Kesenian termasuk sebuah sisi kehidupan yang cukup akrab hampir bagi setiap manusia; entah berpendidikan atau pun tidak berpendidikan. Mengapa demikian? Rupanya karena seni adalah sesuatu yang secara purba selalu hadir dalam diri manusia. Di sini tentu kita belum spesifik atau mendetilkan apa yang dimaksudkan dengan kesenian itu. Rupanya hal ini pun terbukti pada kehidupan sehari-hari. Praktek kesenian terjadi di mana-mana dan dalam berupa bentuknya. Kesenian dalam bentuknya yang paling konkrit atau pun yang paling sulit selalu muncul di keseharian kita. Entah dia menjelma sebuah potret pemandangan di baliho iklan minuman mineral di pinggir jalan, entah dia menjelma sajak dalam lantunan pengisi suara dalam iklan sabun di televisi. Semua itu adalah bentuk-bentuk kesenian.

Kesenian dengan demikian bisa dikatakan menjadi sebuah keseharian yang melekat bagi manusia. Di lain pihak, filsafat adalah sebuah cabang ilmu dan sisi kehidupan yang tidak akrab bagi semua manusia. Namun, justru filsafatlah yang bertugas untuk merefleksikan dan memberi landasan untuk hidup itu sendiri. Salah satu cabang filsafat yang khusus membahas permasalahan kesenian adalah estetika.

Driyarkara, salah satu filsuf Indonesia atau setidaknya generasi awal dari Indonesia yang mempelajari filsafat, pun menulis pokok-pokok pikirannya tentang estetika ini. Terkhusus, Driyarkara pernah menulis tentang estetika dalam hubungannya dengan religi. Tulisan ini bermaksud untuk memaparkan pokok pemikiran Driyarkara dalam permasalahan itu. Demi mencapai tujuan tersebut, tulisan ini akan terbagi dalam beberapa bagian. Pertama, akan dipaparkan pemikiran Driyarkara tentang pengalaman estetik. Kedua, akan dipaparkan kaitan antara pengalaman estetik dan kesenian dalam pandangan Driyarkara. Dan ketiga akan diberikan beberapa kesimpulan dan catatan kritis atas pemaparan ini.

Tulisan ini mengambil sumber utama dari artikel Driyarkara bertajuk “Kesenian dan Religi”. Naskah ini muncul pertama kali dalam majalah kebudayaan Basis, Tahun X, Desember1960-Agustus 1961. Artikel tersebut lantas dihimpun bersama karya-karya Driyarkara lainnya dalam buku Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya[1]. Yang disebut terakir inilah yang menjadi rujukan tulisan ini.

Pengalaman Estetik sebagai Pengalaman Manusia

Judul untuk sub ini hendak menunjukan tujuan dari keseluruhan sub ini yang hendak dicapai. Tujuan itu adalah membuktikan bahwa pengalaman estetik merupakan pengalaman yang hanya mungkin terjadi dan dimungkinkan karena kita adalah manusia. Inilah kesimpulan yang dapat diambil penulis ketika menelusuri teks Driyarkara bertajuk “Pengalaman Estetis dan Kesenian”[2]. Untuk itu, pada tempat pertama kita akan mereview pandangan Driyarkara tentang manusia.

Kesenian bagi Driyarkara lahir dalam kehidupan manusia. Namun, pertanyaan yang harus dijawab adalah mengapa kehidupan manusia selalu melahirkan kesenian? Manusia bagi Driyarkara adalah “rohani-jasmani”. Driyarkara tidak menggunakan kata “dan” di antara “rohani” dan “jasmani” melainkan menggunakan simbol “-“. Ini tentu bukan tulisan tanpa makna. Yang hendak dikatakan Driyarkara dengan itu adalah bahwa, “…manusia itu adalah siapa, yang berupa apa; dan apa yang berupa siapa”[3]. Penekanan unsur jasmani-rohani dalam manusia ini bukan hanya muncul ketika Driyarkara berbicara tentang seni saja melainkan selalu muncul entah ketika dia berbicara tentang revolusi, pendidikan, atau pun filsafat manusia itu sendiri. Yang menjadi penting dalam hal kesenian atau estetika dari konsep manusia yang demikian adalah bahwa ketika seorang manusia mengalami sesuatu maka yang menyeruak bukan hanya jasmaninya atau juga rohaninya saja tetapi kedua-duanya muncul bersamaan. Namun, kesatuan yang sepenuh-penuhnya dari jasmani-rohani ini tidak selalu terjadi dalam setiap pengalaman manusia. Ia menyatu bersama secara kuat ketika manusia bangkit ke kesadarannya. Pengalaman estetik muncul pada manusia lebih pada unsur jasmaninya dan di titik itu manusia masih terpendam dan belum mencapai kesadarannya di mana unsur rohaninya belum menyatu seutuhnya dengan jasmani. Ini juga menjadi alasan kenapa pengalaman estetik setiap orang berbeda-beda.

Manusia yang demikian itu selalu mengekspresikan idenya. Ekspresi bagi Driyarkara niscaya dalam kehidupan manusia. Kesenian adalah bentuk ekspresi manusia atas pengalaman estetik yakni pengalaman manusia itu akan rasa keindahan. Di dalam pengalaman akan keindahan yakni pengalaman estetik itu, manusia bukan hanya berhadapan dengan sesuatu yang indah tetapi manusia lebih jauh lagi terserap ke dalam yang indah itu.    Ketika luluh dalam sesuatu yang indah ini, manusia tidak membawa maksud-maksud tertentu. Ia luluh begitu saja. Demikian Driyarkara:

Mengalami sesuatu yang indah!…. Dalam keluluhan itu manusia lepas dari maksud-maksud tertentu, baik teoretis maupun praktis. Di situ manusia tidak mencari sesuatu.[4]

Di dalam pengalaman estetik yang tanpa maksud tertentu itu manusia menjadi subyek yang memeluk obyek. Namun harus dipahami bahwa apa yang kita sebut dengan “subyek” dan juga “obyek” di sini hanyalah dalam momen berpikir kita sekarang. Bagi Driyarkara ketika manusia benar-benar berada dalam pengalaman estetik itu ia pun tak berpikir atau membeda-bedakan dirinya dengan obyek pengalaman estetiknya sebagai subyek dan obyek.

Setelah dari pengalaman estetik ini barulah kesenian mungkin tercipta. Kesenian tercipta ketika moment pengalaman estetika itu bisa dimaterialkan. Dengan demikian, obyek dari pengalaman estetik yang kita perbincangkan tadi pertama-tama bukanlah obyek seni melainkan alam itu sendiri. Saya akan mengutip apa yang dimaksudkan alam di dalam pengalaman estetik oleh Driyarkara:

Akan tetapi, bukan alam an sich, bukan alam sebagai alam. Sebaliknya, jangan juga dikatakan bahwa yang menjadi obyek itu ide atau alam sebagai ide! Lebih tepatlah rumusan kita, bila kita berkata bahwa yang menjadi obyek ialah alam-sebagai-penjelmaan-keindahan. Jadi, yang menjadi obyek bukan hanya keindahan atau keindahan tanpa kekurangan. Yang dialami ialah keindahan dalam wujudnya yang konkret (nyata), yang berarti pula batasan.[5]

Maka kita bisa menyimpulkan bahwa alam secara biasa sebagaimana alam pada dirinya bukanlah sebuah obyek dari pengalaman estetik. Alam yang menjadi obyek pengalaman estetik adalah alam yang berhasil meringkus keindahan atau di dalam bahasa Driyarkara alam-sebagai-penjelmaan-keindahan.

Pada titik ini, kita tentu dapat bertanya, lantas apa yang dimaksudkan dengan keindahan itu? Apa yang berhasil direngkuh alam sehingga ia pada titik tertentu menjadi obyek pengalaman estetis seorang manusia? Driyarkara menjawabnya demikian:

Pada saat itu manusia belum atau tidak mengalami alam jasmania menurut sudut ini atau sudut itu. Misalnya, tumbuh-tumbuhan tidak dialami sebagai sayur-mayur, padi yang menguning tidak dibayangi sebagai obyek ekonomi. Obyek yang dialami belum disudutkan ke sini atau ke situ, belum dipandang menurut arti ini atau itu. Obyek tadi dialami dalam totalnya. Oleh sebab itu dialami sebagai teratur dan sesuatu yang cemerlang karena teraturnya itu.[6]

Jadi, alam yang menjadi obyek pengalaman estetik atau alam yang berhasil merengkuh keindahan adalah alam yang tidak dipandang sebagai ‘alat’ oleh manusia. Alam yang mampu menjadi obyek pengalaman estetik adalah alam yang menghadirkan dirinya sendiri pada manusia, alam yang menghadirkan diri pada manusia tanpa manusia meringkusnya dalam pemaknaan-pemaknaan apa pun. Di titik ini terasa sekali betapa pemikiran Driyarkara sangatlah fenomenologis.

Kembali pada karakter manusia yang selalu mengekspresikan pengalamannya, demikian jugalah pengalaman estetik manusia. Pengalaman tersebut akan diekspresikannya dalam bentuk-bentuk kesenian seperti tarian, lukisan, seni sastra, dan lain sebagainya. Ini merupakan salah satu yang akan terus mendorong manusia ke dalam momen kebahagiaan walau pun momen itu tidak abadi melainkan sementara.

Di sini pada hemat saya kita harus membedakan dua jenis kesenian. Pertama kesenian dalam pengertian alam yang total dan tanpa kungkungan tertentu dari manusia dan kedua adalah kesenian sebagai hasil ekspresi pengalaman estetis manusia. Kesenian yang kedua pun bisa menimbulkan pengalaman kesenian berikutnya tentu dengan juga membiarkan dia apa adanya atau membiarkan si obyek kesenian itu menghadirkan dirinya apa adanya pada kita.

Sumber: https://www.suara.com/lifestyle/2019/03/26/081000/pengamen-viral-ala-pieter-lennon-asal-yogya-ngamenlah-dengan-terhormat?page=all

Pengalaman Estetis, Kesenian, dan Religi

Pada bagian kedua tulisannya, Driyarkara hendak menjawabi pertanyaan bahwa apakah mungkin sebuah religi tertentu akan menghasilkan kesenian yang tertentu pula? Untuk menjawab pertanyaan ini yang mesti dilakukan pertama kali adalah mencari tahu apa itu pengalaman religi.

Pertama-tama, Driyarkara menunjukan perbedaan antara religi dan moral. Di dalam moral dan religi, tetap ada Tuhan yang mempunyai sebuah peranan yang fundamental. Namun ada perbedaan mendasar posisi Tuhan di dalam moral dan di dalam religi. Di dalam moral, Tuhan dihadirkan dalam rangka untuk pemenuhan sosok seorang manusia yang sempurna. Moral berusaha membawa manusia menuju kesempurnaannya dan Tuhan dihadirkan dalam rangka membantu manusia menuju kesempurnaan itu. Di sini kita melihat bahwa Tuhan lebih berperan sebagai obyek dalam moral. Sedangkan posisi Tuhan dalam religi berbeda. Tuhan dalam religi hadir sebagai diri-Nya sendiri. Demikian Driyarkara menggambarkan Tuhan dalam religi:

Dalam religi manusia tidak lagi memandang dirinya sendiri. Di situ manusia berhadapan dengan Tuhan. Manusia sebagai pribadi (person) berhadapan dengan Tuhan sebagai Mahapribadi. Di situ ada hubungan Ich-Du, artinya dari pribadi ke Pribadi, dari person ke Person. Dalam hubungan ini manusia menyerahkan dirinya. Ia menyerahkan dirinya sehabis-habisnya.[7]

Tuhan dalam religi ini tidak bisa dipandang hadir begitu saja. Tuhan hadir seumpama simbol di dalam religi. Selayaknya simbol, Tuhan dalam religi tidak seutuhnya Tuhan pada dirinya tetapi dia hanya sebagian saja; tidak keseluruhanNya. Namun, meski pun simbol bukanlah keseluruhan manusia, pertemuan manusia dengan Tuhan dimungkinkan dan hanya mungkin melalui simbol itu; simbol yang dipilih Tuhan untuk bertemu dengan manusia.

Namun manusia tidak berhenti dalam menghayati atau dalam penghayatannya melalui simbol saja. Simbol justru membawanya pada kerinduan tertentu. Simbol di dalam religi hanya sekadar untuk memberikan kepuasan sesaat dan tidak seterusnya. Dan manusia tentu rindu untuk merengkuh kepuasan itu secara keseluruhan. Oleh karena itu manusia selalu berusaha untuk menerobos simbol itu.

Di titik pembahasan ini, Driyarkara menunjukan perbedaan antara religi dan pengalaman estetik. Obyek kesenian dalam pengalaman estetik adalah simbol dari kesenian dan simbol dari kesenian itu sudah cukup menghadirkan pengalaman estetik. Karena. Ketika berada dalam pengalaman estetis manusia berada dalam perpaduan simbol dan yang disimbolkan. Sedangkan simbol dalam religi justru tidaklah sesuatu yang final. Ia justru membawa pada kerinduan tertentu dan membuat manusia berusaha menerobosnya.

Namun bagi Driyarkara, walau pun posisi simbol yang berbeda di dalam religi dan pengalaman estetis, simbol ini jugalah yang memungkinkan adanya keterpautan antara keduanya. Driyarkara memulai penjelasan keterpautannya ini dengan menunjukan karakter dari pengalaman estetik yang tidak mungkin berlangsung lama. Pengalaman estetik mempunyai sifat labil yang bisa lepas dan berlalu. Karena waktunya yang sedikit dan terbatas ini unsur-unsur yang ada di dalamnya bisa saja meluap ke atas dan tak lagi menjadi milik manusia. Ada sesuatu yang terasa oleh manusia ketika ia mengalami pengalaman estetis, sesuatu yang tak bisa diungkapkan. Oleh karena itulah yang tinggal setelah peristiwa pengalaman estetis adalah simbol sedangkan unsur keindahan yang tadi direngkuh oleh simbol sehingga memungkinkan adanya pengalaman estetik sudah hilang.

Namun demikian, manusia bertipikal untuk berusaha merengkuh yang tidak terhingga. Sehingga ketika hanya tertinggal simbol manusia berusaha untuk mencari sesuatu yang sudah hilang ke atas tersebut. Di sinilah ciri khas manusia yang berusaha mencari yang mutlak itu nampak. Apakah yang mutlak itu? Tentu saja yang mutlak adalah Tuhan.

Kesimpulan

Demikianlah, sudah kita paparkan pemikiran Driyarkara tentang pengalaman estetis dalam hubungannya dengan religi. Kita bisa menarik kesimpulan yang demikian; bahwa pengalaman estetis mungkin untuk bertemu dengan pengalaman religi dan atau pengalaman estetis bisa membawa orang pada pencarian religi. Hal ini dimungkinkan karena di dalam pengalaman estetis yang selalu tertinggal adalah simbol dan unsur utama yang memenuhi simbol tadi sudha membumbung ke atas, menuju kekemutlakannya. Dan pencaharian atas kemutlakan tak lain dan tak bukan akan bertumpu pada suatu unsur terakir dan utama yaitu Tuhan.

Namun demikian kita juga melihat bahwa Driyarkara sungguh menggunakan pendekatan fenomenologi dalam pembicaraannya tentang pengalaman estetik dan religi ini. Hal tersebut bukanlah sesuatu yang aneh karena memang Driyarkara sangat terasa hal itu dalam tulisan-tulisannya. Maka, tak heran jika kita pun merasakan aroma-aroma Heideggeri, Levinas, dan juga Martin Buber dalam paparannya. Misalnya ketika peristiwa estetik dibahas sebagai sebuah pertemuan sesaat ketika sesuatu yang mutlak itu datang menghampiri manusia dan setelah itu sesuatu yang mutlak itu meninggalkannya dan hanya meninggalkan simbol, sungguh terasa sekali seperti momen ketika Ada menyingkapkan dirinya kepada Dasein dalam pembahasan Heidegger. Atau ketika alam oleh manusia dilepaskan dari segala maksud dan tujuannya dan manusia membiarkan alam itu apa adanya sehingga alam akan menunjukan dirinya pada manusia dalam kepenuhannya sungguh terasa aroma Levinasnya terkhusus ketika Levinas membahas konsep “hand”-nya misalnya. Dan juga kita menemukan jejak Buber ketika Driyarkara membahasakan hubungan antara manusia dan Tuhan dalam religi sebagai hubungan Ich-Du.

Walau pun demikian, hal yang terakir disebutkan ini tidak mengurangi kekreatifan dan keorisinalan pemikiran Driyarkara sebagai seorang filsuf—lagi pula dalam tradisi filsafat mengambil pandangan beberapa filsuf dan mengkreasikannya dengan penemuan-penemuan sendiri adalah biasa. Setidaknya ada satu hal penting yang bisa kita tarik dari pemikiran Driyarkara tentang pengalaman estetis dan religi yakni di dalam pengalaman estetis terkandung unsur religi dan di dalam religi pengalaman estetis selalu membantu tujuan religi itu sendiri.

[1] Dr. A. Sudiarja, SJ, Dr. G. Budi Subanar, SJ, Dr. T. Sarkim (peny.), Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), 2006, hlm. 733-755.
[2] Dr. A. Sudiarja, SJ, Dr. G. Budi Subanar, SJ, Dr. T. Sarkim (peny.), Karya Lengkap Driyarkara:…, hlm. 734-739.
[3]Dr. A. Sudiarja, SJ, Dr. G. Budi Subanar, SJ, Dr. T. Sarkim (peny.), Karya Lengkap Driyarkara:…, hlm. 737.
[4] Dr. A. Sudiarja, SJ, Dr. G. Budi Subanar, SJ, Dr. T. Sarkim (peny.), Karya Lengkap Driyarkara:…, hlm. 735.
[5] Dr. A. Sudiarja, SJ, Dr. G. Budi Subanar, SJ, Dr. T. Sarkim (peny.), Karya Lengkap Driyarkara:…, hlm. 736.
[6] Dr. A. Sudiarja, SJ, Dr. G. Budi Subanar, SJ, Dr. T. Sarkim (peny.), Karya Lengkap Driyarkara:…, hlm. 738.
[7] Dr. A. Sudiarja, SJ, Dr. G. Budi Subanar, SJ, Dr. T. Sarkim (peny.), Karya Lengkap Driyarkara:…, hlm. 740.


*Catatan: Tulisan dalam rangka mata kuliah Filsafat Driyarkara pada 2012 di STF Driyarkara.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram