan bangsa di kancah dunia, novel sejarah yang menceritakan kehebatan, keindahan, kecemerlangan dan keperkasaan bangsa di masa dahulu adalah sebuah penyejuk nan segar untuk pembaca yang tak mau memandang realitas sekarang dengan teguh dan mau melawannya.

Maka, hal-hal lain dalam novel bisa saja terlupakan apabila novel sejarah tersebut menggambarkan secara umum saja kehidupan di masa lalu dan segala variannya. Niscaya, setting yang berbeda dengan keadaan pembaca sekarang, lian yang dihidupkan di tengah pembaca yang terbebani rutinitas, akan diterima pembaca sebagai keindahan, sebagai sebuah kebenaran masa lalu yang tentu saja membawa nostalgia. Maka, terselamatkanlah, kalau ada, ketimpangan-ketimpangan lain novel sejarah oleh settingnya yang lian itu. Sebab, pembaca novel bukanlah pembaca sejarah yang bisa membedah mana realitas sejarah yang patut berterima dan mana yang tak patut diterima.

Nah, apa yang dibeberkan panjang lebar di atas itulah salah satu keuntungan novel Rosihan Anwar ini. Dengan mengantongi indentitas novel sejarah, apalagi dengan tema kelautan yang jarang digarap itu, Rosihan Anwar berhasil menelorkan sebuah novel yang cukup enak dibaca, dalam pengertian enak dipandang sebagai sebuah realitas yang lian dengan realitas kita sekarang.

Foto Sampul Novel ‘Radja Kecil’ yang Diambil dari Sebuah Lapak Penjual Buku Bekas | Sumber: https://pemulungbukubekas.blogspot.com/2014/09/rosihan-anwar-raja-kecil-bajak-laut.html

***

Ada juga selentingan sekadar candaan bahwa untuk ‘menyelamatkan’ sejarah yang samar-samar, maka tuliskanlah ia menjadi sastra. Dengan selentingan seperti ini, kita sebenarnya punya sebuah masalah. Fakta sejarah terkadang dipakai hanya sebagai alat untuk mengembangkan imajinasi fiksional yang lantas melahirkan novel sejarah. Namun terkadang juga, dengan merujuk selentingan itu bila pun benar, novel sejarah adalah alat untuk tak menyia-nyiakan fakta sejarah yang masih dipertanyakan dan masih belum rampung.

Tengoklah bagian epilog novel Radja Kecil ini. Di sana dituliskan Rosihan Anwar, “…Segalanya ini menimbulkan kesulitan dalam menceritakan riwayat Raja Kecil menurut kejadian yang sebenarnya. Dari berbagai versi ini haruslah dilakukan suatu pemilihan. Untunglah dalam hal ini kita berhadapan dengan suatu novella-sejarah, dengan accent atau tekanan pada novella, sehingga di sana-sini terbuka kebebasan yang lumayan bagi pengarang melukiskan bahan ceritanya”. Pernyataan ini sungguh mengganggu pembacaan novel ini pada hemat saya. Terkesan seolah-olah karena sulit menuliskan kisah Raja Kecil yang sebenarnya, maka penyelamatannya adalah menuliskan novel sejarah.

Sastra dan sejarah sungguh berbeda sebenarnya dalam fungsi dan gayanya. Sastra menghadirkan sebuah kisah fiksi yang mampu mengajak pembaca berefleksi dan mengkreasikan sebuah realitas fiksional yang baru. Sedangkan pengetahuan sejarah adalah pengetahuan untuk memahami masa lalu, yang bisa dijadikan cerminan hari ini dan hari nanti. Jadi, sungguh sayang bila novel sejarah dianggap sebagai penyelamatan fakta sejarah yang kabur dan samar-samar. Memang, Rosihan Anwar menulis sebuah novel di mana dia bisa bebas mengkreasikan kisah. Namun pernyataan di bagian epilog yang dikutip di atas, mengganggu sungguh atas sebuah pembacaan novel.

Terlepas dari masalah itu pun, novel Raja Kecil tidak penuh sebagai sebuah novel. Dalam pengertian, ia tidak mencirikan sebuah novel yang baik. Walau pun berjudul Raja Kecil, novel ini tidak seratus persen menjadikan tokoh Raja kecil sebagai sentral cerita. sebagai individu yang utuh. Rosihan Anwar hanya sekadar menggambarkan Raja Kecil yang di permukaan saja. Siapa dia, kedudukannya, sepak terjangnya dalam perang dan beberapa hal yang tidak personal lainnya. Namun, hal-hal personal seperti perasaannya, dialog-dialog batin dan visi hidupnya tidak dieksplorasi secara mendalam dalam novel ini. Maka, novel ini terkesan hanya sebagai review saja dari sepak terjang Raja Kecil dalam kedudukannya sebagai seorang raja.

Berbeda misalnya bila kita membaca Dokter Zhivago—sebuah novel sejarah juga saya kira—di mana tokoh sentral ada pada Yuri Zhivago. Dalam Raja Kecil, seperti yang pernah diungkapkan juga oleh Ajip Rosidi dalam Pelopor Baru (16/7/97), tokoh Raja Kecil tidak mengambil posisi seperti posisi Yuri Zhivago dalam Dokter Zhivago.

Meskipun demikian, novel ini sungguh berhasil dalam hal menggambarkan keadaan perniagaan Selat Malaka di tahun 1770-an, kehidupan di kota-kota pelabuhannya dan juga kehidupan para bangsawan, para perompak dan juga perpolitikan antar suku yang suka mengembara di perairan nusantara. Bagaiamana kelompok pelaut bugis muncul yang dianggap oleh kebanyakan orang hanya bis berkelahi, dan bagaimana perpolitikan mereka di wilayah perniagaan nusantara adalah salah satu contoh keberhasilan novel ini.

Rosihan Anwar | Sumber: https://www.antaranews.com/berita/260678/rosihan-anwar-berpribadi-merdeka

Akhirul kalam, novel Raja Kecil patut kita beri tempat yang layak karena keberaniannya mengangkat setting dan latar cerita dari sebuah kurun waktu yang sudah samara-samar diketahui. Rosihan Anwar berhasil menerawang sebuah keadaan masyarakat maritim dan kegiatan maritim nusantara di era 1770-an, ia berhasil menerawang hingga 2 abad lalu (buku ini sendiri diterbitkan tahun 1967). Keberhasilan mengangkat dan menggambarkan keadaan masyarakat dan keadaan perniagaan maritime zaman itu, sayang tak diiringi keberhasilannya dalam membangun tokoh cerita yang benar-benar bulat, yang benar-benar menampilkan dirinya sebagai tokoh manusia seutuhnya.

Judul Buku: Radja Ketjil: Badjak Laut di Selat Malaka
Pengarang: H. Rosihan Anwar
Penerbit: Indira, Jakarta, 1967
Tebal: VII + 173


*Catatan: Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di PendarPena Edisi 11, Oktober 2008, Tahun I (Maritim Nusantara).

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram