Di hari yang beranjak menengah, sambil winamps meloncat-loncat dari Chopin, Dylan, Crimson, ditemani segelas kopi cap “Petruk” dengan tagline, it must be turned right side up again, if you would discover the rational kernel, within the mystical shell, sebatang Djarum Super, lantas merenungkan kata-kata dari salah satu pengantar buku, “Jadi manusia harus menumbuhkan dalam dirinya a loving veneration of truth yang terus menerus mengingatkan dia bahwa kebenaran tidak diciptakan manusia, melainkan dihadiahkan padanya.” Walau tak menemukan jawabannya—terkadang jawaban memang tak perlu diburu—setidaknya membisikan, hidup ini penuh kontradiksi dan problem. Sepertinya kalau Heidegger baca ini di tahun 20-30an, dia pasti marah besar. Karena dia lebih percaya kebenaran itu ada di sana dan dilupakan oleh dunia. Karena sesungguhnya orang Yunani tidak pernah berimajinasi tentang dunia sebagai sesuatu yang diciptakan dari kekosongan melainkan dunia itu ada, selalu ada, dan akan ada secara niscaya.
***
Saya terheran-heran ketika Walter Benjamin bisa merenungkan dan menemukan sebuah tesis sejarah yang cukup menohok setelah dia menyaksikan dan termanggu-manggu di depan lukisan Paul Klee, Angelus Novus. Apalagi setelah dengan bantuan Om Google, terpampang di hadapan saya gambar Angelus Novus itu. Yah, sebuah format file .jpg di layar komputer, monitor reparasi mangga dua dari sebuah merek cina yang ga jelas. Bayangkan betapa hebatnya; lukisan yang sejatinya ada di salah satu Gereja Protestan di Bern, tiba-tiba hadir sebagai gambar (kalau iseng, tinggal klik kanan dan jadilah backround desktop) di salah satu monitor komputer. Manusia memang pintar.

“Angelus Novus” karya Paul Klee | Sumber: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Klee-angelus-novus.jpg

Proses hadirnya demikian; si pemilik kostan (sebut saja Si A) tertarik dengan Angelus Novus gara-gara iseng bolak-balik sebuah bukuKira-kira kata buku itu Angelus Novus menyimbolkan konsep sejarah Walter Benjamin. Tanpa melanjutkan bacaannya, yang belakangan diketahui ada penjelasan secara literer bagaimana gambar tersebut, Si A pun membangun sendiri bayangan di kepalanya—macam apa Angelus Novus ini.

Kita kira-kirakan saja, Si A membangun gambar di kepalanya berupa seorang malaikat yang dilihat dari belakang, (dari angle si penatap lukisan) dengan guratan-guratan putih yang menandakan Si Malaikat terpental ke arah belakang (ke arah si penatap lukisan) lantas di kejauhan (dalam lukisan tersebut) terpampanglah bangunan-bangunan masa lalu yang meruntuh, hancur, orang-orang di sana, di antara reruntuhan itu, mimik menakutkan dengan mulut-mulut berteriak. Lantas, Si A ‘googling’ dan muncullah Angelus Novus. Buyar seketika gambaran di kepala Si A. Oh, begini toh? Kok bisa? Gini amat sieh? Aneh banget si Benjamin? Dan sebagainya, dan sebagainya.

Bayangkanlah bila Si A, sebelum nyentuh-nyentuh dikit tentang konsep sejarah Benjamin lantas memandang Angelus Novus. Persepsi apa yang terbangun di kepala Si A? Tentu akan beda sama sekali dengan apa yang dipersepsikannya setelah punya sedikit referensi tentang Angelus Novus ini. Bisa saja dia berpikir tentang Dinosaurus atau apalah (coba anda praktekan pada adik anda)! Bisa saja pemahaman yang terbangun bisa lebih kaya dan lebih bermakna, setidak-tidaknya bagi diri anda sendiri, ketika memandang lukisan itu tanpa referensi apa-apa. Bisa juga lebih miskin sama sekali.

Bila kasus kedua yang terjadi, maka kita patut berterima kasih pada referensi yang dimasukan ke dalam kepala kita. Di sini, referensi menjadi semacam bibit roti yang memekarkan kepala anda. Tapi setidaknya begitu. Gambar bisa berbicara banyak dan bisa menyimbolkan hal-hal tertentu pula. Terkadang, apa yang disimbolkan oleh sebuah ‘gambar’ tak bisa kita ungkapkan dengan kata-kata; maka maafkanlah ancurnya dan tak jelasnya tulisan ini. Bahkan Barthes pun pernah termanggu-manggu dan lupa dengan dompetnya yang tertinggal di bangku salon ketika memperhatikan iklan wajib militer di Prancis.

Ah, sudahlah. Saya tutup umbaran tak bermanfaat ini dengan sebuah puisi Andrė Breton,

To Drink

Jika semua di dunia ini adalah kue
Dan lautan tinta hitam
Dan semua pohon lampu-lampu jalan
Apa sesungguhnya yang dapat kita minum?

“Union Libre”, Puisi Karya Andre Breton yang Ditulis dengan Huruf Braile | Sumber: https://www.bohaglass.co.uk/andre-breton-art/

Atau mungkin lebih bermanfaat bila sebelum anda memutuskan untuk pergi ke warung terdekat membeli rokok di tengah malam lantaran persediaan rokok anda habis, anda merenung-renungkan dan mengira-ngira; “apa yang sesungguhnya terjadi di tempat anda berada saat ini pada pukul 09.00 pagi tanggal 26 Oktober 4004 sebelum masehi” dan “apa yang sesungguhnya terjadi di tempat anda berada saat ini pada pukul 09.00 pagi tanggal 26 Oktober 4004 sesudah masehi”.


*Catatan: Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di zine “DadaDada”, No I, Mei 2010.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram