Film dokumenter sering disebut juga sebagai film-film idealis yang tidak memikirkan keuntungan secara finanfsial. Sering kali pula, film-film dokumenter ini menjadi rujukkan utama dalam membahas sesuatu, karena selain sifatnya yang mendokumentasikan sesuatu, film-film dokumenter banyak menangkap permasalahan-permasalahan yang tertutup atau pun ditutup-tutupi oleh media lainnya.

Luka Hutan Siberut adalah salah satu film dokumenter yang melakukan hal-hal itu. Film ini menggambarkan kerusakan hutan dan dampaknya bagi kehidupan masyarakat Suku Mentawai, khususnya yang hidup di Pulau Siberut. Ketika film dokumenter ini bercerita juga tentang kelompok masyarakat di Pulau Siberut, saat itu juga film ini bisa menjadi obyek kajian sosiologi. Sebab, secara etimologis, sosiologi berasal dari kata bahasa Latin socius yang berarti kawan dan kata bahasa Yunani logos yang berarti kata atau bicara. Maka sosiologi artinya adalah berbicara mengenai masyarakat[1].

Dalam film dokumenter ini secara tersurat terlihat ada sebuah permasalahan sosial di dalamnya. Hal ini semakin diperkuat dengan judul yang dipilih untuk film dokumenter ini yakni Luka Hutan Siberut. Kata Luka pada judul tersebut sudah menujukkan nada negatif film ini. Kesan ini semakin dibenarkan ketika kita menyaksikan filmnya sendiri. Terlihat di dalam film itu berbagai permasalahan. Entah rusaknya hutan itu sendiri, masalah masuknya korporasi besar di sekitar Hutan Siberut dan lain sebagainya.

Menoton film ini sungguh menarik bila menggunakan apa yang disebut C. Wright Mills dengan Sociological Imagination di mana dengan itu kita membuka mata kita atas dunia yang tak familiar dengan kita dan membuatnya menjadi begitu familiar dengan kita[2]. Di sini sepertinya dibutuhkan suatu keterlibatan yang sungguh dengan obyek perhatian kita. Maka, film ini menjadi menarik dibicarakan dari segi masyarakat yang mendiami daerah sekitar tempat itu. Seperti yang diketahui, suku Mentawai adalah suku yang kehidupannya dewasa ini masih bersinggungan dengan kehidupan tradisional mereka yang telah bertahan lama dan baru mulai berubah sekitar setengah abad yang lalu[3].

Dalam kehidupan suku ini, hutan sungguhlah penting dan menjadi sumber kehidupan mereka. Maka, jelaslah bahwa ketika korporasi-korporasi besar yang notabene adalah produk dunia modern masuk ke wilayah hutan Siberut terjadilah perubahaan sosial yang bisa mengganggu kehidupan masyarakat ini[4]. Terlihat jelas pula dalam film Luka Hutan Siberut ini bahwa terdapat konflik sosial. Ini nampak pada penuturan Agustinus Sabebegan, Wakil Ketua DPRD Mentawai, dan Murtias Saggeileppak, Kepala Dusun Saibei. Tulisan ini berusaha membahas konflik sosial yang timbul di sekitar Hutan Siberut dan berusaha pula untuk memberikan saran-saran atas konflik tersebut.

Ringkasan Film Dokumenter Luka Hutan Siberut

Film dokumenter garapan INFORM ini membahas tema pokok seputar rusaknya Hutan Siberut dan dampak-dampaknya untuk kehidupan masyarakat Suku Mentawai di sekitarnya. Dengan metode wawancara pada para tokoh masyarakat dan beberapa peneliti dari LSM yang bergerak di bidang perlindungan alam serta beberapa anggota masyarakat, film ini mengangkat problematika masyarakat Mentawai pasca masuknya pabrik-pabrik besar dalam pengolahan hutan mereka dan juga setelah pabrik-pabrik itu pergi dan meninggalkan kegamangan di tengah masyarakat. Dari hasil penuturan orang-orang yang diwawancarai tersebut, terlihat beberapa permasalahan seperti mulai berubahnya ekosistem alam di lingkungan suku Mentawai, konflik antar suku, dan lain sebagainya.

Sumber: https://www.kompas.id/baca/utama/2018/01/03/keresahan-di-tengah-hutan-siberut

Permasalahan Sosial di Hutan Siberut

Ada dua konflik horisontal dalam kasus masyarakat Mentawai di Pulau Siberut ini. Yang pertama adalah konflik horisontal antara masyarakat Mentawai dengan perusahaan-perusahaan besar yang menggarap hutan mereka dan yang kedua adalah konflik antara satu suku dan suku lain dalam masyarakat Mentawai.

A. Korporasi versus Komunitas

Menurut Dody Prayogo[5], konflik korporasi komunitas adalah sebuah bentuk konflik yang khusus, sebuah bentuk konflik antara kelompok sosial dan institusi produksi. Konflik ini lebih bertujuan pada kepentingan masing-masing atau demi kepentingan masing-masing. Pada kasus di Hutan Siberut, perusahaan-perusahaan besar berkepentingan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dan menjaga agar roda produksi mereka tetap berjalan dengan mengambil bahan pokok dari Hutan Siberut ini. Sedangkan masyarakat Mentawai di sekitar hutan itu berkepentingan mempertahankan hutan mereka sebab hutan itu adalah sumber kehidupan mereka; makanan, pakaian, alat transportasi bahkan religius.

Masih menurut Dody Prayogo[6], dalam bingkai konflik sosial antara kelompok sosial dan institusi produksi ini, penyebab-penyebab konflik lebih sering muncul dari institusi produksi. Penyebab-penyebab ini, dalam kasus Hutan Siberut sudah sangat nampak terlihat. Salah satu yang paling kentara adalah pengrusakan dan pencemaran alam. Maka terjadinya konflik biasanya dimulai oleh kelompok sosial, yang mana dalam film Luka Hutan Siberut ini belum terlihat secara nyata konflik itu. Namun penyebab-penyebab yang memungkinkan konflik bisa terjadi, sudah terlihat dengan jelas. Apalagi ini ditambah lagi dengan pengakuan dari warga masyarakat di mana mereka sudah sangat mengeluhkan hal-hal seputar kerusakan alam hutan mereka yang menyebabkan mereka mulai kesulitan menjalankan hidup mereka. Berbeda dengan keadaan sebelum masuknya pabrik-pabrik dan korporasi-korporasi besar itu.

B. Kelompok Sosial versus Kelompok Sosial

Dari penuturan Yohanes Ladi Sabaggalet dalam wawancara diketahui bahwa ketika perusahaan-perusahaan masuk ke Siberut, terjadi pula konflik di antara para warga Mentawai sendiri. Ada kelompok yang tidak mau menjual hutannya pada perusahaan-perusahaan tersebut, namun ada juga yang menjualnya. Maka, terjadilah perpecahaan dan berpisahlah mereka.

Nama Pernyataan Keterangam
No Name Bila hutan hilang, warga Mentawai akan jadi miskin. Kerusakan hutan akibat perusahaan besar.
No Name “Tak tersedianya air.” Akibat hutan berkurang, penyerapan air berkurang.
Yohanes Laddi Sabaggalet “Ada anggota suku yang mau menjual, ada anggota suku yang tak mau menjual tanahnya. Berpisahlah mereka Masuknya perusahaan-perusahaan besar mengganggu harmonisasi kehidupan bermasyarakat
Agustinus Sabebeh “Ada isu bahwa hutan ini milik pemerintah.” Tak berpihaknya pemerintah pada masyarakat.
Murtias Sangkeilepak “Mematok lahan akibat diserobot perusahaan. Namun tetap diserobot sehingga masyarakat melepasnya” Ada indikasi pemaksaan dalam pembelian tanah.
Anthony P Sabor Setelah perusahaan-perusahaan pergi, masyarakat bingung. Perusahaan meninggalkan kerusakan dan hilangnya mata pencaharian masyarakat.
Aman Ailmanai Hutan sangat penting untuk masyarakat mentawai.  
Judas Sabaggalet Tak tersedianya lagi bahan-bahan pokok yang dihasilkan hutan. Akibat dieksploitasi berlebihan, hutan tak lagi memberikan hasil untuk kebutuhan pokok masyarakat Mentawai

*Tabel pernyataan-pernyataan dalam wawancara di film.

 Selain kedua konflik horisontal itu, ada satu lagi permasalahan yang memilukan. Permasalahan itu muncul ketika perusahaan-perusahaan asing itu, setelah mengeksploitasi hutan Siberut, meninggalkan pulau itu. Sebagian masyarakat Mentawai sudah dibiasakan dengan menjual kayu pada perusahaan-perusahaan itu untuk penghasilan mereka. Kepergian perusahaan-perusahaan itu mengakibatkan kebingungan tersendiri di masyarakat dalam hal itu. Di satu sisi, mereka sudah dibiasakan hidup dalam “budaya” perusahaan-perusahaan besar itu dan mulai melupakan gaya hidup sebelum perusahaan-perusahaan itu.

Penutup

Permasalahan sosial di sekitar Hutan Siberut adalah konflik horisontal. Konflik ini terjadi antara Korporasi versus Komunitas Sosial dan Komunitas Sosial yang satu dengan Komunitas Sosial yang lainnya, yang sebenarnya diakibatkan oleh konflik horisontal pertama yakni Korporasi versus Komunitas Sosial. Selain itu, muncul pula konflik lainnya yakni permasalahan pasca kepergian perusahaan-perusahaan besar tersebut dari Pualu Siberut. Namun, permasalahan terakhir ini bisa dilihat juga sebagai konflik horisontal antara korporasi versus komunitas sosial.

Di dalam film ini tidak terlihat bagaimana konflik itu muncul ke permukaan dan menjadi konflik (pertarungan) yang besar antara korporasi versus komunitas sosial. Yang terlihat hanya lebih pada gejala-gejala konflik sosial dalam bentuk rusaknya hutan, harga pembelian tanah yang terlampau murah, dsb.

Demi menjaga ekosistem alam dan kehidupan masyarakat Mentawai sendiri, ada baiknya perusahaan-perusahaan yang sudah pergi itu kembali lagi, namun kini dalam rangka penghijauan dan lain sebagainya. Pemerintah diharapkan untuk lebih memperhatikan hak-hak masyarakat suku Mentawai.

Dengan film dokumenter Luka Hutan Siberut yang berdurasi kurang lebih 30 menit itu, dengan perspektif sosiologi bisa dikaji dan ditemukan gejala-gejala konflik sosial mau pun konflik sosial itu sendiri.

Daftar Pustaka

Henslin, James M, 2006, Essentials of Sociology: A Down-To-Earth Approach. Sixth Edition, Boston: Allyn and Bacon Pearson.
Hidayah, Zulyani, 1997, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Prayono, Dody, 2004, “Konflik antara Korporasi dan Komunitas: Pengalaman Beberapa Industri Tambang dan Minyak di Indonesia”, Jurnal Masyarakat No.13: 4-19.
Ritzer, George, and Goodman, J. Douglas, 2003, Teori Sosiologi Modern, edisi VI. Jakarta: Kencana.
Soekanto, Soerjono, 1974, Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia.

Film:
Luka Hutan Siberut: Kisah Orang Mandailing dengan Hutannya, INFORM, 2004.

[1] Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, edisi ketiga, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia-Jakarta, halaman 15.
[2] James M Henslin, Essentials of Sociology: A Down-To-Earth Approach. Sixth Edition, Boston: Allyn and Bacon Pearson, halaman 2.
[3] Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, LP3ES-Jakarta, halaman 150.
[4] Ibid
[5] Dody Prayogo, Konflik antara Korporasi dan Komunitas: Pengalaman Beberapa Industri Tambang dan Minyak di Indonesia, dalam Jurnal Masyarakat, No. 13, Tahun. 2004, LabSosio, FISIP-UI-Depok.
[6] Idem


*Catatan: Tulisan ini merupakan makalah Mata Kuliah Ilmu Sosial Dasar di STF Driyarkara, Oktober 2008.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram