Film merupakan sebuah karya seni yang mengkombinasikan antara audio dan visual. Hal ini tentu memberikan sebuah keunggulan untuk film. Dari sebuah film pun dengan demikian bisa dimaknai dan diambil banyak hal. Hal ini tentu bukanlah asing dalam dunia filsafat. Kita bisa menyebut banyak filsuf yang menaruh perhatian dan membuat analisis filsafat atas film-film tertentu. Slavoj Zizek misalnya membuat pandangan-pandangan menarik atas film karya sineas Eropa seperti Krzysztof Kieslowski dan Andrej Tarkovskij.[1] Deleuze, psikoanalisis Prancis, bahkan membuat buku khusus untuk membicarakan film atau sinema.

Hubungan antara filsafat dan film atau sinema tidak hanya dalam rangka itu; film sudah dibuat dan filsuf membahasnya. Pemikiran-pemikiran filosofis tertentu pun mempengaruhi para sineas untuk membuat film-film yang juga mengikuti ide-ide filosofis tertentu. Jadi, kita melihat adanya hubungan yang saling membangun di antara keduanya. Salah satu teori filsafat yang cukup kompeten untuk membaca film adalah psikoanalisis Jacques Lacan dan teori Lacan pun menjadi sebuah sumber inspirasi bagi sineas-sineas.

Dalam rangka untuk melihat hubungan antara psikoanalisis[2] Jacques Lacan dan film, tulisan ini akan membahas film He Loves Me… He Loves Me Not (À la folie… pas du tout), sebuah film psikologis karya sutradara Prancis Laetitia Colombani[3]. Dalam rangka itu, tulisan ini direncanakan sebagai berikut; pertama akan dipaparkan beberapa bagian pemikiran Lacan yang sesuai atau setidaknya saya anggap relefan dengan film He Loves Me…He Loves Me Not. Bagian kedua merupakan ringkasan atau synopsis dari He Loves Me… He Loves Me Not. Sedangkan bagian ketiga adalah pembahasan unsur-unsur dalam film He Loves Me… He Loves Me Not dengan beberapa pemikiran Jacques Lacan yang telah dibahas sebelumnya. Bagian keempat adalah sedikit kesimpulan dan catatan kritis.

Imajinasi dan Fantasi[4]

Imajinasi dan Fantasi termasuk dua kata kunci dalam pemikiran psikoanalisis Lacan dan juga diikuti oleh Zizek muridnya. Fantasi dalam pemikiran Lacan adalah apa yang membentuk hasrat (desire). Sedangkan Fantasi adalah reaksi defensif atas represi primer yang kemudian direpresikan juga.

Ada sebuah contoh menarik tentang fantasi yang diberikan oleh Zizek. Zizek memperhatikan sebuah iklan bir di televisi. Dalam iklan itu diperlihatkan seorang perempuan muda melihat seekor katak yang diciumnya. Katak itu lantas menjelma seorang pria muda dan pria muda itu berbalik mencium perempuan muda tersebut. Perempuan muda itu seketika menjelma sebotol bir. Demikian penjelasan tentang iklan tersebut[5],

Hasrat wanita muda membuat sang katak menjadi objek phallus, yang merupakan fantasinya tentang apa itu lelaki. Tetapi lelaki mereduksikan wanita menjadi objek fantasinya (objet [petit] a), yakni: sebagai sarana untuk kepuasannya serta sebagai objek penyebab hasratnya. Kemudian Zizek berkomentar: “Karena ketidaksimetrisan ini, maka tidak ada hubungan seksual”; kita hanya memiliki wanita dengan kodok atau lelaki dengan sebotol bir.

“Objek a kecil” (objet petit a) atau objek-penyebab merupakan penyebab hasrat yang selalu kurang dari dirnya sendiri. Objet Petit a yang demikian inilah yang memungkinkan kehilangan sang subyek. “Objek a kecil” ini pada dirinya selalu kurang. Hal ini karena separuh dirinya berada dalam subjek dan separuh yang lain di luarnya seraya terus mengelak dari genggaman subjek.[6] “Objek a kecil” inilah yang menyebabkan trauma awal pada manusia karena pengelakannya pada kenyataan bahwa dirinya berkekurangan.

Jacques Lacan | Sumber: https://www.the-tls.co.uk/articles/jacques-lacan-allergic-to-the-clear-conclusion-footnotes-to-plato/ | Photo by Sipa/Shutterstock

Trauma awal ini diperlihatkan atau muncul ketika manusia (anak kecil) mengangga phallus ibu sesuai dengan miliknya sendiri. Ketika sang anak menemukan bahwa ternyata phallus sang ibu yang dianggapnya sesuai dengan miliknya sendiri itu tak ada, muncullah trauma. Hal ini oleh psikoanalisis klasik dipecahkan melalui hukum Oedipus. Sedangkan Lacan mebahasakan problema phallus ini demikian[7],

The fact that the phallus is not found where we expect it to be, where we require it to be—namely, at the level of genital mediation—is what explains the fact that anxiety is the truth of sexuality [. . .]. The phallus, where it is expected as sexual, never appears except as lack, and this is its link with anxiety.

Bagi Lacan, phallus lelaki mengalami lack atau keterpecahan dan keterpecahan itu ada pada perempuan. Dengan demikian lelaki membuat mitos-mitos tentang superioritasnya di mana perempuan dibuatnya menjadi objek semata dan dengan demikian lelaki bisa menguasai objek tersebut. Penguasaan tersebut dalam rangka lelaki ingin memenuhi hasratnya yang tak bisa didapatkannya sendiri justru karena “objek a kecil” tersebut tidak seluruhnya penuh dalam diri lelaki[8] itu. Dengan pengontrolan atas yang inferior di hadapannya memungkinka lelaki untuk memenuhi hasratnya. Jadi sejarah atau kehidupan ini dibangun atas kehilangan pemenuhan hasrat dari sang lelaki dan segala yang terjadi dalam kehidupan sosial bermasyarakat adalah penginferioritasan perempuan oleh lelaki dalam rangka penaklukan demi pemenuhan hasratnya tersebut.

Rasa “keterpecahan” dan “keterpisahan” (lack) ini menurut Zizek membuat tubuh merasa tak berdaya. Ketakberdayaan ini muncul dalam bentuk dorongan kematian yang kuat (death drive). Fantasi muncul dalam rangka reaksi atas ketidakberdayaan tubuh di hadapan lack ini. Selanjutnya Zizek mengatakan bahwa penghapusan atau pembatalan fantasi merupakan upaya menjinakan kekerasan dari “pemotongan” dan merupakan cara untuk menjamin ruang aman bagi eksistensi yang utuh. Fantasi merupakan ‘jalan keluar’ dari kekerasan dan kepatuhan yang dipaksakan. Di dalam fantasi, diktum Descartes “saya berpikir maka saya ada” menjadi “saya menderita maka saya ada”. Dengan demikian, fantasi adalah jalan keluar dari individu yang menderita; fantasi merupakan upaya keluar dari tekanan. Di sini bisa dikataka bahwa ketika menderita (direpresi) oleh “lelaki”, perempuan menjadi “obyek” dari sang “subyek”. Dengan fantasi, “obyek” yang menderita ini mentransformasikan dirinya menjadi “subyek”.

Setelah sedikit memaparkan persoalan fantasi dan imajinasi Lacanian-Zizekian—meskipun memang belum lengkap benar dan akan kita lengkapi sebagaimana perlu dalam bagian selanjutnya—kini kita akan memaparkan ringkasan cerita film He Loves Me… He Loves Me Not.  

He Loves Me…He Loves Me Not    

He Loves Me… He Loves Me Not merupakan film Perancis yang disutradarai oleh Laetitia Colombani, diproduksi pada 2002 dan dirilis 2003. Film ini mengangkat tokoh-tokoh seperti Angelique (Audrey Tautou), Dr. Loic Le Garrec (Samuel Le Bihan), David (Clement Sibony), dan Rachel (Isabelle Carre). Inti dari film ini menceritakan kisah cinta Angelique kepada Dr. Loic Le Garrec yang sudah berkeluarga.

Angelique adalah seorang mahasiswi jurusan seni rupa sebuah perguruan tinggi yang bertetangga dengan keluarga Dr. Loic Le Garrec. Angelique jatuh cinta dengan Dr Loic tersebut. Dr. Loic pun membalas cintanya. Beberapa hal pun mulai terjadi. Dr Loic dan istrinya bercerai disusul dengan kematian beberapa pasien dari Dr. Loic. Salah satu pasien Dr. Loic, Jasmin Sonia, menggugat Dr. Loic atas resep obat yang salah. Angelique mendengar hal itu melalui televisi dan ia mencari nama serta alamat Jasmin Sonia. Keesokan harinya Jasmin Sonia meninggal dan di pipi Angelique ada semacam bercak darah. Para pasien itu ternyata dibunuh oleh Angelique.

Dr. Loic pun dituduh sebaga dalang di balik pembunuhan-pembunuhan msterius itu. Suatu malam, polisi pun mendatangi rumah Dr. Loic untuk menangkapnya. Angelique yang melihat dari jauh pun datang menghampiri. Namun sebelum ia sampai di dekat Dr. Loic, dilihatnya mantan istri Dr. Loic, Rachel seorang pengacara, sudah datang dan memeluk Dr. Loic. Hal ini membuat Angelique cemburu. Pasalnya, Angelique sudah memberikan banyak hadiah kepada dokter praktek itu; mulai dari bunga, lukisan, dan masih banyak lagi.

Film ini bermain dalam gaya flash back di mana pertama kali digambarkan Angelique memberikan mawar untuk Dr. Loic, pertemuan mereka di sebuah pesta hingga ditangkapnya Dr. Loic oleh polisi. Mendapati bahwa Dr. Loic masih mencintai istrinya, Angelique berniat bunuh diri.

 

Perlakuan Angelique yang merasa sangat kenal dan sudah menjadi pacar Dr. Loic membawa masalah bagi Dr. Loic sendiri. Dr. Loic lantas menjadi paranoid juga. Namun demikian ketika istri Dr. Loic mau membela perkara pembunuhannya dan ternayata didapati bukti-bukti bahwa Dr. Loic tak bersalah, kebenaran sesungguhnya mulai terungkap. Setelah pulang dari kantor polisi, Dr. Loic dan Rachel berbaring bersama. Di malam itulah Angelique berusaha bunuh diri dan dia diselamatkan oleh ambulans. Dr. Loic keluar dari rumah dan berusaha menyelamatkan nyawa Angelique, terdorong oleh naluri profesinya. Ketika siuman di Rumah Sakit, Angelique merasa hal itu sebagai bukti dari kebenaran cinta mereka berdua. Namun kawan lelaki Angelique, David, yang beberapa kali sudah berkontak langsung dengan Dr. Loic memberi clue bagi dokter itu.

Dan terkuaklah semuanya; bahwa Angelique bermimpi dan bahwa obsesinya terhadap Dr. Loic didorong oleh kesendiriannya. Ketika Angelique yang sudah sembuh mendatangi tempat praktik Dr. Loic yang sedang berkemas-kemas pindah, Angelique bertanya tentang rencana mereka ke Florence, tentang lagu-lagu cinta mereka dan beberapa hal lagi. Dr. Loic menjawabnya, “ kita tak pernah bersama. Engkau memimpikan semua itu.”

Fantasi dan Kesendirian

Masalah utama yang memicu konflik dalam film ini—jika kita ingin melihat kata-kata atau kalimat kecil yang sering diucapkan tanpa mencarinya pada narasi-narasi besar—adalah kesendirian. Kesendirian selalu dikatakan oleh Angelique. “Saya tak punya siapa-siapa, saya sendirian, hanya engkaulah milikku,” adalah kata-kata favorit Angelique. Kalimat ini diungkapkannya kepada Dr. Loic yang menjadi subyek fantasinya. Beberapa scene penting dalam He Loves Me…He Loves Me Not akan kita bahas dan dari sana kita akan melihat bagaimana kesendirian ini akan membawa pada imajinasi yang lantas menjadi fantasi. Fantasi ini akan menarik individu untuk menyendiri, asik denga fantasinya. Fantasi adalah puncak-puncak dari apa yang tidak terkatakan, apa yang adalah kekuarangan dalam individu itu sendiri.

Pada scene flash back Dr. Loic ketika masuk ke kediaman Angelique, kita melihat bagaimana sebuah sentuhan perlahan dari Loic yang terjadi di awal pertemuan mereka memicu imajinasi Angelique. Loic atas dasar kebahagiaan mendengar kabar bahwa Rachel hamil membawa sebuket bunga dan menyerahkan satu kuntumnya untuk Angelique yang kebetulan lewat di depannya. Dari sana, Angelique yang memang sendirian dan merasa kesepian mulai membangun imajinasinya tentang hubungannya dengan Loic. Di sini kita melihat bagaimana imajinasi Angelique mulai bermunculan, sebuah tahapan ketika lack mulai mencari pemenuhannya. Pemenuhan lack ini tidak pernah muncul dari dalam diri Angelique sendiri; dia harus menemukannya di luar dirinya. Karena lack ini justru muncul akibat upaya dari pemenuhan hasrat (desire). Yang menjadi hasrat Angelique di sini adalah ke luar dari rasa kesendiriannya.

Imajinasi ini terus berkembang, terus dipelihara. Imajinasi dari seseorang yang demikian pada tataran tertentu adalah sesuatu yang wajar; tak ada satu pun manusia tanpa imajinasi. Hal ini terlihat ketika teman Angelique masih mau menemaninya untuk mengejar Loic yang lewat di depan mereka. Namun ketika imajinasi ini menjadi laten dan berubah bentuk menjadi fantasi, orang lain akan melihat sesuatu yang berbeda dari subyek yang berfantasi. Ini terjadi ketika subyek yang berfantasi pun mulai menarik diri dari kehidupan ‘nyata’ ketika dianggapnya dunia di luar sana tak menerimanya lagi. Dalam film He Loves Me…He Loves Me Not hal ini kita lihat ketika teman-teman Angelique tidak lagi menganggap benar apa yang diceritakannya tentang Loic.

Yang harus kita ingat juga, fantasi sebagai sebuah pencaharian akan “objek a kecil” yang hilang punya sebuah kekuatan yang nyata. Ia menjadi tenaga pendorong atas subyek untuk melakukan sesuatu. Dorongan bagi Angelique di dalam film ini adalah segala daya upaya untuk menyatakan apa yang ada di dalam fantasinya. Di sini kita melihat sebuah upaya pengkongkretisasi pengalaman tak nyata. Jadi, subyek dalam rangka memenuhi hasratnya melakukan segala daya upaya untuk merealisasikan hasratnya yang terkungkung dan dikeluarkan dalam rupa letupan-letupan fantasi.

Kita lihat pada akir cerita bahwa letupan-letupan fantasi ini yang diejawantahkan dalam berbagai upaya pengkonkretisasinya mendapati tembok-tembok penghalang sehingga ia tak menemukan apa yang diinginkannya. Yang ada adalah penolakan atas pemenuhan hasratnya tersebut.

Kebersamaan Sebagai Kepenuhan “Objek a Kecil”

Selain memfokuskan pandangan kita pada Angelique yang selalu digambarkan sendiri—teman-teman di sekitar Angelique tak memberikan makna apa-apa—kita patut pula melihat antagonis film ini Dr. Loic. Jika Angelique digambarkan demikian, berbeda dengan Dr. Loic. Ia digambarkan sebagai sesosok tokoh dengan persahabatan dan dunia kerja serta dunia rumah yang selalu berhubungan dengan orang lain. Bahkan kita melihat beberapa gambaran bagaimana pertemanan yang terjalin antara Dr. Loic dan beberapa lelaki seumurannya yang terjadi sangat akrab.

Beberapa scene akir film ini pun menarik dilihat ketika kedua tokoh ini disbanding-sandingkan; film menunjukan keadaan Loic yang di rumah sakit umum dengan Angelique di rumah sakit jiwa pasca peristiwa pemukulan kepala Loic oleh Angelique. Di rumah sakit itu kita melihat bagaimana Loic ditemani istrinya dan di sana ada juga para perawat dan dokter yang sigap. Kalau kita melihat ini dari kaca mata kita penonton mungkin menjadi sesuatu yang tak terlalu luar biasa. Tetapi kalau kita melihat ini dari kaca mata Loic ini menjadi penting. Kesadaran—ingat bahwa kesadaran menjadi hal penting dalam kasus ini—Loic membuatnya menyadari keberadaan Rachel dan juga para pekerja di rumah sakit. Kesadaran Loic-lah yang membawa keberadaan Rachel dan para pekerja rumah sakit begitu terasa oleh penonton.

Pada kasus Angelique, bukan tak ada orang yang ia kenal di sana; ada David yang muncul sekali. Namun imajinasi, fantasi, dengan kata lain kesadaran Angelique tidak memberi tempat pada orang lain di luar dirinya dan fantasinya. Inilah kenapa kita tak menyadari keberadaan orang lain dalam scene Angelique di rumah sakit jiwa. Orang lain di sini hanya menjadi latar belakang yang tak bermanfaat atau pemanis semata terhadap keberadaan sorotan utama, Angelique.

Inilah gambaran perbedaan mendasar yang hendak dicapai scene ini; dua gambaran subjek yang berbeda. Subjek pertama adalah subjek dengan kesadaran akan kebersamaan yang besar yang ada dalam diri Loic sedangkan subjek kedua adalah subjek yang menolak kebersamaan dan memilih dalam kesendirian individu dengan demikian menolak kehadiran orang lain dalam diri Angelique.

Penutup

Demikianlah, melalui film He Loves Me…He Loves Me Not kita melihat gambaran nyata dari apa yang disebut Lacan sebagai fantasi, imajinasi, dalam hubungannya dengan keterpenuhan hasrat (desire) akibat keterpecahan atau ketidakutuhan “objek a kecil”. Fantasi dan juga imajinasi sebagai tuntutan “objek a kecil” memenuhi dirinya sendiri membawa seorag individu pada keterpecahan dirinya dengan dunia luar. Adanya split antara apa yang real dan apa yang dipikirkan adalah hasil dari fantasi yang tak mencapai pemenuhan “objek a kecil”.

Apakah memang tak ada jalan keluar untuk manusia ketika keterpecahan “objek a kecil” ketika keterpecahan itu adalah niscaya bagi hidup manusia? Setidaknya dalam He Loves Me…He Loves Me Not kita melihat harapan atau hidup yang lebih baik ada pada pihak Loic. Loic adalah gambaran manusia yang keterarahan kesadarannya ditujukan pada kebersamaannya dalam lingkungannya. Dengan demikian segala “objek a kecil” menjadi tak mencari pemenuhan hasratnya melalui imajinasi dan fantasi kosong.

Rasa kekurangan yang selalu menjadi keterarahan kesadaran membuat manusia mengalami pelarian-pelarian khayalan yang membawanya terpecah atau split dari kenyataan. Bisa dikatakan di sini bahwa split dari kenyataan adalah sumbangsih idealisme dan pengkhianatan pada materialisme. Sedangkan rasa ketakberkekurangan dan juga ketakberkelebihan merupakan hal yang terjadi ketika keterarahan manusia ditujukan pada yang real (bukan dalam pengertian Lacanian tetapi materialisme) dan segala yang ideal-ideal adalah omong kosong di tengah matahari siang.***

Referensi:
Ali, Matius, 2010, Psikologi Film: Membaca Film lewat Psikoanalisis Lacan-Zizek, (Jakarta: Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta).
Bird, Robert, “The Suspended Aesthetic: Slavoj Zizek on Eastern European Film”, dalam Jurnal Studies in East European Thought, Vol. 56, No. 4, December 2004.
Bunnin, Nicholas Bunnin dan Jiyuan Yu, 2004, The Blackwell Dictionary of Western Philosophy, The Blackwell Dictionary of Western Philosophy, (Oxford dan Victoria: Blackwell Publishing).
Salecl, Renata, 2002, “Love Anxieties” dalam  Suzanne Barnard dan Bruce Fink (eds.), Reading Seminar XX : Lacan’s Major Work On Love, Knowledge, and Feminine Sexuality, (New York: State University of New York Press).
Suryajaya, Martin, 2009, Imanensi dan Emansipasi: Sebuah Pemaparan tentang Fondasi Ontologis dari Emansipasi dalam Filsafat Alain Badiou, skripsi pada STF Driyarkara (Jakarta: STF Driyarkara).

Film
“He Loves Me…He Loves Me Not” (À la Folie… Pas du Tout). Sutradara Laetita Colombani. Tanggal Release: 14 Februari 2003.

Catatan Belakang:
[1] Silahkan baca tentang hal ini lebih jauh dalam Robert Bird, “The Suspended Aesthetic: Slavoj Zizek on Eastern European Film”, dalam Jurnal Studies in East European Thought, Vol. 56, No. 4. Hal. 357-382.
[2]Psychoanalysis [is] a therapeutic practice and associated theory of mind founded by Freud. As a theory, it postulates the existence of an unconscious mind, comprising painful thoughts that through repression are excluded from consciousness, except as disguised through symbolic transformation in such phenomena as dreams, puns, and slips of the tongue. The unconscious has a dynamic role in determining behavior. Psychoanalytic theory places great emphasis on the origin of neurosis in the sexual drives and fantasies of early childhood, especially in the relations of a child to his parents through the Oedipus complex.…In regular conversations between analyst and patient, the analyst’s neutrality allows the patient to project the repressed early relations and emotions allegedly at the root of the disorder….In spite of a suggestive richness that placed psychoanalysis near the center of many developments of twentieth-century culture, virtually all of its major claims as a theory and its major practices as a therapy have been attacked by outside critics and through schisms and expulsions among those within the psychoanalytic movement. The promise of therapeutic success remains broadly unfulfilled. Psychoanalysis has been attacked as bad science, as pseudo-science, and as a bad humane discipline, and the best way to characterize and assess the enterprise remains in dispute. Some philosophy of mind and almost all major schools of modern European philosophy have been influenced by psychoanalysis.” Nicholas Bunnin dan Jiyuan Yu, The Blackwell Dictionary of Western Philosophy, The Blackwell Dictionary of Western Philosophy, (Oxford dan Victoria: Blackwell Publishing), 2004, hal. 574.
[3] He Loves Me…He Loves Me Not ((À la Folie… Pas du Tout). Sutradara Laetita Colombani. Tanggal Release: 14 Februari 2003.
[4] Bagian ini merupakan ringkasan dari Matius Ali, Psikologi Film: Membaca Film lewat Psikoanalisis Lacan-Zizek, (Jakarta: Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta), 2010, hal. 47-74. Jika ada referensi lain akan diberitahukan dalam catatan-catatan kaki selanjutnya.
[5] Matius Ali, Psikologi Film: Membaca Film… hal. 47. Kata [petit] merupakan tambahan dari saya.
[6] Martin Suryajata, Imanensi dan Emansipasi: Sebuah Pemaparan tentang Fondasi Ontologis dari Emansipasi dalam Filsafat Alain Badiou, skripsi pada STF Driyarkara (Jakarta: STF Driyarkara), 2009, hal. 105.
[7] Sebagaimana dikutip oleh Renata Salecl dalam “Love Anxieties” dalam  Suzanne Barnard dan Bruce Fink (eds.), Reading Seminar XX : Lacan’s Major Work On Love, Knowledge, and Feminine Sexuality, (New York: State University of New York Press), 2002, hal. 93.
[8] Lelaki di sini tidak bisa dipandang dalam rangka tanda pengenal seksual semata, tetapi lelaki di sini dipandang sebagai simbolisasi atas segala yang superior atau subyek.


*Catatan: Tulisan ini merupakan makalah mata kuliah Psikologi Film, diampuh oleh Dr. Matius Ali, di S1 STF Driyarkara pada 2011.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram