Sang Proyeksi dan Sang Filsuf Praktik[1]

 

Feuerbach calls out to Humanity. He tears the veils from universal
history, destroy myths and lies, uncovers the truth of man and restores it to him.
The fullness of time has come[2].

 …apabila seseorang tidak menjadi marxis pada usia dua puluh tahun
mungkin karena ia tidak mempunyai perasaan, sebaliknya
apabila ia tidak menjadi marxis pada usia empat puluh tahun
mungkin karena ia tidak punya otak[3].

Kemunculan Materialisme Jerman

Seperti hampir kebanyakan cabang dalam filsafat, materialisme punya sejarah yang panjang.

Materialisme. Segala hal di dunia ini disusun oleh zat/materi.dan bahwa properti dari zat itu menetapkan semua benda lainnya, termasuk fenomena mental. Segala benda yang eksplisit dapat dijelaskan dalam dasar dari hukum alam. Materialisme memiliki sejarah yang panjang, dimulai dari para fisuf alam Yunani kuno dan atomisian kuno. Lantas dikembangkan oleh Gassendi dan Hobbes pada abad 17, materialis Prancis pada abad 18, dan materialism dialektika-nya Marx dan  materialisme sejarah-nya pada abad 19.[4]

Dari kutipan di atas terlihat bahwa pada abad pertengahan, tidak ada pembicaraan mengenai materialisme. Hal ini bisa kita maklumi karena dunia filsafat barat pada saat itu sangat berbau teologis. Pencerahan yang muncul sesudahnyalah yang memungkinkan diolahnya kembali ide-ide yang ‘terlupakan’, termasuk juga materialisme ini.

Materialisme Jerman dengan demikian bisa kita simpulkan sebagai munculnya kembali ide materialisme pada abad 19 di Jerman. Kemunculannya ini tidak lepas dari kritik atau ketidakpuasan atas aliran Idealisme Jerman, terkhusus Hegel. Dengan demikian, materialisme Jerman harus berterima kasih atas hadirnya idealisme Jerman; berterima kasih atas para filsuf ideal Jerman, terkhusus Hegel.

Materialisme Jerman ini muncul pada filsuf Ludwig Andreas Feuerbach dan Karl Heindrich Marx; dua filsuf yang akan coba dibahas dalam tulisan ini. Pada awalnya, keduanya adalah murid Hegel; mengikuti kecenderungan filsafar pada saat itu di Jerman yakni Idealisme Hegel. Feuerbach dan Marx sama-sama pernah menjadi Hegelian Sayap Kiri atau dikenal juga dengan Hegelian Muda[5]. Isaiah Berlin menulis bahwa di Jerman pada abad ke-19 berkembang filsafat Hegel dan Herder demi melawan empirisme ilmiah yang berkembang di Prancis dan Inggris[6].

Dalam tulisan ini, saya akan lebih banyak berbicara tentang Marx. Hal ini dikarenakan permasalahan teknis semata: literatur tentang Marx lebih mudah ditemui dari pada Feuerbach. Teks-teks tentang Feuerbach yang ditemui pun lebih berbicara tentang pengaruh Feuerbach pada Marx dan bagaimana kritikan Marx terhadap Feuerbach.

Ludwig Andreas Feuerbach[7]

Ludwig Andreas Feuerbach | Sumber: wikipedia

Ludwig Andreas Feuerbach lahir di Landshut, Bavaria (wilayahnya meliputi Jerman sekarang, Austria dan Ceko) pada tahun 1804. Ayahnya, seorang profesor terkenal di bidang hukum yang meskipun mendapat gelar Ksatria dari Kerajaan Bavaria, namun pada akhirnya perijinannya ditinjau kembali karena aktifitas politiknya. Sedangkan, saudara-saudarinya, banyak yang menjadi akademisi yang handal seperti Joseph Anselm, kakak tertuanya, adalah seorang arkeolog. Anak Joseph Anselm ini, Anselm Feuerbach, dikenal sebagai seorang pelukis Jerman terkenal. Edward, anak kedua keluarga ini, menjadi profesor hukum mengikuti jejak ayahnya. Yang ketiga adalah Karl yang dikenal sebagai matematikawan[8].

Pada 1823, ia pergi ke Heidelberg untuk belajar Teologi atas restu ayahnya. Alih-alih mempelajari teologi secara mendalam, ia tertarik pada filsafat. Ia lalu pindah ke Berlin untuk belajar filsafat pada Hegel. Karya pertama Feuerbach adalah Gedanken über Tod und Unsterblichkeit (Beberapa Pemikiran tentang Kematian dan Immortalitas). Karya ini sangat menyerang teologi dan membuat karier akademisnya tak bisa dipertahankan lebih lama. Ia lantas memutuskan untuk menjadi penulis bebas dan ini didukung oleh keadaan finansial istrinya. Meski pun awalnya ia adalah murid Hegel, ia selanjutnya balik mengkritiknya. Kritik Feuerbach atas religiositas dan penekanannya pada materialsime terejawantah dalam serial karangannya yang dimulai dengan Kritik der Hegelschen Philosophie (1839). Ini juga menandakan perpisahannya dengan filsafat Hegel.[9]

  • Dari Idealisme ke Materialisme

Seperti yang diketahui, Hegel menyatakan puncak tertinggi segalanya adalah Roh Absolut atau Idea Absolut yang mana mengasingkan dirinya dalam alam untuk mengenal dirinya kembali. Dengan demikian, alam material (manusia, benda-benda, dsb) menjadi tak berarti. Manusia dan alam material lainnya dalam sejarah semacam wayang yang “dikendalikan” oleh Roh Absolut yang bergerak menuju pengenalan dirinya kembali itu[10]. Di sini, kita melihat sebuah penekanan yang hampir mirip deisme, di mana segalanya sudah “ada” di sana, dan akan menyingkap dengan sendirinya dalam perjalanan sejarah.

Feuerbach mengamini filsafat Hegel sebagai puncak tertinggi rasionalisme barat. Namun demikian, ini baginya tidak cocok dengan kenyataan indrawi yang konkret. Roh Absolut atau Idea Absolut memang secara indrawi jelas tak bisa kita ketahui. Yang konkret dan dapat diindrai adalah alam material. Alam Material inilah yang berperan dalam kesadaran manusia. Tanpa alam material, manusia tak punya kesadaran. Karena, hanya dengan membedakan dirinya dengan alamlah manusia Dengan membedakan dirinya dengan Alam Material.

Bagi Hegel, subjek dan objek adalah Roh Absolut, bagi Feuerbach subjeknya adalah manusia dan objeknya adalah alam material; di mana manusia pun adalah bagian dari alam material itu.

  • Teologi Menjadi Antropologi

Manusia yang membedakan dirinya dengan alam material ini memiliki kemampuan reflektif. Tetapi, dasar dari refleksi itu adalah alam material juga. Misalnya, kita merefleksikan bahwa kita bisa mempergunakan bahasa, ketika melihat bahwa pepohonan tidak menggunakan itu. Atau, kita merefleksikan perasaan cinta dengan setelah melakukan aksi mencintai sesuatu. Bila tidak demikian, maka itu tidak sesuai dengan kenyataan dan hanya ada dalam angan-angan belaka. Dalam angan-angan ini pun tetap mengandaikan sebuah pengalaman tertentu yang lain dari pengalaman indrawi.

Kemampuan refleksi ini, menurut Feuerbach, bisa diidealisasikan sampai yang sangat maksikmal dan mewujud sebagai Tuhan. Tuhan adalah gambaran manusia yang sempurna, gambaran sifat-sifat manusia yang absolut.

  • Allah sebagai Proyeksi dan Agama sebagai Alienasi

Kiranya jelas bahwa yang dimaksud dengan Allah sebagai Proyeksi ini adalah sebagaimana yang disebutkan di atas, Allah itu tak lain dan tak bukan adalah hasil dari obyektifikasi diri manusia sendiri. Maka, Allah itu tak lain dan tak bukan adalah ciptaan manusia.

Ciptaan ini akhirnya ditempatkan manusia di luar dirinya dan dianggap sebagai sebuah entitas yang mandiri, otonom, dan berdiri sendiri, terlepas sama sekali dari manusia bahkan mempunyai suatu kemampuan yang lebih tinggi dari manusia.

Dengan demikian, agama adalah tempat di mana manusia mengalienasikan dirinya itu. Namun, di sini pulalah manusia, menurut Feuerbach, mengenal hakikat kesadaran dirinya dari hakikatnya sendiri. Jadi, agama harus ada dahulu untuk memungkinkan manusia mengenal hakikat dirinya sendiri. Ketika hakikat kesadaran dirinya yang ada di dalam agama itu sudah dikenalinya.

Isaiah Berlin menulis bahwa, ketika karya Feuerbach yang sangat materialis Theses on the Hegelian Philosophy (1843) muncul, Marx sedang sangat muak-muaknya dengan idealisme[11]. Engels misalnya menulis tentang Feuerbach demikian[12];

…we all become at once Feuerbachians. How enthusiastically Marx greeted the new coception and how much—in spite of all critical reservation—He was influenced by it, on my read in The Holly Family.

Antusiasme Marx ini bukan antusiasme buta. Pada akhirnya, Marx membuat konsepnya sendiri tentang Materialisme. Dalam Thesis tentang Feuerbach yang pertama, ia mengkritik materialisme sebelumnya, termasuk Feuerbach[13]:

The chief defect of all hitherto existing materialism—that of Feuerbach included—is that the thing, reality, sensuousness, is conceived only in the form of the object or of contemplation, but not as sensuous human activity, practice, not subjectively. Hence, in contradistinction to materialism, the active side was developed abstractly by idealism—which, of course, does not know real, sensuous activity as such.
Feuerbach wants sensuous objects, really distinct from the thought objects, but he does not conceive human activity itself as objective activity. Hence, in The Essence of Christianity, he regards the theoretical attitude as the only genuinely human attitude, while practice is conceived and fixed only in its dirty-judaical manifestation. Hence he does not grasp the significance of “revolutionary”, of “practical-critical”, activity.

Karl Heinrich Marx[14]

Karl Marx | Sumber: https://dribbble.com/shots/10599969-Marx

Lahir dari keluarga Yahudi (yang ketika Marx berumur enam tahun berpindah semuanya ke Protestan) 5 Mei 1818 di Trier, Rheiland, Jerman[15].  Ayahnya seorang pengacara yang cukup terkenal.

Pada mulanya Marx tertarik pada hukum namun akhirnya berpindah ke filsafat dan mempelajari filsafat Hegel. Ia juga tergabung dalam Doctorklub, sebuah kelompok Hegelian Muda. Pada usia 23 tahun, ia meraih gelar doktor di Universitas Jena dengan disertasi Die Differenz der Demokritischen und Epikureischen Naturphilosopie. Ia terjun ke dunia jurnalis dan berpindah-pindah dari Jerman, Prancis, Belgia dan Inggris akibat keterlibatannya dalam perpolitikan dan ide-idenya yang revolusioner.

Aktifitasnya dalam ranah politik, misalnya dengan mengikuti Liga Komunis dan juga sebagai redaktur pada surat kabar-surat kabar militan, bisa dipandang sebagai konsekuensi logis sikap filsafatnya yang terbaca dalam Thesis tentang Feuerbach yang kedua:

The question whether objective truth can be attributed to human thinking is not a question of theory but is a practical question. Man must prove the truth — i.e. the reality and power, the this-sidedness of his thinking in practice. The dispute over the reality or non-reality of thinking that is isolated from practice is a purely scholastic question.

Setelah menekankan pentingnya sisi praktik yang berhubungan langsung dengan pemikiran, atau pemikiran yang harus terejawantah dalam praktik. Marx lantas menunjukan perbedaan dari materialisme lama (Feuerbach dan sebelumnya) dan materialisme baru (Marx) dalam thesis ke sepuluh:

The standpoint of the old materialism is civil society; the standpoint of the new is human society, or social humanity.

Lantas, pada thesis kesebelas, ia menunjukan suatu kealpaan yang menurutnya dilakukan oleh para filsuf, “The philosophers have only interpreted the world, in various ways; the point is to change it“.

  • Alienasi

Mengikuti Hegel lalu Feuerbach, Marx juga membicarakan permasalahan alienasi. Bagi Marx, alienasi disebabkan oleh keadaan material tertentu yang terejawantah dalam proses kerja di dalam masyarakat. Kerja bagi Marx, mengikuti Hegel, adalah sebuah kegiatan khas manusia, sebuah ciri khas manusia yang paling hakiki. Kerja manusia berbeda dengan kerja binatang karena manusia bisa bekerja secara bebas dan universal[16]. Kerja yang bebas dan universal ini membuktikan hakikat manusia, mengaktualisasikan dirinya, dan mengejahwantahkan apa yang dipikirkannya. Hasil kerja itu pada akhirnya bermanfaat juga untuk orang lain. Manusia menjadi berarti ketika lewat kerjanya ia memenuhi kebutuhan orang lain. Hakikat manusia sebagai makhluk sosial terbukti lewat kerja.

Dalam masyarakat kapitalis, justru kerjalah menjadi pusat alienasi manusia. Hal ini akibat kerja menjadi sekadar syarat untuk hidup. Kerja yang demikian menyebabkan dua macam keterasingan yakni keterasingan dari diri sendiri dan keterasingan dari orang lain[17]:

    1. Keterasingan dari diri sendiri:
      • Keterasingan dari produk kerjanya: seorang buruh upahan tidak memiliki hasil kerjanya.
      • Kehilangan arti pekerjaan: Bekerja bukan sebagai sebuah keputusan yang bebas, melainkan bekerja demi kebutuhan hidup.
      • Memperalat diri: Bekerja di sini adalah sebuah paksaan pada diri sendiri untuk memenuhi kebutuhan.
    2. Keterasingan dari orang lain:
      Karena hakikat manusia pada dirinya berjalan seiring dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial dalam kerja, maka ketika ia terasing atas dirinya sendiri, ia pun terasing secara sosial.

Keterasingan ini diakibatkan oleh hak milik pribadi. Maka, demi menghilangkan alienasi manusia, sistem hak milik harus dihapuskan.

  • Materialisme Sejarah

Materialisme Marx menekankan kerja sosial manusia, bukan pikirannya. Kenyataan akhir bagi Marx adalah objek indrawi yang dimengerti sebagai kerja.

Marx mengikuti pemikiran Hegel tentang dialektika sejarah. Namun di sini bukan sebagai perjalanan Roh Absolut yang mengalienasi dirinya dalam alam materi lantas bergerak untuk mengenali dirinya kembali, bagi Marx[18] sejarah adalah pertentangan antar kelas menuju kesetaraan seperti yang ditulisnya dalam Manifesto Komunis[19] :

The history of all hitherto existing society is the history of class struggles.
Free man and slave, patrician and plebeian, lord and serf, guild master and journeyman, in a word, oppressor and oppressed, stood in constant opposition to one another,

Di manakah letak pertentangan ini? Bagi Marx, realitas masyarakat itu adalah proses produksi yakni kerja. Kerja inilah menjadi bangunan bawah yang menopang bangunan atas dalam kehidupan masyarakat. Bangunan atas (pemikiran, politik, seni, dll) mengikuti apa yang ada di bangunan bawah (kepemilikan alat kerja, kerja, pemilik modal dan pekerja, dll). Jadi, kesadaran, pemikiran akan berubah ketika sistem produksi/kerja ini berubah. Misalnya, kita ambil contoh dalam sejarah, ketika dalam masyarakat Indonesia kepemilikan tanah seutuhnya adalah milik raja atau suku-suku tertentu dan masyarakat bekerja di sana sebagai sembah bakti pada raja sebagai pengejawantahan “dewa” di bumi, maka nilai-nilai kehidupan bernegara yang dianutnya pun adalah raja yang melindungi rakyat. Namun ketika swastanisasi terjadi sehingga orang-perorangan bisa memiliki tanah dan juga alat-alat lainya, pandangan hidup bernegara pun berubah; bukan lagi raja tetapi pemerintah yang adalah pilihan rakyat sendiri.

Pertentangan ini terjadi dalam bangunan bawah ini yang bagi Marx akan meruncing dalam sebuah revolusi.

  • Nilai Lebih dan Kehancuran Otomatis Kapitalisme

Nilai Lebih
Marx membuka buku Das Kapital-nya dengan penekanan pada pentingnya mencari tahu tentang komoditas, “……dan karena itu penyelidikan kita mesti dimulai dari telaah terhadap komoditi ini”[20].

Komoditi penting karena dalam masyarakat kapitalis, kesejahteraan tampak sebagai “timbunan besar komoditi”. Komoditi menurut kata-kata Marx sendiri adalah benda di luar kita, sesuatu yang sifat-sifatnya dengan satu atau lain cara memenuhi kebutuhan manusia[21]. Jadi komoditi bisa berupa barang yang secara langsung kita konsumsi, bisa juga komoditi ini adalah barang yang bisa dipergunakan sebagai alat produksi.

Dalam masyarakat Kapitalis, komoditi ini dijual. Jual beli komoditi didasarkan pada dua hal yakni nilai pakai dan nilai tukar. Pembeli terakhir komoditi membelinya karena nilai pakai-nya yakni karena komoditi itu berguna memenuhi kebutuhannya. Bila tidak, maka jual beli komoditi hanya untuk nilai tukar-nya; seorang pedagang membeli rokok dalam jumlah banyak bukan untuk dikonsumsinya melainkan untuk dijualnya kembali. Jual-beli komoditi ini dengan harga tertentu yang adalah nilai tukar komoditi tersebut. Nilai tukar ini ditentukan berdasarkan jumlah rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk membuatnya dalam masyarakat.

Pertanyaannya adalah dari mana munculnya keuntungan pemodal? Keuntungan pemodal oleh karenanya didapat dari eksploitasi terhadap pekerja, yakni nilai lebih dari waktu kerja yang tak dibayar.

Kehancuran Otomatis Kapitalisme
Eksploitasi inilah yang meruncingkan krisis dalam bangunan bawah. Kapitalisme sendiri berusaha mengakumulasi modal dalam konsentrasi pemodal yang semakin sedikit[22]. Pemilik-pemilik modal sebelumnya akan terdepak dalam persaingan dan menjadi kaum proletar; kaum pekerja bagi pemodal yang semakin sedikit ini. Ini akan berlangsung terus-menerus dan menyebabkan di satu sisi ada kaum pemodal (kapitalis) yang sangat kayanya tapi sedikit dalam jumlahnya, dan di lain pihak ada kaum proletar yang sangat banyak dalam jumlah dan hidup dalam kemiskinan. Maka, kesadaran akan pentingnya revolusi akan muncul pada massa proletar ini. Dan di saat itulah muncul sosialisme.

Karya George Tooker, “Government Bureau” (1956) | Sumber: https://www.dailyartmagazine.com/george-tooker-a-purveyor-of-modern-alienation/

[1] Catatan: Makalah pelengkap dalam presentasi mengenai Materialisme Jerman, kelas Sejarah Filsafat Barat Modern, STF Driyarkara Jakarta, sepertinya semester-semester awal di S1. Ada tambahan catatan di file: ‘Terima kasih untuk kawan yang telah meminjamkan bukunya dan kartu perpustakaannya’.
[2] Louis Althusser, For Marx diterjemahkan oleh B. R. Brewster (London : Verso), 1997, hlm. 43.
[3] Raymon Aron, L’Opium des Intellectuals (Paris: Gallimard, 1968), sebagaimana dikutip oleh Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx: Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis (Yogyakarta: Lkis), 2004, hlm. 2.
[4] Nicholas Bunnin dan Jiyuan Yu, The Blackwell Dictionary of Western Philosophy (Oxford: Blackwell Publishing), 2004, hlm. 414.
[5] Lih. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 2007, hlm. 227 dan hlm. 232.
[6] Isaiah Berlin, Biografi Karl Marx diterjemahkan oleh Eri Setiyawati Alkhatab dan Silvester G. Sukur (Surabaya: Pustaka Promethea), 2000, hlm. 69.
[7] Tentang Ludwig Feuerbach ini berdasar pada Hardiman op cit. hlm. 227-232. Bila ada rujukan lainnya, akan dicantumkan pada catatan kaki.
[8] Gregory Claeys (ed), Encyclopedia of the Nineteenth-Century Though (New York: Routledge), 2006, hlm. 222-223.
[9] Ibid
[10] Frans Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 1999, hlm. 67.
[11] Ibid, Isaiah Berlin, hlm. 115.
[12] Ibid, Andi Muawiyah Ramly, hlm. 67
[13] Kutipan-kutipan Theses On Feuerbach dalam tulisan ini dunduh dari www.marxist.org.
[14] Tentang Marx, umumnya merujuk pada, ibid, F. Budi Hardiman, hlm. 232-244. Bila ada tambahan lain, akan dicantumkan pada catatan kaki.
[15] Ibid, Andi Muawiyah Ramly, hlm. 34.
[16] Ibid, Frans Magnis-Suseno, hlm 90.
[17] Ibid, Frans Magnis-Suseno, hlm. 95.
[18] Perbedaan dengan Hegel ini bukan hanya pada penekanan apa yang menjadi tesis dan anti-tesis, melainkan metode dialektikanya pun berbeda. Marx menulis dalam pengantar kedua buka Kapital I demikian, “Metode dialektika saya, pada dasarnya, tidak hanya berbeda dari metode Hegelian, melainkan ia secara langsung berlawanan dengan metode Hegel. Bagi Hegel, proses berpikir, yang bahkan ditransformasikan menjadi suatu subyek independen, dengan nama Idea adalah pencipata dari dunia nyata, dan dunia nyata hanyalah penampilan eksternal dari Ide itu. Bagi saya sebaliknya, yang ideal itu tidak lain dan tidak bukan hanya dunia material yang dicerminkan oleh pikiran manusia, dan diterjemahkan dalam bentuk-bentuk pikiran.” Karl Marx, Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik. Buku Pertama: Proses Produksi Kapital, diterjemahkan oleh Oeh Hay Djoen (Jakarta: Hasta Mitra), 2004, hlm. xxxix.
[19] Karl Marx dan Friedrich Engels, Economic and Philosophy Manuscrip of 1844 and Communist Manifesto, diterjemahkan oleh Martin Milligan (New York: Promotheus Books), 1988, hlm. 209.
[20] Ibid,  Karl Marx, hlm. 3
[21] Ibid
[22] Ibid, Frans Magnis-Suseno, hlm. 201.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram