Salah satu kunci pemikiran Marx adalah materialisme historis. Materialisme historis ini oleh beberapa komentator dianggap sebagai sains sejarah dari Marx. Louis Althusser dalam ceramahnya di Société Française de Philosophie pada 24 Februari 1968[1] mengatakan bahwa materialisme historis itu pada intinya sebuah sains sejarah. Sebelum Althusser menekankan demikian, Walter Benjamin dalam Gesichtsphilosophische Thesen[2] pada tesis pertama menggambarkan materialisme historis demikian:

Seperti yang sudah diketahui, cerita harus diceritakan oleh sesuatu yang otomatis terkonstruksi sedemikian sehingga ia menanggapi setiap jalan dari pemain catur mana pun dengan langkah balasan yang dapat menjamin kemenganannya. Boneka pada pakaian adat Turki, cangklong di mulut, duduk di depan papan catur pada meja yang lebar. Illusi dibangkitkan menurut sistem cermin, meja ini transparan dari segala sisinya. Pada kenyataannya terlihat kurcaci bungkuk di dalamnya, si kurcaci adalah Master Catur dan ia mengendalikan tangan boneka itu dengan tali. Melalui perlengkapan ini, orang dapat membayangkan pasangan/lawannya (ein Gegenstűck-counterpart) dalam filsafat. Boneka yang akan selalu menang inilah yang dinamai orang-orang sebagai “materialisme historis”. Menjadi mudahlah pertandingan itu untuk orang-orang bila mereka pada akhirnya sadar bahwa itu menggunakan pelayanan teologi yang saat ini, seperti yang sudah diketahui, kecil dan buruk dan bagaimanapun juga tidak diijinkan menampakan diri.

Walter Benjamin dari kutipan di atas seakan-akan menunjukan sebuah keniscayaan kemenangan dari materialisme historis sebagai sebuah metode membaca sejarah umat manusia dalam menghadapi metode-metode membaca sejarah lainnya. Unsur teologis dalam materialisme sejarah sedikit dicibir oleh Benjamin. Bisa dikatakan di sini bahwa unsur teleologis ini merupakan warisan dari dialektika Hegel; sebuah kepercayaan akan Roh Absolut yang ada di luar diri manusia yang memungkinkan keniscayaan sejarah. Maka, materialisme historis dengan unsur kepercayaan akan sifat keniscayaannya karena ada sebuah proses pasti yang tak terbantahkan—kehancuran niscaya kapitalisme dan dengan demikian keniscayaan masyarakat tanpa kelas—tak lain dan tak bukan adalah pengulangan terhadap dialektika Hegel yang pada pengantar Das Kapital edisi kedua sudah ditentang Marx.[3] Kepercayaan pada yang niscaya inilah posisi yang diambil Karl Kautsky dkk, yang membuat mereka berbeda jalan dengan Luxemburg dan Lenin.

Kerja Manusia sebagai Faktor Penentu

Tentu untuk memahami apa itu materialisme historis, kita pertama harus membahas apa itu materialisme menurut Marx. Maka ada baiknya kita menengok kembali tesis pertama dari Theses On Feuerbach[4]

The chief defect of all hitherto existing materialism—that of Feuerbach included—is that the thing, reality, sensuousness, is conceived only in the form of the object or of contemplation, but not as sensuous human activity, practice, not subjectively. Hence, in contradistinction to materialism, the active side was developed abstractly by idealism—which, of course, does not know real, sensuous activity as such.

Feuerbach wants sensuous objects, really distinct from the thought objects, but he does not conceive human activity itself as objective activity. Hence, in The Essence of Christianity, he regards the theoretical attitude as the only genuinely human attitude, while practice is conceived and fixed only in its dirty-judaical manifestation. Hence he does not grasp the significance of “revolutionary”, of “practical-critical”, activity.

Dari kutipan ini kita menemukan sebuah perbedaan mencolok materialisme Marx dari materialisme sebelumnya termasuk Feuerbach yakni aktifitas revolusioner. Selain itu yang patut dicatat bahwa objek material itu menjadi obyek dari kerja manusia atasnya. Maka, yang menjadi tekanan Marx di sini adalah kerja manusia yang mengaktualisasikan alam material.

Karl Marx | Sumber: https://dribbble.com/shots/10599969-Marx

Oleh Etienne Balibar, pengertian materialisme yang menempatkan kerja pada jantungnya ini sekaligus melepaskan materialisme dari idealisme. Pemahaman yang baru ini mengakibatkan konsepsi baru tentang subyek yakni ‘subyek=praktik’.[5] Jadi, materialisme Marx tidak semata-mata seperti materialisme sebelumnya yang memandang realitas material sebagai kebenaran namun menekankan kerja manusia sebagai pengantara dalam menjadikan material itu sesuatu yang bermanfaat. Lebih penting lagi di sini adalah kerja tersebut merupakan cara manusia untuk meproduksi syarat-syarat bagi kehidupannya.

M. C. Lemon menulis bahwa bagi Marx yang terutama dan utama adalah untuk bertahan, di mana kegiatan itu mencakup makan dan minum, tempat tinggal, dan makanan. Ini membedakan manusia dan binatang; sebuah pembedaan yang lebih fundamental dan pertama ketimbang perbedaan lain semisal kesadaran. Perbedaan fundamental itu tak lain dan tak bukan adalah manusia mampu memproduksi kebutuhannya sedangkan binatang tidak.[6]

Bagi Marx, masalah kerja untuk memproduksi basic needs inilah faktor obyektif yang menentukan gerak laju sejarah kehidupan manusia. Berbeda dengan sejarah Hegel misalnya yang masih mempercayai sesuatu yang berada di luar sana yang menggerakan sejarah, Marx menunjukan faktor utama obyektif yang menentukan gerak laju sejarah. Di titik inilah Marx menyebut konsepnya tentang sejarah sebagai sosialisme yang ilmiah.

Dalam kerja ini, hal yang penting adalah pembagian kerja. Pada awalnya, pembagian kerja merupakan sesuatu yang secara alamiah ada dalam diri manusia.[7] Akibat perkembangannya, pembagian kerja yang menjadi pula sesuatu yang menghakiki dalam diri manusia ini dikreasikan sedemikian rupa sebagai pengevektifan produksi dalam ranah kapitalis. Kekhususan kerja menjadi semakin kentara dalam masa kapitalisme ini.

Basis dan Suprastruktur

Salah satu kalimat terkenal Marx tentang sejarah adalah kutipan dari karyanya bersama Engels yakni Manifesto Komunis. Dia menulis di sana bahwa perjalanan sejarah adalah pertentangan kelas antara kelas[8] :

The history of all hitherto existing society is the history of class struggles.
Free man and slave, patrician and plebeian, lord and serf, guild master and journeyman, in a word, oppressor and oppressed, stood in constant opposition to one another…

Di manakah letak pertentangan ini? Bagi Marx, realitas masyarakat itu adalah proses produksi yakni kerja. Kerja yang lebih spesifik adalah produksi atas kebutuhan survival inilah (dengan kata lain ekonomi) menjadi bangunan bawah yang menopang bangunan atas dalam kehidupan masyarakat. Bangunan atas (pemikiran, politik, seni, dll) mengikuti apa yang ada di bangunan bawah (kepemilikan alat kerja, kerja, pemilik modal dan pekerja, dll). Jadi, kesadaran, pemikiran akan berubah ketika sistem produksi/kerja ini berubah.

Perjalanan sejarah berdasarkan pendekatan materialisme historis yang baik menjelaskan seputar wilayah kerja sebagai produksi kebutuhan utama manusia ini digambarkan Engels dalam The Origin of the Family, Private Property and the State. Dalam buku ini secara lugas digambarkan oleh Engels tahapan-tahapan perubahan masyarakat berdasarkan caranya mendapatkan kebutuhan pribadinya. Pada awalnya unsur alamlah yang menentukan perkembangannya. Selanjutnya, pengefisiensian atas kerjalah, yang dimungkinkan oleh penemuan-penemuan, menentukan perubahaan selanjutnya. Perubahan yang didasari oleh material alam dan cara pengevektifan kerja menentukan gerak perubahan masyarakat. Hal ini berjalan seiring dengan perubahan dalam sistem kepemilikan property.

Mengenai basis dan suprastruktur yang saling mempengaruhi ini, ada baiknya kita menggambarkannya dalam contoh. Misalnya, kita ambil contoh dalam sejarah, ketika dalam masyarakat Indonesia kepemilikan tanah seutuhnya adalah milik raja atau suku-suku tertentu dan masyarakat bekerja di sana sebagai sembah bakti pada raja sebagai pengejawantahan “dewa” di bumi, maka nilai-nilai kehidupan bernegara yang dianutnya pun adalah raja yang melindungi rakyat. Namun ketika swastanisasi terjadi sehingga orang-perorangan bisa memiliki tanah dan juga alat-alat lainya, pandangan hidup bernegara pun berubah; bukan lagi raja tetapi pemerintah yang adalah pilihan rakyat sendiri. Namun, ketika bangunan atas (ideologi dan kepercayaan) pada titik tertentu akan berbalik dan menjadi sesuatu yang memedomani manusia untuk menjalankan hidupnya. Mari kita ambil sebuah contoh lagi demikian, masyarakat Indonesia tradisional punya semangat menerima takdirnya. Manusia diciptakan berbeda-beda dengan tugasnya masing-masing maka itu jalani saja apa yang menjadi nasibmu di dunia ini.

Kita melihat di sini bahwa pada moment tertentu ideologi itu atau bangunan atas itu akan menentukan bangunan bawah pula. Jadi, bisa dikatakan di sini bahwa pada posisi pertama, basis selalu menentukan bangunan atas. Namun dalam perkembangannya, bangunan atas ini akan berkembang sedemikian rupa dan mengalami ‘pengindependensian’ dirinya sehingga bisa berbalik menentukan proses pada bangunan bawah.

Selanjutnya, basis ini ditentukan dua hal penting yakni tenaga-tenaga produktif yakni kekuatan-kekuatan yang dipakai masyarakat dalam untuk mengerjakan dan mengubah alam dan hubungan-hubungan produktif yakni hubungan kerja sama atau pembagian kerja antara manusia yang terlibat dalam proses produksi. Sedangkan bangunan atas terdiri dari dua unsur yakni tatanan institusional yakni segala macam lembaga yang mengatur kehidupan bersama masyarakat di luar bidang produksi, jadi organisasi sebuah pasar, sistem pendidikan, dll dan tatanan kesadaran kolektif  yakni yang memuat segala sistem kepercayaan, norma-norma dan nilai-nilai yang memberikan kerangka pengertian, makna dan orientasi spiritual pada usaha manusia.[9] Seperti yang sudah diutarakan di atas, basislah—pada pokok utamanya—yang menentukan bangunan atas. Namun dalam perjalanannya, bangunan atas ini bisa pula menentukan basis, seperti yang sudah kita perlihatkan dari contoh di atas.

Lenin di depan Massa pada 1919 | Sumber: https://i.guim.co.uk/img/media/ca9d785e1e98c41cd7ed8dff5d5f3d77fadb8848/0_488_4431_2659/master/4431.jpg?width=1200&quality=85&auto=format&fit=max&s=5c55d79247c85fd8964e843961dca789

Terbentuknya Kelas dan Penghisapan Kelas

Sudah jelaslah kiranya bagi pemikiran Marx bahwa kelas dalam masyarakat bergantung pada kepemilikannya pada modal. Berdasarkan pendekatan materialisme historis, seperti pula yang sudah diutarakan dalam Manifesto Komunis bahwa sejarah adalah perjuangan antara kelas tertindas melawan kelas yang menindas. Mari menyandingkan hal ini dengan perjalanan sejarah di mana perubahan dalam masyarakat ditentukan oleh kerja dalam memproduksi benda material demi hidup manusia itu sendiri.

Perubahan dari bentuk kepemilikan komunal menuju kepemilikan privat merupakan langkah awal pembentukan kelas. Maka di sini, seperti yang diutarakan Engels, lelaki menjadi kelas masyarakat yang lebih utama dibandingkan perempuan[10]. Namun apa yang menjadi pendasaran dan yang mendorong lelaki untuk melakukan monopoli atas properti ini? Di sana, jawabannya juga secara spekulatif untuk saat ini bisa kita katakan adalah kerja. Karena lelakilah yang mendapat pembagian kerja untuk bekerja di luar rumah, maka properti yang ada di luar rumah, lama kelamaan, dalam kerjanya menjadi dekat dan dirasakan adalah bagian tak terpisahkan dari dirinya. Ketika property yang di sanalah sumber kehidupan manusia berasal (sebagai bahan penyedia kebutuhan hidupnya) dikuasai oleh golongan tertentu, saat itu pulalah penindasan atas golongan yang tak memiliki property terjadi. Dan penindasan ini bisa berlangsung lama karena alat untuk menindasnya justru adalah sumber kehidupan manusia.

Mari membandingkannya dengan pernyataan Marx bahwa sejarah adalah perjuangan kelas tertindas melawan yang ditindas. Menurut Engels, pada masyarakat pra feodal, perempuanlah yang berkuasa. Makanya itu kita melihat bagaiamana lelaki sering dikisahkan diusir dari rumahnya oleh seorang perempuan[11]. Begitu pula selanjutnya, revolusi Prancis yang oleh Marx digambarkan sebagai pertarungan antara kelas borjuis melawan kelas feodal didasari oleh kerja borjuis dalam lingkupnya yang dibatasi atau merasa terbatas oleh kaum feodal. Dan demikian seterusnya, hingga kapitalis menjadi satu-satunya penguasa dan menguasai seluruh property kehidupan dan menindas yang tak mempunyai property tersebut.

Penutup

Kita melihat bahwa dalam pemikiran Karl Marx terdapat nada utopia dalam pandangannya bahwa kapitalisme akan hancur dengan sendirinya dan tepat di saat itulah sosialisme akan muncul. Inilah masa depan yang menanti dalam rentetan sejarah manusia. Namun demikian, bila kita sandingkan pemahaman itu dengan kalimat terkenal dari Manifesto Komunis bahwa sejarah masyarakat adalah sejarah perlawanan kelas, maka kita melihat di sini ada semacam kontradiksi. Di satu pihak Marx menyatakan keniscayaan sejarah bahwa kapitalisme akan hancur ‘dengan sendirinya’ dan di lain pihak ia menyatakan bahwa sejarah adalah pertentangan kelas; yang tertindas melawan yang menindas.

Das Kapital dan Manofesto Komunis adalah dua buku dengan karakteristik yang berbeda. Jika Das Kapital adalah buku filsafat yang ekonomistik, maka Manifesto Komunis adalah buku untuk perjuangan partai. Maka di sini, lagi-lagi secara spekulatif, bisa kita katakan bahwa Das Kapital adalah buku di mana Marx menggambarkan perkembangan sejarah sedangkan di Manifesto Komunis dia menggambarkan bagaiamana kerja manusia ‘seharusnya’ yang memungkinkan sejarah itu berjalan.

Kembali pada tesis pertama Walter Benjamin yang dikutip di awal tulisan ini, kita bisa menyimpulkan beberapa hal demikian. Pertama, bagi Marx sejarah berjalan di atas kerja manusia yang memproduksi kebutuhan hidupnya. Inilah materialisme historis yang dengan metafor yang aneh dikatakan Benjamin sebagai menjadi mudah bila yang mengendalikannya adalah teologi; sebuah filsafat sejarah yang mengingatkan pada perjalanan sejarah Roh Absolut a la Hegel ; sebuah tafsiran yang mungkin menjadi umum di Jerman kala itu atas jasa Karl Kautsky dkk. Kedua, jika sejarah itu berjalan secara niscaya dan ‘dengan sendirinya’, di manakah letak kerja yang menjadi pokok soal dalam materialisme Marx? Maka demikian, di mana pula peran manusia yang adalah subyek yang mempontensialkan material alam menjadi sesuatu yang berguna demi kelangsungan hidupnya? Ketiga, dalam Manifesto Komunis Marx menekankan kerja manusia dalam bahasa ‘perjuangan kelas’. Perjuangan kelas di sini bisa dipahami sebagai kerja manusia. Kerja manusia inilah yang memungkinkan keniscayaan perubahan sejarah karena bagi Marx sejarah berubah dan berjalan karena kerja manusia. Itulah mengapa mungkin dalam tesis pertamanya dari Gesichtsphilosophische Thesen, Walter Benjamin seakan-akan mengejek mereka yang merasa gampang atas sebuah permainan catur sejarah karena mereka tahu bahwa ada sesuatu yang niscaya yang menggerakan mereka.

Daftar Pustaka

Althusser, Louis, Filsafat sebagai Senjata Revolusi, penyunting Darmawan, Resist Book, Yogyakarta, 2007.
Benjamin, Walter, Illuminationen: Ausgewāhlte Schriften, Suhrkamp Verlag, Frankfurt a. Mein, 1961.
Carver, Terrell, The Very Short Introduction of Engels, Oxford University Press Inc, New York,  1981.
Lemon, M. C., Philosophy of History : A Guide for Students, Routledge, New York, 2003.
Magnis-Suseno, Frans Pemikiran Karl Marx : Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999.
Marx, Karl dan Friedrich Engels, Economic and Philosophy Manuscrip of 1844 and Communist Manifesto, diterjemahkan oleh Martin Milligan, Promotheus Books, New York, 1988.
Marx, Karl, Theses On Feuerbach, diunduh dari www.marxist.org.
Munck, Ronaldo, Marx @ 2000 : Late Marxist Perspectives,  St. Martin’s Press, Inc, New York, 2000.
Suryajaya, Martin, Berpikir dengan Pendekatan Materialisme Dialektis dan Historis, dalam Bulletin Problem Filsafat, No. 1 / Tahun I / November 2009.

[1] Louis Althusser, Filsafat sebagai Senjata Revolusi, peny. Darmawan (Yogyakarta : Resist Book), 2007,  hal. 20
[2] Lih. Illuminationen: Ausgewāhlte Schriften (Frankfurt a. Mein: Suhrkamp Verlag), 1961, hal. 268.
[3] “Metode dialektika saya, pada dasarnya, tidak hanya berbeda dari metode Hegelian, melainkan ia secara langsung berlawanan dengan metode Hegel. Bagi Hegel, proses berpikir, yang bahkan ditransformasikan menjadi suatu subyek independen, dengan nama Idea adalah pencipata dari dunia nyata, dan dunia nyata hanyalah penampilan eksternal dari Ide itu. Bagi saya sebaliknya, yang ideal itu tidak lain dan tidak bukan hanya dunia material yang dicerminkan oleh pikiran manusia, dan diterjemahkan dalam bentuk-bentuk pikiran.” Karl Marx, Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik. Buku Pertama: Proses Produksi Kapital, diterjemahkan oleh Oeh Hay Djoen (Jakarta: Hasta Mitra), 2004, hlm. xxxix.
[4] Diunduh dari situs www.marxist.org.
[5] Martin Suryajaya, Berpikir dengan Pendekatan Materialisme Dialektis dan Historis, dalam Bulletin Problem Filsafat, No. 1 / Tahun I / November 2009.
[6] M. C. Lemon, Philosophy of History : A Guide for Students, (New York : Routledge), 2003, hlm. 255-256.
[7] Terrell Carver, The Very Short Introduction of Engels, (New York: Oxford University Press Inc), 1981, hal. 72. Di dalam German Ideology ini, Marx dan Engels melihat adanya ‘tumpang tindih’ antara sosial dan natural: ‘‘the production of life, both of one’s own in labour and of fresh life in procreation, now appears asa twofold relation: on the one hand as a natural, on the other as a social relation’. Ronaldo Munck, Marx @ 2000 : late Marxist perspectives (New York : St. Martin’s Press, Inc), 2000, hal.80.
[8] Karl Marx dan Friedrich Engels, Economic and Philosophy Manuscrip of 1844 and Communist Manifesto, diterjemahkan oleh Martin Milligan (New York: Promotheus Books), 1988, hlm. 209.
[9] Frans Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx : Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama), 1999, hal. 143-145.
[10] Bandingkan misalnya dengan keadaan demokrasi di Polis Athena pada masa lalu di mana lelaki dianggap sebagai warga negara kota sedangkan perempuan dan anak-anak serta budak tidak. Bandingkan juga kisah dalam Injil di mana ketika Yesus memberi makan 5.000 orang dengan 5 buah roti dan dua ekor ikan, yang dihitung hanya lelaki, tidak termasuk perempuan dan anak-anak.
[11] Salah satu kisah tentang ini bisa kita lihat pada kisah Sangkuriang. Seorang anak lelaki diusir oleh ibunya karena melakukan kesalahan. Hal ini jarang bisa terjadi di zaman feodal dan tatanan masyarakat patriarkal karena si anak lelaki itulah yang empunya rumah.


*Catatan: Tulisan ini pernah dipublikasikan di website Zona Nalar, 2 Februari 2022.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram