Culture is ordinary: that is the first fact. 
Every human society has its own shape,
its own purpose, its own meanings.
Every human expesses these, in institutions,
and in arts and learning.[1]

Pembukaan

Membicarakan kebudayaan di dalam pemikiran Marx sebenarnya cukup sulit. Karl Marx sendiri (dan juga Friedrich Engels) bisa dikatakan tidak menjadikan kebudayaan sebagai lokus utama pemikiran mereka. Konsentrasi Karl Marx terutama memang terletak pada ekonomi-politik. Barangkali beberapa risalah Marx tentang seni bisa ditemukan lebih secara eksplisit dalam karya Grundrisse-nya (1857-1858) dan juga beberapa karya lainnya. Dalam pemikiran Marx kebudayaan kerap muncul bukan sebagai sebuah pembahasan khusus, melainkan menjadi pelengkap atau penjelas untuk pembahasan-pembahasan di bidang lain, terutama di bidang ekonomi-politik.

Pemikiran Karl Marx memang adalah sebuah sistem berpikir untuk menjelaskan keadaan masyarakat via ekonomi-politik. Itulah konsentrasi Karl Marx. Dengan demikian, ketika kebudayaan menjadi lampiran di dalam pemikirannya adalah sesuatu yang wajar. Di kemudian hari para pemikir Marxian lainnya berusaha, dengan berpedoman pada pokok-pokok pemikiran Karl Marx tentang ekonomi-politik, memformulasikan pemikiran Marxisme tentang kebudayaan. Sederet nama tentu ada di barisan int mulai dari William Morris (1834-1895) hingga Fredric Jameson yang masih berkarya hingga saat ini.[2] Para pemikir marxisme ini tentu saja muncul dengan cara pandang mereka yang khas satu sama lainnya

Menurut Philip Smith dan Alexander Riley pemikiran Marx yang bertumpu pada struktur masyarakat yang mana pokok utamanya terletak pada mekanisme produksi (ekonomi politik) mewamai seluruh pemikirannya di bidang lain. Hal inilah yang memancing reaksi dari kebanyakan pemikir marxisme barat di bidang kebudayaan kemudian hari. Menurut Smith dan Riley, sekurang-kurangnya ada tiga kecenderungan dari para pemikir marxisme barat dalam hal kebudayaan yakni pertama untuk mengasimilasi pemahaman tentang kebudayaan dengan teori-teori marxisme. Kedua, penjelasan tentang ramalan Marx tentang keniscayaan revolusi yang nyatanya—setidaknya sampai saat ini—tidak terjadi. Ketiga, pemahaman kebudayaan dalam kerangka marxisme dengan elemen-elemen humanistik yang kuat.[3]

Tidak mau masuk pada penjelasan akan ketiga hal tersebut, dan juga penjelasan tentang masing-masing atau menspesifikasikan pada tokoh-tokoh yang dibahas Smith dan Riley, tulisan ini mencoba melihat kebudayaan dalam kerangka pemahaman marxisme. Alih-alih, sebagaimana banyak tafsiran akan kebudayaan via marxisme, melihat kebudayaan sebagai bagian dari suprastruktur yang ditentukan oleh basis, tulisan ini akan melihat kebudayaan sebagai sebuah entitas kehidupan masyarakat yang berada di antara kedua hal itu. Dalam rangka itu maka tulisan ini pertama akan sedikit memaparkan kembali pemahaman basis dan suprastruktur serta memperkenalkan juga konsep overdeterminasi. Selanjutnya, pada bagian kedua, tulisan ini akan khusus membahas perihal kebudayaan dari perspektif marxisme. Pada bagian ini penulis akan mencoba mengikuti interpretasi Raymond Williams, seorang marxis asal Inggris.

Basis-Suprastruktur dan Kebudayaan

Karl Marx dalam pembahasannya mengenai masyarakat membuat skema tentang masyarakat. Yang mengemuka pada kita adalah skema basis-suprastruktur. Skema ini berangkat dari materialisme historis. Materialisme historis selain sebagai sebuah formulasi Marx tentang perkembangan sejarah manusia, juga menjadi pembeda materialisme Marx dengan materialisme lainnya (Feurbach dan sebelumnya) yakni penekanan Marx pada kerja. Jadi, materialisme Marx bertumpu pada kerja dan bukan materi. Oleh Etienne Balibar, bahkan pengertian materialisme yang menempatkan kerja pada jantungnya ini sekaligus melepaskan materialisme dari idealisme. Pemahaman yang baru ini mengakibatkan konsepsi baru pula tentang subyek yakni ‘subyek=praktik’.[4]

Jadi, materialisme Marx tidak semata-mata seperti materialisme sebelumnya yang memandang realitas material sebagai kebenaran, namun menekankan kerja manusia sebagai pengantara dalam menjadikan material itu sesuatu yang bermanfaat. Lebih penting lagi di sini adalah kerja tersebut merupakan cara manusia untuk meproduksi syarat-syarat bagi kehidupannya. Sejarah perkembangan masyarakat dengan demikian ditentukan oleh kerja ini. Kerja yang adalah unsur utama dari ekonomi-politik. Dari sinilah skema basis-suprastruktur mendapat batu pijakannya.

Hubungan basis dan suprastruktur di dalam marxisme | Sumber: thenarratologist.com/

Dalam skema basis-suprastruktur, menurut Marx, basislah yang menjadi prakondisi utamanya. Segala yang berada pada ranah suprastruktur pasti mengikuti apa yang terjadi atau apa yang ada di ranah basis. Karena sejarah kehidupan manusia dikondisikan oleh kerja yang merupakan faktor utama dari ekonomi-politik, maka di ranah basis terletaklah ekonomi-politik. Selanjutnya, basis ini ditentukan dua hal penting yakni tenaga-tenaga produktif yakni kekuatan-kekuatan yang dipakai masyarakat dalam mengerjakan dan mengubah alam dan hubungan-hubungan produktif yakni hubungan kerja sama atau pembagian kerja antara manusia yang terlibat dalam proses produksi. Sedangkan bangunan atas terdiri dari dua unsur yakni tatanan institusional yakni segala macam lembaga yang mengatur kehidupan bersama masyarakat di luar bidang produksi (misalnya organisasi sebuah pasar, sistem pendidikan, dll.) dan tatanan kesadaran kolektif yakni yang memuat segala sistem kepercayaan, norma-norma dan nilai-nilai yang memberikan kerangka pengertian, makna dan orientasi spiritual pada usaha manusia.[5] Pada bagian tatanan kesadaran kolektif inilah kerapnya, dalam tafsiran urnum tentang kebudayaan menurut marxisme, terletaklah pula kebudayaan.

Pemahaman ini pada gilirannya mendapat tambahan dari Louis Althusser. Dari skema basis-suprastruktur, Althusser memperkenalkan apa yang disebutnya sebagai overdeterminasi. Apa yang dimaksud Althusser dengan overdeterminasi adalah bahwa bukan berarti suprastruktur hanya mengikuti begitu saja apa yang terjadi pada basis, tetapi bisa saja suprastruktur berbalik menentukan basis. Pada basis dan juga pada suprastruktur sesungguhnya punya kontradiksi dan dialektikanya masing-masing. Selanjutnya, dialektika pada masing-masing pihak itu memunculkan aparatus-aparatus-nya. Aparatus-aparatus ini pada gilirannya menyumbang pada overdeterminasi. Misalnya, sistem ekonomi, teori ekonomi dan juga filsafat yang letaknya pada ranah suprastruktur pada gilirannya bisa bekerja untuk menentukan basis itu sendiri. Demikian Althusser,

In constituting this unity, they reconstitute and complete their basic animating unity, but at the same time they also bring out its nature: the ‘contradicitoin’ is inseparable from the total structure of the social body in which it is found, inseparable from its formal conditions of existence, and even from the instances it governs; it is radically affected by them, determining, but also determined in one and the same movement, and determined by the various levels and instances of the social formation it animates; it might be called overdetermined in its principle.[6]

Hal ini, sebagaimana juga dikatakan Althusser, sudah diantisipasi oleh Engels yang menulis demikian,

…According to the materialist conception of history, the ultimately determining element in history is the production and reproduction of real life. More than this neither Marx nor I have ever asserted. Hence if somebody twists this into saying that the economic element is the only determining one, he transforms that proposition into a meaningless, abstract, senseless phrase. The economic situation is the basis, but the various elements of the superstructure—political forms of the class struggle and results, to wit: constitutions established by the victorious class after a successful battle etc., juridicial forms, and even the reflexes of all these actual struggles in brains of participants, political, juristic, philosophical theories, religious views and their further development into system of dogmas—also exercise their influences upon the course of historical struggles and in many cases preponderate in determining their form.[7]

Dengan demikian, tampaklah pada kita bahwa dalam skema basis-suprastruktur, tidak selamanya basis menentukan suprastruktur. Memang basis menjadi prakondisi utama tetapi dalam perjalanannya, dan bahkan kerapnya saat ini, suprastruktur juga berbalik menentukan basis melalui segala macam aparatusnya. Dengan demikian bisa juga dikatakan bahwa tidak selamanya ekonomi-politik menentukan kebudayaan. Pada titik tertentu, kebudayaan bisa berbalik menentukan ekonomi-politik. Walau pun, memang ekonomi-politik-lah yang pada dasarnya yang mengkondisikan kebudayaan. Setelah mencapai kesimpulan yang demikian, pada bagian berikutnya kita akan melihat apa itu kebudayaan.

Menelaah Kebudayaan

Raymond Williams memberikan tiga kategori atas definisi kebudayaan yakni pertama kategori ideal. Kategori ideal merujuk pada kebudayaan sebagai proses penyempumaan hidup manusia. Yang kedua adalah kategori dokumentasi yang merujuk pada kebudayaan sebagai tubuh dari kerja intelektual dan imajinatif manusia yang merekam semua pemikiran dan pengalaman manusia dalam pelbagai bentuknya. Dan yang ketiga adalah kategori sosial. Di sini kebudayaan dipandang sebagai deskripsi dari cara hidup manusia yang partikular yang mana mengekspresikan makna dan nilai kehidupannya; bukan hanya di dalam seni dan pendidikan tetapi juga dalam institusi dan kehidupan sehari-hari yang biasa.[8]

Membicarakan dan mendefinisikan kebudayaan, demikian Williams, haruslah dengan kesadaran penuh akan ketiga kategori ini. Tidak saja kesadaran akan adanya ketiga hal tersebut melainkan juga bagaimana korespondensi antara ketiganya. Banyak teori kebudayaan atau analisa kebudayaan yang tidak melihat ketiga kategori ini. Dengan demikian, ketika membicarakan kebudayaan kita sadar akan keluasan cakupannya. Dari ketiga kategori definisi tersebut ada yang bersifat universal dan ada yang bersifat partikular. Kategori pertama dan kedua bisa dilihat secara universal. Sedangkan pada katagori ketiga, kategori social, terletaklah partikularitas kebudayaan.

Kategori ideal kebudayaan dan kategori kebudayaan seabgai dokumentasi dilihat secara universal; bahwa setiap bentuk kebudayaan di mana pun berada adalah sebuah proses penyempurnaan hidup manusia dan juga adalah dokumentasi dari pemikiran dan pengalaman manusia, berlaku sama di setiap tempat. Bisa dikatakan dua kategori ini adalah kategori abstrak dari pendefinisian kebudayaan. Sedangkan Analisa kebudayaan yang lebih praktis dan spesifik terletak pada kategori ketiga, yakni kategori sosial. Kategori sosial tidak berlaku secara universal melainkan spesifik. Cara hidup manusia di satu tempat dengan tempat lain tentu berbeda sesuai dengan kondisi-kondisi di sekitarnya.

Raymond Williams | Sumber: https://raymondwilliamssociety.files.wordpress.com/2021/09/raymond-williams-at-home-white-cottage-hardwick-cambridgeshire-1969.jpg

Pada titik ini kita melihat bahwa cara menganalisa kebudayaan dari Raymond Williams sejalan dengan cara Karl Marx menganalisa perkembangan ekonomi-politik masyarakat. Marx misalnya memberi formula universal tentang perkembangan ekonomi yang menentukan perkembangan kehidupan, namun untuk menentukan mode of production, Marx melihatnya secara spesifik sehingga berbeda-beda pada tiap tempat dan tiap masa.

Lebih lanjut, bagi Williams kata kebudayaan merujuk pada dua hal sekaligus yakni kehidupan secara keseluruhan dan bentuk-bentuk signifikannya seperti novel, lukisan, televisi, dan musik populer yang ada dan berkembang di masyarakat.[9] Dengan pemahaman kebudayaan yang pertama, sebagai way of life, pada hemat saya, kebudayaan bisa dilihat sebagai sebuah entitas yang tidak bisa ditempatkan pada suprastruktur. Ia lebih tepat ditempatkan pada posisi basis. Atau mungkin pada posisi di antara keduanya atau sama sekali di luar keduanya. Sedangkan ketika membicarakan kebudayaan dalam pengertian kedua, sebagai bentuk-bentuk spesifik ‘seni’, maka kita bisa membicarakan kebudayaan sebagai entitas yang berada di wilayah suprastruktur. Demikian Raymond Williams,

..[T]hey said that a culture must be finally interpreted in relation to its underlying system of production. I have argued this theoretically elsewhere- it is a more difficult idea than it looks—but I still accept its emphasis. Everything I had seen….had led me towards such an emphasis: a culture is a whole way of life, and the arts are part of a social organization which economic change clearly radically affects.[10]

Membicarakan kebudayaan sebagai way of life berarti membicarakan kebudayaan sebagai sebuah istilah untuk merangkumkan keseluruhan segi dari hidup manusia. Dengan demikian segalanya, dari cara meminum kopi di pagi hari hingga traktat filsafat yang paling njelimet sekali pun, masuk di dalamnya. Pada titik ini, kebudayaan tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang terpisah di luar kehidupan manusia. Atau secara praksis dalam marxisme, kebudayaan adalah perjuangan kelas itu sendiri.

Melihat kebudayaan sebagai bagian dari suprastruktur , jika dikaji dalam perspektif marxisme, membawa sebuah bahaya. Bahayanya adalah bahwa ketika melihat kebudayaan sebagai bagian dari suprastruktur maka kebudayaan yang berkembang saat ini tentu saja kebudayaan yang didikte oleh kapitalisme yakni sistem ekonomi yang bekerja di tingkat basis. Dengan demikian kita akan melihat segala bentuk cara hidup manusia, hingga cara hidup kelas-kelas pekerja, proletar, sebagai cara hidup yang kapitalistik. Padahal tidak dernikian. Para pemikir marxian yang mengambil jalan demikian akan semena-mena mnenuduh masyarakat sebagai massa yang bodoh. Hal ini disadari juga oleh Raymond Williams,

But this is not to say that contemporary culture is bourgeois culture: a mistake that everyone, from Conservatives to Marxist, seems to make. There is a distinct working class way of life…. I think this way of life, with its emphases of neighbourhood, mutual obligation, and common betterment, as expressed in the great working-class political and industrial institutions…[11]

Ketika melihat kebudayaan sebagai way of life maka kebudayaan kapan pun dan di mana pun adalah kebudayaan dari kerja. Hal ini mengingatkan kembali pada pokok soal utama materialiasme historis yakni kerja. Setiap kebudayaan sebagai way of life adalah kebudayaan yang diciptakan oleh kerja,

A culture is common meanings, the product of a whole people, and offered individual meanings, the product of a man’s whole committed personal and social experience. It is stupid and arrogant to suppose that any of these meanings can in any way be prescribed: they are made by living, made and remade, in ways we cannot know in advantace.[12]

Sebaliknya ketika kita membicarakan kebudayaan sebagai bentuk-bentuk spesifik seni maka kebudayaan bisa ditempatkan dalam suprastruktur. Perkembangan seni, dilihat dari materialnya, mengikuti perkembangan teknologi yang ditentukan oleh cara hidup ekonomi- politik masyarakat. Misalnya, sebagaimana diungkapkan Walter Benjamin, ketika ekonomi-politik menggunakan teknologi reproduksi mekanis, maka karya seni mengikuti setelahnya dengan karya-karya seni reproduksi mekanis seperti film dan fotografi. Contoh ini bisa diperpanjang tetapi satu hal yang hendak dikatakan bahwa perkembangan karya seni mengikuti teknologi yang berkembang. Dan teknologi tersebut ditentukan juga oleh sistem ekonomi-politik pada masanya.

Selain itu juga mekanisme pemasaran dan bahkan produksi dari karya seni itu pun mengikuti mekanisme dari ekonomi-politik yang ada. Sekali lagi bisa diambil contoh bahwa sebelum masyarakat masuk pada era kapitalisme, di dalam seni rupa tidak dikenal galeri dan juga kurator. Seni diciptakan oleh masyarakat untuk masyarakat itu sendiri. Bahkan profesi seniman tidak dikenal. Semua anggota masyarakat berkesenian dan menikmatinya secara bersamaan. Ketika masuk pada era kapitalisme, terciptalah spesifikasi kerja, begitu juga seniman. Terciptalah juga besertanya mekanisme pemasarannya via galeri beserta infrastruktur pendukungnya seperti kurator, kritikus, dll.

Penutup

Demikianlah sudah kita lihat bagaimana kebudayaan ditempatkan dalam skema basis-suprastruktur. Di bagian awal sudah kita lihat bahwa ada overdeterminasi, sebuah konsep yang dipertegas oleh Louis Althusser yang mana menyatakan bahwa tidak selamanya basis menentukan suprastruktur. Dari pokok ini, kita sudah mematahkan anggapan bahwa kebudayaan selalu ditentukan oleh ekonomi-politik. Kebudayaan, melalui aparatus-aparatus-nya, bisa berbalik menentukan ekonomi-politik.

Bukan itu saja. Pada bagian kedua dari tulisan ini kita melihat tiga kategori pemahaman mengenai kebudayaan menurut Raymond William. Dengan demikian kita tahu bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang luas; dalam bahasa Raymond Williams kebudayaan adalah way of life dan juga bentuk-bentuk tertentu dari seni. Dari pemahaman kebudayaan sebagai way of life ini kita menemukan bahwa kebudayaan selalu diciptakan melalui kerja. Dengan demikian kita tidak bisa lagi menempatkan kebudayaan semata-mata pada suprastruktur melainkan kebudayaan mungkin untuk ditempatkan pada wilayah basis atau berada di antara basis dan suprastruktur.

Di sini kita bisa menjawab pertanyaan yang kita sematkan pada judul tulisan ini; yang luar biasa dari kebudayaan dengan demikian adalah dia tidak bisa ditempatkan dalam skema basis-suprastruktur yang ortodoks. Ia bahkan bisa ditempatkan di basis, bisa ditempatkan di suprastruktur, bahkan bisa jadi ia berada di luar mekanisme tersebut. Kebudayaan yang tampak biasa-biasa saja itu sebetulnya memiliki posisi luar biasa di dalam skema basis-suprastruktur.

Truk Sound System | Sumber: https://teronggosong.id/assets/uploads/2022/11/koplonya-pantura.jpg

Daftar Bacaan:
Althusser, Louis. For Marx. diterjemahkan oleh Ben Brewster. London dan New York: Verso. 1997.
Borodulina, T. peny. K. Marx, F. Engels, V. Lenin On Historical Materialism: A Collection. Moscow: Progress Publishers. 1972.
Highmore, Ben. ed. The Everyday Life Reader. London dan New York: Routledge. 2002.
Magnis-Suseno, Frans. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1999.
Smith, Philip dan Alexander Riley. Cultural Theory: An Introduction, Second Edition. Oxford: Blackwell Publishing. 2001.
Solomon, Maynard. ed. Marxism and Art: Essays Classic and Contemporary. Sussex: The Harvester Press Limited. 1979.
Suryajaya, Martin. “Berpikir dengan Pendekatan Materialisme Dialektis dan Historis.” Bulletin Problem Filsaf at, No. I I Tahun I I November 2009 (2009).
Williams, Raymond. The Long Revolution. Middlesex: Penguin Books. 1965.

[1] Raymond Williams, “Culture is Ordinary,” dalam Ben Highmore (ed.), The Everyday Life Reader, (London dan New York: Routledge), 2002. hlm. 93.
[2] Sebuah antologi yang cukup menarik dibuat oleh Maynard Solomon untuk menghimpun para pemikir marxsisme di bidang seni dan kebudayaan. Dalam bukunya bertajuk Marxism and Art: Essays Classic and Contemporary terhimpun tidak kurang dari 35 nama pemikir marxisme yang membahas perihal seni dan kebudayaan, termasuk Karl Marx dan Friedrich Engels sendiri. Buku yang terbit pada 1979 itu sesungguhnya juga belum mencakup semua pemikir marxisme di bidang kebudayaan dan seni. Nama seperti Raymond Williams dan Pierre Macherey (nama terakhir adalah seorang pemikir estetika dan kebudayaan Althuserian) belum masuk di dalamnya. Lih, Maynard Solomon (ed.), Marxism and Art: Essays Classic and Contemporary, (Sussex: The Harvester Press Limited), 1979.
[3] Philip Smith dan Alexander Riley, Cultural Theory: An Introduction, Second Edition, (Oxford: Blackwell Publishing), 2001, hlm. 34.
[4] Martin Suryajaya, “Berpikir dengan Pendekatan Materialisme Dialektis dan Historis”, dalam Bulletin Problem Filsafat, No. 1 I Tahun I I November 2009.
[5] Frans Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), 1999, hlm. 143-145.
[6] Louis Althusser, For Marx, diterjemahkan oleh Ben Brewster, (London dan New York: Verso), 1997, hlm. 101.
[7] T. Borodulina (peny.) K. Marx, F Engels, V. Lenin On Historical Materialism: A Collection, (Moscow: Progress Publishers) 1972, hlm. 294.
[8] Raymond Williams, The Long Revolution, (Middlesex: Penguin Books), 1965, hlm. 57.
[9] Ben Highmore, “Editor’s Introduction,” dalam, Ben Highmore (ed.), The Everyday Life Reader, (London dan New York: Routledge), 2002, hlm. 91.
[10] Raymond Williams, “Culture is Ordinary,”…. hlm. 95.
[11] Lih, Raymond Williams, “Culture is Ordinary,”…. hlm. 95-96.
[12] Raymond Williams, “Culture is Ordinary,”…. hlm. 96.


* Catatan: Tulisan ini adalah makalah UAS Mata Kuliah Filsafat Kebudayaan di Program Magister STF Driyarkara, Januari 2015.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram