Tulisan ini merupakan hasil bacaan atas bab X dari buku karya John Finnis bertajuk Natural Law and Natural Right. Bab X buku ini sendiri mengambil tajuk “Law” sebagai salah satu bab pada bagian kedua buku ini yang sejatinya berjumlah empat bagian. Dalam bab ini Finnis membagi pembahasannya dalam tujuh seksi yakni “hukum dan paksaan”, “hukuman yang tak adil”, “ciri-ciri utama hukum legal”, “Aturan Hukum”, “Batas-batas Aturan Hukum”, “Devinisi Hukum”, dan “Kaitan Hukum ‘Positif” dari Hukum ‘Alam’”. Tulisan ini tidak akan membahas semua bagian bab ini. Selain itu, tulisan ini juga berupaya mencari tahu perbedaan dan persamaan dari hukum legal dan hukum alam.

Hukum, Sanksi, dan Hukum yang Tak Adil 

Finnis membuka pembahasannya di bagian ini dengan mencari hubungan antara hukum dan paksaan. Ia merujuk pada Aristoteles yang menyatakan bahwa hukum beroperasi dalam dua model yakni melalui perintah (directive) dan paksaan (coercive). Finnis mengelaborasi lebih lanjut hal ini. Baginya, salah satu bentuk paksaan dalam hukum adalah diberlakukannya sangksi untuk yang melanggar hukum. Sangsi dengan demikian adalah cara untuk memaksa itu sendiri yang merupakan salah satu model beroperasinya hukum.

Sangsi di sini tidak dilihat secara negatif. Posisi Finnis sendiri adalah hukum bertujuan untuk menciptakan dan atau menjaga kebaikan bersama (common good). Patut diingat bahwa di dalam common good ini terdapat intinya yakni kebaikan individu. Maka, sanksi dipandang sebagai cara untuk mengajarkan orang tentang hukum tersebut. Bukan berarti bahwa yang terkena sanksi mengalami pengurangan atas kebaikannya, melainkan sanksi merupakan sarana untuk mengembalikan kebaikan si individu karena kebaikannya terletak dalam kebaikan bersama yang harus dijaga demi kebaikan si individu itu sendiri.

Yang dibahas Finnis selanjutnya dalam bagian “Unjust Punishment” adalah perkara bagaimana gangguan-gangguan yang mungkin bisa dihadapi oleh lembaga hukum.  Lembaga Hukum, sama seperti institusi lainnya, adalah sebuah respons manusia terhadap prinsip-prinsip kebutuhan praktisnya. Dan kebutuhan praktis ini terletak pada kebutuhan manusia keseluruhan. Maka, adalah sebuak kesalahan ketika berusaha dibiaskan untuk kepentingan kelompok atau individu.      

Sumber: https://m.media-amazon.com/images/I/713VkMKjSuL._AC_UF1000,1000_QL80_.jpg

Ciri-ciri Utama Legal Order

Finnis membuka sub bab tentang ciri utama legal order dengan pertanyaan, “would there be need for legal authority and regulation in a world in which there was no recalcitrance and hence no need for sanctions?” (hlm. 266) Finnis merujuk kepada Weber yang mencari pengertian ‘hukum’ dalam hubungan dengan perlawanan atas hukum dan sangksi yang secara otoritatif tersedia. Demikian Finnis mengutip Weber, “An order will be called law if it is externally guaranteed by the probability that coercion (physical or psychological), to bring about conformity or avenge violation, will be applied by a staff of people holding themselves specially ready for that purpose’” (hlm. 266). 

Weber menemukan dalam kehidupan modern apa yang bisa disebut ‘hukum’ ada dalam sistem legal. Hukum untuk Weber adalah koordinasi otoritas (authoritative coordination) yang beroperasi dengan kepatuhan terhadap hokum, perintah-perintah hokum yang konsisten. DI sini berperan penting mereka yang berwenang yang menjalankan hokum dalam kapastitas mereka yang ditentukan oleh undang-undang. 

Setelah menguraikan pendapat Weber, Finnis memaparkan karakter utama legal order. Pertama law brings definition, specificity, clarity, and thus predictability into human interactions, by way of a system of rules and institutions so interrelated that rules define, constitute, and regulate the institutions, while institutions create and administer the rules, and settle questions about their existence, scope, applicability, and operation. Di sini menurut Finnis hukum  membawa dirinya sendiri ke dalam kehidupan manusia. Berarti yang mendasari hukum itu hukum itu sendiri. Finnis mengajukan pertanyaan bahwa bagaimana sebuah hokum yang otoritatif bisa dihasilkan oleh sesuatu yang tanpa otoritatif.  Kedua, legal sistem melandasi alasan keberadaan hukum pada peristiwa-peristiwa hukum di masa lalu (sampai di sini pendasaran akan adanya hukum belum ada). Ketiga, pihak swasta pun bisa memodifikasi atau menerapkan hukum/aturan baik untuk dirinya atau pun dlm hubungannya dengan orang lain. Keempat, . Apa yang jelas dan terprediksi itu dibawa ke dalam interaksi manusia dengan beragam teknik. Alasananya tetap pada perihal bahwa hal itu pernah dilakukan di masa lalu. Namun masa lalu ini patut diingat bahwa selain ia menjadi alasan untuk masa sekarang di mana berada di luar jangkauan kita yang sekarang sehingga ia tidak terpengaruh oleh masa sekarang. Dan yang kedua adalah masa sekarang sedikit lagi akan menjadi masa lalu sehingga ia memberi arahan untuk masa depan. Kelima, teknik ini diperkuat dengan sistem kerja di mana setiap pertanyaan atau problem koordinasi sekarang diatur oleh tindakan-tindakan juridis masa lalu.  

Bagi Finnis, ketika kelima ciri khas ini dikontraskan dengan definisi Weber di atas, maka hokum bisa diartikan dalam dua pengertian yakni hokum sebagai hokum paksaan (coercive order) dan hukum mengatur ciptaanya sendiri.  

John Finnis | Sumber: https://catholicherald.co.uk/i-was-beyond-being-damaged-an-interview-with-philosopher-john-finnis/

Panduan Hukum (The Rule Of Law)

Panduan Hukum adalah nama yang diberikan untuk keadaan di mana sistem legal (hokum) secara hokum berada dalam kondisi yang baik. Suatu sistem hukum (legal) menunjukan The Rule of Law jika: (i) aturan itu prospektif, tidak berlaku surut, dan (ii) bersifat pasti terpatuhi (iii) aturan itu ditetapkan, (iv) jelas, dan (v) berkoheren dengan yang lain (vi) aturan itu cukup stabil sehingga memungkinkan orang untuk dibimbing oleh pengetahuan mereka atas isi aturan itu (vii) pembuat keputusan dan perintah yang aplikatif untuk situasi yang relatif terbatas dipandu oleh aturan yang diundangkan, jelas, stabil, dan relatif umum, dan (viii) mereka yang memiliki otoritas untuk membuat, mengelola, dan menerapkan aturan memiliki kapasitas resmi (a) bertanggung jawab atas kepatuhan mereka dengan ketentuan yang berlaku untuk kinerja mereka dan (b) melaksanakan hukum benar-benar dengan konsisten dan sesuai dengan tujuannya (hlm. 270-271). 

Kedelapan desiderata ini bukannya hanya sebuah ide melainkan membutuhkan proses dan subyek-subyek yang menjalaninya. Jika disandingkan dengan lima hal di atas maka terlihat bahwa ada kesamaan atau ada persamaan dalam tujuannya yakni menghantarkan individu untuk memenuhi kenyamanan dirinya sendiri Individu hanya bisa menjadi dirinya—memiliki ‘harga diri’ menjadi ‘agen yang bertanggung jawab’-jika mereka tidak dibuat untuk menjalani kehidupan mereka untuk kenyamanan orang lain, tetapi diperbolehkan dan dibantu untuk menciptakan identitas hidup mereka sendiri ‘seumur hidup’ mereka. Ini juga tidak memungkinkan para penguasa untuk menggunakan kewenangan mereka demi tujuan-tujuan tertentu untuk pribadi atau golongannya. Sehingga pemegang wewenang hukum secara implisit bertujuan untuk menjaga kebaikan bersama atau menuju kebaikan bersama. Tujuan kedelapan desiderata ini adalah untuk membentuk subyek yang berwenang martabat dirinya sehingga bebas dari bentuk-bentuk manipulasi.

Batas-batas “The Rule of Law” 

Para pengkritik Lon Fuller menyatakan bahwa “the rule of law” adalah pisau yang tajam pada kedua sisinya; di satu sisi ia bisa menjadi penjaga hukum di lain pihak ia bisa digunakan untuk melegitimasi kepentinga para penguasa tiran. Namun jika melihat desiderata ke delapan di atas, hal ini tidaklah benar. 

Namun demikian pada saat-saat tertentu bisa saja ada pemangku kekuasaan yang dengan berkedokan kepatuhannya pada hukum sebagai sebuah taktik untuk mencapai kekuasaan. Sehingga bisa dikatakan bahwa ‘the rule of law” tidak selamanya bisa melindungi kepentingan umum dan bahkan bisa juga ia tidak bisa melindungi esensi terpenting dari kebaikan bersama. 

“The Rule of Law” sesungguhnya bertujuan untuk kebaikan bersama itu. Namun ada kelemahan secara metodologis dari “the rule of law” ini ketika ia dihadapi pada hal-hal abnormal yang tidak terakomodir oleh metodologinya.

Definisi Hukum

Finnis mengformulasikan kata ‘law” demikian, “…the term ‘law’ has been used with a focal meaning so as to refer primarily to rules made, in accordance with regulative legal rules, by a determinate and effective authority (itself identified and, standardly, constituted as an institution by legal rules) for a ‘complete’ community, and buttressed by sanctions in accordance with the rule guided stipulations of adjudicative institutions, this ensemble of rules and institutions being directed to reasonably resolving any of the community’s co-ordination problems (and to ratifying, tolerating, regulating, or overriding co-ordination solutions from any other institutions or sources of norms) for the common good of that community, according to a manner and form itself adapted to that common good by features of specificity, minimization of arbitrariness, and maintenance of a quality of reciprocity between the subjects of the law both amongst themselves and in their relations with the lawful authorities” (hlm. 276-277).

Finnis ingin merangkumkan segala hal yang dibicarakan manusia yang berhubungan dengan hukum sehingga definisinya menjadi demikian. Definisi hukum dari Finnis ini harus dipahami sebagai sebuah makna focal (utama?). Dengan menyatakan hal ini berarti definisi hukum dari Finnis hendak menjadi makna pusat untuk segala hal yang bisa merujuk pada hukum. Usaha definisi hukum Finnis ini bertujuan untuk merangkum semua yang berhubungan dengan hukum ke dalam definisinya sehingga tidak terjadi adanya penyisihan definisi-definisi lain dari pusat ke pinggiran. 

Bagi Finnis, definisi yang hampir sama atau sinonim dengan definisi hukum ini adalah “nautral law”. “‘Natural law’—the set of principles of practical reasonableness in ordering human life and human community—is only analogically law, in relation to my present focal use of the term: that is why the term has been avoided in this chapter on law, save in relation to past thinkers who used the term.” (hlm. 280) 

Kaitan antara Hukum Positif dan Hukum Alam

Bagi Aquinas hukum (dlm contoh soal pembunuhan) itu merupakan turunan dari hukum alam, diturunkan dari prinsip-prinsip umum hukum alam dan ini bukan sekadar hukum positif tetapi memiliki kekuatannya dari hukum alam. Jadi di dalam hukum positif, ada hukum alam. Hooker mengatakan bahwa hukum ini hanya meratifikasi dan menambahkan keuatannya dengan hukuman. Finnis mengamini pandangan Aquinas dan Hooker tetapi ia menekankan bagaimana penerimaan atau masuknya prinsip moral ke dalam sistem legal perlu diperhatikan. 

Bahasa hukum legal berbeda sekali; tidak memformulakan masalah moral tetapi lebih langsung. Atau hukum yg lebih langsung sebagai ‘perintah’ ini memberikan sesuatu yang lebih praktis. Untuk Aquinas hukum terlatak dalam dua bagian yaitu ‘derivasi (berasal, turunan)  dari hukum alam seperti kesimpulan yang disimpulkan dari prinsip-prinsip umum’ dan ‘derivasi dari hukum alam seperti implementasi arahan-arahan umum’. Aquinas pun berpendapat bahwa semua hukum yang dibuat manusia berasal dari hukum alam. 

Hukum Positif sebagai Bagian dari Hukum Alam

Setelah membaca bagian ini, mungkin tidak ada salahnya untuk menarik kesimpulan bahwa bagi Finnis hukum positif itu bagian dari hukum alam. Hukum positif, mengikuti sistem berpikir Aquinas, adalah turunan dari hukum alam. Hukum alam yang bertujuan untuk mencapai kebaikan bersama diturunkan dalam cara-cara yang lebih teknis yang diterapkan dalam hukum sistem legal hukum. 

Di dalam definisi yang dibuat oleh Finnis sendiri, kita melihat bahwa bagaimana ia membuat sebuah definisi yang ‘dekat’ dengan hukum alam dan merangkum hampir segala hal tentang hukum. Ini adalah upaya yang justru berlawanan dengan apa yang dilakukan oleh hukum positif (legal system). Namun, meski berlawanan dengan hukum positif, justru definisi dari Finnis ini merangkum dan juga melegitimasi hukum positif sebagai hukum juga. 

Terlepas dari pada itu, menurut Finnis, antara hukum positif dan hukum alam memiliki tujuan yang sama yaitu mencapai kebaikan bersama. 


*Catatan: Tulisan ini merupakan salah satu tugas dari mata kuliah Filsafat Hukum di STF Driyarkara bertahun-tahun yang lalu.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram