Barangkali salah satu keunikan Indonesia adalah beragamnya suku bangsa serta bahasa daerah yang ada di negeri ini. Tentu saja, ini bukan keunikan Indonesia semata; Ada negara-negara lain yang juga punya keunikan serupa. Namun, jika melihat dari jumlahnya, keberagaman Indonesia di dalam dua hal itu begitu kayanya. Kenyataan ini juga yang membuat banyak orang—khususnya para sahabat kita dari luar negeri—bertanya-tanya; Masyarakat dengan keberagaman yang demikian itu, bagaimana bisa menjadi satu negara yang utuh dan bersatu padu. Tentu saja banyak jawaban bisa diberikan atas pertanyaan yang demikian itu. Tanpa hendak menjawab keseluruhan kerumitan dari jawaban tersebut di atas, tulisan ini hanya hendak menunjukkan suatu peristiwa penting yang sangat berhubungan dengan pertanyaan itu. Peristiwa itu disebut Sumpah Pemuda.

Setiap 28 Oktober, di Indonesia dirayakanlah peringatan Hari Sumpah Pemuda. Sebagaimana hari-hari kenegaraan lainnya, Hari Sumpah Pemuda penting di dalam sejarah perjalanan Bangsa Indonesia. Selain karena peristiwa ini sedikit banyak menjawab pertanyaan di atas, subjek yang membuat peristiwa ini ada—pemuda—membuat hari perayaan yang satu ini istimewa. Untuk memahami keistimewaan pemuda di dalam konteks Hari Sumpah Pemuda khususnya dan kemerdekaan Indonesia umumnya, baiklah kita sedikit menengok sejarah.

Membicarakan pemuda dan Sumpah Pemuda dalam konteks perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia, kita tidak boleh pernah lupa pada kenyataan bahwa, Indonesia ini merupakan sebuah negara dengan keberagaman budaya yang kental. Jauh sebelum kemerdekaan, jauh sebelum kedatangan para penjajah, orang-orang di Nusantara, sebutan untuk Indonesia kala itu, sesungguhnya hidup di dalam konteks kedaerahannya masing-masing. Kerajaan-kerajaan baik yang bercorak maritim atau pun agraris tumbuh hampir di setiap wilayah di negeri ini. Kenyataan ini menunjukkan dan meperkuat bahwa, orang Nusantara pada jaman itu memang hidup di dalam konteks kedaerahan yang demikian. Namun, bukan berarti mereka tidak saling berinteraksi satu sama lainnya. Perairan nusantara ini adalah sebuah wilayah yang begitu ramai dengan perdagangan kala itu. Hal ini membuat orang-orang dari beragam daerah di Nusantara kala itu kerap berinteraksi.

Peserta Kongres Pemuda II | Sumber: Repro dari Museum Sumpah Pemuda

Kehadiran bangsa Eropa, khususnya Belanda dengan VOC-nya, mulai mengubah keadaan itu. Wilayah Nusantara lantas berada di bawah satu payung administrasi yakni VOC dan belakangan diganti oleh Hindia Belanda. Sebagai rakyat jajahan, tentu saja peri kehidupan masyarakat Nusantara kala itu cukup menggenaskan. Bagaimana kehidupan masyarakat Nusantara kala itu, bisa kita lihat misalnya melalui penggambaran sastrawan Multatuli di dalam novelnya Max Havelaar.

Nah, novel Max Havelaar ini muncul pada 1860 di Belanda. Kehadiran novel ini membuka mata banyak kalangan di Belanda perihal betapa kejam dan tak adilnya perlakuan Belanda di Hindia Belanda. Perlahan-lahan, novel ini menyulut protes kepada pemerintah Belanda kala itu. Hasilnya, meski pun novel Max Havelaar hanya satu faktornya saja, pada 1901 muncullah kebijakan Politik Balas Budi. Inti dari kebijakan ini adalah bahwa, pemerintah Belanda mesti membalas kebaikan—karena Belanda sudah pmendapat banyak keuntungan sedangkan penduduk Nusantara hidup dalam kesengsaraan—pada masyarakat Nusantara. Maka, bentuk konkret Politik Balas Budi—atau juga disebut Politik Etis itu—terdiri dari tiga hal yakni irigasi, imigrasi, dan edukasi. Di dalam konteks perbincangan ini, yang terpenting adalah edukasi.

Dengan kebijakan itu, kesempatan untuk mengenyam pendidikan terbuka semakin lebar untuk anak-anak muda di Nusantara. Perlu dicatat, bukan berarti sebelumnya tidak ada sama sekali. Berdiri pula bersamaan dengan itu sekolah-sekolah berjenjang, terkhusus di kota-kota besar. Salah satu yang terpenting tentu saja Batavia (nama untuk Kota Jakarta kala itu). Alhasil, berdatanganlah ke Batavia anak-anak muda dari seluruh Nusantara untuk menuntut ilmu. Mereka lantas membentuk komunitas atau organisasi yang bersifat kedaerahan. Maka, muncullah kala itu Djong Java, Djong Sumatra Bond, Djong Celebes, dan banyak organisasi pemuda lain yang bersifat kedaerahan. Namun demikian, bukan berarti kala itu tidak ada organisasi pemuda yang tidak bersifat kedaerahan. Organisasi-organisasi pemuda inilah yang lantas mengadakan Kongres Pemuda I dan Kongres Pemuda II. Yang kedua ini, lantaran menghasilkan sebuah rumusan penting yang disebut dengan “Sumpah Pemuda”, terus kita kenang hingga saat ini. Sebelum lebih jauh tentang Kongres Pemuda II yang menjadi topik tulisan ini, pertanyaan yang perlu kita jawab sebelumnya adalah, “mengapa para pemuda yang bergabung dalam organisasi-organisasi kedaerahan itu merasa perlu untuk membuat kongres?”

Jika kita lihat bahwa, para pemuda itu kebanyakan bergabung di dalam organisasi-organisasi kedaerahan—meski pun pada Kongres Pemuda II ada PPPI (Perhimpunan Pelajar-pejalar Indonesia) yang tidak bersifat kedaerahan setidaknya dari namanya—tampaklah bahwa cara pandang kedaerahan masih sangat kuat pada kalangan pemuda kala itu. Pandangan yang demikian ini mulai berubah ketika mereka yang berasal dari beragam daerah itu tiba-tiba bertemu dan bersekolah di tempat yang sama. Ketika mereka saling bercerita, mereka menemukan bahwa ternyata mereka punya persamaan-persamaan; Mereka sama-sama dijajah Belanda dan juga di daerah mereka masing-masing bisa ditemukan rakyat yang hidup kesusahan lantaran terjajah itu. Di samping itu, Politik Etis yang salah satu kebijakannya adalah pendidikan tadi, sudah mulai menghasilkan golongan terpelajar yang kritis. Salah satu penanda pentingnya adalah berdirinya Organisasi Budi Utomo dari Sekolah Stovia, sekolah dokter jawa pada 1908. Dan di luar dunia persekolahan, memang sudah ramai gerakan-gerakan menentang penjajahan Belanda dan menuntut kemerdekaan. Proklamator Kemerdekaan Indonesia, Soekarno dan Hatta, kala itu pun sudah terjun ke dalam perpolitikan dengan begitu kencangnya. Belum lagi tokoh-tokoh seperti Tiga Serangkai yakni  Ernest Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hadjar Dewantara yang kala itu sudah begitu makan asam garam perjuangan. Tentu saja, di dalam konstelasi yang demikian itu, para pemuda pun bersatu dan menjalankan perjuangan dengan cara mereka.

Kongres Pemuda II lantas menjadi momentum yang sangat tepat untuk itu. Para Djong ini di dalam kongres tersebut menyatakan sebuah janji yang bahkan sampai hari ini terus mengikat bangsa Indonesia. Kongres Pemuda II sendiri dijalankan di dalam beberapa kali sidang. Sidang pertama diadakan pada 27 Oktober 1928 di Katholieke Jongenlingen Bond Waterlooplein Noord. Selanjutnya, rapat diadakan lagi di Oost Java Bioscoop, Koningsplein Noord. Pada rapat pertama, Moehammad Yamin memaparkan perihal persatuan Indonesia sedangkan rapat kedua dibicarakanlah masalah-masalah pendidikan.

WR Supratman Pada Usia 21 Tahun | Sumber: Repro dari Museum Sumpah Pemuda

Rapat ternyata dilanjutkan lagi di Gedung Indoneisische Clubgebouw (sekarang Museum Sumpah Pemuda, di Jalan Kramat, Jakarta Pusat). Di sini, sebelum keputusan kongres dibacakan, Wage Rudolf Supratman mengambil biolanya dan memainkan lagu Indonesia Raya. Setelah itu, atas prakarsa Moehammad Yamin, maka terciptalah persetujuan teks Sumpah Pemuda yang lantas dibacakan. Teks itu sebagai berikut:

Pertama: KAMI POETRA POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE TANAH INDONESIA
Kedoea: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE BANGSA INDONESIA
Ketiga: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJOENDJONG TINGGI BAHASA PERSATOEAN BAHASA INDONESIA

Ini adalah sebuah sumpah yang mempersatukan para pemuda yang berasal dari segenal penjuru Indonesia itu. Mereka-mereka yang awalnya datang dengan pemikiran kedaerahan, sadar betul bahwa tanpa persatuan, maka tak mungkinlah Indonesia ini mencapai kemerdekaan. Oleh karena itu, setiap kali orang Indonesia mengenang Sumpah Pemuda ini, di saat itu juga mestinya dikenang pula janji atau sumpah yang muncul dari kesadaran bahwa persatuan itu penting untuk kehidupan lebih lanjut bangsa dan negara ini.***


*Catatan: Tulisan ini pertama kali muncul di diversity.id. Tampaknya laman itu sekarang sudah tidak aktif lagi.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram