Kata ideologi sendiri dewasa ini, dan mungkin juga sebagai sebuah warisan Orde Baru, bagaikan momok yang menakutkan di Indonesia. Kata ideologi kerap berkonotasi negatif. Kalimat, “ah, dia ideologis orangnya” misalnya, menyiratkan seolah-olah orang tersebut sulit untuk diajak berdiskusi karena kepalanya terisi penuh dengan sebuah cara pandang akan dunia yang tertentu. Bagaimana pemaknaan terhadap ideologi yang seperti ini bisa terjadi di Indonesia, tentu kita akan mendapatkan penjelasan yang lebih benderang dari para sejarahwan, terkhusus dalam sejarah pemikiran.

Secara garis besar tentu Orde Baru yang bercokol begitu lama dengan segala macam mitosnya serta pemisahannya antara wilayah yang netral dengan wilayah yang politislah penyumbang utamanya. Jika dampak terhadap kata ideologi salah satunya sudah kita lihat di bagian awal tulisan ini, maka dampaknya terhadap politik kita lihat pada pemisahan antara dunia netral dan dunia politik. Tak heran, banyak tuntutan pada mereka-mereka yang berkecimpung di dunia akademis dan juga—katakanlah—budayawan untuk tetap menjaga netralitasnya tanpa terlibat politik tertentu. Namun, para ‘guru’ ini diharapkan ‘suaranya’ ketika ada masalah yang sangat pelik sekali. Persis pada dua masalah itulah, pada hemat saya, wajah Orde Baru sebagai yang anti komunisme dan atau marxisme-leninisme nampak dengan kentara.

I.

Politik dan ideologi dari perspektif marxisme dilihat bukan sebagai dua hal yang terpisah sama sekali dari kehidupan manusia. Dari formula paling mendasar dari marxisme—yang tentu saja padanya menopanglah marxisme-leninisme dan komunisme, jika ketiga hal ini perlu dipisahkan dengan jelas—tampaklah hal itu. Materialisme historis sebagai elemen penting dalam marxisme yakni sebagai metode membacah sejarah perkembangan masyarakat mengandaikan bahwa sejarah masyarakat secara umum dikondisikan oleh kontradiksi pada tingkatan basis ekonomi atau struktur kelas. Dialektika pada tatanan basis inilah yang menentukan suprastrukturnya. Hal ini umum dikenal dalam penjabaran hubungan basis-suprastruktur di mana basis adalah penopang suprastruktur.

Hubungan basis dan suprastruktur di dalam marxisme | Sumber: thenarratologist.com/

Yang menempati posisi basis adalah perihal ekonomi yang mana elemen utamanya adalah kerja manusia. Di dalam pandangan marxis—tentu saja tidak hanya marxisme yang berbicara perihal kerja manusia—kerja selalu bersifat sosial dan dengan demikian politis. Politik dengan demikian utamananya berhubungan dengan pengorganisasian kerja manusia dari tingkat yang paling sederhana sampai yang paling rumit semisal negara.

Nah, jika kita melihat hal itu maka teranglah bahwa politik itu sama sekali bukan sesuatu yang terpisah, lepas bebas, dari hidup manusia melainkan elemen inheren di dalam hidup manusia; tentu saja manusia sebagai makhluk sosial. Salah satu goal indah Orde Baru terhadap komunisme adalah pemisahan—entah tegas, entah diam-diam—antara kehidupan sehari-hari dan politik ini. Yang tersirat di sana lebih jauh adalah ketidakberdaulatannya masyarakat sendiri untuk membicarakan dan mengatur peri kehidupannya. Secara gamblang tentu saja kita lihat pada mekanisme Pemilu pada era Orde Baru itu sendiri.

II.

Pada masalah ideologi, di dalam perspektif marxisme, ideologi pun ditentukan oleh basis ekonomi tersebut. Dengan demikian ideologi ada pada suprastruktur. Namun di sini kita perlu mengingat apa yang disebut dengan determinasi—diinisiasi oleh Louis Althusser—di mana ideologi bisa berbalik menentukan basis. Pada tataran itu maka setiap orang pasti punya ideologi entah secara tersirat mau pun tersurat di dalam kepalanya. Ideologi dengan demikian dipahami sebagai cara memandang kehidupan atau cara memandang kenyataan.

Istilah ideologi muncul pada awalnya setelah Revolusi Prancis, mula-mula dimaksudkan sebagai seperangkat studi perihal idea melalui prakarsa pemikir Prancis Antoine Destutt de Tracy. Lantas secara umum kini kita menerima ideologi dalam sense politiknya sebagai seperangkat sistem yang dijadikan asas tunggal atau sebuah program sosial politik.

Pendapat atau pandangan yang berbeda-beda dari setiap orang pada sebuah fenomena tertentu menunjukkan ideologi apa yang ada di kepalanya. Bagi marxisme sendiri tentu saja ideologinya lantas berpegang pada filsafatnya, materialisme dialektis, dan penerapannya, materialisme historis. Secara ringkas, materialisme dialektis adalah metode berpikir yang berangkat dari apa yang ada dalam kenyataan objektif dan mengkajinya untuk menemukan kesaling-hubungan di antara elemen dalam kenyataan tersebut dan, dengan demikian, mengetahui titik potensial bagi perubahan kenyataan. Sedangkan materialisme historis, pada tataran makro, merupakan teori tentang sejarah perkembangan masyarakat, yang seperti diungkapkan sebelumnya, basis ekonomi mengkondisikan superstruktur politik. Pada tataran mikro, MH merupakan kesimpulan tentang struktur masyarakat tertentu yang dilihat dalam kaitannya dengan sejarah yang melingkupinya. Tataran MH mikro ini kerap secara politis diturunkan dalam tataran strategi taktik. Bisa jadi ganjang toejoeh setan desa-nya PKI bisa ditempatkan sebagai salah satu dari MH mikro ini.

Dengan demikian barangkali memang ideologi marxisme-komunisme di era sebelum 1965 di Indonesia memang dijalankan oleh PKI. Tetapi hal ini juga barangkali perlu kita lihat dalam pemahaman pada zeitgeist zaman intu. Era 1950-an, 1960-an adalah era yang bisa dikatakan sangat bergairah untuk Indonesia sebagai sebuah bangsa yang baru beberapa tahun lalu merdeka. Tentu saja mereka-mereka yang terlibat aktif dalam politik dan kehidupan publik pada zaman itu adalah mereka-mereka yang turut merasakan—jika tidak dikatakan sebagai yang terlibat langsung—revolusi fisik dan era-era menuju kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan itu. Euforia seperti ini penting untuk melihat bagaimana ideologi-ideologi politik berkembang dan mewarnai kehidupan sosial politik di zaman itu.

Antoine Destutt de Tracy | Sumber: wikimedia.org

Setelah 1965 kita tahu komunise dan marxisme-leninisme menjadi sesuatu yang terlarang di Indonesia dan dengan demikian sebagai sebuah ideologi politik saya kira tak ada tempat untuknya di panggung politik Indonesia. Yang terjadi belakangan ini adalah kegairahan untuk membongkar kembali sejarah Indonesia, dan dengan demikian kiri di Indonesia adalah bagian di dalam kegairahan itu. Selain itu juga ada euforia melihat kembali PKI melalui batu penjuru peristiwa 1965, tetapi yang terakhir ini pun menurut saya di bawah terang simpati pada korban yang tentu berlandaskan kepada kemanusiaan, humanisme; sebuah ideologi (barangkali bukan ideologi politik) yang lain lagi.***


*Catatan: Tulisan ringkas sebagai pemancing diskusi pada seminar Hantu Komunisme yang diadakan dalam rangka History Fair, SKS FIB UI, 1 Oktober 2015 yang diadakan di Pusat Studi Jepang, UI.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram