Tentang Buku Puisi aku mengenangmu dengan pening yang butuh Panadol

 

Ulasan Oleh Khudori Husnan

 

Pengantar

Banyak hal mengherankan di kehidupan sehari-hari warga kota, khususnya Jakarta; orang Jakarta kerap menyebut mereka yang baru tiba di Jakarta dari daerah-daerah tertentu di Jawa Timur, Yogyakarta, dan Jawa Tengah dengan sebutan orang Jawa, padahal, Jakarta sendiri berada di Pulau Jawa. Di sini Jakarta terkesan tampil sebagai bagian sekaligus bukan bagian dari Pulau Jawa.

Contoh lain, saat kondangan di acara nikahan di beberapa daerah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, salah satu kecemasan yang kerap menghantui sebagian para tamu undangan adalah kesamaan gaya busana dan aksesoris yang dipakai dengan busana yang dipakai tamu undangan lain.

Di acara pernikahan, tetamu biasanya selalu ingin tampil beda, rapi, dan modern, dalam arti mengenakan busana dan aksesoris yang tak ketinggalan jaman. Tapi, pada saat bersamaan, orang-orang ini cenderung canggung jika ternyata model busananya sama dengan yang dipakai  tamu undangan lain yang juga ingin tampil beda, rapi, modis dan modern tentunya.

Kota tak ubahnya ruang bagi rangkaian paradoks. Paradoks di kota dengan aneka dimensi, variasi, dan implikasinya, telah menarik minat para penyair hingga mereka dengan berbekal kepekaan intuisi berupaya mengusut apa yang ada dan menggejala di seberang paradoks kota. Puisi-puisi Berto Tukan dalam buku aku mengenangmu dengan pening yang butuh panadol (disingkat amdpbp, Penerbit Anagram, Jakarta, 2021) termasuk puisi-puisi yang berupaya mengungkap dimensi paradoksal dari sebuah kota yang ingin selalu terlihat modern.

Berto Tukan mencoba mengusut paradoks kota dengan melacaknya dari gang-gang sempit kota besar, stasiun kereta, obrolan warung kopi, kehidupan kos-kosan, ruang publik warga, kawasan padat penduduk, bahasa gaul di kalangan kawula muda, aplikasi-aplikasi di ponsel dan seterusnya seperti akan kita telisik lebih jauh di bawah.

Paradoks Kota dalam Puisi

Jakarta, tak menutup kemungkinan juga kota-kota besar lain di Indonesia, tampaknya tak bisa dilepaskan dari paradoks dalam pergaulan sosialnya. Atas nama kemajuan dan pembangunan, semakin tua usia kota, semakin giat ia bersolek dengan jenis-jenis tata kota paling mutakhir dan spektakuler, semata-mata agar kota selalu terlihat segar dan belia, seperti pernah dipuisikan Agam Wispi (2008:123) saat ia berpuisi tentang Surabaya, //Surabaya/ lebih remaja dalam bantingan usia//.

Paradoks kota juga ditangkap Chairil Anwar dalam sajak “Cerita, kepada Darmawidjaja” // Di pasar baru mereka/ Lalu mengada-menggaya// “mengada” sebagai penegasan otentisitas dalam terang paham eksistensialisme berjalan beriringan dengan “menggaya,” sebuah pernyataan yang menyiratkan gaya hidup kebanyakan orang kota, yang kerap disebut sebagai kerumunan  atau “crowd.”

Paradoks juga diamati Rendra (2010:54) dalam puisi “Rick dari Corona” //(New York mengangkang// Keras dan angkuh// Semen dan baja// Dingin dan teguh// Adapun di tengah-tengah cahaya lampu gemerlapan// terdengar musik gelisah// yang tentu saja// tak berarti apa-apa// Sementara itu, Subagio Sastrowardoyo (1975:116) dalam puisi “New York” menulis //Ini New York. Pusat Kesenian// Dan segala dosa. Dimana subuh hari// di muka gedung komedi bisa bertemu// tubuh lelaki diam terbaring dengan belati// di dada// Afrizal Malna menulis dalam puisi “Berlin Proposal” (2015:42) //neon dalam isolasi cahaya, dinding membatalkan bangunan//

Mengalami dan menyaksikan paradoks di kota yang ia tinggali, Berto Tukan sepertinya juga ikut bergetar hebat. Penggalan puisi Berto Tukan berjudul “terik siang hari, ruko lampu hias belum tutup, lelaki memaki” yang berbunyi //cahayacahaya meredup// bagiku// di kota ini//  adalah seumpama// bermain metafora// pada kepergian// tetapi jalur tetap di situ juga// ada kembali pada yang berputar// menyiratkan kesan ihwal adanya paradoks atau absurditas di kehidupan kota, yang kemudian ditegaskan lagi pada ada kembali pada yang berputar, hal ini  memperlihatkan kehidupan kota yang monoton, berkutat hanya pada itu dan itu saja, membosankan dan diwarnai cahayacahaya meredup.

Sampul Buku “Aku Mengenangmu Dengan Pening yang Butuh Panadol”

Aneka jenis hiburan yang berseliweran dan dapat dengan mudah dijumpai melalui smartphone bukannya menghadirkan vitalitas baru bagi kebanyakan penghuni kota, tapi malah membuat warga semakin larut dalam kejemuan, malas-malasan dalam laku rebahan. Sementara itu Berto Tukan terus berpuisi // tumbukan besi dan besi// menciptakan tegangan listrik// kilatan api// alih-alih memicu semangat malah // melempar jauh keberadaan// dari kota ini// Rangkaian paradoks dinikmati Berto Tukan sebagai “seumpama metafora,” hingga mewujudlah larik-larik puisi. Menariknya, Berto Tukan menyadari, meski dengan sedikit keraguan, berbagai keanehan yang terjadi di kota itu, “hanya sementara, bukan?”

Puisi Liris Era Disrupsi

kesekian kali alam menghamba pada
daundaun mengambang di udara bagai perasaan
yang menghilang jejaknya menit ke menit perjalanan
semesta
kulit kita lesap pada batubatu seumpama seekor macan
tutul pada
bungle in the jungle Jethro tull

melalui tapaktapak kita mengeja
kehidupan logika pada bebungaan
nestapa berhamburan pada dingin petang hari

kuingin jadi awan
kuingin jadi awan

sentimental waktu dan udara menyergap siasia
makan siang yang terbuang di kloset
titiktitik cerah bagai pelupaan akan kerja
kita tak lupa ada
kita hanya lupa pada kerja

filsafat mati diamdiam atau baru dibuahi pada
menitmenit tol laut terdengar sampai taman nasional
ada dingin yang sekejap di balik punggung seperti
seseorang sedang menatap tetapi kita tak kuasa
tak berani tepatnya
menatap mata di balik kacamata
perasaan menjelma tuhan

logika filsafat sekarat di mulut peradaban
memaki dan memaki tanpa menulis kata makian
jiwajiwa kelas menengah mengendap tak kuasa dihilangkan

embun turun
kita takut menjelma mooi indie
embun turun
kita takut menjelma romansa kanakkanak
embun turun
meski kita tahu ada psike terganggu

wajar sih
begitulah mesin bekerja pada sebatang pohon
yang rubuh karena renta

mentahmentah kita makan segala yang distimuluskan

mentahmentah kita makan segala yang diremajakan

mentahmentah kita hirup udara pegunungan

mentahmentah kita berlagak seolah entak kaki
dengan warna tertentu bagai lampu jalanan

kita tahu itu tipuan cahaya
kita mengamini tanpa pusing peduli
hanya demi estetika.

(Puisi “menghunjam sembilu pada hujan semburat embun menyembunyikan sosokmu pada radius kesekian pandangan mata tak berkuasa)

Puisi-puisi dalam ampdpb adalah puisi-puisi Berto Tukan yang ditulis antara 4 November 2015 sampai dengan 25 Februari 2020, suatu periode yang sering disebut para cendekiawan, aktivis, hingga politisi sebagai disrupsi global. Era disrupsi, meminjam kalimat panjang sastrawan Iwan Simatupang (2004), adalah, “masa yang berlangit penuh mega berarak mendung. Masa dari segala kejadian dan dari segala kemungkinan. Di mana segala nilai dan kaidah tiada bergeseran saja saling berantakan dalam deru yang gegap gempita, yang satu mencoba memagut yang lain.”

Buku kumpulan puisi ampdpb terbit ketika kebiasaan-kebiasaan baru mulai bermunculan menggantikan kebiasaan-kebiasaan lama. Tradisi baru menggantikan tradisi lama. Mukim di  planet Mars pelan tapi pasti akan menjadi kenyataan, pandemi global selalu mengintai,  orang-orang mudah terkenal dan mudah pula dilupakan dalam waktu cukup singkat sesingkat durasi TikTok, Reels, atau Short. Era disrupsi ini ditandai oleh fenomena ketika //semua kata// menjelma perusahaan// di era demam// start up// (Berto Tukan, Puisipada malam ketika puisi adalah syair”).

Puisi-puisi Berto Tukan dalam ampdpb juga lahir di abad informasi yang ditandai oleh  merosotnya pengetahuan menjadi berita, kegaduhan gampang menyeruak dan menyebar,  informasi dalam berbagai varian membanjiri keseharian, menerobos kehidupan personal lalu  meninggalkan jejak di ruang kognisi sembari memberangus ruang interpretasi atau refleksi kritis, menyitir puisi Wiji Thukul berjudul “Kota” (2000:86), //di kota yang sibuk ini// hidup jadi toko serba-otomatis// sulit terharu lupa meditasi//

Informasi serupa jaring laba-laba dengan kemampuan mengendalikan individu yang hanya  bisa pasrah menghadapi lalu mereproduksi dan terkadang ikut mengabarkannya. Berto Tukan berpuisi //logika filsafat sekarat di mulut peradaban// memaki dan memaki tanpa menulis kata makian// jiwajiwa kelas menengah mengendap tak kuasa dihilangkan//

Meski demikian, informasi adalah bagian dari pengalaman manusia, dalam artian informasi  tidak bersifat ekstrinsik atau berada di luar individu dan masyarakat. Informasi juga bermuasal dari pengalaman manusia itu sendiri. Ini berarti, informasi telah mengalami apa yang disebut dalam khazanah pemikiran Marxisme sebagai reifikasi; informasi terlempar ke luar dari diri individu dan menjelma obyek otonom, tercabut dari kodrat dan asal-usul sosialnya. Informasi disajikan dalam sebuah template yang seragam dengan kecenderungan  membatasi struktur pengalaman individu terhadap dunia.

Di era banjir informasi yang dipicu media sosial, individu seperti tidak berdaya melampaui dirinya sendiri untuk melakukan pemulihan sudut pandangan komunitas tertentu yang menjadi dasar atau fondasi dari kehidupan individual. Keakraban dan kenyamanan di media sosial, termasuk grup Whatsapp, belum tentu akan menciptakan keakraban pula di kehidupan sehari-hari, sebab, media sosial sekadar kumpulan individu yang terpisah-pisah dan terlepas  dari perjumpaan di dunia nyata.

Internet telah memberikan manfaat luar biasa tapi pada saat bersamaan ia juga menyebabkan  kehidupan sehari-hari terputus dari pengalaman langsung dengan manusia-manusia konkret lain. Dari sudut ini, media sosial memungkinkan terciptanya sikap asosial karena mereduksi kompleksitas pertemanan dan hubungan yang dapat diidentifikasi dengan jelas dan terpilah. Dalam ungkapan puitis Berto Tukan //embun turun// kita takut menjelma mooi indie// embun turun// kita takut menjelma romansa kanakkanak// embun turun// meski kita tahu ada psike terganggu// wajar sih// begitulah mesin bekerja pada sebatang pohon// yang rubuh karena renta//

Mereka yang terbiasa berpikir ketat dan serius barangkali akan menemukan kesulitan saat  mencoba menyesuaikan perangkat konseptual yang dimiliki untuk menyoroti informasi-informasi yang berseliweran dengan amat cepat di abad informasi. Kesulitan menyesuaikan diri ini menimbulkan ketegangan yang berdampak pada cara-cara seseorang dalam berkomunikasi. Kuasa informasi pada gilirannya mereduksi kemampuan  mengkomunikasikan pengalaman sehari-hari secara lebih mendalam seperti diratapi Berto Tukan // filsafat mati diamdiam atau baru dibuahi pada// menitmenit tol laut terdengar sampai taman nasional// ada dingin yang sekejap di balik punggung seperti// seseorang sedang menatap tetapi kita tak kuasa// tak berani tepatnya// menatap mata di balik kacamata// perasaan menjelma tuhan//

Jika puisi kita pahami sebagai modus komunikasi seorang penyair terkait apa yang dia dengar, lihat dan rasakan, maka puisi-puisi Berto Tukan adalah jenis puisi yang terpapar perubahan besar dalam struktur pengalaman seiring terjadinya perkembangan zaman, seperti dijabarkan di muka. Berto Tukan berusaha mentransendensikan perubahan-perubahan  lingkungan di sekelilingnya melalui puisi.

Intimitas dengan budaya urban membuat Berto Tukan terpana karena pengalaman dalam kota besar ternyata sangat fragmentaris, peristiwa-peristiwa partikular dan unik tercerabut dari konteks tradisi yang melatar belakanginya hingga mengakibatkan lahirnya perbedaan cara memahami dan memandang realitas yang pada akhirnya berdampak pada cara berkomunikasi.

Berto Tukan berusaha menerangkan aspek-aspek krusial di era informasi berikut tahap-tahap transisionalnya, melalui puisi yang mengambil pola penulisan berbeda dari para penyair sebelumnya. Sementara para penyair lain menuliskan puisi-puisinya secara santun, tertata rapi, dan harmonis, Berto Tukan menuliskan puisi-puisinya dengan urakan, “semau gue”, dan tanpa mempertimbangkan kenyamanan hati para pembaca.

Kata Berto Tukan, // mentahmentah kita makan segala yang distimuluskan// mentahmentah kita makan segala yang diremajakan// mentahmentah kita hirup udara pegunungan// mentahmentah kita berlagak seolah entak kaki// dengan warna tertentu bagai lampu jalanan// kita tahu itu tipuan cahaya// kita mengamini tanpa pusing peduli// hanya demi estetika//

 Lewat cara pengucapan puisi yang berbeda, Berto Tukan secara sadar sedang mengajak pembaca memainkan jenis permainan petak-umpet atau batu, gunting, kertas, yang biasa dimainkan kaum bocah di waktu luang, Berto Tukan menulis, //menyembunyikan segala asa pada ketiak malam// menyembunyikan segala rasa pada dingin malam// …// menyembunyikan maksud pada nada// menyembunyikan maksud pada bunyi// (Puisi “pohon randu ditebang sore tadi, burung malam sembunyi di rantingnya, gak ada tempat ngelipir”)

Sebuah Sudut Jakarta

Menghidupi Kekacauan

seorang lelaki tua melihat ke luar jendela
dunia meninggalkannya berjalan tetatih
lengan bajunya disingsingkan
seperti pesan di lagu perjuangan
kala itu
waktu membawanya melaju ke depan terlalu cepat
waktu menuntun dunia di luarnya melaju dan melupakan
dirinya

seorang lelaku tua memandang ke luar jendela
jendela bergerak, metropolitan bergerak
gedunggedung bergerak
jembatanjembatan bergerak
istilahistilah bergerak
suarasuara bergerak
cahayacahaya bergerak
kenangankenangan bergerak

seorang lelaki tua memandang ke luar jendela
menyusun kenangan, bertahuntahun  mencumbui
jalur itu
dunia kini sudah berganti rupa
pun pula rupa lelaki tua

perhentianperhentian berlalu
begitu saja
perhentian pun
bahkan
bergerak!

ia mengeja istilah baru
humi…
lunid…
lumid…
luminal…
diri?
gempa dan tsunami, lorelindu

ia lupa

kaki kanannya di atas bangku
tangannya pada lutut
lemah
barangkali reumatik
asam urat
asam lambung
halhal lumrah akhirakhir ini

hatihati pintu sebelah kanan akan dibuka
            dari arah kedatangan kereta

lelaki tua terus saja memandang ke luar jendela
ia teringat pada gaya
dari masa lalu
yang kini
entah di mana

(Berto Tukan, Puisi “seorang lelaki tua di atas kereta yang melaju tersendatsendat”)

Dalam khazanah pemikiran Barat, modern (‘modern’ berasal dari kata Latin moderna yang artinya sekarang, baru, atau saat kini) selain sering diartikan sebagai subyek yang terpusat pada rasio seperti pernah digemakan bapak filsafat modern Rene Descartes, juga terhubung erat dengan pelbagai anasir di jalanan kota besar. Menjadi modern, demikian Marshall Berman dalam karangannya sebagai respons untuk Perry Anderson, Sign in the Streets (2017), pernah menulis, adalah mengalami secara personal kehidupan sosial sebagai sebuah ‘maelstrom,’ semacam kekacauan, disorder atau mungkin lebih tepat, disrupsi.

Menurut Marshall Berman bersikap modern  berarti berupaya menemukan sebuah dunia yang dihidupi seseorang dalam bayang-bayang disintegrasi dan ketegangan untuk menemukan  pembaruan-pembaruan. Mereka yang gugup dan gagap menghadapi gelombang modernisasi akan tertinggal seperti seorang lelaki tua dalam puisi Berto Tukan; //seorang lelaki tua melihat ke luar jendela// dunia meninggalkannya berjalan tetatih// lengan bajunya disingsingkan// seperti pesan di lagu perjuangan// kala itu// waktu membawanya melaju ke depan terlalu cepat// waktu menuntun dunia di luarnya melaju dan melupakan// dirinya//

Modernitas sendiri tidak bisa dilepaskan dari adanya permasalahan dan ketakutan, ambiguitas dan kontradiksi. Aspek-aspak ini inheren dalam modernitas oleh sebab itu, suka atau tidak suka, masalah dan ketakutan, ambiguitas dan kontradiksi harus dihidupi dan dijalani secara bersamaan agar tetap terlibat dengan alam atau lingkungan sekitar, Marshall Berman mengutip pendapat Karl Marx, “segala yang solid menguap dalam udara” (all that is solid melt into air). Lugasnya, menjadi seorang modernis adalah menjadikan diri kerasan atau  nyaman dalam arus-arus pusaran “maelstrom”.

Seekor Kucing dan Mobil Patroli

Sementara itu, tujuan dari modernisme tak lain adalah memberikan pria dan wanita modern kekuatan untuk mengubah dunia yang secara terus-menerus mengubah mereka, dengan cara  demikian mereka menjadi subyek sekaligus obyek modernisasi. Mondernisme, kata Marshall Berman, “masih sedang terjadi, baik di jalan-jalan maupun di jiwa-jiwa kita, dan bagaimana pun ia masih memiliki kekuatan imajinatif untuk menolong kita membuat dunia ini menjadi milik kita.”

Kekuatan imajinatif membuat masyarkat modern mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dengan mengeja kode-kode yang diberikan lingkungan di sekitarnya, mengacu pada puisi Berto Tukan, //dunia kini sudah berganti rupa// pun pula rupa lelaki tua// perhentianperhentian berlalu// begitu saja// perhentian pun// bahkan// bergerak!// ia mengeja istilah baru// humi…// lunid…// lumid…// luminal…// diri?// gempa dan tsunami, lorelindu//

Kehidupan modern juga identik dengan kerumunan atau crowd. Mengacu pada percikan-percikan pemikiran dan puisi-puisi penyair besar Prancis Charles Baudelaire, seperti dikemukakan Marshall Berman, kerumuman lekat dengan passion manusia, intiligensia, aspirasi, imajinasi, kompleksitas spiritual dan kedalaman. Pada saat bersamaan, kerumunan juga lekat dengan penindasan, penggusuran, kemacetan, kerusuhan, pengusiran, kesengsaraan, pendeknya, brutalitas kehidupan sehari-hari yang menyiratkan ancaman pemusnahan.

Akan tetapi, orang-orang di kerumunan menggunakan dan merentangkan kekuatan vital, otak, visi serta keberaniannya, untuk menghadapi dan melawan pelbagai kengerian di balik ancaman-ancaman pemusnahan tersebut. Rutinitas masyarakat modern yang dilakukan sepanjang waktu, kaki menjadi kepala dan kepala menjadi kaki, siang dan malam, menyibak apa yang pernah disebut Baudelaire sebagai, “heroisme kehidupan modern”.

Seniman, termasuk penyair, adalah bagian dari kerumunan. Para penyair terperangkap dalam kekacauan yang sama seperti dialami kebanyakan orang kota (modern). Tapi, penyair berbeda dengan kebanyakan orang, pasalnya seniman dan penyair berkemampuan melakukan puitisasi atau estetisasi berbagai kekacauan yang mengepungnya. Salah satu judul puisi Berto Tukan secara eksplisit menyebut kerumunan, “sekerumunan orang yang bergosip di warung kelontong pada siang 33 derajat celcius”.

Para penyair memberi sebuah bentuk yang ekspresif, memantik, menyalakan dan menggemakannya, hingga berpotensi membantu orang lain mengarahkan orientasi dan visi hidup, menginjeksikan kesadaran akan adanya perasaan senasib sepenanggungan dan dengan demikian membuat orang-orang dapat bertahan dan berkembang di tengah kekacauan, termasuk kekacauan yang timbul di era informasi.

Pada puisi-puisi amdpbp terbaca bagaimana petualangan penyair dalam bersentuhan dengan berbagai aspek penting pembentuk kultur urban yang relatif baru ia jumpai. Sang penyair melihat segala hal yang melingkupinya dari sudut pandang mata anak kecil sehingga apa yang disaksikannya terasa sebagai sesuatu yang baru, berkilauan, dan menarik perhatian. Seniman, termasuk penyair, dan pemikir adalah para individu yang terasing dalam masyarakat kerumunan, sebuah fenomena yang seringkali disebut sebagai “kerumunan yang kesepian.”

Dengan membayangkan diri sebagai “seorang lelaki tua”, penyair kita Berto Tukan menulis, // seorang lelaki tua memandang ke luar jendela// jendela bergerak, metropolitan bergerak// gedunggedung bergerak// jembatanjembatan bergerak// istilahistilah bergerak// suarasuara bergerak// cahayacahaya bergerak// kenangankenangan bergerak//

Sepanjang Jalan Kenangan

tersentak bunyi kipas angin berputar
pening panadol terkurung di meja baca

perihperih kecil kerentaan
kerentaan hidup virusvirus
bersama mata terkantukkantuk

lelah pada helaan ini
aku ingin mengajakmu

malam merayu untuk meliris
kita ikut selera tua
berharap kolaborasi
suatu saat
berbeda

itu dan itu

doa tersia-sia
rumah ibadah setiap dua rw satu

ini dan ini

barangkali malam larut
bus transjakarta duapuluh empat jam

dan beberapa langkah kecil

(Puisi, “aku mengenangmu dengan pening yang butuh Panadol”)

Membaca puisi “aku mengenangmu dengan pening yang butuh Panadol” sulit untuk tidak merasakan adanya keterkejutan dan kenyerian yang dialami penyairnya dalam kegiatan membaca dan mengenang hingga butuh bahu kawan untuk bersandar, // tersentak bunyi kipas angin berputar// pening panadol terkurung di meja baca// perihperih kecil kerentaan// kerentaan hidup virusvirus// bersama mata terkantukkantuk// lelah pada helaan ini// aku ingin mengajakmu//

Bagi mereka yang terbiasa membaca teks, dalam arti yang luas, kegiatan membaca tak ubahnya sebuah kutukan. Membaca menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari   pembaca yang tidak bisa ditolak. Bagi seorang pembaca saat mendapat sesuatu yang dapat dibaca, struktur-struktur apriorinya langsung bekerja sedemikiran rupa melakukan pembacaan.

Membaca akan menjadi sebuah kegiatan menyakitkan apabila realitas yang dibaca terbilang asing, sangat sukar dipahami dan berbeda dengan cakrawala berpikir pembaca. Menyikapi situasi ini, sebagian pembaca akan terus bertahan tapi tidak sedikit yang mencampakan bacaan lalu mencari bahan bacaan-bacaan lain.

Hubungan pembaca dengan bacaan tak ubahnya sebuah narasi penaklukan. Pembaca yang berhasil memahami bacaan, akan dianggap sukses mencerna dan menguasai bacaan. Sebaliknya, pembaca yang gagal memahami bacaan akan dinilai tidak sanggup menaklukan bacaan hingga akhirnya bacaan tampil sebagai pemenang, atau setidak-tidaknya, menjadi bacaan tanpa tanding. Cukup sering terjadi bacaan yang berhasil dikuasai dan dipahami pembaca, malah mempengaruhi dan membingkai cara berpikir, wawasan intelektual, dan cara pandang pembaca mengalami, mengingat, dan  melihat sesuatu.

Masalah lain muncul ketika bacaan yang terlempar di hadapan pembaca dan berhasil dibaca pembaca dengan susah payah adalah bacaan jenis baru yang asing dan ganjil. Mengahadapi situasi seperti ini sekurang-kurangnya ada tiga sikap yang biasa diambil pembaca yaitu menerima, menyangkal, dan menarik diri.

Menerima berarti pembaca melakukan rekonstruksi hasil-hasil bacaan untuk kemudian merumuskan hasil-hasil bacaan dengan gaya sendiri; menyangkal berarti mendekonstruksi  keseluruhan argumen yang terbangun dalam bacaan demi menegaskan posisi pembaca sendiri, terakhir, menarik diri, berarti mengesampingkan muatan bacaan dan pada saat bersamaan menjadikan pokok soal yang terdapat dalam bacaan tersebut untuk kemudian dikembangkan sendiri sesuai dengan maksud-maksud pembaca sendiri.

Dari potongan puisi yang berbunyi, //malam merayu untuk meliris// kita ikut selera tua// berharap kolaborasi// suatu saat// berbeda//  itu dan itu//, terlihat bagaimana penyair menjadikan sesuatu yang meliris sebagai yang sedang dibacanya dengan penuh keraguan namun masih terus saja dibaca.

Berangkat dari keraguan itu, penyair akhirnya memutuskan untuk, mengikuti selera tua’, dalam arti meliris, bahkan berharap untuk bisa berkolaborasi tapi dengan maksud untuk menegaskan posisi, meliris yang berbeda. Perbedaan yang dimaksud penyair bukan lalu mengarahkan diri pada sesuatu yang sakral sebagaimana dituliskan doa tersia-sia melainkan mencari dan berusaha menemukan langkah kecil di jalanan pada bus transjakarta duapuluh empat jam.

 Puisi “aku mengenangmu dengan pening yang butuh Panadol” ini paralel dengan puisi “sekerumunan orang yang bergosip di warung kelontong pada siang 33 derajat celcius” yang bunyi lengkapnya sebagai berikut:

kita memulung remah-remah masa lalu
yang jatuh ada batubatu

batubatu waktu terhempas perubahan zaman

kita berpegangan
bergelantungan

pada batubatu

angin segala penjuru

yang ada aroma amir hamzah pada nafas kita
mengelanai kenangankenangan
sebagaimana dikatakan yang mati bunuh diri itu
bagai kilatan sekejap di udara malam

ya ada aroma amir hamzah pada nafas kita
berhamburan pada remahremah masa lalu

awas, sedikit saja tapi, pada masa kini

ramal, lemah saja tapi, pada masa depan

ada aroma anak negeri awal abad dua puluh
pada keringat kita
tak tahu juga apa guannya
sedikit lagi pun terhempas deodoran masa kini

gelombanggelombang
bukan lagi angin berbalik arah
duduk diam menunggu sinyal yang baik
terbang mengikuti angin
angin mana saja

kita bukan pemilih

pilihan sebentuk kemewahan
berjalanjalan pada kenangan masa lalu.

Penggalan puisi, //ya ada aroma amir hamzah pada nafas kita //berhamburan para remahremah masa lalu// awas, sedikit saja tapi, pada masa kini// ramal, lemah saja tapi, pada masa depan//, mengacu pada paparan tentang hubungan antara pembaca dan bacaan yang telah diterangkan di atas, menunjukan bahwa penyair membaca gaya berpuisi Amir Hamzah dan tidak bisa lepas dari gaya berpuisinya. Tidak ada pilihan lain kecuali mengikutinya, //kita bukan pemilih// pilihan sebentuk kemewahan// berjalanjalan pada kenangan masa lalu//

Meski tidak ada pilihan lain kecuali mengikuti gaya berpuisi Amir Hamzah, Berto Tukan  masih berupaya menemukan perbedaan dengan Amir Hamzah dan jalan untuk mendapatkan perbedaan itu adalah dengan cara menyusuri, meminjam judul lagu jadul, sepanjang jalan kenangan, seperti berulangkali Berto Tukan tegaskan, termasuk dalam puisi “pada sebuah tempat kemacetan datang tibatiba pada pukul satu lebih dua menit” yang potongannya berbunyi,  // pada orangorang kita berharap// panjang umurlah kenangan//

Bagaimana dari laku membangkitkan kenangan dapat memungkinkan terjadinya sebuah perbedaan mendasar dalam hal penulisan puisi? Jawaban sepertinya muncul dari pergesekan penyair dengan pengalaman sehari-hari yang dihadapainya saat ini.

Berto Tukan sebagai penyair adalah penyair yang secara intensif dan antusias menjelajahi pelosok kota dengan budaya kerumunannya. Berto Tukan terlibat dalam kekacauan yang sama seperti dialami kebanyakan orang kota (modern) dalam hiruk-pikuk keseharian yang penuh kemacetan, kebisingan, lugasnya kekacauan. Tapi, Berto Tukan membedakan diri dengan kerumunan lantaran ia berkemampuan melakukan puitisasi terhadap berbagai kekacauan yang menyergapnya.

Kekacauan khas perkotaan barangkali tak Berto Tukan temukan di kampung halamannya di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Berto Tukan terpukau, tertekan, terasing, bahkan syok saat harus mengalami dan menyesuaikan diri dengan berbagai kekacauan hidup yang relatif baru ia temukan di kota;

Kokok ayam jantan dan kicau burung di pagi hari, berganti teriakan orang-orang menjajakan dagangan, dari mulai tahu bulat digoreng dadakan sampai tahu Bandung, tempe daun, dan ayam bumbu; lalu disusul bisikan mamang-mamang sol sepatu menawarkan jasa dan baru saja suara mamang-mamang sol sepatu berlalu, penjual bakso memukul mangkok dengan sendok menciptakan suara yang khas, selesai keriuhan dari pedagang keliling irama dangdut koplo, tembang kenangan hingga rock klasik, saling susul menyusul lalu giliran berita kriminal dan sinetron di televisi ambil bagian.

Sejauh mata memandang saat menyusuri lorong kota, iklan-iklan tertempel di mana-mana termasuk di tiang listrik, dari sedot wc sampai kursus bahasa Inggris, onggokan sampah menyumbat sungai dan selokan, pemulung mengorek-ngorek sampah, para wanita berbagai usia dan status, menjajakan diri menawarkan kenikmatan dalam berbagai varian, judi online mewabah;

Kesiur angin yang membawa bau laut atau tanah basah sehabis hujan di kampung halaman yang khas itu, berganti dengan aroma parfum SPG atau ibu-ibu yang berduyun-duyun ke tempat pengajian memakai seragam, hingga bau kotoran menyeruak dari septic tank yang hampir penuh.

Pada saat bersamaan, di kota juga berdiri mall-mall megah dengan pendingan ruangan, wangi, bersih, rapi dan ditopang tata cahaya lampu listrik berkekuatan ribuan watt hingga menyuguhkan pemandangan yang menakjubkan dan spektakuler, apartemen dan hotel-hotel berkelas internasional, kafe, kantor dan kampus-kampus kelas menengah yang wah, dan lain sebagainya ada di kota.

Aneka kontras itu hadir nyata di depan mata penyair dan harus dihadapi, tak bisa dilawan kecuali coba dicerna, //mentahmentah kita makan segala yang distimuluskan// (Puisi “menghunjam sembilu pada hujan semburat embun menyembunyikan sosokmu pada radius kesekian pandangan mata tak berkuasa”)

Stasiun Kampung Bandan

Secara psikologis, manusia memiliki semacam mekanisme pertahanan diri pun halnya penyair. Persentuhan Berto Tukan dengan kultur urban melibatkan penyaringan-penyaringan yang ketat dan keras. Mengikuti alur berpikir Walter Benjamin dalam “On Some Motifs of Baudelaire” (2006), berbagai rangsangan dari luar menjelma pengalaman yang dirawat sepanjang masa terutama ketika pengalaman itu dirasa menyenangkan, sebaliknya, bagi pengalaman yang dirasa memalukan, tidak menyenangkan, dan bersifat traumatik, menjadi  rahasia.

Dua jenis pengalaman ini, melahirkan dua jenis ingatan, pertama, ingatan sebagai sekumpulan data yang dapat kita panggil sewaktu-waktu dalam apa yang kita sebut kenangan, lalu kedua ingatan yang terisolir atau tersembunyi, kristalisasi dari pengalaman-pengalaman tertentu yang traumatik. Dalam pembacaan saya, dari interaksi antar jenis-jenis ingatan dan pengalaman inilah puisi-puisi Berto Tukan terlahir.

 Akhirul Kalam

Puisi-puisi Berto Tukan menyajikan realitas urban hari ini lengkap dengan pernak-pernik dinamikanya tapi ia hanya sedikit saja mengacu pada masa lalu, // kita memulung remah-remah masa lalu// yang jatuh pada batubatu// batubatu waktu terhempas perubahan zaman// kita berpegangan// bergelantungan// pada batubatu//

Berbicara tentang kenangan, yang sangat sering diucapkan Berto Tukan di puisi-puisinya,  Amir Hamzah (1967:98) ternyata juga pernah mengungkapkan dalam salah satu puisinya, “Barangkali, di mana dia menulis, // Mari menari dara asmara// Biar terdengar swara Swarna// Barangkali mati di pantai hati// Gelombang kenang membanting diri//

Kenangan dalam narasi puitis Amir Hamzah, sepertinya hadir sebagai sesuatu yang menyudutkan, memperlemah, dan membuat nelangsa. Sementara itu, pada Berto Tukan, kenangan, dengan melibatkan proses pengalaman dan pengingatan sedemikian rupa saat merespons kultur urban zaman kiwari, harus dirayakan meski sungguh menyakitkan, pasalnya,  mengenang memiliki dimensi penyelamatan dan pemulihan dari syok.

Menyusuri sepanjang jalan kenangan sebgai upaya pemulihan dan penyelamatan bukanlah sebuah perjalanan bebas hambatan tapi penuh risiko dan marabahaya. Risiko yang terlihat di puisi-puisi Berto Tukan adalah saat ia menganggap memiliki nilai puitis berbagai unsur pencapaian rezim kapitalis seperti perabotan, produk, penyebutan merek, jenis-jenis aplikasi, dan seterusnya, sebuah realitas yang dalam khazanah sejarah pemikiran filsafat dan estetika Barat, termasuk Walter Benjamin dan Charles Baudelaire, disebut sebagai phantasmagoria.

Walhasil, dari sudut pandang pemikiran tentang phantasmagoria, penyair Berto Tukan hadir tak ubahnya seorang mata-mata yang dengan gigih mencari dan menemukan berbagai informasi berharga dari pihak musuh dalam rangka mencari titik-titik kelemahan musuh. Tapi, pada saat bersamaan, ia rentan dicap sebagai pengkhianat karena mengumbar berbagai merek-merek tertentu, yang nota bene adalah anak kandung dari rezim kapitalistis yang amat hegemonik dan eksploitatif. Pada titik inilah puisi-puisi Berto Tukan memiliki peran ganda tak ubahnya wajah Janus.

Daftar Bacaan
Avelling, Harry (editor dan penerjemah), Contemporary Indonesian Poetry, University of Queensland, Australia, 1975.
Berman, Marshall, Modernism in the Street, A Life and Times in Essays, Verso, London, 2017.
Baudelaire, Charles, “The Painter of Modern Life” dalam Vincent B. Leitch (ed), The Norton Anthology of Theory and Criticism, New York, 2001.
Benjamin, Walter, The Writer of Modern Life, Essays on Charles Baudelaire, The Belknap Press of Harvard University Press Cambridge, Cambridge, 2006,
Malna, Afrizal, Berlin Proposal, Penerbit Nuansa Cendekia, Bandung, 2015.
Rendra, WS., Stanza dan Blues, Penerbit Bentang, Yogyakarta, 2010.
Simatupang, Iwan, Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air, Penerbit Buku Kompas, 2004.
Teeuw, A, Modern Indonesian Literature, Springer, Leiden, 1967.
Thukul, Wiji, Aku Ingin Menjadi Peluru, Kumpulan Puisi, Indonesia Tera, 2004.
Tukan, Berto, aku mengenangmu dengan pening yang butuh Panadol, Penerbit Anagram, Jakarta, 2021.
Yulianti, Rhoma Dwi Aria & M. Dahlan, Muhidin (penyusun), & Gugur Merah, Sehimpunan Puisi Lekra – Harian Rakjat (1950-1965), Merakesumba, Yogyakarta, 2008.


*Catatan: Ulasan dari Khudori Husnan ini sebelumnya sudah diterbitkan sebagai tulisan bersambung di tinemu.com dan di laman academia milik Khudori Husnan. Dengan seijin beliau, tulisan tersebut saya publikasikan kembali di sini.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram