Tidak bisa dipungkiri, G 30 S 1965 dan peristiwa ikutannya—pembunuhan, penangkapan, pemenjaraan tanpa pengadilan kepada mereka yang dianggap terlibat, simpatisan PKI, mau pun juga Soekarnois—hingga saat ini merupakan peristiwa yang paling menyedot perhatian kita di Indonesia. Beberapa tahun terakhir ini bahkan perbincangan perihal itu tidak lagi menjadi milik kaum ‘elitis’[1] semata, tetapi juga menjadi milik banyak kalangan. Barangkali tidak salah juga jika hal itu dipicu oleh dua buah film dari Joshua Oppenheimer yang sangat mencengangkan itu; Jagal dan Senyap. Tentu saja sebelum Oppenheimer membuat kedua filmnya tersebut, sudah banyak film yang merespons Peristiwa 1965[2]. Namun demikian, strategi Openheimer untuk mendekati permasalahan tersebut bisa dikatakan segar dan membawa cara baru memandang permasalahan seputar Peristiwa 1965. Salah satu yang juga sangat berperan adalah cara film tersebut mempublikasikan dirinya dan juga respons media serta kalangan penonton di Indonesia sendiri.

Pada hemat saya, Peristiwa 1965 bisa dikatakan sebagai sumur inspirasi yang tak akan pernah habis bagi kerja-kerja kreatif-intelektual. Hal ini bisa kita lihat misalnya pada peristiwa genosida yang dilakukan Nazi Jerman di periode Perang Dunia II kepada kaum Yahudi, kaum kiri, dan juga kaum intelektual di Jerman dan sebagian besar Eropa kala itu. Hingga hari ini, hampir setiap tahunnya kita bisa menemukan produk baru dari kerja kreatif-intelektual di hampir seluruh Eropa perihal masalah ini. Pada titik ini kita bisa melihat kedua peristiwa tersebut—Nazi Jerman dan Peristiwa 1965—dengan sebuah kaca mata yang hampir semua manusia memilikinya; kaca mata sosial kemanusiaan. Yoseph Yapi Taum dalam ringkasan disertasinya bertajuk Representasi Tragedi 1965: Kajian ‘New Historicism’ atas Teks-teks Sastra dan Nonsastra Tahun 1966-1998 mengungpakan perihal sosial kemanusiaan ini sebagai salah satu alasan ia menuliskan karyanya tersebut di atas. Demikian Taum menulis:

Ketiga, alasan sosial-kemanusiaan. Tragedi 1965 merupakan fakta tragis di dalam sejarah kemanusiaan yang membawa penderitaan bagi begitu banyak korban, terutama korban dari pihak anggota dan simpatisan PKI beserta sanak keluarganya. Korban-korban ini adalah kaum yang, menurut pandangan Gramsci, disebut kaum subaltern, yaitu mereka yang secara tekstual termarginalkan oleh sejarah karena adanya hegemoni historiografi (Bressler, 2007: 363). Alasan sosial-kemanusiaan ini berkaitan dengan semangat menggugah proses metanoia bangsa, yakni mengungkap luka-luka masa lampau untuk tujuan reformasi hati nurani, agar tragedi kemanusiaan seperti itu tidak terulang lagi di masa depan (Taum, 2013: 4).

Saya kira kalimat terakhir dari kutipan di atas sangat penting untuk direnungkan. Dengan alasan sosial kemanusiaan, kerja kreatif-intelektual dalam rangka melihat Peristiwa 1965 sangat dibutuhkan untuk mencegah terulangnya kembali tragedi kemanusiaan itu.

Pada usianya yang setengah abad ini bergembiralah kita bahwa Peristiwa 1965 semakin menjadi perhatian dari para pekerja kreatif-intelektual. Buktinya sederhana; pada tanggal 30 September-1 Oktober yang lalu kita menemukan banyak meme dan gambar internet yang mengangkat peristiwa tersebut dengan berbagai cara dan pendekatan serta gaya.

Dalam rangka masuk pada soal kerja kreatif-intelektual dengan salah satu tujuannya perihal sosial kemanusiaan di atas tentu pertama-tama pengetahuan dan perbincangan perihal peristiwa yang hendak diangkat itu sendiri perlu dilakukan. Oleh karena itu pada kesempatan ini saya hendak mengajukan semacam landskap Peristiwa 1965 dan generasi Indonesia masa kini. Peristiwa sejarah tentu perlu didekatkan dan diketahui melalui sejarah dan tidak bisa tidak ia dibicarakan dalam horison kita di masa kini. Dari hubungan timbal balik antara keduanya itulah—hubungan antara peristiwa sejarah itu sendiri dan horison kita di sini dan kini—barangkali bisa ditemukan apa yang ‘enak’ untuk dikreasikan lebih lanjut.

Saya akan memulai pembahasan ini dengan pertama membicarakan pengalaman saya pribadi dalam persinggungan dengan perbincangan, bacaan, dan mitos Peristiwa 1965. Menurut saya membicarakan pengalaman pribadi ini penting lantaran sebagai warga negara Indonesia, kita perlu menempatkan diri sebagai sekaligus korban dan sekaligus pelaku. Sebagai korban, semua kita adalah korban dari pembohongan sejarah dan juga efek-efek dari Orde Baru dan sebagai pelaku kita turut menikmati, sadar atau tidak, sesuatu yang dibangun di atas gelimangan darah dan juga bertanggung jawab atas impunitas yang terus terjadi. Setelah itu, kedua, saya akan mencoba untuk membicarakan semangat zaman Indonesia periode 1950-1965, atau yang lebih suka saya sebut sebagai ‘masa membentuk dan membangun bangsa’. Menurut hemat saya, membicarakan dan memahami semangat zaman kala itu bisa membawa kita pada pemahaman yang lebih baik soal mengapa bisa G 30 S 1965 terjadi dan sesiapa saja—bukan dalam hal identitas personal melainkan anak zaman seperti apakah mereka—yang terlibat di dalam peristiwa tersebut. Berangkat dari pemahaman perihal semangat zaman itu, saya akan coba masuk pada salah satu contoh tokoh historis pada peristiwa itu, D. N. Aidit, pada bagian ketiga. Pada hemat saya, pembahasan pada bagian ketiga ini akan membawa kita kepada pemahaman bahwa mereka-mereka yang kita katakan sebagai ‘korban’ Peristiwa 1965 sesungguhnya—dan harusnya dilihat lebih sebagai—bukanlah sekadar korban melainkan mereka adalah para pejuang dan orang-orang yang, memparafrasekan Pramoedya, “…sudah memberikan semuanya untuk Indonesia.”

Lolos Dari Hukuman Alpa Menonton Arifin C. Noer

Sebagaimana umum diketahui, Orde Baru mengukuhkan ketakutan akan komunisme melalui doktrin-doktrinnya dan juga ‘karya seni’. Dua yang monumental tentu saja adalah Museum Kesaktian Pancasila dan film Pengkhianatan G 30 S PKI besutan Arifin C. Noer. Menurut Ariel Heryanto, bisa dikatakan bahwa narasi dan atau sumber pengetahuan orang Indonesia di era Orde Baru perihal peristiwa G 30 S dan juga 1 Oktober 1965 yang utama adalah film ini jika bukan satu-satunya. Pemerintah kala itu melalui televisi pemerintah, TVRI, menayangkan film ini setiap malam di tanggal 30 September setiap tahunnya. Belakangan televisi swasta juga diwajibkan untuk memutar film tersebut (Heryanto, 2015: 122). Hampir semua orang Indonesia yang tinggal di Indonesia di waktu-waktu itu wajib menontonnya. Anak-anak sekolah diwajibkan oleh gurunya (lebih sering guru Sejarah atau PPKN) untuk menyaksikan film itu pula. Demi memastikan anak-anak itu benar menonton, tak jarang pula sang guru mewajibkan murid-muridnya menulis laporan atas film tersebut yang akan diperiksa di kelas.

Museum Kesaktian Pancasila dan Lubang Buayanya yang berada di Jakarta Timur itu tak pelak menjadi tempat berkarya wisata untuk murid-murid sekolah di Jakarta dan bahkan mungkin sebagian besar sekolah di Jawa. Selain itu tentu saja monumen ini menjadi juga tempat kunjungan bagi para peserta kegiatan-kegiatan pemerintahan atau pun kegiatan lainnya. Galibnya ketika ada kegiatan pertemuan, sarasehan, atau pelatihan dsb., yang diadakan pemerintah mau pun pihak swasta, selalu ditutup dengan acara kunjungan ke beberapa tempat. Saya masih ingat ketika kecil dahulu, ayah saya dalam sebuah kesempatan mengikuti acara serupa di atas—yang saya lupa detailnya dan tak berniat pula untuk bertanya kepada ayah saya saat ini. Ketika pulang, ia menunjukkan foto-foto perjalanan tersebut. Galibnya pula, foto-foto itu disertai dengan keterangan kegiatan dalam huruf-huruf tegas beserta logo penyelenggara kegiatan atau kegiatan itu sendiri di bagian bawah foto. Salah satunya adalah foto ia berdiri di depan monumen pahlawan revolusi.[3] Sebagai tambahan keterangan, keluarga kami tinggal di kota kecil bernama Larantuka, di Pulau Flores, NTT. Tentu tidak sulit untuk dibayangkan bahwa setiap kegiatan yang menghadirkan peserta dari seluruh Indonesia akan disisipkanlah kegiatan mengunjungi Museum Kesaktian Pancasila ini. Dan dengan demikian, dengan bantuan pencarian nafkah dari para fotografer keliling, foto-foto setiap peserta yang berdiri di depan para jenderal menyebar ke seluruh Indonesia. Bukan tidak mungkin, diam-diam imajinasi tentang Jakarta, ibu kota negara, untuk orang-orang di pelosok kampung kala itu, salah satunya saya, adalah Museum Kesaktian Pancasila dan tentu saja Monumen Nasional. Jangan-jangan pula, ini dugaan saya, orang akan merasa lebih patriotis dan sungguh-sungguh menjadi Indonesia ketika sudah menjejakkan kaki di Museum Kesaktian Pancasila ini.

Saya sendiri, seingat saya, belum pernah menyaksikan film Pengkhianatan G 30 S PKI secara utuh dan baru sekali mendatangi Museum Kesaktian Pancasila. Ketika menyaksikan karya video Fluxcup yang men-dubbing salah satu adegan persidangan komite sentral PKI dari film itu, saya sungguh-sungguh tidak paham sebenarnya apa yang dibicarakan oleh Aidit, Njoto, Lukman dan Sudisman di film itu sebenarnya. Sedangkan beberapa kawan saya sungguh paham apa sebenarnya adegan itu berbicara. Saya lahir dan besar di kota kecil tadi, Larantuka. Ketika SD dan SMP (kira-kira 1991-1999), televisi bukanlah lagi barang mewah di kota kecil itu, meski pun tidak semua rumah memiliki televisi. Rumah kami memiliki satu pesawat televisi yang hanya bertahan beberapa bulan saja. Selebihnya, antena penangkap gelombangnya rusak diterjang angin yang diikuti oleh pesawat televisi diberikan ke kerabat. Keadaan nir-televisi ini bertahan hingga saya menyelesaikan SMP. Ayah merasa keadaan itu lebih baik untuk anak-anaknya; sesuatu yang semakin saya setujui ketika aktif di Remotivi, sebuah lembaga pemantau televisi di Jakarta yang kini memperluas cakupan kajiannya ke semua bentuk media.

Alhasil, ketika guru PPKN mewajibkan saya menyaksikan Pengkhianatan G 30 S PKI, saya tidak bisa menyaksikannya di rumah. Saya harus menyaksikannya di rumah tetangga. Saya lupa bagaimana tepatnya sehingga saya tidak pernah ke luar rumah di tengah malam pada 30 September pada tahun-tahun kala itu. Mungkin memang saya yang terlalu penakut menembus kegelapan malam meski pun rumah tetangga hanya beberapa puluh langkah saja atau—lagi-lagi—ayah yang melarangnya. Yang pasti, saya tak pernah mendapat hukuman dari guru lantaran tidak pernah menonton atau membuat tugas berdasarkan film itu. Hal terakhir ini sudah pasti merupakan interfensi ayah yang memang dekat dengan guru-guru SD hingga SMP saya. Apalagi dia kala itu pun masih berprofesi sebagai guru. Hal ini tentu saja bukan berarti ayah sudah sadar bahwa Pengkhianatan G 30 S PKI adalah propaganda tak beralasannya Soeharto. Pada hemat saya, ayah sungguh-sungguh Orde Baru. Apalagi dia adalah produk pendidikan katolik sejak SD hingga kuliahnya dan juga selepas kuliah bekerja di lingkungan tersebut.

Mengenai Museum Kesaktian Pancasila, saya memang belum pernah mendatanginya di masa-masa itu. Baru tahun lalu saya kesana dengan tujuan membuat parodi untuk IndoProgress. Tujuan terakhir ini pun gagal lantaran kamera yang kami bawa ketinggalan di taksi. Memang beberapa kali ketika masih SD dan SMP saya berlibur ke Jakarta tetapi rupanya Taman Binatang Ragunan dan Ancol lebih menarik tinimbang Museum Kesaktian Pancasila, apalagi Taman Ismail Marzuki.

Pertemuan pertama dengan PKI, komunisme dan kiri baru terjadi di bangku SMA kelas dua kalau saya tak salah. Barangkali sebelumnya samar-samar saja dan tak terlalu melekat benar. Kala itu saya bersekolah di Seminari, sekolah persiapan untuk calon imam setingkat SMA. Saya tidak tamat di sekolah tersebut tetapi dikeluarkan di tengah jalan dengan alasan kedisiplinan. Ketika itu dalam rangka Pesta Santo Pelindung sekolah, diadakanlah juga lomba pembacaan cerpen bersama lomba-lomba lainnya. pastor yang merangkap guru Bahasa Indonesia kala itu menyerahkan koran Kompas minggu kepada panitia dan mengusulkan cerpen yang ada di sana dijadikan sebagai salah satu cerpen pilihan untuk peserta lomba. Saya yang berperan sebagai anggota panitia seksi keamanan kebetulan tengah berada di sana dan mendengarkannya juga. Pastor itu melanjutkan lagi bahwa cerpen ini ditulis oleh seorang penulis yang selama masa Orde Baru tidak bisa menulis dan hidup dengan nama samaran. Saya lupa siapa pengarang itu. Tapi setidaknya maklumat Si Pastor kala itu cukup menggelitik. Dilarang menulis dan hidup dengan nama samaran terasa sangat seksi untuk saya kala itu.

Meme Atas Film “Pengkhianatan G30S PKI” | Sumber: Istimewa

Tempus Vugit, waktu berlalu dengan cepat. Setelah menamatkan SMA, saya pindah ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah. Membaca ke sana ke mari dan mengikuti diskusi-diskusi semakin memelekkan mata. Tentu saja di balik semua itu sosok Pramoedya Ananta Toerlah yang paling membuat ketertarikan dalam membaca sejarah dengan baik itu timbul; seperti kebanyakan anak muda dari generasi saya. Dalam perjalanan, bersama teman-teman diajak untuk membentuk kelompok studi Marxisme, Komunitas Marx, yang meningkatkan cara membaca sejarah saya yakni dengan asumsi materialisme historis. Sedikit banyak sumbangsih dari itu adalah kesadaran akan betapa pentingnya memahami semangat zaman yang historis dari peristiwa sejarah; dalam hal ini Peristiwa 1965.

Bergairah Membangun Negara Baru

Jika hendak menggambarkan Indonesia era 1950-an hingga 1965 dalam satu kalimat, maka saya akan memilih kalimat, “kegairahan menjaga dan membangun Indonesia”. Tahun 1965 saja hanya berjarak 20 tahun dari 1945. Apalagi kalau kita menghitungnya dari 1949 ketika Belanda ‘mengakui’ kemerdekaan Indonesia via Konferensi Meja Bundar; hanya 16 tahun. Bukan waktu yang lama. Bisa dibayangkan bahwa mereka-mereka yang berada pada usia produktif di masa itu—25 sampai 70 tahun—adalah mereka-mereka yang turut merasakan revolusi fisik baik secara aktif mau pun pasif. Maka, ketika Indonesia benar-benar merdeka sungguhlah bisa dibayangkan betapa penuh antusias dan bergairahnya mereka-mereka yang berada di usia produktif tersebut.

Kita tentu mengamini belaka betapa panjangnya jalan menuju kemerdekaan Indonesia itu. Sejak Budi Utomo, pemberontakan Haji Misbah, pemberontakan PKI di era itu, Sumpah Pemuda, munculnya partai-partai politik, dan lain sebagainya mendahului kemerdekaan. Di sana juga wacana, ide-ide serta pemikiran yang diadopsi dari barat dan disesuaikan dengan lokalitas Indonesia tumbuh subur dan berseliweran di kalangan pergerakan. Semua hal ini mendahului kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Selain melawan penjajah itu sendiri (Belanda dan Jepang), fakta sejarah menunjukkan bahwa saling sikut di antara pelbagai elemen pergerakan di zaman itu pun terjadi dengan tak kalah bergairahnya. Saling mengkritik pemikiran, saling mencurigai, dsb., tentu terjadi pula di sana. Menengok pada PKI misalnya yang adalah partai politik pertama di Indonesia yang menggunakan kata Indonesia secara resmi pun hal ini terjadi. Saling mengkritik, terjadi pertentangan, naik turun dipukul oleh pihak penjajah, dan juga dilarang, bergerak di bawah tanah terjadi di dalam partai ini. Begitu juga dengan partai-partai atau kelompok-kelompok pergerakan lainnya. Dinamika yang hidup terjadi tidak hanya terhadap penjajah tetapi juga terhadap sesama kaum pergerakan dari kelompok yang lain serta juga terjadi di dalam kelompok sendiri. Tentu saja ada front-front persatuan yang lantas dibentuk karena ada kesadaran akan perjuangan atas kemerdekaan itu.

Ketika Jepang menduduki Indonesia, kaum pergerakan Indonesia ada yang mengikuti dan bergabung bersama organisasi-organisasi sipil yang dibentuk Jepang, ada juga yang terus bergerak di bawah tanah. Jepang yang datang dengan janji untuk memerdekaan seluruh Asia dari kolonialisme Eropa barangkali juga dipandang berwajah ganda kala itu. Ada yang percaya bahwa Jepang memang datang dan juga membantu mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, ada juga yang tidak mempercayai hal itu. Namun ada beberapa hal yang pasti yakni bahwa organisasi-organisasi untuk masyarakat sipil Indonesia yang dibentuk Jepang kala itu turut membantu mendidik entah secara keorganisasian mau pun fisik. Mereka-mereka ini, tentu juga bersama elemen-elemen lainnya, nantinya yang berperan dengan baik ketika terjadi revolusi fisik pasca 1945.

Proklamasi yang terjadi pada 17 Agustus 1945 sendiri bukan semata-mata prakarsa Soekarno-Hatta. Dengan sebelumnya BPUPKI dan PPKI berdebat dan menyusun seperti apa negara baru ini, proklamasi sendiri terjadi atas desakan kaum pemuda yang tergabung dalam Pemuda Angkatan Baru (PAB). Kita ingat peristiwa penculikan Rengasdengklok di mana PAB ini mendesak Soekarno-Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.

Dengan latar belakang yang demikian, ketika memasuki era 1950-an, tentu tidak heran bahwa segala elemen yang ada bergairah dan meneruskan ‘konfrontasi’, perang politik dan ide di antara mereka. Bahkan hal yang sama terjadi di dalam kelompok masing-masing. Hal ini bukan pula sesuatu yang ‘luar biasa’ bila kita melihat memang di dalam perjalanannya, dinamika perjuangan dan persiapan menuju kemerdekaan itu demikian adanya. Jika mau melihat dengan lebih serius, barangkali inilah memang ciri khas dari demokrasi yang menjadi sistem negara yang dipilih itu; mengikuti bentuk negara modern di Eropa kala itu juga.

Dalam waktu yang singkat dari 1945-1965 itu sendiri kita pun melihat begitu ragam kejadian yang terjadi di Indonesia dalam hal pemerintahan dan politiknya. Hal yang barangkali sekali tidak kita temukan di era Orde Baru dan juga di era kita saat ini. Konferensi Meja Bundar melahirkan Negara Indonesia Serikat, lantas kembali ke dalam Republik Indonesia melalui Dekrit Presiden, pergantian dari satu kabinet ke kabinet yang lain, pemberontakan di daerah-daerah yang melibatkan Masyumi dan PSI (keduanya lantas dilarang oleh Soekarno), Konferensi Asia Afrika, nasionalisasi aset Belanda yang juga merugikan Indonesia, dan masih banyak hal lain lagi. Di ranah seni budaya pun tak kalah bergairahnya. Tak perlu diulang-ulang lagi tentu saja perdebatan dan percekcokan antara Manikebu vs Lekra yang tersohor itu. Semua keriuhan itu ditambah lagi dengan keadaan dunia yang tengah berada di dalam Perang Dingin yang tentu membuat was-was Indonesia yang baru lahir itu. Soekarno lantas berusaha ‘mengambil keuntungan’ untuk negara barunya itu dengan politik Non Blok di kancah internasional.

Dalam panorama yang demikian saya kira kegairahan akan Indonesia bukan kegairahan ‘remaja’, melainkan kegairahan yang masih terbawa semangat pra kemerdekaan dan masa revolusi fisik; bahwa negara adalah sesuatu yang perlu dibela mati-matian. Peristiwa G 30 S 1965 terjadi dalam keadaan yang demikian ini. Dari pemaparan John Roosa di dalam Dalih Pembunuhan Massal, dan juga banyak buku lainnya, kita tahu bahwa ada semacam dokumen ‘hoax’ Dewan Jenderal yang hendak mengkudeta Soekarno. Bagaimana pun juga, tokoh Soekarno dipandang sebagai tokoh teramat sangat penting dan kuat yang padanya banyak pihak menaruh harap akan Indonesia ke depannya kala itu. Selebihnya, dari John Roosa pula, para perwira muda berusaha menjegal para jenderal tersebut bersama dengan keterlibatan D . N. Aidit serta Syam Kamarusaman. Cerita selanjutnya kita tahu belaka; Soeharto, yang awalnya dianggap Untung cs berada di pihak mereka, mengambil alih keadaan, bagaikan seseorang yang memancing di air yang keruh, dan terbukalah masa Orde Baru yang fondasinya dibangun di atas darah dan tulang belulang.

Mayoritas, jika tidak mau mengatakan semua, dari mereka yang menjadi korban secara langsung peristiwa itu[4] adalah mereka-mereka yang, memparafrasekan Pramoedya Ananta Toer, “…telah memberikan segalanya bagi Indonesia”. Mereka-mereka adalah yang terlibat, minimal, di dalam revolusi fisik dan juga sebelum kemerdekaan. Namun demikian panorama ini juga sebenarnya sudah terjadi beberapa tahun sebelumnya yakni di Peristiwa Madiun yang menewaskan Amir Syarifudin dan Tan Malaka, dua tokoh penting perjuangan kemerdekaan Indonesia. Salah satu contoh “mereka yang telah memberikan segalanya bagi Indonesia” bahkan nyawanya sendiri adalah tokoh sentral PKI yakni D. N. Aidit.

Diponegoro yang Bukan Sekadar Jawa

Poster Film “G30S PKI” | Sumber: https://tirto.id/kontroversi-film-pengkhianatan-g30s-pki-yang-viral-dan-tayang-lagi-f5mt

Sub judul bagian ini terinspirasi sepenuhnya dari nama D. N. Aidit (Dipa Nusantara Aidit). Aidit terlahir dengan nama Achmad Aidit. Pada usia ke 16 tahun ia mengganti namanya, dengan persetujuan ayahnya, menjadi Dipa Nusantara Aidit. Dipa berasal dari Diponegoro. Nusantara kita tahu berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pulau-pulau di luar Pulau Jawa. Namun ketika Aidit menggunakan nama itu, nusantara dimaknai sebagai sebutan untuk keseluruhan wilayah yang menjadi Indonesia sekarang ini. Dari nama itu sendiri bisa dipahami Aidit semacam hendak mendedikasikan dirinya sebagai pejuang untuk nusantara. Namun fenomena perubahan nama ini lumrah ditemukan pada generasi muda zaman itu. Barangkali juga ini trend di kalangan pemuda pejuang zaman itu.

Aidit sejak berusia 16 tahun itulah terlibat di dalam politik dan pergerakan kemerdekaan. Bergabung di pelbagai organisasi—yang mayoritasnya berhaluan kiri—bisa dikatakan masa muda Aidit dihabiskan di dalam perjuangan itu sendiri. Utuy Tatang Sontani muda pernah bersua dengan Aidit dan cukup mengagumi sosok itu. Utuy dan Aidit bertemu di Kantor Putera cabang Priangan. Putera sendiri adalah singkatan dari Pusat Tenaga Rakyat, sebuah organisasi bentukan Jepang, yang diketuai oleh empat serangkai Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansyur. Aidit sendiri kala itu adalah murid dari Bung Karno dan Bung Hatta.

Alkisah, pekerjaan di Putera cabang Priangan ini sungguh sangat melelahkan. Hal ini diperparah oleh kewajiban dari para pegawainya untuk menghormati matahari sebagaiamana kebiasaan Jepang. Pada suatu ketika, ketika terlalu kelelahan, para pegawai Putera tak ada yang mengikuti upacara itu. Marahlah serdadu Jepang. Ketika itu, Aidir maju dan memberikan alasan rasional yang tidak bisa ditolak oleh serdadu Jepang itu. Utuy menggambarkan Aidit yang demikian sebagai pemuda berotot yang penuh dengan semangat perjuangan. Bahkan menurut Utuy, dari nama barunya tampaklah bahwa Aidit memiliki semangat juang tinggi, berbeda dengan nama yang dipilih Utuy sendiri untuk dirinya atau nama seorang kawannya yang menggunakan Kelana Asmara.

Tetapi ada juga hal-hal romantik anak muda pada mereka sebagaimana jawaban Utuy ketika berbicara dengan Aidit tentang karyanya Tambera di dalam Bahasa Sunda dengan Tambera di dalam Bahasa Indonesia:

Kau tahu, Tambera di dalam Bahasa Sundanya kutulis pada zaman Hindia-Belanda, pada zaman di mana yang namanya Belanda itu ada di depan hidung dan pada zaman yang penuh dengan ‘Romantik’. Tapi Tambera dalam Bahasa Indonesianya kutulis justru di zaman pendudukan Jepang, di mana yang namanya Belanda itu sudah tidak ada lagi, di mana kehidupan yang penuh ‘Romantik’ itu mulai ditinggalkan, bahkan di mana kita semua diharuskan memiliki ‘wajah semangat’, sehingga gadis-gadis yang jadi rebutan pemuda pun tak bisa luput dari keharusan memiliki ‘wajah semangat’ (Sontani, 2001: 68).

Aidit yang merupakan anak zaman Jepang yang penuh semangat dan semangat perjuangan yang bergelora ini lantas ikut membentuk Pemuda Angkatan Baru (PAB), organisasi pemuda yang mendorong Soekarno dan Hatta untuk memprokalamsikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Jadi, jika kita mau melihat sisi-sisi lain, faktor-faktor penunjang di seputar proklamasi kemerdekaan Indonesia, maka sedikit banyak Aidit punya andil yang cukup besar.

Setelah terus bergiat di dalam Pemuda Angakatan Baru, Aidit kembali bersama PKI dan turut ikut dalam Peristiwa Madiun. Pasca peristiwa itu, dikabarkan bahwa Aidit dan Lukman melarikan diri ke Vietnam dan lantas ke Cina. Mereka kembali setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Namun menurut Peter Edman, hal ini hanya strategi Aidit dan Lukman untuk mengelabuhi musuh dan juga untuk terus bergerak di bawah tanah bersama PKI (Edman, 2005: 73). Selanjutnya, Aidit dan kelompok muda di dalam PKI mulai mengambil alih PKI dan membawa partai itu menuju sebuah partai massa yang besar, bahkan memperoleh suara yang signifikan pada Pemilu Pertama di Indonesia.

Penutup

Aidit kita tahu lantas meninggal pada 23 November 1965, ditembak di sebuah sumur di Solo. Ketika hendak ditembak, Aidit masih berpidato di hadapan tentara yang menahannya soal revolusi dan kemerdekaan Indonesia. Demikianlah, Peristiwa 1965 lantas mengambil nyawa orang yang berjuang setengah mati, sepenuh jiwa raga, untuk Indonesia. Peristiwa 1965 mengambil “mereka yang telah memberikan segalanya untuk Indonesia”, bahkan nyawanya. Sayang, nyawa mereka dikorbankan untuk Indonesia lebih lanjut yang barangkali jauh sekali dari apa yang dibayangkan mereka ketika berjuang di Putera dulu, di dalam Pemuda Angaktan Baru, atau di dalam masa setelah 1950-an.

Jika Indonesia, meminjam Bennedict Anderson, adalah sebuah proyek yang harus terus menerus dibayangkan dan diusahakan maka barangkali salah satu hal yang perlu kita lakukan adalah membayankan dan memperjuangkan Indonesia yang lebih baik dan tentu saja berbeda dengan yang sekarang. Tentu saja dengan berpijak pada pelajaran-pelajaran yang diberikan sejarah kepada kita.***

[1] Yang dimaksud dengan kaum ‘elit’ di sini adalah para intelektual, aktivis, sejarahwan, dan juga—tentu saja—pihak pemerintah dalam arti luas.
[2] Pada tulisan ini ‘1965’ adalah sebutan untuk menandai masa-masa sebelum tahun 1965 itu sendiri dan juga masa-masa sebelumnya; terhitung sejak Konferensi Meja Bundar atau 1950, sesuai konteks pembicaraan.
[3] Pada 31 Agustus-10 September yang lalu bertempat di RURU Galeri diadakanlah presentasi proyek fotografi Dito Yuwono bertajuk Recollecting Memory: Tukang Foto Keliling. Dito mempresentasikan temuan-temuan hasil penelitian dan kerja kolaborasinya dengan para fotografer dan atau mantan fotografer keliling di Kaliurang dan Monas. Ia memaerkan beberapa foto sisa-sisa dari masa ketika profesi fotografer masih cukup laku sebelum digerus teknologi baru yang membuat kamera berada di genggaman setiap orang. Saya kira apa yang dilakukan Dito cukup menarik dan perlu merambah tempat-tempat ‘penting’ lainnya dan Monumen Kesaktian Pancasila patut dijadikan kunjungan utama.
Perihal Museum Kesaktian Pancasila ini, Hafiz Rancajale melakukan sesuatu yang menarik dengan karya videonya, Menggali Buaya, yang dipamerkan pada perhelaan ORDE BARU OK. VIDEO 2015. Di dalam video itu tampak orang menggali di sebuah sudut wilayah Museum Kesaktian Pancasila serta juga gambar diorama-diorama yang di-shoot dalam jarak dekat. Saya yang hingga kini baru sekali mendatangi tempat itu, menemukan keironisan tertentu di hadapan karya itu. Sayang, narasi yang dimunculkan oleh semacam ‘narator’ di dalam video tersebut terlalulah liris; sebuah genre puisi yang sangat Orde Baru.
[4] Yang saya maksudkan dengan korban secara langsung di sini adalah mereka yang pasca G 30 S 1965 dikatagorikan dalam 3 jenis yakni Golongan A, Golongan B, Golongan C yang mana digolongkan berdasarkan ‘sanksi’ yang ditimpakan yakni dibunuh atau dihukum mati, ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili serta dibuang ke Pulau Buruh, dan mereka yang ditangkap dan ditahan beberapa saat kemudian dilepaskan kembali namun dicabut hak-hak sipilnya. Tentu saja di luar itu ada korban lain yakni mereka yang menghabiskan hidupnya ‘tanpa tanah air’ alias kaum eksil. Kita juga bisa menambahkan korban tak langsung yakni masyarakat Indonesia yang setelah itu menderita lantaran pemerintah yang berpihak pada rakyat kebanyakan dan organisasi politik yang punya kekuatan mumpuni yang juga berpihak pada mereka sudah tak ada lagi, kita-kita yang dibohongi oleh sejarah, dsb.


*Catatan: Tulisan ini disampaikan sebagai bahan diskusi dalam workshop penulisan naskah teater yang diselenggarakan oleh Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta, 10 Oktober 2015 di Studio Hanafi, Depok.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram