Banyak genre dan aliran dalam dunia kesenian. Estetika, sebagai sebuah cabang filsafat, sering disempitkan maknanya dalam hubungan dengan karya seni ini. Estetika bisa juga kita sebut sebagai filsafat seni. Perjalanan estetika sebagai filsafat seni ini dalam sejarah filsafat pada umumnya terlihat seolah-olah seiring sejalan dengan tema-tema metafisika atau epistemologi yang dielaborasi sang filsufnya. Atau, jika tidak demikian, maka akan ada pemikir lain yang mengelaborasi pemikiran sang filsuf tersebut dalam bidang filsafat seni atau estetika.[1] Mari mengelaborasi lebih lanjut kenyataan ini.

Kita menemukan bahwa pemikiran filsafat seni selalu beriring sejalan dengan ide-ide filsafat dalam ranah epistemologi dan metafisika; ranah ‘filsafat murni’. Jika kita berada pada koridor pemahaman bahwa sebuah ide filsafat tertentu diakibatkan oleh zeitgesit atau semangat zaman tertentu, kesimpulan kita adalah pemikiran tentang filsafat seni pun merupakan sebuah percikan dari semangat zaman tertentu[2].

Mustering Memory karya George Grosz | Sumber: https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/1467-8365.12517

Kita lihat misalnya Platon mengelaborasi dunia idea sebagai dunia luhur di luar dunia material. Kita bisa melihat hal ini sebagai buah dari landasan kejadian zaman waktu itu yakni Yunani yang dahulunya berjaya mulai menyurut dan terlihatlah kebobrokannya di sana sini. Plato sebagai warga negara yang baik kecewa dan menggambarkan adanya sebuah dunia idea yang luhur dan murni yang berbeda dengan kenyataan real yang merupakan ‘pengerosian’ dari dunia idea yang luhur itu. Maka, seni dilihatnya di sini sebagai hal yang sama. Mungkin bagi Platon (ingat bahwa dia adalah seorang seniman juga dahulunya) seni pada saat itu pun merupakan seni yang mengalami pengerosian. Bayangkanlah Platon sebagai anak kaum ningrat yang menelusuri relung filsafat sambil melihat di luar sana realitas tengah berubah. Begitu pun estetika Thomas Aquinas. Ketika kekristenan adalah kekuatan dominan di Eropa dan teologi adalah segala-galanya bagi kehidupan, pemikiran seni pun muncul dalam setting-an yang demikian; seni adalah penampakan atau pengejawantahan Yang Surgawi di dunia.

Surrealisme sebagai salah satu genre, gerakan, dan pemikiran seni tak pelak lahir pula dari realitas zaman tertentu. Bukan hanya realitas zamannya yang membentuknya, ia pun dipengaruhi pula oleh ide-ide yang muncul akibat realitas zaman yang sama. Jadi, surrealisme di sini harus ditempatkan sebagai buah dari sebuah zaman tertentu dan kita bisa mengatakan zaman itu sebagai zaman kehancuran dan pembangunan kembali di Eropa.

Dalam tulisan ini kita akan pertama memaparkan munculnya surrealisme dalam silang sengkarutnya dengan zeitgeist Eropa pasca Perang Dunia I serta pemikiran-pemikiran filsafat yang muncul sebagai landasan surrealisme. Kedua, kita akan memaparkan secara singkat apa yang dimaksudkan dengan surrealisme dan sedikit gerakannya dari kemunculan hingga saat ini. Dan ketiga kita akan memberikan sedikit catatan kritis atas aliran dan atau gerakan surrealisme.

Eropa Setelah Perang Dunia I

Eropa pada Perang Dunia I. Kecamuk perang besar di penjuru benua menimbulkan pesimisme, kehancuran di sana-sini, Eropa yang berubah sistem pemikiran, kenegaraan dan kehidupannya. Kita ambil contoh misalnya di Jerman kala itu. Perang Dunia I yang sudah hampir dimenangkan mereka tiba-tiba dihentikan dan Presiden Jerman waktu itu di bawah Partai Sosial Demokrasi. Hitler yang kala itu adalah kopral tentara Jerman dan sedang dirawat di rumah sakit akibat cedera, bersikeras untuk kembali ke medan perang namun tak mungkin[3]. Maka, keruntuhan yang mengerikan, kekalahan perang, kelesuhan ekonomi, mendasari sambutan hangat bagi Hitler dan Nazinya. Deutschland über Alles bergema di mana-mana; fasisme pun tak terhindarkan. Fasisme Nazi memberi angin harapan untuk masyarakat Jerman atau Bangsa Arya. Di tengah kegalauan Eropa secara keseluruhan, mereka menemukan opium yang membuat mereka tetap hidup dan tersenyum. Namun opium ini menjadi berguna ketika ia mengorbankan yang lain; kaum komunis, para seniman dan intelektual, serta kaum Yahudi.

Pasca Perang Dunia I aura kesia-siaan mengumbar di seluruh penjuru Eropa. Rezső Seres (pianis Hungaria) dan László Jávor (penyair Hungaria) berkolaborasi dan menggubah sebuah anthem bunuh diri paling termashyur sampai sekarang; Gloomy Sunday. Saat itulah Nietzsche yang dalam kurun waktu yang lama dianggap sebagai orang gila mulai dilirik kembali. Heidegger di Jerman dan Bataille di Prancis membaptis Nietzsche sebagai filsuf. Lebih jauh, Heidegger mengelaborasi manusia sebagai da Sein (ada di sana). Manusia da Sein adalah ia yang terbuka dan pasrah pada Ada yakni sang hidup itu sendiri. “Katakan Ya pada kehidupan”, demikian ungkapnya. George Bataille di Prancis menulis On Nietzsche, dan mengelaborasi sebuah pengalaman pra reflektif manusia.

Schopenhauer yang sebelumnya dipandang sebelah mata di samping kebesaran Hegel pun mulai disukai dan dibaca. Inilah jaman ketika estetika romantisisme kembali dirayakan. Bayangkan pula awal abad XX di mana pemikiran Freud dan Einstein sedang menjelajah dunia dan inovasi teknologi yang menyeruak adalah sebuah teknologi baru dengan dampak yang belum terbayangkan sebelumnya.

Dadaisme

Pada Februari 1916, ketika Perang Dunia I sedang berkecamuk, di Zurich atas prakarsa penyair Jerman Hugo Ball dan penyanyi Emmy Hennings, berkumpulah di sana para artis dari berbagai negara di Eropa untuk mencari kebahagiaan di tengah-tengah kecamuk Perang Dunia I melalui seni. Kemuakan atas perang dan kehancuran di sana-sini menghantarkan para seniman ini berkumpul dan berkarya sebagai protes atas perang yang berkecamuk. Tirzan Tzara, dadais Prancis, mengatakan bahwa dada pertama-tama bukanlah sebuah gerakan seni melainkan sebuah gerakan atas rasa kemuakan[4]. Kemuakan atas apa? Tentu saja kemuakan atas keadaan peperangan saat itu.

“Photograph of the photographer who photographs Emmy Hennings and Hugo Ball.” | https://www.merzmail.net/dada6.htm

Pilihan atas kota Zurich ini pun mempunyai arti tertentu. Zurich adalah kota netral di tengah negara-negara di sekelilingnya yang berperang. Pemilihan Zurick sebagai randevu seni dari insan seni dari negara-negara yang sedang berperang menunjukan sikap mencoba netralnya seni dalam perang yang tengah berkecamuk. Hans Arp, seorang artis yang terlibat di sana menulis demikian[5];

Revolted by the butchery of the 1914 World War, we in Zurich devoted ourselves to the arts. While the guns rumbled in the distance, we sang, painted, made collages and wrote poems with all our might. We were seeking an art based on fundamentals, to cure the madness of the age, and a new order of things that would restore the balance between heaven and hell.

Namun, mengapa dinamakan dada? Apa makna kata dada itu sendiri? Hugo Ball menulis makna dada demikian[6]

….My proposal to call it ‘Dada’ is accepted… Dada is ‘yes yes’ in Rumanian, ‘rocking horse’ and ‘hobbyhorse’ in French. For Germans it is a sign of foolish naiveté, joy in procreation, and preoccupation with the baby carriage.

Demikianlah. Dada pun lahir dengan mengusung semangat atas ‘ketiadaan’, ‘tanpa makna’, sebuah ejekan terhadap seni dan budaya kala itu yang memungkinkan lahirnya perang. Marcel Janco, salah satu artis yang terlibat dalam Cabaret Voltaire mengatakan, “kami kehilangan kepercayaan atas budaya kami. Semuanya telah dibongkar. Kami akan memulai lagi setelah titik nol. Di Cabaret Voltaire kami memulai dengan mengejutkan borjuis, membongkar ide mereka tentang seni, melawan pandangan umum, opini publik, pendidikan, institusi-institusi, museum-museum, good taste, secara singkat, keseluruhan pesanan”[7].

Semangat dada yang membawa semuanya pada titik nol dan ketiadaan ini dengan menekankan independensi seniman dengan melawan secara kuat segala standarisasi yang dibuat oleh budaya borjuis kala itu. lantas dimanipulasi dengan menambahkan hal-hal yang lebih positif oleh surrealisme. Selain itu, dadaisme yang penuh perlawanan terhadap seni borjuis ini, tak lama berselang mampu dikooptasi oleh kapitalisme jua. Pada titik ini, surrealisme muncul sebagai reaksi atas ketidakmampuan lahir di jantung dada di Paris[8]. Adalah Andre Breton, yang pada awalnya adalah artis dada, memulai gerakan baru bernama surrealisme. Breton menulis demikian[9]:

Leave everything.
Leave Dada.
Leave your wife, leave your mistress.
Leave your hopes and fears.
Sow your children in the corner of a wood.
Leave the substance for the shadow….
Set out on the road.

Surrealisme

Kenihilan gerakan dada akhirnya mendorong lahirnya surrealisme. Andre Breton melihat ada hal positif yang perlu diperjuangkan. Dari sini kita melihat sebuah perbedaan mencolok dari gerakan dada dan surrealisme sang anaknya. Jika dadaisme awalnya muncul dari sebuah spontanitas performing seni, maka surrealisme muncul dari sebuah konsep tertentu yang dipikirkan terlebih dahulu. Kelahiran surrealisme sendiri ditandai oleh terbitnya Manifesto Surrealisme yang pertama dari Andre Breton pada 1924 dan juga berawal ide ini pada kelompok sastrawan di mana yang terlibat adalah Breton, Aragon, Eluard, dan Robert Desnos and Rene Crevel[10].

Donald LaCoss dalam pengantar terjemahan Bahasa Inggris untuk buku karya Michael Löwy mengatakan bahwa ‘surrealisme bukanlah, dan tak akan pernah menjadi, sebuah ilmu sastra modern atau grup artis dengan pandangan yang sama. Tetapi lebih baik dipandang sebagai ‘studi antropologis kebebasan’ dibaca dengan kaca mata yang independen, dialektika revolusioner Hegelo-Marxisme berkaitan dengan impuls libertarian yang asli dan mencolok’[11].

Dari tulisan La Coss di atas kita menemukan satu dari dua ide filsafat yang mempengaruhi surrealisme secara mencolok yakni Hegelo-Marxisme. Oleh karena itu, ada baiknya kita masuk terlebih dahulu pada ide-ide filsafat yang melatar-belakangi surrealisme.

  1. Psikoanalisa Freud

Awal abad XX, pemikiran Freud meledak di dunia bagaikan petasan yang mengingatkan manusia akan hal-hal yang tersembunyi dan yang tak disadari mereka selama ini. Freud dengan idenya yang membagi kesadaran manusia dalam tiga tingkatan yakni id, ego, dan superego mengingatkan akan sebuah lapis tersembunyi manusia yang selama ini dilupakan yakni id.

Chess mask on sea karya Salvador Dali | Sumber: https://www.amazon.com/Salvador-Surrealism-Painting-Abstract-Picture/dp/B08LDK7DQH

Menurut Freud, kesadaran aseli dan berporsi terbesar ada pada id ini, yang mana karena ditekan ia menjadi sesuatu yang tak disadari dan muncul secara tiba-tiba dan serta merta misalnya melalui mimpi yang paling original. Namun id ini menjadi terlupakan akibat ditekan oleh ego dan superego yang berisi kesadaran diri akibat tatanan sosial kemasyarakatan. Mari melihat pemikiran psikoanalisa Freud ini dalam bingkai zaman kala itu : Eropa pasca Perang Dunia I.

Perang Dunia I bukanlah hasil dari sebuah mimpi purba manusia, melainkan oleh tatanan masyarakat dan negara-negara kala itu; dan lebih lagi oleh krisis serta kelesuan ekonomi yang merebak di Eropa. Perang Dunia I ini membawa, seperti yang sudah kita singgung sebelumnya, kelesuan dan antipati serta kesia-siaan di Eropa. Ketika psikoanalisa Freud yang memgelaborasi daerah ketaksadaran manusia yang ‘dininabobokan’ oleh masyarakat muncul dalam setting jaman demikian, tak pelak lagi, mencari ‘kemurnian hidup manusia’ pada mimpi (sebagai metode membangkitkan id) adalah suatu mata air di padang gurun.

Maka, ketika pada periode 1920-an karya-karya Freud diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis, Breton dan kawan-kawannya dalam kelompok sastra surrealisme menerima itu dan mempraktekannya dalam metode menulis karya-karya sastra yakni dengan ‘menulis secara otomatis’ tanpa tendensi ide tertentu sebelumnya sehingga karya dibiarkan mengalir begitu saja langsung saat itu dan di situ.

Konsep penciptaan a la surrealisme sastra ini belakangan diadopsi pula oleh surrealis di bidang lukisan dan film. Dalam seni lukis misalnya Marx Ernst nantinya menjadi pioner dari teknik melukis yang disebut ‘melukis mimpi’[12].

2. Hegelo-Marxisme

Dengan munculnya Manifesto Surrealisme karya Breton, tak pelak surrealisme mendapat seorang pendiri, pemimpin, sekaligus juga mungkin ‘ideolog’-nya.

Perkenalan Breton dengan ide Hegelo-Marxisme tak perlu kita cari jauh-jauh namun alamatkan saja pada Alexander Kojeve, seorang filsuf berkebangsaan Russia-Prancis. Pada 1933-1939, ia memberi kuliah di Ecole des hautes Etudes dan yang menghadiri kuliahnya adalah tokoh-tokoh pemikir dan seniman Prancis yang besar seperti Levinas, Lacan, dan juga Breton, serta beberapa yang lainnya.

Kojeve mengajar tentang Fenomenologi Roh, sebuah karya Hegel yang monumental. Kojeve dalam interpretasinya atas Hegel menekankan unsur Hasrat dalam dialektika tuan-budak a la Hegel. Elaborasi atas Hasrat ini akan menghasilkan kemajuan jika itu dijalankan oleh Sangf Budak. Pada akhirnya, dialektika Tuan-Budak ini akan berakhir pada hilangnya dikotomi Tuan-Budak. Penghilangan dikotomi Tuan-Budak ini membutuhkan wadah yang oleh Kojeve disebut sebagai Negara Homogen-Universal. Dalam Negara Homogen-Universal ini, perbedaan kelas dan keterasingan manusia direkonsiliasikan. Ini adalah akhir sejarah yang tak lain dan tak bukan adalah akhir sejarah yang dielaborasi Marx. Kojeve oleh karenanya membawa pemahaman akan Hegel ke jantung tujuan Marxisme.[13] Kita lihat di sini, konsep Hegelo-Marxisme Kojeve punya sedikit hubungan dengan Freudian dalam penekanannya pada Hasrat. Hasrat adalah sesuatu yang sangat terselubung dan terkungkung oleh ego dan super ego.

Jadi, surrealisme dengan pemikiran Hegelo-Marxisme ini berupaya melalui Hasrat mencapai revolusi sosialis di mana terbentuk sebuah tatanan masyarakat baru yang merekonsiliasi pertentangan kelas dan keterasingan manusia (keterasingan Hasrat sebagai hal utama dari manusia).

Surrealisme Kini

Bagaiamakah gerakan surrealisme kini? Hasil-hasil karya dari gerakan seni surrealisme menjadi sama seperti komoditas-komoditas kapitalis lainnya ; lukisan dipajang di museum dengan harga masuk yang mahal, film surrealisme tentu harus dibeli dengan harga pasar yang ‘wajar’, di perguruan-perguruan tinggi ‘borjuis’ ia dipelajari dengan penuh sukacita—sebuah tendensi tulisan ini juga—, buku-buku sastra surrealis pun tak pelak adalah buku-buku dengan harga selangit, seperti buku-buku lainnya. Baudrillard bertanya demikian tentang dadaisme, surrealisme, dan juga pop art, apakah mereka “…merupakan bentuk seni kontemporer dengan logika tanda-tanda dan logika konsumsi yang kita bicarakan atau apakah ia hanya sekadar efek dari mode, dan ia sendiri murni objek konsumsi”[14].

Terlepas dari konsep yang lebih besar lagi dari Baudrillard tentang masyarakat konsumsi, dari pertanyaan itu dan fakta-fakta yang telah diutarakan, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa alih-alih surrealisme hendak menghantam kapitalisme dan tatanan masyarakat borjuis, ia sendiri terkooptasi dan menjadi bagian dari apa yang hendak dilawannya. Sebuah usaha yang bisa kita katakan gagal dalam artian tertentu.

Karya Igor Morski

Dari dua pemikiran filsafat yang mendasari surrealisme (psikoanalisa Freudian dan Hegelo-Marxisme), kita melihat adanya penekanan yang sangat kuat pada Hasrat, mimpi, id yang menyimpan ketaksadaran manusia. Melalui otomatic writing dan dream painting yang berusaha mengeluarkan ketaksadaran dalam diri manusia, sebenarnya seniman surrealisme tengah melakukan sebuah kerja yang sepenuhnya individual. Memang dalam pekerjaan seni, seorang seniman tak mungkin bekerja dengan orang lain, kerja sama dengan yang lain aklan muncul setelah karya itu selesai tercipta. Namun yang menjadi penekanan dan juga kritikan atas surrealisme di sini adalah dengan metode yang demikian bukankah akan menimbulkan asosiasi atau membangkitkan pula semangat individualisme yang besar pada penikmat karya-karya tersebut.

Penekanan pada Hasrat sebagai sumber penciptaan utama dari seni surrealisme adalah juga suatu jebakan yang tak disaradi oleh surrealisme sendiri. Hasrat adalah suatu pokok yang dielaborasi juga oleh kapitalisme dalam rangka terus menjual dan terus menjual dan terus menciptakan masyarakat yang mengkonsumsi. Maka, alih-alih surrealisme hendak menyerang dan menghancurkan kapitalisme, kapitalisme justru masuk ke dalam jantung perlawanan mereka, lantas menarik mereka ke pihaknya.

Daftar Bacaan
Baudrillard, Jean P., Masyarakat Konsumsi, diterjemahkan oleh Wahyunto, (Yogyakarta : Kreasi Wacana), 2006.
Hopkins, David, Dada and Surrealism : A Very Short Introduction, (New York : Oxford University Press Inc), 2004.
Horfmann, Irene E., Documents of Dada and Surrealism: Dada and Surrealist Journals in the Mary Reynolds Collection, (Chicago : The Art Institute of Chicago), 2001, hal. 2. Versi pdf diunduh dari www.instituteofchicago.com.
Löwly, Michael, Morning Star : Surrealism, Marxism, Anarchism, Situationism, Utopia, (Texas : University of Texas Press), 2009.
Suryajaya, Martin, Imanensi dan Transendensi : Sebuah Rekonstruksi Deleuzian atas Ontologi Imanensi dalam Tradisi Filsafat Prancis Kontemporer, (Jakarta : Komunitas Aksi Sepihak), 2009.

Film
Hitler : The Rise of Evil, sutradara : Christian Duguay, dirilis pada 18 Mei 2003.

[1] Contoh misalnya, Platon dengan ide dunia idea dan dunia materi mengelaborasi masalah seni sebagai sebuah peniruan atas tiruan. Karl Marx yang lebih dikenal dengan pemikirannya tentang sosialisme dan kapitalisme tidak berbicara soal estetika secara eksplisit. Namun akan ada pemikir selanjutnya seperti Gregory Lukacs atau N. G. Chernyshevsky yang mengelaborasi pemikiran Marx dan menerapkannya dalam filsafat seni.
[2] Pandangan seperti ini lebih berhutang budi pada pemikiran Marxisme di mana berpedoman pada ada sebuah realitas material yang mengakibatkan hal-hal lain di tataran ide, pemikiran, keyakinan, dsb ; pemikiran soal struktur dan suprastruktur, salah satu pemikiran kunci Karl Marx.
[3] Lih. Film Hitler : The Rise of Evil, sutradara : Christian Duguay, dirilis pada 18 Mei 2003.
[4] Irene E. Horfmann, Documents of Dada and Surrealism: Dada and Surrealist Journals in the Mary Reynolds Collection, (Chicago : The Art Institute of Chicago), 2001, hal. 2. Versi pdf diunduh dari www.instituteofchicago.com.
[5] Sebagaimana dikutip dalam David Hopkins, Dada and Surrealism : A Very Short Introduction, (New York : Oxford University Press Inc), 2004, hal. 8.
[6] Ibid, Hopkins, hal. 8.
[7] Idem, Horfmann, hal. 3.
[8] Gerakan Dada bukan terjadi hanya di satu tempat kala itu namun di beberapa tempat seperti Zurich, Paris, New York, Berlin, dll. Di dalam tulisan ini kita tidak akan membahas dada di berbagai tempat secara spesifik satu per satu.
[9] Idem, Horfmann, hal. 16.
[10] Idem, Hopkins, hal. 17.
[11] Michael Löwly, Morning Star : Surrealism, Marxism, Anarchism, Situationism, Utopia, (Texas : University of Texas Press), 2009, hal. vii.
[12] Idem, Hopkins, hal. 18.
[13] Martin Suryajaya, Imanensi dan Transendensi : Sebuah Rekonstruksi Deleuzian atas Ontologi Imanensi dalam Tradisi Filsafat Prancis Kontemporer, (Jakarta : Komunitas Aksi Sepihak), 2009, hal. 19-22.
[14] Jean P. Baudrillard, Masyarakat Konsumsi, diterjemahkan oleh Wahyunto, (Yogyakarta : Kreasi Wacana), 2006, hal. 142.


Catatan: Tulisan ini dibuat dalam rangka kuliah Estetika di STF Driyarkara TA 2010-2011, semester ganjil.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram