Tentu saja kita semua setuju belaka bahwa Jose de Sousa Saramago (1922-2010), lebih dikenal dengan Jose Saramago, termasuk sastrawan penting di abad kita. Apalagi jika menggunakan Nobel Sastra sebagai ukuran; Saramago menerimanya pada 1998 silam. Untuk pembaca berbahasa Indonesia, rupanya sejauh ini baru satu novel Saramago-lah yang tersedia, Blindness. Permasalahan terjemahan kazanah sastra dunia ke bahasa Indonesia dan juga sebaliknya memang masalah klasik. Tentu saja, di tengah keadaan yang demikian, usaha penerjemahan Blindness perlu disambut baik. Meski pun, secara teknis, sedikit cacat pada penerjemahannya masih bisa kita temukan. Tulisan singkat ini adalah salah satu bentuk apresiasi terhadap kerja penerjemahan tersebut.

 

Imaji Apokaliptik Saramago

Blindness berkisah tentang sekelompok orang yang tejangkit epidemi kebutaan. Dimulai dari seorang lelaki yang mendapati dirinya mengalami kebutaan itu ketika mengendarai mobil, diikuti dengan orang-orang yang bersinggungan dengannya pada hari itu, hingga hampir seluruh dunia mengalami kebutaan. Cerita berakhir dengan pulihnya pengelihatan normal semua manusia.

Mereka yang pertama kali terkena wabah itu lantas dikarantina oleh pemerintah di sebuah bekas rumah sakit jiwa. Di tempat ini, kisah Blindness ‘berspekulasi’ seputar bagaimana kehidupan beradab berusaha dibangun oleh manusia yang kehilangan penglihatannya. Di dalam ketakberdayaan tanpa penglihatan yang diciptakannya, Saramago mengupas sisi-sisi gelap kemanusiaan; diktatorial, perebutan makanan, napsu, kekotoran, harga diri yang hilang, dsb. Kebutaan yang diciptakan Saramago di dalam Blindness menjelma prakondisi untuk melihat kemanusiaan ketika yang tersisa hanyalah harapan untuk terus bertahan hidup.

Awalnya, para orang buta yang berada di karantina mengira hanya merekalah yang terkena epidemi itu. Namun, ketika datang penghuni baru, cerita dari dunia luar pun mereka dengar; dunia perlahan-lahan menjadi putih seluruhnya. Ketika mereka ke luar dari tempat karantina barulah ‘terpampang’ di hadapan mereka dunia apokaliptik itu. Dunia tanpa seorang manusia pun bisa melihat. Demikian kira-kira gambaran dunia apokaliptik Saramago, “mereka tidak tahu jalan, mereka terus menempel gedung-gedung dengan tangan terjulur. Mereka terus-menerus saling tabrak seperti semut-semut pada alur lintasannya. Namun ketika terjadi tabrakan, tak ada yang protes” (hlm. 332).

Gambar Salah Satu Adegan Dalam Film “Blindness” (2008) Karya Sutradara Fernando Meirelles | Sumber: http://www.blindness-themovie.com/

Penglihatan dan Manusia Modern

Penglihatan tak dipungkiri menjadi indra yang paling penting untuk makhluk manusia modern. Barangkali sebelum menjadi homo sapiens yang berjalan tegak, manusia belum terlalu bergantung dengan penglihatannya. Ia barangkali lebih bergantung pada indra penciuman misalnya. Apalagi ketika peradaban dibangun di atas arsip yang menggunakan aksara sebagai penyimpan utamanya. Tanpa penglihatan, manusia tidak bisa mempelajari sejarah dan peradaban. Tanpa penglihatan, seseorang tidak bisa berpartisipasi di dalam peradaban. Segala hal di sekitar manusia modern sesungguhnya bergantung pada indra penglihatan.

Teknologi yang mempermudah hidup manusia menggunakan indra penglihatan dalam mengoperasikannya. Manusia barangkali bisa saja tidak mencium sesuatu aroma di dalam sebuah ruangan tertentu. Hal itu sangat mungkin tidak benar-benar menggangu hidupnya. Tetapi ketika seseorang tidak melihat pintu ke luar dari sebuah ruangan, masalah yang lebih besar timbul di sana. Kita kerap mendengar atau mengucapkan ‘aku tidak mencium aroma itu’ dan kalimat itu tidak terlalu mengganggu ketimbang kalimat ‘aku tidak melihat benda itu’.

Menghilangkan penglihatan dari tubuh semua manusia adalah cara menciptakan keadaan khaos yang paripurna. Itulah yang dilakukan Saramago di dalam Blindness. Namun rupanya, sulit untuk membayangkan sebuah dunia tanpa penglihatan sama sekali. Itu sebabnya, saya kira, seorang tokoh dibiarkan bisa melihat oleh Saramago. Selain menjadi tokoh utama, perempuan yang bisa melihat ini menjadi semacam ‘mata kemanusiaan’ untuk merefleksikan keberadaannya ketika penglihatan tak ada sama sekali.

Gambar Salah Satu Adegan Dalam Film “Blindness” (2008) Karya Sutradara Fernando Meirelles | Sumber: http://www.blindness-themovie.com/

Dikisahkan, tokoh yang bisa melihat ini, karena cinta kepada suaminya yang dibawa ke sanatorium, ikut ke sanatorium dengan cara berpura-pura buta. Di sana, ia lantas menjadi orang yang mengatur segala sesuatu kehidupan sambil terus berpura-pura buta. Ia mencoba mengkreasi peraturan-peraturan kecil, dengan bantuan suaminya yang punya otoritas sebagai dokter di antara para orang buta itu, untuk mempermudah kehidupan komunitas buta tersebut. Ia juga—karena bisa melihat—menjadi ‘orang yang bisa menjatuhkan hukuman’ untuk orang-orang buta yang bertindak semena-mena. Kedigdayaan manusia ketika bisa melihat dihadirkan melalui tokoh ini. Namun dari mata tokoh yang bisa melihat ini jugalah kemanusiaan dan peradaban itu runtuh satu demi satu; tak bertahan di tengah ketakberdayaan manusia.

***

Buku Saramago ini menunjukkan kepada kita betapa pentingnya penglihatan. Lebih jauh dari itu, ia pun menunjukkan betapa ras manusia sangat bergantung pada penglihatan; pada mata. Nyaris tidak ada yang bisa dilakukan manusia ketika matanya tak bisa berfungsi dengan baik. Barangkali manusia bisa hidup tanpa penglihatan. Namun hidup tanpa penglihatan adalah hidup yang jauh dari beradab. Kebersihan hilang, kesopanan hilang, moralitas hilang; menjadi hampa, seperti mata yang bisa melihat segalanya dengan jelas dan tiba-tiba hanya melihat tabir putih di mana-mana.


Judul: Blindness (novel)
Penulis: Jose Saramago
Penerjemah: Tim Matahari
Penerbit: Penerbit Matahari, Jakarta (November 2015)
Tebal: 488 hlm.


 

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram