Bagaimana mengisahkan kenangan bertahun-tahun yang lalu? Berapa tahun lalu sudah? 10-an tahun? 20-an tahun? 30-an tahun? 40 tahun? 50 tahun? Atau lebih dari itu? Kenangan ketika hidup belumlah serumit sekarang; ketika dunia masih sederhana dan isi kepala belum terbebani hal-hal yang rumit. Masa-masa loncatan antara kanak-kanak ke dewasa. Masa-masa ketika kita mengenakan seragam putih biru, pada hari-hari tertentu biru tua dan biru langit, seragam pramuka, dan seragam-seragam lainnya kala itu.
Masihkah memori di kepala kita mengingatnya dengan jelas? Gambaran apa yang muncul di kepala tentang masa itu? Aroma seperti apa? Suara-suara seperti apa? Wajah-wajah seperti apakah yang kita ingat? Terkadang bahkan wajah kita sendiri ketika itu pun sudah kita lupa.
Mari coba mengingat hari-hari kita di masa itu…. Siapakah yang duduk semeja dengan kita, bangku persis di samping kita? Siapakah yang suka kita curi-curi pandang diam-diam jawaban-jawabannya? Siapa yang tulisan tangannya paling bagus sehingga kerap disuruh guru mencatat di papan tulis? Siapa yang paling pertama datang di sore hari untuk mengikuti les-les tambahan sore hari itu? Orang dan kenangan datang silih berganti di memori kepala kita yang lemah. Berterimakasilah pada moment reuni akbar ini; potongan-potongan kenangan itu muncul bagai mozaik, potongan-potongan gambar yang kadang kabur kadang jelas terpampang.
Pagi hari bergegas berangkat ke sekolah, SMP Mater Inviolata kita. Naik bemo dari timur Larantuka, atau dari baratnya. Ada yang bersepeda motor juga. Bersepeda mungkin? Atau berjalan kaki? Dengan sedikit terkantuk-kantuk karena ada tugas-tugas tertentu yang didapatkan di asrama? Bunyi lonceng masuk seperti apakah yang kita dengarkan kala itu? Doa pagi seperti apa yang kita panjatkan? Panasnya pagi hari Larantuka, angin selat sempit itu mengenai tubuh remaja kita.
Selat itu jugalah yang membawa suster-suster fransiskanes ke Larantuka, hingga mendirikan Sekolah Khusus Perempuan pada 1879. Sejarah berjalan, lantas pada 2 Agustus 1948 berdirilah SKG, Sekolah Kepandaian Gadis pertama di Flores dan Timor. Sekolah itu terus berdiri dan berkarya, dengan perubahan sana-sini dalam setiap waktunya, hingga hari ini, dan tentunya jauh lama ke masa depan nanti.
Gedung dan ruang kelas yang manakah kita berada? Barangkali gerbangnya yang masih menghadap ke selatan, ke Pante Uste. Di sana ada bekas dermaga lama Larantuka, dipakai jauh di masa Belanda dahulu. Bebatuannya masih ada sampai hari ini. Para nelayan yang berteduh dan berumah sementara di Pante Uste menjajakan ikan segar tangkapannya di pinggir jalan. Lalu memasuki Gedung tua itu. Ada juga pohon-pohon tuanya yang rindang; akarnya kokoh dan menjalar dengan tegas.
Atau, Gedung baru yang menghadap ke utara? Barangkali kini ia bukan lagi gedung baru; sudah dianggap lama. Bayangkan, 23 tahunan yang lalu kira-kira ia mulai dipakai.
Terkadang pelajaran olahraga tiba. Beraktivitas kita di lapangannya, terkadang mengunjungi tempat lain; lapangan Raja Manuk sebagai misal. Ada pertandingan olahraga. Kita penuh semangat mendukung SMP kita. Kerap menjadi juara, terkadang juga tak terlalu beruntung. Lalu pelajaran seni yang tak sekadar teori, tetapi praktik langsung yang mengasah nilai rasa kita.
Ada degup yang lain terkadang muncul. Persahabatan yang kental, kekal hingga hari-hari ini. Siang hari, jam istirahat tiba, berhamburan kita, mencari jajanan. Pisang goreng, es, dan macam-macam lagi. Melanjutkan pelajaran dan pulang di siang hari, matahari Larantuka yang panasnya bikin rindu. Sebagian berjalan kaki ke asrama, seperti biasa ada yang berkendara, ada yang naik bemo, terkadang dulu ada pula yang berjalan kaki hingga Patung Herman Fernandez itu. Berjalan santai sambil berkelakar.
Waktu berlalu, manusia bertambah usia, namun kenangan tetaplah melekat; sedikit ataupun banyak, jelas ataupun kurang jelas. Tiga tahun itu, tiga tahun di Mater itu, jika diumpamakan rumah, adalah masa ketika kita membangun fondasi, sebuah pendasaran untuk hidup selanjutnya, hidup para alumninya hingga hari ini. Segala yang tengah dan akan kita capai adalah buah manis dari fondasi itu.
Maka pantaslah kita mengucap terima kasih kepada para guru kita, suster kepala sekolah kita, ibu asrama, dan terkhusus teman-teman di masa itu. Entah dimanakah semuanya berada kini? Dengan penuh doa syukur, kita panjatkan pada mereka yang sudah terlebih dahulu mendahului kita. Dengan doa yang tulus, kita harapkan kebaikan dan kesehatan untuk yang jauh dari almamater ini. Dan dengan doa yang khidmat, bermohonlah pada tuntunan Tuhan bagi guru dan segenal staf SMP Mater Inviolata hari ini yang penuh tulus dan tegar mengabdi untuk almamater, mendidik generas-generasi penerus.
Terima kasih almamaterku, SMP Mater Inviolata. Anak-anakmu kini menyebar di seluruh pelosok negeri, sebagian juga melanglang ke belahan bumi yang lain. Mereka adalah manusia yang berbakti pada kehidupan dan berkarya demi kebaikan semua. Jasa dan fondasi yang telah kau berikan pada kami menjadi harta berharga bagi kami semua.
Semoga SMP Mater Inviolata Almamaterku tercinta terus kekal dan kokoh, setia dan tulus memberikan fondasi bagi generasi-generasi selanjutnya.
Selamat ulang tahun ke 75 alma materku. Kami para alumnusmu selalu mengenangmu dengan penuh syukur dan kebanggaan.
*Catatan: Pada pertengahan 2023 yang lalu, mantan sekolah saya, SMP Mater Inviolata, Larantuka, merayakan usianya yang ke-75 tahun. Saya diminta oleh teman seangkatan untuk membuat semacam narasi singkat yang akan dibacakan pada hari perayaan ulang tahun tersebut. Tulisan pendek di atas adalah hasilnya.