Pada tulisannya bertajuk Nietzsche ‘Ad Hominem’: Perspectivism, Personality and ‘Ressentiment’[1] Robert C. Solomon membahas gaya berfisafat Nietzsche yang menggunakan metafor dan aforisme dan terlebih lagi gayanya yang ad hominemAd hominem sebagai ajektif artinya “…perbandingan dengan perasaan-perasaan atau prasangka dari pada akal atau intelektual; ditandai oleh atau suatu serangan pada karakter lawan dari pada dengan jawaban tertentu atas sebuah pernyataan yang ada (dari lawan tersebut)”.[2]

Pada pembukaan tulisannya, Solomon menyatakan bahwa Nietzsche lebih cenderung menganggap dirinya sebagai seorang psikolog. Seorang psikolog, lanjut Solomon, lebih cenderung memeriksa—dalam perbandingannya dengan seorang filsuf—mengapa seseorang berpegang atau percaya pada ‘sebuah kebenaran tertentu’ sedangkan seorang filsuf memeriksa apa ‘kebenaran’ itu.[3] Nietzsche sendiri mengatakan bahwa psikologi-lah—bukan metafisika—jalan menuju problem yang fundamental.[4] Namun psikologi yang dimaksudkan Nietzsche barangkali bukan seperti pemahaman psikologi dewasa ini.

Psikologi bagi Nietzsche bukan berhubungan dengan kisah atau cerita tentang ‘pikiran. Psikologi bagi Nietzsche berhubungan dengan tubuh, tentang pembentukan diri melalui praktek kemasyarakatan dan tentang hubungan antara kenyataan sosial dan pengarahnya. Dalam Senjakala Berhala-berhala psikologi terlihat sebagai bagaimana kepercayaan dibelah untuk menunjukan dominasi kebiasaan di dalamnya. Psikologi juga menyangkut melihat nilai-nilai dalam kaitannya dengan bahasa tubuh dari symptom (moralitas adalah suatu tanda bahasa yang merupakan simptomatologi).[5] Solomon selanjutnya memberi banyak kutipan dari Nietzsche yang menunjukkan bahwa Nietzsche lebih cenderung menjustifikasi person ketimbang pemikirannya; ad hominem. Hal ini misalnya dilihat dari apa yang dikatakan Nietzsche tentang Socrates dan juga Kant.

Lukisan Nietzsche karya Edvard Munch (1906) | Sumber: wikiart.org

Gaya ad hominem sendiri galibnya dipandang sebagai cara membaca yang ‘tak adil’. Dalam praktek kehidupan sehari-hari kita cenderung sulit menerima bila ada pernyataan ad hominem. Sebutlah contoh, kita tidak bisa mengatakan bahwa karya Soekarno Sarinah sebagai sebuah buku yang jelek lantaran Soekarno terkenal sebagai pria mata keranjang. Atau misalnya traktak pendidikan dari Rousseau tentu tidak begitu saja dibuang ke tong sampah lantaran kenyataan bahwa Rousseau sendiri menelantarkan anak semata wayangnya. Pembacaan ad hominem sebagai sesuatu yang tak adil bisa juga disematkan pada Nietzsche; tidak lantaran pada Januari 1889 ia kolaps di Turin dan sisa hidupnya sampai Agustus 1900 menderita kegilaan[6], sebagai hasil dari penyakit kelamin yang dideritanya semenjak mahasiswa, maka semua karya Nietzsche dianggap remeh. Sebagaimana juga seperti yang diungkapkan seorang komentator Nietzsche, “…Jangan habiskan waktumu belajar filsafat Nietzsche. Selain ia seorang atheis, ia juga pada akhirnya menghabisi masa hidupnya dalam kegilaan”.[7] Demikianlah, argumen ad hominem pun digunakan oleh para komentator dan pengkritik Nietzsche untuk membicarakan Nietzsche sendiri.

Dalam tulisan ini saya akan berkonsentrasi pada ad hominen sebagai gaya berfilsafat Nietzsche dan bagaimana ad hominem merupakan metode yang tak terpisahkan dari filsafat Nietzsche. Seluruh tulisan ini bertumpu dari pembacaan atas artikel Robert C. Solomon di atas pada bagian-bagian tertentu, terlebih pada tiga sub bab pertama, namun sebisa mungkin saya juga berusaha untuk mencari bahan-bahan rujukan pendukung lainnya yang akan disebutkan di catatan kaki.

Ad Hominem sebagai Gaya dan Strategi Filsafat Nietzsche

Nietzshe tidaklah menulis dalam gaya filsafat yang rigourus atau ketat. Ia justru menulis layaknya bercerita, dengan gaya aforisme-aforisme. Hal ini membuat pembacanya tidak langsung dapat menangkap inti pemikiran Nietzsche secara langsung. Solomon menyatakan bahwa gagasan Nietzsche seperti ‘keberulangan secara abadi’, ‘Uebermensch’, dll., didapatkan lebih banyak melalui catatan-catatan Nietzsche yang belum dipublikasikan dan juga dalam tulisan bergaya sastranya Thus Spoke Zarathustra. Membaca teks Nietzsche yang demikian ini, konsekuensi dari gayanya yang tidak sistematis akademis namun lebih bersifat sastrawi ini, kita harus selalu menyadari kekayaan makna yang bisa didapatkan dari kalimat-kalimat berciri demikian. Membaca teks Nietzsche, kita tak perlu bersusah payah untuk menguliti teks tersebut untuk mendapatkan apa yang hendak disampaikan penulisnya. Karena, Nietzsche sendiri tidak menganjurkan pembacanya untuk mengikuti dia, melainkan mengikuti jalan si pembaca itu sendiri.[8]

Solomon menegaskan pula bahwa dengan memperhatikan tulisan-tulisan Nietzsche yang ad hominem tersebut terlihatlah bahwa Nietzsche menuliskan atau mengomentari, dengan kata lain menaruh perhatian yang besar terhadap tema-tema filsafat sejak zaman antik seperti keasalian kebenaran, moralitas, religiusitas, kelahiran dan struktur masyarakat, kebebasan diri dan rasionalitas. Atas ide-ide itu, Nietzsche justru memeriksa bagaimana ide-ide tersebut bisa muncul, alih-alih menjawabnya atau mempertanyakannya kembali.[9] Nietzsche hendak memeriksa, orang seperti apa yang mungkin untuk mengeluarkan ide tertentu dan percaya pada ide tertentu tersebut. Nietzsche dengan demikian melihat adanya hubungan antara filsuf dan pemikirannya. Bagi Nietzsche yang terpenting adalah psikologi dan bukan metafisika. Psikologi baginya adalah alat yang essensial; “…[psikologi] haruslah diliat sebagai ratu ilmu pengetahuan”.[10]

Solomon beranggapan bahwa gaya dalam filsafat bukanlah sekadar gaya. Dalam sebuah tulisan filsafat, gaya tulisannya adalah juga cara pandang atas dunia dan juga cara berpikir. Dengan demikian tujuan utama tulisan atau filsafat Nietzsche bukanlah untuk memformulakan sebuah teori, sebuah metafisik yang kuat tetapi Nietzsche menulis atau berfilsafat demi hidup itu sendiri. Demikian Solomon menggambarkannya,

Mengapa “kebenaran” sedemikian penting untuk kita, dan tidak hanya sebagai ahli filsafat? Bagaimana dengan hidup yang mulia atau perbaikan kepalsuan? Tetapi mengapa kita berpikir bahwa jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu itu berada di dalam level abstraksi yang umum bukan suatu pengujian hati-hati atas diri kita sebagai manusia?[11]

Dengan demikian, Nietzsche hendak mengajak pembacanya untuk menggali lebih dalam apa yang mendasari diri kita untuk mencari kebenaran, mencari kehidupan yang mulia, dsb. Terlalu cepat berlari pada sesuatu yang abstrak, sesuatu yang berada di luar diri manusia itu sendiri bukanlah hal-hal yang dikehendaki Nietzsche; justru diserangnya. Dengan demikian, kehidupan manusia itu sendirilah yang menjadi penting bagi Nietzsche.

Rumah Nietzsche di Sils Maria, Swiss | Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Nietzsche-Haus,_Sils_Maria

Penekanan pada kehidupan sebagai tujuan atau tugas dari filsafat memang adalah ciri khas filsafat Nietzsche. Filsafatnya disebut juga sebagai seni hidup (eine Kunst des lebens). Hal inilah yang membuat Nietzsche dianggap dekat atau terpengaruh pula, tentu saja Nietzsche meradikalkan dan juga mengkritik, tradisi Stoikisme. Kecurigaan atau pemaparan akan hal itu misalnya dapat kita temukan dalam tulisan R.O. Elveton, Nietzsche’s Stoicism: The Depths are Inside[12]. Sehingga, Solomon menekankan pula untuk melihat manusia yang melampaui sebagai sebuah sikap hidup, tentang adanya atau tak adanya emosi tertentu, dan bukan sebagai sebuah proyeksi metafisif atau sebagai produk evolusi biologis.[13] Hal-hal ini bagi sebuah sistem filsafat dan sistem teologi biasanya disematkan pada dogma-dogma mereka. Nietzsche mengkritik tendensi ini dengan menggali sesuatu yang ada di belakang dogma-dogma itu. Argumen ad hominem dari Nietzsche bagi Solomon adalah argument yang paling mampu mengkritisi tendensi filsafat, teologi, dan metafisika ini,

…Apa yang bisa lebih membinasakan dalam perlawanan terhadap bualan diri yang bajik dari beberapa filsuf dan teolog dibanding suatu argumentasi ad hominem yang mengikis kredibilitas mereka, yang mengurangi kealiman dan rasionalitas mereka ke perasaan amarah atau kecemburuan pribadi yang picik?[14]

Dengan demikian ad hominem adalah sebuah strategi Nietzsche untuk membongkar klaim-klaim filosofis, teologi, dan metafisika. Di dalam gaya argumentasi ad hominem ini kita pun menemukan semacam penghinaan sebagaimana ketika Nietzsche membicarakan Sokrates. Menurut Solomon gaya penghinaan ini merupakan usaha gerilya psikologis Nietzsche atas Kekristenan dan moral borjuis dari tradisi Yahudi-Kristen. Dengan penghinaan Nietzsche sebenarnya bertujuan untuk menggoncang kita. Ia hendak membuat kita jijik. Lantas, kita diajak untuk “menyelami sejarah dan manusia nyata yang ada di balik segala rasionalisasi dari tradisi moralitas.[15] Untuk memeriksa segala klaim moralitas, Nietzsche menggunakan metode ad hominem, yang mana membuat pemeriksaannya atas moralitas tersebut terlihat sebagai pemeriksaan yang bengis.[16]

Permasalahannya, seperti yang sudah disinggung di bagian awal tulisan ini, ad hominem seringnya dianggap sebelah mata. Menurut Solomon, argumentasi ad hominem memang jika dipandang dari posisi ilmu pengetahuan[17] berada pada posisi kedua. Tetapi ia dalam hubungannya dengan ilmu-ilmu seperti moralitas, filsafat, agama posisi ad hominem patut diperhitungkan karena berhubungan dengan manusia dan manusia lainnya.[18] Dan argumentasi ad hominem persis pula menunjukkan perkara manusia. Karena argumentasi ini membicarakan perihal manusia oleh manusia. Kenapa demikian? Dalam perkara moral misalnya, seseorang tidak dikatakan bermoral lantaran ia menuangkan gagasan-gagasan brilliant tentang moral, melainkan ia sendiri melakukan sesuatu yang bermoral. Dengan demikian, dalam perkara moral, argumentasi ad hominem bisa digunakan dan bisa dikatakan sahih.

Argumen ad hominem yang buruk memang ada. Namun di dalam Nietzsche kita menemukan ada relefansi antara argument ad hominem dengan apa yang hendak dikatakan filsafat Nietzsche. Dengan ad hominem, Nietzche hendak memeriksa bukan apa yang dikatakan melainkan mengapa seseorang mengatakan hal itu. Atau dengan kata lain Nietzsche hendak mengajak untuk mengadakan penyelidikan atas diri sendiri. Dengan ad hominem Nietzsche barangkali menghendaki pembacanya pun pula memeriksa diri atas segala klaim, kepercayaan dan ide yang mereka miliki.

Ad Hominem dan Perspektivisme

Argumentasi ad hominem Nietzsche menurut Solomon menunjukkan sebuah poin penting dalam filsafat Nietzsche yakni ‘perspektivisme’. Perspektivisme yang dimaksudkan adalah:

Seseorang selalu mengetahui atau mempersepsikan, atau memikirkan sesuatu dari sebuah perspektif yang particular—tentu saja tidak hanya menyangkut keluasan sudut pandang, tetapi sebuah konteks yang particular yang melingkupi kesan, pengaruh. dan gagasan, melalui bahasa orang itu dan pengaruh kesosialannya dan, akhirnya, ditentukan hampir segalanya tentang dirinya, psiko-fisik (psychophysical) seseorang, dan sejarahnya.[19]          

Bagi Nietzsche, setiap perspektif yang hendak mengklaim tak berkonteks waktu dan universal haruslah ditolak. Baginya spirit objektivisme hanya mungkin dengan mencari begitu banyak sudut pandang yang dapat diakses. Pengetahuan yang benar dengan demikian adalah memiliki pemahaman yang digeneralisir dari sebanyak-banyaknya sudut pandang.[20]

Ilustrasi Perihal Perspektif | Sumber: https://medium.com/@connect2vg/the-rise-of-perspectivism-fed4e0935338

Menggabungkan poin pemikiran Nietzsche tentang ‘perspektivisme’ ini, menurut Solomon, tepatlah jika metode yang digunakan Nietzsche adalah ad hominem. Kebenaran bagi Nietzshe selalu particular dan jika hendak mencari sebuah objektivisme seseorang harus melihatnya atau menggeneralisirnya dari berbagai sudut pandang secara maksimal. Sedangkan ad hominem adalah sebuah pemeriksaan atas orang dengan pemikiran atau kepercayaan tertentu. Dengan demikian, metode ad hominem adalah metode yang mendukung point pemikiran tentang ‘perspektivisme’ ini. Dengan formulasi yang lain bisa dikatakan bahwa metode ad hominem dari Nietzsche sejalan dengan, jika bisa dikatakan, epistemologinya; bahwa pengetahuan bersifat parsial dan tak ada yang universal sehingga untuk mencari tahu pengetahuan seperti apa yang ada pada seseorang maka metode yang mungkin untuk itu adalah metode ad hominem.

Pertanyaan kemudian adalah apakah dengan demikian taka da sebuah kebenaran tunggal atau sebuah kebenaran yang melandasi pengetahuan-pengetahuan yang particular itu? Atau dengan kata lain apakah ada “kebenaran pada dirinya”? Nietzsche menjawab hal itu dengan mengatakan bahwa, “tak ada fakta, yang ada hanya interpretasi”. Selain itu baginya tak ada fakta moral.[21] Permasalahan selanjutnya, sebagaimana diuraikan Solomon adalah apakah dengan demikian semua perspektif, karena sifat perspektif yang particular, sudah selalu benar? Atau dengan kata lain apakah Nietzsche adalah seorang relativis? Sampai pada pertanyaan ini barangkali kita bisa mencium alasan kenapa Nietzsche begitu banyak menginspirasi para pemikir postmodernisme semisal Jacques Derrida, Michel Foucault dan Luce Irigaray.[22] Persis di dalam postmodernisme kita tahu hilangnya narasi besar, hilangnya kebenaran tunggal diganti dengan narasi-narasi kecil dan kebenaran yang parsial; dengan kata lain relativisme. Barangkali lantaran dengan ‘perspektifisme’ Nietzsche ini ada kemungkinan atas terbukanya atau masuknya relativisme.

Menurut Solomon, perspektif selalu adalah perspektif atas sesuatu. Dengan demikian, sebuah perspektif yang particular selalu menyangkut sesuatu yang tertentu. Terhadap masalah moral misalnya akan ada banyak perspektif tentang moral dari orang-orang yang berbeda (katakanlah misalnya ada perspektif moral Kant, ada perspektif moral Utilitarianisme dsb.). Lantas, apakah semuanya benar? Apakah kita harus menerima segala klaim, atau segala perspektif, akan moral ini sebagai sesuatu yang benar? Menurut Solomon, pada titik inilah metode argumentasi ad hominem dari Nietzsche menjadi penting keberadaannya. Di sinilah metode ad hominem bukan sekadar sesuatu yang ngawur, bukan sekadar sebuah gaya penulisan tetapi penting sebagai sebuah metode.

Metode ad hominem adalah metode untuk menemukan diri seseorang; pemeriksaan atas seseorang. Ini membawa kita pada apa yang dikatakan di awal oleh Solomon tentang penekanan Nietzsche sebagai seorang psikolog ketimbang seorang filsuf. Sebagai seorang psikolog, NIetzshe menggunakan metode pemeriksaan ad hominem yakni memeriksa langsung pada manusia yang mempunyai perspektif tertentu. Perspektif adalah pandangan seseorang atas sesuatu; yakni kebenaran akan sesuatu yang bersifat tidak tunggal tetapi partikular.

Setiap manusia punya perspektif yang berebeda akan objek. Mereka menghasilkan perspektif yang berbeda. Untuk memeriksa perspektif terhadap masing-masingnya, Nietzsche menggunakan metode ad hominem. Metode ini tidak memeriksa bagaimana mereka melakukan penelitian atas obyek dan juga tidak memeriksa kenapa menghasilkan perspektif tertentu, melainkan ia memeriksa pada subyek yang berpikir tersebut. Dan mencari tahu mengapa ia bisa berpikir dengan cara A dan bukan B dan mengapa hasil pemikirannya adalah A dan bukan B.

Dengan demikian, melalui metode ad hominem inilah bisa ditemukan mana yang memiliki perspektif yang kuat dan mana yang lemah. Dalam moral menurut Nietzsche maka akan ditemukan mana yang bisa dikatakan sebagai perspektif budak dan mana yang bisa dikatakan sebagai perspektif tuan. Nietzsche tidak peduli dengan pemikiran A, pemikiran B, atau pemikiran C, tetapi ia hendak memeriksa mentalitas atau apa yang mendasari seseorang berpikir A dan orang lain berpikir C dan orang lainnya lagi berpikir B. Dengan demikian metode ad hominem sejalan pula dengan penegasan Nietzsche bahwa ia lebih menyerupai seorang psikolog. Dengan kata lain, Nietzsche seumpama seorang hakim yang memeriksa dan menjustifikasi mentalitas yang mendasari segala pemikiran.

Penutup

Pada tulisan di atas sudah terjawablah bahwa cara argumentasi ad hominem dari Nietzsche merupakan sebuah metode yang tidak bisa tidak harus digunakan di dalam filsafatnya sendiri. Salah satu point penting pemikiran Nietzsche adalah perspektivisme yang mana tidak mengakui adanya sebuah perspektif tunggal dan paling benar tetapi ia mengakui adanya berbagai perspektif. Hal ini sejalan dengan apa yang kita tahu bahwa menurut Nietzsche alam semesta ini bersifat chaos, tak ada yang tetap dan tunggal di dalamnya. Dan di dalam ke-chaosan itu manusia berada. Manusia lantas menggunakan filsafat dalam hidup ini. Kita ingat pula bahwa bagi Nietzsche filsafat adalah sebuah seni hidup.

Sumber Gambar: https://thelycaeum.wordpress.com/2014/10/17/nietzsche-the-death-of-god-and-cultural-criticism/

Nietzsche dengan metode ad hominem-nya lantas memeriksa seni hidup seperti apa yang sedang dijalankan kita. Ia datang dan memeriksa pemikiran dan filsafat, menggugat dan mempertanyakan segala klaim. Bagi Nietzsche yang terutama dengan demikian adalah seseorang yang berpikir itu, atau manusia yang berpikir itu, dan bagaimana struktur manusia itu, latar belakang manusia itu yang membuatnya bisa berpikir demikian. Hal ini dengan demikian sejalan dengan apa yang dikatakan bahwa jalan utama untuk pengetahuan adalah psikologisme.

Sampai di titik ini, penulis beranggapan bahwa Nietzsche menunjukkan ciri khasnya yang utama sebagai seorang anak Masa Pencerahan. Dengan metode ad hominem, dengan perspektifisme, dan penekanan pada psikologi seperti yang sudah diutarakan di atas kita menemukan bahwa yang terpenting adalah manusia yang berpikir. Namun Nietzsche tidak berhenti di situ. Ia lebih jauh memeriksa struktur manusia seperti apa yang memungkinkan manusia berpikir demikian dan demikian. Metode ad hominem dengan demikian bisa jadi sebuah metode yang paling mungkin dan paling mendasar untuk memeriksa manusia; manusia yang oleh masa pencerahan sangatlah penting. Nietzsche sebagai anak zaman pencerahan meradikalkan pentingnya manusia ini. Ia lebih jauh bahkan memeriksa struktur, unsur-unsur manusia yang berpikir itu.

[1] Robert C. Solomon, “Nietzsche ‘Ad Hominem’: Perspectivism, Personality and ‘Ressentiment'” dlm Bernd Magnus dan Kathleen M. Higgins (eds.), The Cambridge Companion to Nietzsche, (Cambridge: Cambridge University Press), 1996, hlm 180-222.
[2] Kamus Elektronik Merriam-Webster, Copyright @2003 Merriam-Webster Incorporated Version 3.0.
[3] Robert C. Solomon, “Nietzsche ‘Ad Hominem’… hlm. 180.
[4] Sebagaimana dikutip dalam Peter R. Sedgwick, Nietzsche: The Key Concepts, (Oxon: Routledge), 2009, hlm. 131.
[5] Peter R. Sedgwick, Nietzsche: The Key Concepts…, hlm. 131-132. Simptomatologi adalah suatu cabang ilmu medis yang berurusan dengan symptom (gejalah) dari penyakit. Dari Kamus Elektronik Merriam-Webster, Copyright @2003 Merriam-Webster Incorporated Version 3.0.
[6] Lee Spinks, Friedrich Nietzsche, (London: Routledge), 2003, hlm. 4.
[7] Robert C. Solomon, “Nietzsche ‘Ad Hominem’…, hlm. 192.
[8] Hal ini seperti diungkapkan A. Setyo Wibowo dalam bukunya Gaya Filsafat Nietzsche (Yogyakarta: Galang Press), 2004, terutama bagian Pengantar Penulis dan Bab I. Penulis buku tersebut menambahkan pula bahwa, nanti akan bisa dilihat, tafsiran mana yang bergaya dekaden atau ascenden. Bagi Nietzsche sendiri, seperti yang dikupas dalam buku ini, bahwa ada orang yang cukup kuat untuk masuk ke kedalaman dan ada juga yang tidak cukup kuat sehingga cukuplah untuk tidak masuk ke kedalaman.
[9] Robert C. Solomon, “Nietzsche ‘Ad Hominem’…, hlm. 184.
[10] Nietzsche sebagaimana dikutip dalam Peter R. Sedgwick, Nietzsche: The Key Concepts…, hlm. 131.
[11] Robert C. Solomon, “Nietzsche ‘Ad Hominem’…, hlm. 186.
[12] R. O. Elveton, “Nietzsche’s Stoicism: The Depths are Inside”, dalam Paul Bishop (ed.), Nietzsche and Antiquity: His Reaction and Response to the Cllasical Tradition, (Toronto: Husion House), 2004, hlm. 192-203.
[13] Robert C. Solomon, “Nietzsche ‘Ad Hominem’…, hlm. 186.
[14] Robert C. Solomon, “Nietzsche ‘Ad Hominem’…, hlm. 187.
[15] Robert C. Solomon, “Nietzsche ‘Ad Hominem’…, hlm. 187.
[16] Robert C. Solomon, “Nietzsche ‘Ad Hominem’…, hlm. 188.
[17] Yang dimaksud Solomon barangkali ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu alam, matematika, dsb., atau bisa dikatakan ilmu-ilmu yang tidak menjadikan manusia sebagai lokus penelitiannya.
[18] Robert C. Solomon, “Nietzsche ‘Ad Hominem’…, hlm. 193.
[19] Robert C. Solomon, “Nietzsche ‘Ad Hominem’…, hlm. 195.
[20] Peter R. Sedgwick, Nietzsche: The Key Concepts…, hlm. 113-114.
[21] Robert C. Solomon, “Nietzsche ‘Ad Hominem’…, hlm. 195-196.
[22] Peter R. Sedgwick, Nietzsche: The Key Concepts…, hlm. 125-126.

DAFTAR BACAAN:
Elveton, R. O., “Nietzsche’s Stoicism: The Depths are Inside”, dalam Paul Bishop (ed.), Nietzsche and Antiquity: His Reaction and Response to the Cllasical Tradition, (Toronto: Husion House), 2004, hlm. 192-203.
Sedgwick, Peter R., Nietzsche: The Key Concepts, (Oxon: Routledge), 2009.
Solomon, Robert C., “Nietzsche ‘Ad Hominem’: Perspectivism, Personality and ‘Ressentiment'” dlm Bernd Magnus dan Kathleen M. Higgins (eds.), The Cambridge Companion to Nietzsche, (Cambridge: Cambridge University Press), 1996, hlm 180-222.
Spinks, Lee, Friedrich Nietzsche, (London: Routledge), 2003.
Wibowo, A. Setyo, Gaya Filsafat Nietzsche (Yogyakarta: Galang Press), 2004.


Catatan: Tulisan ini merupakan tugas tengah semester mata kuliah NIetzsche di Program Magister STF Driyarkara, semester ganjil 2013/2014.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram