Aristoteles membagi gerak dalam dua makna; langsung dan tidak langsung. Contoh yang diberikannya adalah seseorang yang melihat kapal dari luar, bisa melihat gerak kapal sekaligus penumpang (yang berdiri di geladak misalnya). Penumpang di atas kapal itu terlihat bergerak (gerak tak langsung) dan kapal itu sendiri bergerak (gerak langsung). Penumpang itu bergerak, “…hanya karena berada pada sesuatu yang bergerak”.

Aristoteles selanjutnya membagi 4 jenis gerak : (1) perubahan posisi, (2) perubahaan keadaan, (3) pembusukan “decay”, dan (4) bertumbuh (bag III Par. II). Berbicara tentang gerak maka mesti dipahami keempat jenis ini. Dengan demikian, lanjut Aristoteles, jika jiwa bergerak, dia harus memiliki satu atau lebih atau semua dari jenis gerak ini. Jika gerak jiwa hanyalah sebuah aksidental [κατα συμβεβηκός kata sumbebekhos[1]], maka secara natural jiwa harus memiliki gerak, atau essensi jiwa itu harus dicari. Dan gerak yang natural ini, harus punya posisi dalam ruang karena semua gerak mengandaikan ada ruang. Maka, jika gerak pada jiwa bukan suatu yang aksidental, berarti ia merupakan essensi dari jiwa. Selain itu, geraknya juga harus disebabkan oleh sebuah kekuatan.

Aristoteles selanjutnya memeriksa jiwa dan badan dalam hal gerak. Kita membayangkan bahwa jiwa bergerak yang mana digerakan oleh sebuah kekuatan. Dengan demikian dia akan berhenti pula oleh sebuah kekuatan.

Sumber: creativepastors.com

Jiwa menggerakan tubuh, bila diperiksa maka tubuh juga bisa memiliki gerak yang sama (jiwa sebagai gerak langsung dan tubuh sebagai gerak tak langsung tetapi bisa saja tubuh memiliki gerak langsungnya sendiri, atau bisa juga sebaliknya). Jadi, bisa saja tubuh itu bergerak karena geraknya sendiri. Ketika tubuh bergerak, jiwa pun bergerak. Ketika tubuh berpindah tempat, jiwa pun berpindah tempat mengikutinya. Jika demikian, jiwa bisa saja meninggalkan tubuh dan datang kembali padanya. Bisa dibayangkan bahwa ketika jiwa meninggalkan tubuh, harusnya tubuh masih saja bisa bergerak. Tetapi ini tidak mungkin. Ketika sebuah tubuh kaku atau mati, maka dia bisa saja tetap bergerak atau mengandaikan jiwa kembali masuk ke dalamnya dan kemudian ia akan bangkit.

Gerak pada jiwa tidak bisa digambarkan sebagai sesuatu yang diakibatkan oleh hal lain di luarnya bila kukuh pada pendirian bahwa gerak pada jiwa adalah essensi jiwa itu sendiri. Namun Aristoteles masih menyisahkan sebuah ‘antisipasi’, “……is most likely to be moved by sensible objects (hal. 35).”

Nah, jika jiwa bergerak pada dirinya (tanpa ada penyebab di luarnya) berarti jiwa itu bergerak. Maka, jiwa pada dirinya adalah gerak. Jika demikian, jiwa sendiri tidak punya esensi apa-apa; melainkan gerak. Maka, tidak bergerak adalah sesuatu yang terjadi secara aksidental saja pada jiwa itu.

Aristoteles selanjutnya memeriksa pemahaman jiwa yang bergerak dalam pemahaman beberapa filsuf ‘alam’ sebelumnya. Demokritus menggambarkan atom-atom berbentuk bola bergerak karena mereka secara alamiah tidak pernah dalam keadaan selalu tetap; gerak adalah niscaya bagi atom-atom ini. Namun lawan dari gerak yakni diam tak bisa dijelaskan oleh pemahaman ini menurut Aristoteles (sebuah benda yang bergerak harusnya bisa diam pula). Gerak dan diam adalah sesuatu yang berada dalam satu kesatuan niscaya. Mungkin ini sama dengan apa yang dikatakan Herakleitos[2]. Maka, bagi Aristoteles, atom yang pada dirinya secara alamiah tak bisa diam yang dikatakan Demokritus ini tak bisa diterima. Bagi Aristoteles, secara umum bisa dikatakan bahwa makhluk hidup bisa bergerak tidak dalam cara seperti ini melainkan dari sebuah kehendak yang diproduksi oleh pemikiran (mind).

Selanjutnya Aristoteles membicarakan pemikiran Platon, terkhusus dalam Thimaeus yang mana Platon menggambarkan gerakan sebagai akibat dari gerakan ‘sesuatu yang surgawi’.

Mengkritisi Plato: Jiwa sebagai sebuah ruang yang besar tidak benar. Aristoteles lebih memandangnya sebagai sebuah kesatuan proses. Aristoteles mempertanyakan masalah pemikiran Platon tentang berpikir sebagai dalam lingkaran. Karena, baginya jika demikian, berpikir hanya akan berputar-putar saja di sana dan memulai sesuatu dari awal dan berakhir di point yang sama kembali, dsb. Maka, bagi Aristoteles, pemikiran Platon ini mesti ditinggalkan untuk ke depannya.

Hubungan antara tubuh dan jiwa dipandang oleh para pemikir sebelumnya sebagai sesuatu yang terberi begitu saja tanpa pernah berpikir kenapa hubungan itu bisa terjadi; itu diterima begitu saja tanpa memikirkan bagaimana itu bisa terjadi.

[1] Accidentaly: pada bagian introduction dijelaskan bahwa ‘sifat kebetulan’ ini dipahami sebagai suatu sifat yang tidak menjadi essensi pokok dari benda. Misalnya, meja yang hijau. Hijau hanya accidentaly karena ketika warnanya menjadi coklat misalnya, meja itu tetap sebagai meja seperti sebelumnya. Atau disebut juga sebagai hanya atribut yang kontigen.
[2] Salah satu fragment dari Herakleitos mengatakan demikian: “Harus mengerti bahwa perang itu sesuatu yang biasa, bahwa pertentangan adalah keadilan dan bahwa segala sesuatunya muncul dan mati seturut dengan pertentangan dan keniscayaan.” (DK 22 B 80). Mungkin bisa dikatakan, sesuatu bergerak bisa terpikirkan atau bisa dikatakan bergerak ketika sesuatu itu bisa juga dikatakan diam sebagai lawan dari gerak itu. Jika ia bergerak tanpa ada diam, bagaimana kenyataan bergerak itu bisa dikatakan bergerak. Pada paragraf sebelumnya pun, Aristoteles sempat menyinggung antara gerak dan diam ini. Sesuatu bergerak secara alamiah maka dia harusnya diam secarah alamiah pula. Di sini pertanyaannya adalah kenapa Aristoteles selalu memikirkan lawan dari sesuatu itu. Untuk sementara, bisa saya katakan sebagai ‘pengaruh’ dari Herakleitos sebagai orang pertama yang memikirkan pertentangan-pertentangan ini.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram