Benedict Anderson, pakar Indonesia dan Asia Tenggara itu sudah pergi meninggalkan kita setahun silam. Kematiannya persis beberapa saat setelah edisi Bahasa Indonesia bukunya, Under Three Flags: Anarchism and the Anticolonial Imagination, terbit. Kini, otobiografinya, Hidup di Luar Termpurung, yang diterjemahkan dari versi Bahasa Inggris A Life Beyond Boundaries terbit. Tak ayal, buku ini melengkapi warisan Prof. Ben untuk pembaca Bahasa Indonesianya. Buku ini berisi pengalaman Prof. Ben sendiri; latar belakang keluarga, dunia keilmuwan yang dihidupinya, kebetulan-kebetulan di dalam hidupnya. Semua itu menjadi latar belakang bagi karya-karyanya yang menyumbang pada pemikiran perihal nasionalisme dan juga wilayah Asia Tenggara.

Hidup di Luar Tempurung bagaikan buku yang menunjukkan kepada kita bagaimana seseorang bisa menjadi akademisi handal dan peneliti yang mumpuni. Tentu saja bukan buku Prof. Ben bila tidak banyak hal disinggung di dalamnya. Mulai dari pengasuhnya yang berasal dari Vietnam, sastra klasik, sistem pendidikan yang bertautan dengan politik, hingga ‘kebetulan-kebetulan’ yang memicu munculnya karya akademis yang brilinat dapat kita temukan di dalam buku ini. Ditambah terjemahan Ronny Agustinus yang renyah, buku ini—alih-alih njelimet—enak dinikmati. Tentu saja tidak semua kekayaan buku itu bisa disarikan di dalam tulisan yang ringkas ini. Menurut Prof. Ben sendiri ada dua hal penting di dalam buku ini yakni pertama pentingnya kerja penerjemahan bagi perorangan dan masyarakat dan kedua bahayanya sifat kedaerahan yang arogan yang lupa bahwa nasionalisme itu berkaitan erat dengan internasionalisme (hlm. x).

Cover Buku “Hidup di Luar Tempurung”

Hidup Berwarna Seorang Profesor

Latar belakang keluarga juga menjadi sorotan Prof. Ben di awal-awal buku, yang dilihatnya sebagai dasar pembentukan dirinya selanjutnya. Prof. Ben lahir di Kunming, lalu menetap di Amerika untuk beberapa saat, pindah ke Irlandia, bersekolah di Inggris, Amerika, dan banyak melakukan penelitian di Asia Tenggara. Tak pelak, Prof. Ben mengakui bahwa “…secara geografis, saya tengah dipersiapkan (tanpa menyadarinya) untuk memiliki pandangan yang kosmopolitan dan komparatif akan kehidupan” (hlm. 24).

Lahir di Tiongkok dengan orang tua yang menyimpan begitu banyak memori perihal Asia membuat Ben kecil bukanlah orang yang asing dengan kebudayaan-kebudayaan non nenek moyangnya. Ia masih ingat betul, betapa begitu melongonya ia ketika ibunya menunjukkan sepatu kain berbordir yang berukuran lebih kecil dari tangan Ben; sepatu yang digunakan oleh perempuan Tionghoa yang dibebat erat-erat kakinya sedari kecil. Persentuhan dengan hal-hal yang ada di luar lingkungan sendiri ini diam-diam membentuk kepribadian Ben. Ia menjadi begitu suka me-ngulik hal-hal baru dan begitu terpesona dengan hal-hal yang belum diketahuinya sebelumnya.

Dari pengalaman itu, untuk para peneliti, Prof. Ben lantas bernasihat, “…cara memulai riset yang menarik…adalah dengan berangkat dari persoalan atau pertanyaan yang kau sendiri tidak tahu jawabannya” (hlm. 151). Sebuah nasihat yang barangkali terasa begitu sederhana, namun—dalam rangka mencari jalan tikus—kerap tanpa sadar dilupakan para mahasiswa dan peneliti.

Benedict Anderson dan Pramoedya Ananta Toer dalam acara diskusi “Nasionalisme Kini dan Esok” dalam rangka peringatan HUT TEMPO ke-28 di Hotel Borobudur, Jakarta, 4 Maret 1999. Foto diambil oleh Rully Kesuma/Tempo | Sumber: https://beritagar.id/artikel/telatah/tiga-bidji-dari-om-ben

Benedict Anderson adalah produk generasi terakhir yang dibesarkan dengan sistem dunia lama. Yang dimaksud dengan dunia lama ini adalah dunia sebelum Perang Dunia II. Dunia yang demikian itu masih terus berlanjut dan perlahan-lahan menghilang seiring kemunculan tekonlogi informasi baru, sistem pendidikan yang baru, singkatnya modernitas yang melangkah begitu cepat. Perubahan zaman yang begitu rupa di sekitarnya membuat Prof. Ben menjadi individu yang berada di dalam zaman itu dengan berjarak; berada pada posisi untuk mengamatinya dari jarak tertentu, alih-alih dibentuk olehnya (hlm. 29). Di dalam keadaan seperti itulah, Bennedict Anderson mulai mencintai Asia Tenggara dan, oleh satu dan lain keberuntungan, menjadi pengkaji Asia Tenggara yang terkemuka.

Menjadi Seorang Indonesia

Perkenalan Benedict Anderson dengan Asia Tenggara terjadi jauh sebelum ia mengecap pendidikan formal. Bahasa pertama yang bisa diucapkannya, menurut Sang Ibu, adalah Bahasa Vietnam. Ini karena pengasuhnya ketika kecil adalah seorang perempuan Vietnam. Namun, tentu saja bukan terutama karena itu Prof. Ben mengkaji Asia Tenggara. Ia menyebut persinggungannya dengan Asia Tenggara sebagai sebuah kebetulan. Pasca lulus dari Universitas Cambridge, ia mendapat tawaran menjadi Asisten Dosen Ilmu Politik di Universitas Cornell. Setelah berkonsultasi dengan adiknya, Perry Anderson, seorang sejarahwan marxsis terkemuka dan salah satu redaktur jurnal New Left Review, ia menerima tawaran itu (hlm. 24).

Ketertarikan Ben pada Kajian Asia Tenggara tidaklah terjadi begitu saja. Ada sebuah milieu dunia yang memungkinkan hal itu terjadi. Era 1950-an, wilayah-wilayah yang dahulunya merupakan wilayah kolonial negara-negara Eropa ramai-ramai merdeka. Hal ini ditambah dengan kebutuhan Amerika Serikat untuk memahami wilayah-wilayah tersebut. Kebutuhan itu bertolak belakang dengan ‘modal’ yang dimiliki Amerika dibandingkan negara Eropa; Amerika tidak punya banyak data perihal negara-negara Asia Tenggarta, kecuali Filipina.

Atas kebutuhan itu, kajian seputar Asia Tenggara mulai ramai. Kajian Asia Tenggara lantas “…memancarkan daya tarik yang besar karena terlihat seperti sesuatu yang benar-benar baru gres, sehingga mahasiswa merasa bak penjelajah menyelidiki masyarakat dan kawasan yang belum dikenal” (hlm. 53). Obyek kajian yang demikian membuat para pengkaji Asia Tenggara kala itu merasa begitu dekat dengan negeri-negeri kajian mereka. Dampaknya misalnya, para pengkaji Indonesia kala itu menjadi kiri dengan tingkatan yang berbeda-beda dan pengkali Thailand cenderung konservatif.  Hal ini lantaran kala itu Indonesia memang lebih condong ke kiri. Di mana Soekarno lebih dekat dengan kaum kiri di Indonesia. Sedangkan Thailand tengah berada di bawah monarki-militer konservatif.

Perry Anderson, adik dari Ben Anderson, seorang sejarawan Marxsist dan editor New Left Review | Sumber: commons.wikimedia.org

Prof. Ben mengakui bahwa ia mendapati dirinya sebagai seorang “…nasionalis Indonesia (atau Indonesia-Jawa), dan merasa jengkel saat bertemu para pejabat Amerika sok jagoan yang jelas-jelas memandang rendah orang Indonesia” (hlm. 111). Penelitian terhadap Indonesia membuat Prof. Ben begitu mencintai Indonesia. Di dalam buku ini perhatian dan kecintaan itu bisa kita temukan di dalam berbagai kisah dan temuan-temuannya. Salah duanya adalah bagaimana keterpesonaannya pada Tjambuk Berduri dan karya sastrawan Eka Kurniawan. Kita tahu kini, Eka Kurniawan termasuk salah satu sastrawan Indonesia yang tengah naik daun di kancah internasional. Sumbangsih Prof. Ben barangkali berperan besar untuk hal itu.

***

Dengan segala hormat kita perlu mengenang Benedict Anderson sebagai seorang Indonesianis yang mengabdikan hampir sebagian besar hidupnya untuk membantu kita memahami identitas kita sendiri. Namun, bisa jadi tidak semua Indonesianis punya rasa cinta yang mendalam terhadap Indonesia. Benedict Anderson, melalui buku ini setidaknya, tampil sebagai seorang Indonesianis yang begitu mencintai Indonesia.

Sebagai yang mencintai Indonesia, buku ini pun perlu kita lihat sebagai kritiknya atas Indonesia. Terkhusus, melalui buku ini, kita bisa melihat kritikannya atas sistem pendidikan kita sendiri. Sistem pendidikan yang terkadang menciptakan para akademisi setengah jadi, menciptakan para peneliti yang hidup hanya di bawah tempurung keilmuwannya saja. Akhir kata, buku ini baik dibaca oleh siapa saja yang baru menjejaki kakinya di bangku Strata Satu jurusan apa pun. Meski pun sistem pendidikan tidak begitu ramah, siapa tahu satu dua cara kerja Prof. Ben bisa mengilhami penelitian kecil-kecilan yang kelak dilakukan.


Judul Buku: Hidup di Luar Tempurung
Penulis: Benedict Anderson
Penerbit: Marjin Kiri, Tangerang Selatan, Juli 2016
Penerjemah: Ronny Agustinus
Tebal: x + 205


Catatan: Resensi buku ini pertama kali dipublikasikan di Harian Jawa Pos, Minggu, 21 Agustus 2016.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram