Jangan terlalu memikirkan judul di atas. Kemungkinan besar apa yang dibicarakan dalam tulisan ini, jauh dari apa yang kerap ditautkan dengan kalimat menjadi judul. Lagi pula, tidak setiap saat penulis dwimingguan bisa berpikir dengan jernih.

Kalimat-kalimat indah, kata-kata menjanjikan, bertebaran di sekeliling kita. Yang saya maksudkan tentu bukan puisi, meski bisa jadi umbaran kali ini akan juga sedikit menyinggung puisi. Yang saya maksudkan adalah kata-kata yang muncul dalam, dari, dan oleh mereka-mereka yang mengurusi, mengatur, dan menentukan ‘hajat hidup orang banyak’ (entah apa alasannya, saya lebih suka dengan frasa yang panjang ini ketimbang ‘kepentingan publik’)—singkat kata, dalam perihal politik.

Sebut saja kata-kata dari Anas Ubaningrum bahwa jika ia korupsi silahkan digantung di Monas. Tentu, bukan Anas seorang yang melakukan hal ini. Dari SBY sampai, barangkali, ketua RT pun sama saja. Jargon-jargon, semboyan-semboyan, tagline di segala kantor pemerintahan, segala kabupaten dan kota di seluruh negeri pun berada dalam kenyataan serupa; indah nan menjanjikan terbaca dan terdengar tanpa isi dan fakta yang berarti. Di samping memang banyak juga di antaranya yang tidak masuk akal.

Menghadapi kenyataan ini, kerapnya kita menyematkan dua tuntutan; hilangnya moralitas dan kejujuran pada para politisi serta pemerintah yang hanya bermanis di bibir dan berkonsentrasi pada citraan-citraan. Dua tuduhan itu barangkali memang ada benarnya, namun umbaran kali ini tidak mau berpusing ria dengannya.

***

Bahasa lumrah dianggap sebagai ekspresi dari sesuatu yang dirujuk atau dipikirkan. Ia bukan sebuah bunyi tanpa fakta tertentu. Bahkan sebuah bunyi apa pun, ia tentu punya rujukan entah dalam rupa makna, entah dalam rupa sumber dari bunyinya. Ketika mendengarkan bunyi ‘ting’ kita barangkali bisa berpikir tentang sebuah gelas yang diketuk dengan sendok atau bisa juga membayangkan panggilan konsumen restoran kepada pelayan. Membicarakan hal ini pun sesungguhnya bagian dari linguistik dan juga filsafat bahasa. Kita, dalam tulisan ini, tidak akan juga berpusing-pusing di kedua wilayah itu (penulis bisa memberikan rujukan yang lebih bertanggung jawab untuk kedua hal itu).

Sumber: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/12/18/jejak-kelam-hukuman-mati-di-masa-silam

Dengan Bahasa Indonesia, kelahirannya kerap ditandakan dengan Sumpah Pemuda. Cerita mengenainya banyak dari Anda sudah tahu. Salah satu butir dari Sumpah Pemuda itu adalah pengakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa bersama. Akar bahasa Indonesia ini adalah Bahasa Melayu. Perdaganganlah yang menyebabkan Bahasa Melayu menyebar dan dikuasai, tidak oleh semua penduduk Nusantara kala itu, tetapi oleh mereka yang menghuni pesisir, hidup di dalam arus perdagangan tersebut. Jadi, pada awalnya bahasa kita adalah bahasa perdagangan. Ia lantas digunakan kaum pergerakan sebagai bahasa untuk berkomunikasi dan melawan penjajahan. Dalam tetralogi Pulau Buru, kita ingat bahwa Minke pernah disindir lantaran ia lebih piawai berbahasa Belanda ketimbang berbahasa Melayu. Konon pula, para penggagas Sumpah Pemuda yang kebanyakan belajar di negeri penjajah itu mati-matian belajar Bahasa Melayu, yang adalah bahasa rakyat jelata, sebelum pulang dan mengadakan Sumpah Pemuda. Setidak-tidaknya, menurut Benedict Anderson, Bahasa Melayu ini menjadi salah satu faktor pembentuk imajinasi bersama. Anda tentu bisa memberi referensi yang lebih bagus untuk cerita-cerita ini.

***

Bahasa dengan demikian bolehlah dikatakan sebagai perangkat. Karena ia adalah perangkat, lumrahlah disematkan analogi pisau; bisa untuk membunuh, bisa untuk memotong sayuran. Maka, ia bisa pada suatu ketika menjadi senjata perjuangan, pada ketika yang lain digunakan pula membantai kaum revolusioner—setidaknya begitu yang terjadi pada kita. Ah, kita tentu tak mau relatif-relatif seperti ini. Orang seperti Aristoteles, yang berfilsafat ketika Yunani lelah berperang saudara, lalu mulai menata ulang kehidupan, menganggap bahasa sebagai pembeda manusia dengan binatang. Maka, agar menjadi manusia yang benar-benar manusia—kalimat terakhir ini adalah contoh ungkapan-ungkapan berbahasa yang mulai sulit menetapkan makna yang dimaksudnya dengan presisi—manusia haruslah menggunakan bahasanya itu di dalam institusi-institusi politik. Tujuan Politik bagi Aristoteles adalah menciptakan hidup yang baik. Dan hanya melalui perangkat bahasalah manusia bisa mencita-citakan, mengupayakan hidup yang baik itu.

Sampai di sini, kita perlu kembali pada perbincangan di awal. Kenyataan hari ini di dalam politik kita bahasa begitu dipermainkan. Ia digunakan untuk berkelit, mencari alasan, pemanis, singkatnya mungkin menciptakan kenyataan-kenyataan palsu. Jika kembali ke Aristoteles maka jawabannya adalah mereka tentu lupa pada tujuan dari politik itu sebenarnya. Namun sekadar lupa tujuan, rupanya bukan jawaban yang cukup menyenangkan didengar. Bukankah ketika tujuan Anda hendak ke tempat A dan rupanya Anda dibawa mampir ke tempat B dan ternyata tempat B pun sudah cukup baik untuk Anda adalah sesuatu yang lumrah? Apa cukup dengan melabeli mereka mengkorupsi tujuan politik? Lagi pula, jika bahasa adalah perangkat tak ada masalah juga jika sebilah pisau dipakai untuk menusuk orang yang dibenci, bukan?

***

Pembaca yang terhormat. Maafkan saya jika pada umbaran kali ini, tak ada sebuah kesimpulan apa-apa lantaran saya akan menghentikan tulisan ini di sini. Saya meninggalkan pertanyaan yang akan saya coba perbincangkan lebih lanjut di lain kesempatan. Itu pun jika saya ingat. Tentu jika ada pembaca yang hendak menjawab pertanyaan tersebut atau memberikan masukan-masukan agar tulisan ini menjadi lebih tertata, saya sebelumnya mengucapkan terima kasih. Sekali lagi, maaf beribu maaf, rupanya saya harus jujur, saya terpaksa harus mengutip Chairil Anwar dalam Karawang Bekasi-nya;

Kami sudah coba apa yang kami bisa 
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa

Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa***


*Catatan: Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Rubrik Oase IndoProgress, 20 Oktober 2013.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram