Di dalam estetika kita mengenal dua bongkahan besar pemahaman yang saling bertolak belakang, yakni ‘seni untuk seni’ dan ‘seni berguna’. Yang pertama memandang bahwa kesenian hanyalah untuk kesenian itu sendiri, kejaran-kejaran artistik dan keindahan, sedangkan yang kedua lebih melihat seni di dalam konteks kegunaannya. Di dalam konteks yang kedua inilah, ‘seni berguna’ atau yang kerap dikenal dengan diktum dulce et utile (indah dan berguna), saya kira seni sebagai terapi bisa kita tempatkan. Namun berbeda dengan pemahaman dulce et utile klasik bahwa karya seni itulah yang indah dan berguna—sebagai contoh misalnya, sebuah sandal terbuat dari keramik yang indah bukanlah karya seni yang baik karena seindah apa pun sandal tersebut ia tidak bisa digunakan—pada seni sebagai terapi, proses menciptakan karya seni itulah yang menempati posisi kegunaan. Dalam kerangka pemahaman seperti di ataslah saya hendak memahami karya-karya dari Gabriela Fernandez atau yang biasa disapa dengan Elny. Di dalam konteks ini tentu saja karya-karya rupanya dan juga single terbarunya.

Di dalam psikoanalisa klasik, Sigmund Freud misalnya, kita tahu ada struktur psikologi manusia yang terdiri dari id, ego, dan super-ego. Kira-kira, yang paling tersembunyi dan tak bisa terkatakan adalah id, diikuti ego, dan super-ego lah yang paling tampak. Dengan metafora gunung es, id merupakan bagian yang paling besar dan tersembunyi di bawah permukaan laut. Lantaran tersembunyi atau berada di alam bawah sadar ini lah maka id kerap tidak disadari.

Di dalam sejarah seni, persinggungan antara pemikiran psikoanalisa dengan seni menghasilkan beragam aliran seni. Salah satu yang terbesar adalah surealisme. Surealisme sebagai sebuah genre dalam seni agak sulit dibayangkan kehadirannya tanpa adanya pemikiran psikoanalisa. Maka jelas di dalam karya-karya surealis kita akan menemukan citraan-citraan yang jauh dari realitas. Tentu saja karya-karya surreal tetap bertumpu pada dunia real. Namun bentukan-bentukan citraan real itu diperlakukan sedemikian rupa dalam karya-karya surreal sehingga menampak sebagai citraan yang jauh berbeda dengan citraan-citraan real. Pengolahan para seniman surealisme atas ‘mimpi’ lah yang memungkinkan hal itu.

Karya-karya rupa Elny yang dipamerkan pada kesempatan ini jelas, sebagaimana pada pengantar atau pun katalog, beberapa di antaranya tercipta dari proses terapi tersebut. Lebih tegas lagi, merupakan bagian dari terapi itu sendiri. Seni tentu saja punya kemampuan untuk mengungkapkan jiwa, mengungkapkan apa-apa yang tersembunyi di alam bawah sadar. Beragam pemaknaan tentu saja pada perihal seni sebagai pengungkapan jiwa ini. Hemat saya hal ini lantaran seni adalah sebuah bahasa yang mendahului kata-kata. Oleh sebabnya, kerap di hadapan sebuah karya seni, kita merasakan sesuatu tetapi apa yang kita rasakan tersebut tak bisa kita ungkapkan dengan kata-kata. Pada hemat saya hal ini lantaran kata-kata punya keterbatasan. Tampak jelas keterbatasan itu sehingga setiap beberapa tahun Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mesti menambah kata baru pada Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Bahasa karya visual dan nada kerap lebih menyampaikan sesuatu ketimbang kata-kata. Di dalam karya Elni “Strange Feeling” misalnya kita menemukan sesosok manusia yang terbentuk dari garis-garis acak-acakan. Sosok itu seperti sedang duduk dan ia dikelilingi enam buah mata. Elny juga menyertakan catatan perasaan atau pikirannya ketika membuat gambar itu pada 20 Februari 2021. Pada catatan itu kira-kira ia menyatakan bahwa ada perasaan yang aneh yang berpadu antara emosional dan fisikal. Namun, ia tidak bisa mendeskripsikannya di dalam kata-kata, perasaan apakah itu. Namun demikian ia merasa lebih tenang ketika selesai menggambar, yang didahului beberapa aktivitas lain, ia merasa lebih baik. Barangkali karena, dengan gambar tersebutlah apa yang dirasakannya bisa dibahasakan dengan lebih baik.

 

Tentu saja gambar yang dihasilkannya memberi kita kemungkinan menginterpretasi beragam hal. Barangkali berbeda dengan interpretasi Elny sendiri terhadap karya tersebut. Atau interpretasi Elny terhadap karya tersebut pada Februari yang lalu berbeda dengan interpretasinya terhadap karya itu sekarang. Begitu juga dengan kita; interpretasi kita hari ini barangkali berbeda dengan interpretasi kita atasnya di kemudian hari. Persis karena dialektika sebuah gambar dengan pemirsanya berurusan dengan perasaan, pemikiran, singkatnya suasana yang melingkupi sang pemirsa tersebut. Di sini yang terjadi adalah dialog antara karya dengan gejolak jiwa kita.

Pada hemat saya, melalui proses yang dekat dengan perkara psikologi, Elny menghasilkan karya-karya rupa yang pada tataran kegunaan pertama sudah berhasil; proses keberkaryaan itu sudah berhasil mendamaikan sang seniman dengan dirinya. Ketika karya-karya itu dipresentasikan ke publik, karya-karya itu tengah mencari kegunaannya yang kedua, dialog antara si karya dengan para pemirsanya. Tidak menutup kemungkinan juga karya-karya itu mencari dialog yang berbeda dengan sang senimannya, sang pembuatnya. Sebagai pemirsa, dialog apa yang terjadi antara kita dengan karya-karya itu? Biarlah menjadi rahasia kecil kita masing-masing. Karena toh terkadang apa yang kita dialogkan dengan sebuah karya seni tak bisa kita wakilkan dengan kata-kata. Artinya, tak bisa kita dialogkan kembali dengan orang lain dengan cara dialog yang biasa. Barangkali kita mesti mencari cara dialog yang berbeda.


*Catatan: Tulisan ini dibuat untuk apresiasi Pameran dan Peluncuran Lagu Oleh Gabriela Fernandez pada Mei – Juni 2021 di Via Via Jogja.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram