Panggung gedung pertunjukan Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki malam itu disetting layaknya ruang duduk sebuah rumah. Dua lampu baca di dua meja, karpet dan level kecil, tiga kain panjang menjulur dari atas. Suasana domestik begitu terasa. Di salah satu sudutnya, lima orang musisi duduk tenang di hadapan instrumen masing-masing. Itulah suasana panggung Lagu Untuk Anakku: Konser Perempuan untuk Kemanusiaan yang berlangsung pada 13 November 2017 dari pukul 20.00 hingga kira-kira 22.00 WIB. Paduan Suara Dialita (Di Atas Lima Puluh Tahun)—terdiri dari para perempuan penyintas Peristiwa 1965 beserta keluarga yang kebanyakan berusia di atas 50-tahun—tampil sebagai bintang utama didampingi oleh para penyanyi muda masa kini; Bonita Adi, Junior Soemantri, Kartika Jahja, Endah Widiastuti, Sita Nursanti, dan Endah Laras. Hampir semuanya perempuan, kecuali Junior Soemantri.

Ruang Domestik di Panggung

Dari setting panggung yang beraroma domestik itu memang di satu sisi terasa konstruksi budaya atas perempuan; bahwa tempatnya adalah di ranah domestik. Tapi di sisi lain, justru suasana yang demikian membuat panggung malam itu terasa milik perempuan dan khas perempuan.

Tiga kain panjang menjulur di tengah panggung rupanya difungsikan sebagai layar video.  Setiap lagu yang dibawakan selalu diawali oleh cerita latar belakang lagu tersebut. Malam itu, lebih banyak para penyanyi muda yang tampil. Dialita hanya tampil di penghujung acara.  Perihal peristiwa 1965 dan mengapa para anggota Dialita dipenjara karenanya tak perlu lagi dijelaskan panjang lebar. Sudah terlalu banyak referensi untuk itu yang bertebaran.

Ruang domestik yang dihadirkan di panggung pada hemat saya membuat Konser Lagu Untuk Anakku bukan sekadar konser musik tetapi sekaligus panggung sebuah dongeng. Namun, bukan dongeng fiksi yang dikisahkan. Ini adalah dongeng lantaran selama Soeharto berkuasa, ia tidak pernah diterima sebagai narasi resmi sejarah bangsa. Bahkan, hingga hari ini. Dongeng itu, dengan pelbagai variasinya, bercerita tentang para perempuan—kebanyakan remaja kala ditangkap—yang ditangkap dan dipenjarakan tanpa melalui proses hukum selama bertahun-tahun. Para perempuan itu, di masanya, adalah mereka-mereka yang dengan caranya masing-masing berusaha mengisi kemerdekaan Indonesia dengan cara yang mereka percaya baik dan benar.

Bayangkanlah para perempuan yang menghabiskan sebagian masa mudanya di dalam penjara. Dunia seperti apa yang harus mereka hadapi, harapan seperti apa yang masih bisa mereka harapkan, dan cinta seperti apa yang masih bisa mereka simpan? Saya hanya bisa bertanya dan tak bisa membayangkan jawaban yang pasti. Terkadang, ada kepedihan yang tak mampu diwakilkan oleh simbol apa pun.

Perempuan Yang Berkisah

Lagi-lagi, dengan suasana ruang domestik, tampak sekali para perempuan yang berkisah di panggung mengisahkan kisah-kisahnya dengan begitu lepas, leluasa menumpahkan emosinya, dan saling bercerita antara sesama perempuan. Lagu-lagu Dialita dibawakan para penyanyi perempuan yang lebih muda—Bonita, Endah, dll. Setelah narasi diceritakan oleh anggota Dialita, lagu dibawakan. Saya melihat susunan moment-moment itu sebagai dialog antar perempuan beda generasi.

Dialog yang terjadi di ruang domestik, ruang yang khas perempuan membuat dialog menjadi begitu cair, dari hati ke hati, dan transfer pengetahuan terjadi dengan begitu baik. Ruang domestik bisa jadi adalah ruang yang aman untuk perempuan di tengah dunia kuasa patriarki. Apalagi, para perempuan yang bertutur adalah mereka yang ‘dibumi-hanguskan’ oleh sebuah kekuatan patriarki yang paling berangkara-murka (baca: Orde Baru). Dan di ruang domestik itu, lelaki akan tampak canggung.

Endah Laras pada Konser Dialita di Graha Bakti Budaya | Foto: KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO | Sumber: https://www.kompas.id/baca/hiburan/2017/12/17/dialita-mengalirkan-harapan

Kecanggungan lelaki ditampakkan oleh kemunculan Junior Soemantri. Setelah beberapa lagu dibawakan, Soemantri muncul membawakan Mawar Merah. Memang, lagu ini berkisah tentang seorang tahanan lelaki yang memberi sekuntum mawar merah pada tahanan perempuan. Terlepas dari isi dan pesan lagu, penampilan Junior Soemantri berbeda sungguh dengan penampilan para penyanyi lainnya yang semuanya adalah perempuan. Ketika para penyanyi perempuan ini tampil, terasa betul narasi pada video dengan lagu yang dibawakan berdialog dan saling melengkapi. Pada tampilan Soemantri, hal itu hilang. Dengan gaya cengengesan a la lelaki tampan, Soemantri tampil seolah-olah percaya diri, mampu mengobati luka dan kepedihan perempuan, seolah-olah mampu menguasai dan menyihir ruang domestik panggung.

Kehadirannya, yang ditutup dengan menyerahkan sekuntum mawar kepada salah satu anggota Dialita, hanya sekadar gangguan kecil tak berarti pada kepedihan dan keharuan narasi dialog dua generasi itu; Paduan Suara Dialita dengan para penyanyi muda perempuan. Saya membayangkan seperti ini gangguan yang ditimbulkan kehadiran Soemantri; ada dua perempuan yang tengah bergosip di dapur. Tiba-tiba muncul sebentar seorang lelaki mengambil minum. Dua perempuan itu terdiam sejenak, mengganti topik pembicaraan, dan sedikit bertegur sapa dengan lelaki itu. Si lelaki pergi lagi setelahnya; kembali ke pekerjaannya atau hobbinya. Kedua perempuan itu pun kembali bergosip dengan serius. Tak ada perubahan apa-apa pada narasi para perempuan dari kehadiran seorang lelaki di ruang domestik.

Lagu Sebagai Harapan

Jika kita hendak mencari kekuatan sebuah lagu (baca: seni) untuk memupuk harapan, maka lagu-lagu Dialita adalah contoh yang paling relevan. Di sastra, Pramoedya melakukannya pula dengan berdongeng. Sepuluh lagu yang dibawakan pada Konser Lagu Untuk Anakku, semuanya diciptakan di penjara. Beragam isinya; rindu pada anak, rindu pada orang tua, harapan untuk bebas, persahabatan, dan juga tentang Indonesia. Menciptakan lagu dan menyanyikannya adalah kegiatan mengisi waktu senggang di penjara. Lebih dari itu, lagu-lagu itu menguatkan mental serta membangun harapan untuk masa depan.

Yang paling memukau untuk saya, meski pun berada di dalam penjara, para pencipta lagu itu tetaplah patriot sejati. Duka derita kubawa setia / Cita dan cinta lahirkan s’gala // Nan indah di hari mendatang sayangku / Jadilah putera harapan bangsamu, demikian penggalan dari Lagu untuk Anakku. Di tengah ketidak-adilan yang ia rasakan, si pengarang lirik ini masih berpikir tentang bangsanya. Bahkan, ia berdoa agar anaknya bisa menjadi harapan bangsa. Artinya, ia berharap, anaknya menjadi pejuang untuk bangsanya.

Manusia seperti apakah yang di tengah ketidak-adilan yang dideritanya, masih saja berharap anaknya berjuang untuk bangsa? Bangsa yang membuatnya mendekam di penjara tanpa pengadilan? Tentu saja, tak perlu dijawab secara tersurat pertanyaan itu. Nah, di titik itu, baiklah kita memeriksa, sejauh apa cinta kita pada bangsa; kita yang tak pernah sehari pun dipenjara tanpa dalil hukum yang jelas ini?


*Catatan: Review ini pertama kali dipublikasikan di beritagar.id, 16 Desember 2017.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram