Ketika kecil dulu, ketika begitu terpesonanya dengan sebuah buku kecil tentang Alexander Agung, aku pernah berkata pada ayahku, “aku ingin jadi penulis novel.”

“Nak. Jangan bermimpi menjadi Tuhan. Pengarang adalah cita-cita menjadi Tuhan yang tak kesampaian. Mending jadi guru saja seperti bapakmu ini.”

Itu ketika aku kecil. Ketika sudah tidak kecil benar, di rumah Pak Haji Sarmin aku dan teman-teman suka nonton tv. Ketika itulah aku tahu ada tempat-tempat lain di luar sana yang gemerlap nan bersinar; London, New York, Paris, dan Istambul. Aku pun jadi tahu bahwa ada pembebasan di Timor Timur, ada orang-orang dengan kulit hitam dan rambut keriwil di Irian Jaya. Aku lalu jadi tahu bahwa ada yang lebih mengasyikan dari cerita Alexander Agung yakni film-film Cintya Rotrock. Aku pun bilang ke Mang Karyo. “Mang, aku pengen bikin film yang ada Fatimah-nya.”

Fatimah itu adiknya temanku. Minta ampun manis dan cantiknya si cilik itu. “Kamu bikin dulu ceritanya.” Maka aku pun lantas coba-coba bikin cerita yang ceritanya nanti kalau sudah dewasa akan aku jadikan film. Aku pun jadi teringat pada cerita Ibu tentang Yohanes Pembaptis yang dipenggal kepalanya atas permintaan seorang putri cantik nan rupawan. Akan tetapi, aku tak suka kalau Yohanes Pembaptis harus mati. Sebab yang kubayangkan dalam film itu, yang jadi putri cantik nan rupawan yang menari di depan Herodes dan para tamunya adalah Fatimah dan yang jadi Yohanes Pembaptis yang dimasukkan ke penjara itu adalah aku.

Maka, ceritaku yang ceritanya hendak difilmkan ketika aku dewasa nanti demikian:

Mengapa Yohanes Pembaptis dipenjarakan? Tak lain dan tak bukan karena cinta jua. Cinta juga yang mengakibatkan Yohanes Pembaptis jadi pengembara, berkhotbah ke sana ke mari, dan hanya makan belalang. Awalnya, Yohanes Pembaptis (yang waktu itu menggunakan nama aslinya Yoshua bin Mesekhiel) adalah seorang pemuda yang terpelajar, bersih, lagi punya pekerjaan yang baik.

Suatu ketika, ketika Yohanes Pembaptis baru pulang dari membeli anggur di pasar, ia melihat rombongan keluarga raja yang lewat. Saat itulah hatinya langsung luluh lantah, otaknya hanya diisi oleh cinta akan anak gadis sang raja.

Bukan namanya Yohanes Pembaptis kalau tidak banyak akalnya. Malam harinya, ia langsung mendatangi tetangganya yang bekerja di istana. Yohanes Pembaptis meminta bantuan pada tetangganya itu, yang meskipun hanya seorang tukang sapu di istana tetapi perangainya di depan Yohanes Pembaptis seakan-akan ia adalah kepala urusan rumah tangga istana, untuk dicarikan pekerjaan di dalam istana. Singkat kata, dengan bantuan tetangganya, Yohanes Pembaptis diterima juga jadi tukang sapu di istana.

St. John the Baptist in the Wilderness (1489) karya Hieronymus Bosch | Sumber: upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/

Yohanes Pembaptis dengan diam-diam selalu menyelipkan perkamen bertuliskan puisi-puisi cinta, terlebih tentang kekagumannya pada sang puteri raja. Pernah ia menulis di perkamennya, ketika pada suatu siang ia bertemu sang puteri dengan kalung-kalung di lehernya; “moleklah pipimu / di tengah perhiasan-perhiasan / dan lehermu di tengah kalung-kalung. // Aku akan membuatkanmu penutup dada dari emas.”

Tapi ketika akan menyisipkan perkamen itu ke bawah pintu kamar sang puteri, Yohanes Pembaptis menghapus kalimat terakhirnya sehingga perkamennya menjadi demikian; “moleklah pipimu / di tengah perhiasan-perhiasan / dan lehermu di tengah kalung-kalung.”

Begitulah. Hampir saban hari, Puteri Tiri Herodes selalu mendapatkan perkamen-perkamen cinta dari Yohanes Pembaptis. Hal ini sungguh menyenangkan bagi puteri itu. Setidak-tidaknya, menjadi selingan dari kehidupan istana yang monoton dan itu-itu saja. Umurnya yang sudah memasuki masa pubertas ditambah cerita-cerita inang pengasuhnya—seorang perawan tua yang harus menutupi keinginan menikahnya lantaran tugas di istana—tentang pangeran-pangeran tampan dari negeri-negeri jauh, negeri-negeri yang dipenuhi harum cendana, negeri-negeri di mana gajah dan manusia hidup berdampingan bak sahabat, negeri-negeri di mana manusianya berkulit merah semuanya, negeri-negeri di mana manusia-manusianya punya satu sayap di punggungnya.

Lama kelamaan, Puteri Tiri Herodes ini selalu menanti perkamen-perkamen cinta dari Yohanes Pembaptis. Hingga pada suatu malam, Puteri Tiri Herodes tak menemukan perkamen cinta seperti biasanya. Sang Puteri tak bisa memejamkan mata malam itu, karena merindukan perkamen cinta itu. Yohanes Pembaptis bukannya tidak menyelipkan perkamen cinta di pintu kamar Sang Putri malam itu. Ritual asmara nan suci itu sudah dilakukannya. Namun apes, ia tak melihat ada sepasang mata tak sengaja menangkap gerak-geriknya.

Orang itu lalu membawa perkamen itu ke hadapan Herodes. Herodes murka akan apa yang ditulis di sana, terlebih lagi setelah tahu bahwa itu adalah tulisan Yohanes Pembaptis sang abdinya. Demikian tulisan di perkamen itu; “Lihatlah, cantik engkau, / manisku, / sungguh cantik engkau! // Bagaikan merpati matamu di balik telekungmu. / Berbirahi aku melihatmu. / Rambutmu, oh rambutmu, bagai kawanan kambing / yang bergelombang turun dari pegunungan Gilead. // Oh, Putriku, oh junjungan hati dan jiwaku, / maukah kau lari dan menikah denganku / di padang gurun yang jauh?”

Herodes murka. Diperintahkannya Yohanes Pembaptis menghadap. Namun Yohanes Pembaptis sudah lari meninggalkan istana. Sejak meninggalkan istana itulah Yohanes Pembaptis yang bernama asli Yoshua bin Mesekhiel resmi mengganti namanya menjadi Yohanes. Atas nama penyamaran, Yoshua bin Mesekhiel mengganti bajunya dengan pakaian compang-camping, membiarkan jenggot dan rambutnya tak terpelihara. Dan atas nama ketakutan atas daya pencaharian para prajurit Herodeslah, Yoshua bin Mesekhiel yang sekarang bernama Yohanes Pembaptis memilih tinggal di padang gurun sebagai seorang pertapa.

Sampai di sini, aku tak lagi melanjutkan cerita itu, karena Ibu sudah memanggil-manggil untuk pulang ke rumah. Andaikan masih punya waktu, aku akan melanjutkan cerita ini dengan akhir yang menyenangkan yakni Putri Tiri Herodes meminta pada Herodes untuk dinikahkan dengan Yohanes Pembaptis. Tentu saja Herodes tak bisa menolaknya karena ia sudah berjanji untuk mengabulkan apa saja permintaan putri itu, lantaran hatinya dan hati tetamunya sudah dihibur oleh tarian Sang Puteri, seperti cerita yang dibacakan ibu pada Eko semalam.

Jadi, di dalam ceritaku yang ceritanya akan dijadikan film ketika aku dewasa nanti, aku sebagai Yoshua bin Mesekhiel atau Yohanes Pembaptis akan menikah dengan Fatimah sebagai Putri Tiri Herodes.


*Catatan; cerpen ini sesungguhnya adalah tugas mata kuliah di STF Driyarkara, agaknya pada 2009.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram