“…bahkan aktifitas serangga yang kecil, rahasia, dan tersembunyi, berhenti tepat pada saat itu; perlakuan alam mengalami kebuntuan; dunia tersandung pada ambang kekacauan dan para wanita bangkit, meluapkan kegembiraan, dengan bunga sulaman pada sarung bantal di pipi mereka, tersiksa oleh suhu panas dan dendam; lalu mereka berpikir: Hari ini sudah hari Jumat dan tanggal 1.”

(sedikit utak atik dari kalimat Gabriel Garcia Marquez di dalam Leaf Storm)

 

Tahun yang baru saja berlalu sedikit banyak memberi semua kita pengalaman baru. Ini tentu kalimat yang klise. Namun demikian, di tahun 2020 itulah seluruh dunia mengalami yang namanya pandemi COVID-19. Dalam sejarah, peristiwa seperti ini memang bukan hal yang baru. Banyak wabah terjadi sebelumnya, banyak pandemi membawa begitu banyak kematian sebelumnya. Namun untuk generasi kita, inilah satu-satunya pandemi, wabah besar yang begitu menakutkan dan mencemaskan.

‘The Persistence of Memory’ (1931) karya Salvador Dali | Sumber: https://www.moma.org/collection/works/79018

Kita punya pengalaman bersama yang satu itu. Ini pengalaman bersama yang mencakup seluruh dunia. Semacam memori utilitarian yang paling sempurna di 2020. Tentu saja ada pengalaman-pengalaman bersama lainnya. Semisal, untuk para penggemar Liverpool seluruh dunia, di tahun inilah trofi Liga Premier Inggris itu jatuh ke tangan klub kesayangan kita. Dan masih banyak lagi pengalaman bersama lainnya. Namun pengalaman COVID-19 adalah pengalaman bersama yang paling paripurna sejauh ini, tanpa pandang bulu, menerjang segala, dan masih terus bertahan hingga kini. Lalu terselip sedikit harap, semoga segera berlalu di 2021. Yang penting pula, selain narasi besar bersama yakni pandemi COVID-19 itu, kita semua punya narasi-narasi kecil masing-masing yang memberi banyak catatan bagi masing-masing kita. Dan semua itu berharga sebagai sebuah cerita, sebagai sebuah kisah.

Bagaimana ceritanya sehingga umat manusia menciptakan yang namanya waktu. Barangkali pula seperti kehadiran teknologi lainnya, bagi saya waktu dan penanggalan adalah sebentuk teknologi juga, untuk memudahkan kehidupan yang semakin kompleks. Tentu saja ada pendasaran materilnya untuk hal itu. Dari yang paling sederhana seperti terbitnya matahari hingga tenggelamnya yang secara bahasa sebetulnya salah itu, hingga segala argumentasi kosmologis perihal seperti apa semesta kita ini beroperasi yang rumit itu. Lima ribu lima ratus tahun lalu, orang-orang di Mesir membuat penunjuk waktu yang sejauh ini dianggap yang pertama berupa jam matahari. Lalu menyusul orang di Yunani Kuno seperti Hipparchus dan Eratosthenes, lantas orang Romawi seperti Claudius Ptolemaeus. Bukan cuma di wilayah itu tentu saja. Orang-orang di India Kuno dan Tiongkok Kuno pun mengembangkan jam air. Tentu saja perkembangan penunjuk waktu ini panjang ceritanya. Dari era-era kuno itu, ada juga kisah dari abad pertengahan sebagaimana ditulis Giovanni de Dondi di Il Tractus Astarii. Lalu juga beberapa nama lainnya serta penemuan-penemuan mereka hingga pada Alexander Bain yang membuat jam elektromagnetik.

Karena manusia berada pada ruang yang jelas, maka manusia butuh waktu yang jelas. Ruang waktu pada dirinya tentu sudah jelas dari sananya. Namun, pemahaman manusia akan ruang waktu itulah yang terus berkembang sehingga dibutuhkan upaya mendefinisikannya dengan lebih terperinci dan memperjelasnya sejelas-jelasnya. Waktu ruang senantiasa seperti itu, sederhana yang rumit seperti itu, pemahaman manusia akannya yang terus berkembang, perlahan-lahan memahami keindahan detil-detilnya dalam balutan kenyataan yang sederhana. Dan waktu, kerap coba kita pahami di saat-saat seperti ini; pada perpindahan tahun yang sebetulnya sederhana.

Perpindahan tahun adalah sederhana; gerak jarum jam dari angka 12 ke titik-titik menit menuju angka 1 pada tanggal 31 Desember, perubahan digit angka dari 00:00 ke 00:01 pada tanggal 31 Desember, yang kali ini semuanya pada 2020. Bersamaan dengan itu tentu saja kita tahu; bumi yang berputar pada porosnya untuk kesekian, perputaran bumi mengelilingi matahari pada kesekian putaran. Namun pada angka-angka yang dibuat manusia sebagai penanda itulah pemaknaan kita bertumpu. Manusia menutup buku catatan untuk 2020, manusia memindahkan file kerja ke folder 2020, manusia membekukan memori-memorinya pada 2020.

‘Weird Watch’ karya Dominic Wilcox | Sumber: https://id.pinterest.com/pin/24910604164982900/

Manusia lalu membuka buku baru untuk 2021, tabula rasa. Manusia mempersiapkan file-file baru untuk 2021. Manusia menyiapkan memori baru untuk 2021. Manusia mencatat kedatangan-kedatangan baru di 2020, manusia mengingat kehilangan-kehilangan pada 2020. Sembari bertanya-tanya penuh harap dan curiga, apa-apa saja yang datang dan hilang di 2021.

Manusia mengenang, sedikit menyesali juga barangkali, kegagalan demi kegagalan pada 2020. Manusia juga merayakan, dengan kebanggaan dan sukacita, keberhasilan demi keberhasilan pada 2020. Dan manusia merencanakan keberhasilan demi keberhasilan untuk 2021. Sekaligus juga memberi ruang pada kegagalan demi kegagalan yang mungkin terjadi. Sebagaimana kerap diselipkan oleh ramalan-ramalan pada perihal keberhasilan dan perihal yang baik-baik, ada bayang-bayang hitam yang ada di samping, ada jurang yang bersiap untuk dimasuki.

Selamat menapaki 2021. Semoga yang terbaik untuk yang baik, berilah sedikit ruang untuk kemungkinan yang lain. Namun ingatlah, manusia adalah makhluk yang paling mampu bangkit dan berjalan lagi setelah jatuh dan terjerembab.

 

“…Kakinya tampaknya tidak terluka dan ia berjalan cukup baik. Tetapi lalu setelah enam atau tujuh langkah, ia tersandung, dan sejenak, dalam usaha agar tidak jatuh terjerembab, kami mungkin kelihatan di mata orang seperti sedang bergulat. Tetapi kami mampu mencari posisi baru, dan mulai berjalan lagi.”

(Kazuo Ishiguro di dalam When We Were Orphans)

 

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram