Kisah berikut adalah penyambung lidah seorang pemuda freelance yang paham bahwa Karl Marx adalah senjatanya di jalan ilmu pengetahuan; lebih jauh kehidupan. Sebut saja namanya Dhani. Inisial ini saya pinjam serampangan dari nama seorang kenalan lainnya, Arman Dhani. Dhani yang di dalam cerita ini dan Dhani yang saya pinjam namanya itu kemungkinan besar, saling mengenal.

Dhani, sebagaimana banyak anak muda penyuka marxisme, menjauhi pola hidup konsumtif yang berlebihan. Ia jarang berbelanja di mall. Pakaian yang sehari-hari ia kenakan pun umumnya didapat dari acara-acara bertema kemanusiaan dan keadilan. Dulu Dhani masih sesekali pergi ke mall, suatu kebiasaan yang berhenti semenjak ia berjumpa dengan buku Saya Berbelanja Maka Saya Ada. Sebetulnya Dhani tak prnah menamatkan buku itu; kebetulan saja ia menemukannya di sebuah toko buku alternatif—bukan di Gramedia yang kapitalis pengetahuan itu—dan membaca sampul belakangnya.

Iman Dhani semakin kokoh ketika ia menemukan buku Jean Baudrillard, Masyarakat Konsumsi. Seperti buku pertama, ia tak membaca keseluruhan isinya. Ia hanya kebetulan membaca reviewnya di sebuah selebaran milik kawan-kawan sepergaulannya. Tentu bukan salah Dhani tak banyak membaca. Sebagai seorang freelance yang banyak membantu di sana sini, ia kesulitan mencari waktu membaca. Waktu luangnya ia manfaatkan untuk mengikuti aksi-aksi nyata perjuangan rakyat.

Pada sebuah kurun waktu yang baru saja lewat, Dhani sangat disibukkan oleh pelbagai urusan. Waktu tidurnya di malam hari terpangkas. Gawatnya lagi, beredarnya kabar bahwa bir sebentar lagi akan sangat sulit ditemukan, membuat Dhani cukup banyak mengonsumsi alkohol saat itu.

Intunal-F

***

Tentu kita tahu belaka bahwa virus tidak pernah mati di dalam tubuh kita. Ia terus bermutasi sebagaimana evolusi manusia tak pernah berhenti—saya berharap suatu saat Ustadz Dede Mulyanto menulis Marxisme dan Kekebalan Virus di kolom Logika.

Nah, jauh-jauh hari, bahkan sebelum tahu baca tulis, Dhani pernah terserang flu. Beberapa di antara virus flu ini tidak binasa lantaran obat yang dibeli ibunya di Apotik, yang dengan sedikit paksaan plus bujuk rayu bisa masuk ke mulut Dhani kecil. Setelah peristiwa itu Dhani memang beberapa kali kena flu lagi. Dan pastinya ia lupa berapa kali tepatnya ia terserang flu.

Kita tahu belaka musim tak menentu kini; tiba-tiba hujan, tiba-tiba panas, tiba-tiba hujan dan panas. Musim yang memicu sakit datang silih berganti. Tak heran kita jika pada suatu pagi, setelah hari sebelumnya ia hanya tidur satu jam, Dhani terbangun dan mendapatkan kondisi tubuhnya bagaikan digebukin orang se-RT, dengan hidung tersumbat seolah dalam rongga hidungnya sedang dibangun sebuah real estate. Dhani tentu saja tak khawatir benar akan keadaan dirinya itu; setidaknya ia lebih beruntung dari Gregor Samsa yang menemukan dirinya berubah menjadi kecoa pada suatu pagi. Lagipula, Samsa cuma seorang pegawai partikelir yang hidupnya membosankan dan hanya berguna—sekali lagi, hanya berguna—bagi tiga anggota keluarganya saja. Sungguh berbeda dari Dhani.

Keadaan dirinya yang demikian itu diterimanya dengan legawa. Apalagi Dhani ingat petuah dari Martin Suryajaya bahwa marxisme adalah ilmu yang harus terus dilengkapi, bahwa Kapital bukanlah ‘buku tentang segala hal’ yang bahkan memuat cara mengobati hati yang keseleo. Maka, dengan kemalasannya yang berlipat ganda—Dhani pada dasarnya memang orang malas dan dengan keadaan tubuh yang demikian bertambah besarlah alasan Dhani untuk bermalas-malasan—ia membiarkan alarm berkoar-koar sejadi-jadinya sembari tetap terbaring tak berdaya di kasur. Namun tentu ada waktunya tidur dan ada waktunya terbangun. Sambil malas-malasan, Dhani memaksakan diri bangun dari peraduannya. Sebatang rokok ia nyalakan sebelum membilas tubuh.

***

Dhani melangkah; tujuan pertamanya sebuah apotik. Setelah berkonsultasi sejenak dengan seorang kawan, ia pun membeli Intunal-F. Harganya murah dan mungkin karena alasan itulah, sejak pertama kali Dhani bercerita tentang sakitnya hingga tulisan ini selesai dibuat (yang kira-kira memakan waktu 4 hari), ia belum juga fit benar. Selepas dari apotik, Dhani mampir ke sebuah warteg yang kerap dikunjunginya. Namun karena kondisi tubuh yang masih ringkih, suasana warteg itu jadi kelihatan berbeda. Ia menangkap suasana pedesaan dan keramahan polos manusia di warteg tersebut. Setelah teh manis hangat ditenggak, Dhani merasakan sebuah sensasi panas dingin serta pembasuhan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Ia menyenderkan punggungnya ke bilah-bilah bambu, dinding warteg itu. Tak berdinding beton atau batako, dinding bambu warteg itu memberi sensasi kesegaran untuk tubuhnya.

Dhani pun memesan makanan. Nasi seporsi dengan sayur lodeh di atasnya, orek tempe yang manis ditambah sepotong tongkol goreng yang gurih. Dhani makan dengan lahap. Keringat besar kecil perlahan-lahan merayap di sekujur tubuhnya bersamaan dengan lidahnya yang terus mengecap. Habis nasi dan lauk di piringnya, perut Dhani masih minta diisi. Ia pun memesan lagi nasi setengah porsi, orek tempe, kali ini buncis plus wortel tumis menggantikan sayur lodeh, plus seekor ikan kembung yang digoreng gurih menggantikan sepotong tongkol tadi. Lagi-lagi, keringat bercucuran di dahi dan lengannya.

Sehabis makan dengan begitu kenyang, Dhani menenggak Intunal-F. Tak tanggung-tanggung, ia menenggak dua tablet sekaligus. Kata kawannya, tak apa sekali nenggak dua tablet.

Alhasil, Dhani terserang kantuk begitu cepat. Ia pun buru-buru pulang sembari membatin, ‘baik juga kalau sering-sering sakit seperti ini.’ Sebelum tertidur, Dhani ingat beberapa tugas yang belum kelar. Ia memilih tak mempedulikannya. Sesekali, tubuh butuh istirahat. Ia, Si Dhani yang lugu ini, juga merasa berdosa karena terlalu konsumtif pada hari itu. Selain makan terlalu banyak, ia juga membuang uang untuk obat keluaran pabrik kapitalis yang sebetulnya hanya pengganti semata untuk istirahat yang cukup dan makan yang bergizi. Tapi ia pun tak mau ambil resiko; ia butuh obat itu untuk lebih cepat sembuh dan beraktivitas lagi.

Toh, Manifesto Komunis bukan obat penyembuh flu, bukan?

Makan di Warteg | Sumber: https://mediaindonesia.com/megapolitan/299292/50-warteg-di-jakarta-sediakan-makanan-gratis-ini-lokasinya

Dhani pun sadar, barangkali bukan pabrik yang perlu dihilangkan, melainkan relasi di dalam pabrik tersebut dan juga relasi distribusinya yang harusnya diubah. Dengan kesadaran yang baru itu, Dhani pun tertidur sambil tersenyum. Dalam mimpinya, ia memergoki Megawati dan Puan semeja bir dengan Jokowi dan SBY.***


*Catatan: Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Rubrik Oase IndoProgress, 12 April 2015.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram