Pada Pemilu 2009, ada yang menarik dengan pelaksanaannya di dua kabupaten di Provinsi NTT. Di dua kabupaten tersebut, Pemilu diadakan tidak bersamaan dengan daerah lainnya di Indonesia yakni pada tanggal 9 April, melainkan pada tanggal 14 April 2009. Bukan karena bahan-bahan untuk kegiatan tersebut belum bisa sampai pada waktunya di kedua tempat itu, melainkan penundaan itu sehubungan dengan hari Kamis Putih, peringatan malam perjamuan terakhir Yesus Kristus bersama para murid-Nya sebelum Yesus disalibkan[1]. Ada apa dengan Semana Santa di kedua kabupaten itu? Padahal, hampir seluruh umat Katolik di Indonesia minus di kedua kabupaten itu bisa mengikuti Pemilu tanggal 9 April dengan baik dan merayakan Kamis putih dengan khidmat pula. Tentu ada yang berbeda dengan perayaan tersebut untuk umat Katolik dan masyarakat di kedua kabupaten itu.

Tulisan ini akan membicarakan Semana Santa atau Hari Bae dan lebih membatasi diri untuk melihatnya sebagai sebuah produk kebudayaan dan tidak melibatkan diri dalam perbincangan teologi Katolik. Maka, Semana Santa di sini akan dilihat sebagai sebuah acara budaya tahunan di kota Larantuka. Tulisan ini pun berusaha untuk membicarakan budaya secara sempit[2] dan juga dalam artian luasnya yakni makna-makna yang berada di balik benda-benda, realitas abstrak, warisan masa lampau.

Perarakan Tuan Ma Pada Perayaan Semana Santa | Sumber: https://www.vice.com/id_id/article/zmg3qa/menyambangi-satu-satunya-perayaan-mengarak-patung-yesus-dan-maria-di-indonesia

Tulisan ini akan membahas beberapa hal penting antara lain sejarah perayaan Semana Santa di Larantuka, garis besar pekan Semana Santa di Larantuka dan ritus-ritusnya, tempat-tempat kerohanian di Larantuka yang berkaitan dengan Semana Santa, beberapa tugas kunci dalam Semana Santa, dengan terlebih dahulu menyinggung barang sedikit tentang Kabupaten Flores Timur. Selanjutnya, makalah ini akan berusaha untuk memberikan penafsiran proses inkulturasi budaya dalam peristiwa tersebut. Tentu saja makalah ini tidak berada pada jalur kesempurnaan, masih banyak kesalahan dan kekurangan di sana sini. Untuk itu, sebelumnya kami meminta maaf. Setidak-tidaknya, makalah ini bisa memicu keingin-tahunan lebih jauh akan Semana Santa: Hari Bae di Nagi.

Sekilas Kabupaten Flores Timur dan Kota Larantuka

Kabupaten Flores Timur adalah kabupaten yang terbentuk bersamaan dengan terbentuknya provinsi NTT yang adalah hasil pemekaran dari Sunda Kecil, 50 tahun yang lalu. Awalnya, kabupaten ini terdiri dari daratan Pulau Flores bagian timur, Pulau Adonara, Pulau Solor, dan Pulau Lembata. Belakangan, beberapa tahun yang lalu, Lembata menjadi Kabupaten sendiri. Walau pun demikian, kesatuan keempat daratan ini masih terasa.

Sebuah Ilustrasi Kuno Kota Larantuka Dilihat dari Laut | Sumber: Istimewa

Ibu Kota kabupatennya adalah Kota Larantuka yang juga punya sejarah panjang, sebuah kota pelabuhan kecil sejak abad XV yang terletak pada 8,4 derajat lintang selatan dan 123 derajat bujur timur. Sisi selatan kota ini langsung turun ke laut, sedangkan utara langsung mendaki Gunung Ile Mandiri. Dengan kondisi seperti ini, Larantuka bertumbuh dan berkembang dari barat ke timur sepanjang lebih dari 10 km dan terkesan berkembang sangat lamban.

Masyarakat yang mendiami wilayah kabupaten ini bisa dibagi dalam dua kelompok besar yakni masyarakat Lamaholot dan masyarakat Melayu (berdasarkan bahasa yang digunakannya). Masyarakat lamaholot mendiami hampir sebagian besar wilayah kabupaten ini. Sedangkan masyarakat melayu mendiami tiga wilayah yakni di Larantuka kota, Konga, dan Wureh di Pulau Adonara. Perayaan Semana Santa sebenarnya terjadi di tiga tempat ini yang kerap disebut dengan Hari Bae di Nagi, Hari Bae di Konga dan Hari Bae di Wureh.

Sejarah Semana Santa

Membicarakan Semana Santa di Larantuka, tidak bisa dilepas-pisahkan dengan warisan Portugis untuk Indonesia dan untuk Larantuka pada umumnya.

Setelah menaklukkan Bandar Malaka, tahun 1511, kapal-kapal dagang Portugis berlayar menuju kepulauan Maluku dan Banda untuk mencari rempah-rempah. Sebagian kapal-kapal Portugis itu kadangkala bergerak tajam ke arah selatan ketika melewati Laut Flores atau Laut Banda. Mereka singgah di pulau-pulau yang menghasilkan kayu cendana putih yang tumbuh subur di sana. Jenis kayu ini sudah sejak lama menjadi barang dagangan yang dicari oleh pedagang-pedagang asal Cina dan dipakai sebagai bahan pembuatan dupa (joss-sticks), minyak wangi, dan peti mati yang berbau wangi. Harga kayu cendana ini di pelabuhan Kanton, bisa mencapai tiga kali harga di Pulau Timor.[3]

Sejak itulah, kepulauan di wilayah NTT sekarang mulai berinteraksi dengan bangsa Portugis, tak terkecuali wilayah di Flores Timur beserta kota-kotanya di sana. Pada tahun 1515, Portugis membangun kekuatannya di dua wilayah di Flores sebagai tempat singgah sebelum ke Pulau Timor yakni Ende dan Larantuka[4]. Larantuka dipilih mungkin karena letaknya yang strategis; tidak menghadap laut lepas dan terlindungi oleh dua pulau di depannya yakni Solor dan Adnonara serta teluknya yang tenang dan indah. Selanjutnya, Portugis lebih memusatkan kekuatannya di Pulau Solor yakni di Lohayong dan Larantuka ditinggalkan. Di Solor ini, pada tahun 1561 didatangi kaum misionaris Dominikan dan memulai misi Katolik di sana. Ketika Belanda menyerang Solor pada 1613 dan Portugis di sana kalah, Larantukalah tempat mereka melarikan diri bersama beberapa pribumi yang sudah memeluk Katholik. Namun ada yang menarik ketika komandan garnisun Belanda di Solor lantas membelot dan menggabungkan diri dengan Portugis di Larantuka dan memeluk Katholik[5].

Daerah Pelabuhan Larantuka Dilihat Dari Atas | Sumber: https://jatengpos.co.id/ntt-promosikan-wisata-religi-di-festival-bale-nagi-larantuka/

Pelabuhan Larantuka berkembang pesat. Kapal-kapal dari Jawa dan Cina rutin menyinggahi-mendatangi Larantuka. Pada tahun 1641, terjadi pengungsian besar-besaran orang Portugis dari Malaka ke Larantuka bersama orang Melayu Malaka yang telah memeluk agama Katholik karena Malaka direbut. Pengungsian besar-besaran inilah yang diduga membawa serta juga patung-patung dan benda-benda kerohanian Katholik ke Larantuka[6]. Para imigran ini membangun dua pemukiman baru yaitu Wureh dan Konga. Mereka menikah dengan wanita-wanita pribumi dan membentuk sebuah komunitas masyarakat baru. Mereka ini lantas disebut dengan orang Topas. Sedangkan orang Belanda menyebutnya Zwarte Portugeesen atau Portugis hitam, yang memang bisa dikenali dari kulit mereka yang berwarna gelap. Namun orang-orang yang tinggal di Larantuka, Konga dan Wureh menyebut diri mereka dengan sebutan Larantuqueiros atau orang dari Larantuka.[7] Kedatangan orang Portugis dan pribumi Malaka yang telah memeluk Katholik dan lantas menikah dan berinteraksi dengan mastarakat asli ini, tentu saja mengakibatkan agama Katholik dikenal dan dipeluk oleh masyarakat pribumi.

Sebelum kedatangan bangsa Portugis ini, di Larantuka sudah ada Kerajaan Larantuka. Pada tahun 1645, Raja Larantuka bernama Olla Adobala dipermandikan oleh seorang imam Katholik Portugis dan menyandang nama Don Fransisco Olla Adobala Diaz Viera Ghodinho (DVG). Sejak ia dan seterusnya, Kerajaan Larantuka dibangun dan diperintah secara Katolik. Ia juga menyerahkan tongkat emas kerajaan pada Bunda Maria Reinha Rosari. Ratu Kerajaan Larantuka sesungguhnya adalah Bunda Maria Reinha Rosari dan keturunan Ile Jadi (DVG) adalah wakil-wakilnya di dunia. Raja karenanya hanya bergerak di bidang keagamaan, menjadi Presidenti (pemimpin perserikatan Conferia) dengan bendera Keloba (gurita) sebagai bendera Conferia.[8] Kerajaan Larantuka adalah kerajaan terbesar di Flores Timur dan dikenal sampai di ujung timur Pulau Timor. Di Lospalos misalnya, Raja Fuiloro, Verrisimo menyimpan pusaka berupa Kain Larantuka yang unik.[9]

Otomatis, dengan pemerintahannya seperti di atas, seluruh kerajaan Larantuka pun dengan tangan terbuka menerima agama Katholik. Prosesi Jumat Agung dan pekan Semana Santa pun mulai diberlakukan secara rutin sejak tahun 1736. Sebelumnya pun sudah dilakukan, tetapi tidak rutin dan belum teratur.[10]

Hari Bae di Nagi

Pekan Semana Santa di Larantuka dirayakan hampir seminggu penuh, mulai dari Minggu Palma sampai Minggu Paskah. Tetapi yang menarik dan akan dibahas di sini adalah Rabu Trewa, Kamis Putih, Jumat Agung dan Sabtu Santo.

Rabu Trewa
Hari Rabu dalam pekan suci di Larantuka disebut Rabu Trewa. dan maknanya, maka di Larantuka sudah sejak dulu hari Rabu dalam pekan suci disebut dengan Rabu trewa. Tradisi Rabu trewa memang unik dan hanya ada di Larantuka dan sekitarnya. Rabu trewa di Larantuka ditandai dengan penutupan mengaji semana santa (bedoa sambil bernyanyi yang dilakukan sejak Rabu Abu) yang merupakan giliran Kapiten Jentera Kampung Larantuka. Dan dimulai mengaji semana santa bergilir 13 suku yaitu Suku Kabelen (Resiona), Suku Lewai (Kabu dan Leweni), Raja Ama Koten (Diaz Viera da Godinho), Suku Kea (Aliandu), Raja Ama Kelen (Bl de Rosary), Suku Maran, Suku Sau (Diaz), Suku Riberu da Gomez, Suku Kelen, Suku Lamury, Suku Mulowato, Suku Lawerang, dan Suku Kapiten Jentera (Fernandez Aikoli). Petangnya diadakan Lamentasi (ratapan) yang mengikuti ritus Romawi kuno di Postoh. Akhir dari Lamentasi dibuatlah keributan semacam kegaduhan dengan teriakan “trewa, trewa, trewa”. Zaman dahulu, acara ini menghalalkan penghancuran kapal-kapal yang ada di pelabuhan dan dihiasi pula dengan mabuk-mabukkan dan pesta. Namun kini tidak lagi dilakukan.

Kamis Putih
Pada hari Kamis Putih dilakukan upacara ‘muda Tuan’, yakni upacara pembukaan peti patung Mater Dolorosa atau Tuan Ma lantas dibersihkan dan dimandikan lalu dihiasi. Setelah itu kesempatan diberikan kepada umat untuk menyembah dengan menyampaikan promesa (intensi-intensi khusus) berupa mohon berkat dan rahmat Tuhan. Ini dilakukan juga di Kapela Tuan Ana.

Prosesi Bahari di Larantuka | Sumber: http://masankian.blogspot.com/2016/03/cerita-prosesi-bahari-hari-ini.html

Jumat Agung
Pukul 14.00 Tuan Ma dan Tuan Ana diarak menuju gereja Katedral Reinha Rosari. Perarakannya diatur dengan susunan sebagai berikut: Genda Do yang ditabuh terus menerus sejak saat itu sampai selesai prosesi di malam hari, Serdati: Panji Coferia Reinha Rosari, Salib dan Serai (kaki lilin besar yang mengaoit salib), Tangan Dayabu (tangan setan, lambang godaan setan sepanjang sejarah manusia), gian de morti (lukisan rangka manusia, lambing kematian dan pengaruh setan), Lampion (lambang terang), Krenti dan Krona Spina (rantai dan mahkota duri lambang belenggu setan dan keangkuhan manusia), Paku dan Pemukul, Pundi-pundi, Tongkat dan Bunga Karang, Lembing atau Tombak, Dadu dalam piring, Buah-buahan, Tempayan, Ayam Jantan, Salib, Tangga. Setelah itu diikuti oleh Tumba Tuan Ana, umat promesa Tuan Ana, para pesadu dan Irmao Conferia bersama Raja, umat yang promesa Tuan Ma.

Di gereja Katedral Larantuka umat bekumpul, dan para Konfreria mengumandangkan ratapan Yeremiah yang syahdu dan menyat hati, berkumandang hingga perarakan patung keluar dari gereja Kathedral. Sementara itu perkuburan yang hanya berbatas pagar dengan katedral telah dipenuhi umat yang berziarah. Kontras dengan ramainya orang ini, keadaan di perkuburan terkesan sunyi mencekam. Prosesi pun berjalan dengan melewati armida-armida.

Minggu Alleluya
Pada hari Minggu Paskah terjadi upacara Ekaristi Paskah di Gereja, sedangkan sorenya umat bersama irmau dan pesadu Confreria menghantar patung Maria Alleluya dari kapela Pantekebis ke Gereja Kathedral untuk disemayamkan selama upacara ekaristi. Selesai perayaan ekaristi, patung Maria Alleluya diarak kembali ke kapela Pantekebis; setelah pentakhtaan patung Maria Alleluyah, dilakukan acara “sera punto dama” dari para mardomu pintu Tuan Ma dan Tuan Ana yang lama kepada yang baru. Acara “sera punto dama” juga dilakukan di Kapela Missericordia Pante Besar setelah mengaji Alleluyah selesai.

Dengan demikian, berakhirlah prosesi suci yang panjang; Semana Santa dengan Sesta vera sebagai mahkotanya. Sebagai budaya sakral warisan Portugis, ritus suci digelar juga di Konga dan Wureh.

Kapela dan Armida serta Tori

Di Larantuka terdapat banyak Kapela. Hampir di setiap kampungada kapela dengan pelindungnya yang berbeda-beda. Yang terbesar dan menjadi pusat Semana Santa adalah Kapela Tuan Ma dan Kapela Tuan Ana. Ada lagi dua kapela di ujung timur dan barat Larantuka yang menjadi perhatian ketika Semana Santa yaitu Kapela Tuan Menino dan Kapela Miseri Cordia. Ketika Prosesi Jumat Agung, kapela-kapela kecil di kampung-kampung pun ikut berdoa dengan syahdu, menyalakan lilin yang harus dinyalakan tepat ketika Persisa dimulai dan boleh dimatikan tepat ketika persisa selesai.

Kapela Santo Antonius dari Padua di Kota Sau, Larantuka Masa Kini

Dalam pelaksanaannya, perjalanan prosesi mengelilingi Kota Larantuka menyinggahi 8 armida/perhentian (lambang 8 suku yang berfungsi) yaitu:

  1. Armida suku Mulawato (Pantai Besar) di Kelurahan Lohayong dan Pohon Sirih.
  2. Armida umat Sarotari di Pohon Sirih dan Balela, yang berpelindung Amu Tuan Meninu (Tuan Bayi Anak).
  3. Armida Suku Amakelen dan ama Hurint Balela di Kapela St. Philipus Balela.
  4. Armida Suku Kapitan Jentera dengan pelindung Amu Tuan Trewa (Tuan Terbelenggu).
  5. Armida Suku Riberu da Gomes di depan Kapela Tuan Ma.
  6. Armida suku Sau/Diaz di Kapela Benteng Daud/Pohon Sirih dengan pelindung St. Antonius dari Padua.
  7. Armida keluarga Raja Diaz Viera de Godinho di Armida Kuce di depan istana Raja Larantuka.

Selain Kapela dan Armida (armida bersifat temporal hanya ketika Prosesi Jumat Agung), ada juga tempat ibadat yang disebut Tori. Tori adalah rumah yang secara khusus dijadikan tempat ibadat dan menyimpan benda-benda suci seperi salib, patung peninggalan nenek moyang. Tori-tori ini adalah milik suku-suku tertentu yang menjaga pusaka mereka yakni benda-benda suci tersebut secara turun temurun. Tori-tori itu antara lain Tori Tuan Trewa, Tori Suku Teluma/ Da Santo, Tori Mesti De Kampu/Tori Pante Kebis,Tori Lewai.

Kapela Santo Antonius dari Padua di Kota Sau, Larantuka Pada 1975

Beberapa Istilah Khas dan Tugas Khas dalam Semana Santa: Hari Bae di Nagi

  • Angka Mardomu: Ini adalah orang yang bertugas mempersiapkan, mengatur, dan melaksanakan hal-hal yang diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan prosesi.
  • Tikan’ turo: adalah kegiatan yang dimulai sejak hari senin setelah minggu palma yang merupakan kegiatan persiapan rute Prosesi Jumat Agung. Kegiatan ini berupa pemasangan bambu-bambu untuk penatakan lilin di sepanjang rute prosesi.
  • Sera Punto Dama adalah kegiatan penyerahan tugas Mardomu selanjutnya. Dilakukan pada Minggu Alleluya.
  • Lakademu berasal dari Nikodemus. Mereka bertugas mengusung peti mati Kristus. Dan mereka dipilih secara suka rela dan rahasia, biasanya bagi orang yang punya niat yang sangat khusus dan mau menyilih dosa berat.
  • Coferia adalah kelompok awam yang dibentuk sejak lama sekali dan terus ada sampai sekarang.
  • Denga Deo adalah orang yang bertugas menjaga kapela, berdoa di kapela tiap hari.

Penutup

Semana Santa di Larantuka tidak bisa tidak adalah sebuah warisan bangsa kolonial Portugis. Walau pun demikian, masuknya Semana Santa sebagai laku hidup orang Larantuka dari dulu sampai sekarang bukanlah dengan paksaan, karena orang Larantuka sendiri berdasarkan sejarahnya adalah percampuran antara kaum pendatang (orang Portugis, Topas, dan pribumi Malaka yang beragama Katholik) yang datang dan hidup berdampingan secara rukun dengan masyarakat asli. Ditambah lagi ketika Katholik menjadi agama kerajaan Larantuka, terasa benar unsur penerimaan dengan damai agama ini, berikut variannya berupa Semana Santa.

Semana Santa yang adalah puncak dari hidup rohani orang Larantuka selama setahun merupakan warisan turun-temurun dari leluhurnya. Kedudukan suku-suku yang tetap diperhitungkan dan diberi tempat dalam Semana Santa adalah bukti bahwa peristiwa ini merupakan penggabungan damai yang sempurna antara agama lokal dengan agama Katholik, serta ‘trah’ suku dalam kehidupan tradisional orang Larantuka. Sekarang tinggal bagaimana generasi masa kini menghadapi warisan ini dan mengembangkannya sebagai sebuah laku hidup iman yang sesungguhnya.

Semana Santa juga adalah sebuah peristiwa budaya karena ini merupakan sebuah tradisi dengan peraturan tertentu yang harus ditaati. Dalam sebuah tradisi tentu selalu ada nilai-nilai luhur yang hendak dipelihara, dijaga dan dijadikan patokan hidup. Maka tantangan untuk orang Larantukheoz adalah terus menggali dan menghayati nilai-nilai luhur yang ditanamkan dan dijaga di dalam Semana Santa tersebut.

Gereja Katedral Larantuka | Sumber: https://4.bp.blogspot.com/-Ckxhrf2znkU/VRD98ydmgbI/AAAAAAAAARs/p5Ugee_HBqE/s1600/IMG_4401.JPG

[1] Seribu Umat Laksanakan Semana Santa oleh Samuel Oktora dalam http://regional.kompas.com/read/xml/2009/04/09/08284156/seribu.umat.laksnakan.semana.santa. Kompas.Com, Kamis 9 April 2009, diakses pada tanggal 11 April 2009, pukul 13.15.
[2] Budaya yang berada pada tingkat yang lebih renda adalah berupa benda-benda sedangkan pada tataran yang lebih tinggi ia mengandung nilai-nilai kerohanian, makna hidup.
[3] Didik Pradjoko, “Perebutan Pulau dan Laut: Portugis, Belanda dan Kekuatan Pribumi di Laut Sawu Abad XVII-XIX”, Makalah pada Konferensi Nasional Sejarah VIII, 14-16 November 2006 di Jakarta, hal. 2-3.
[4] Ibid, hal. 3.
[5] Ibid, hal. 5.
[6] Joao Pinto da França, Pengaruh Portugis di Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 1991.
[7] Op.cit, hal 7.
[8] B. Michael Beding dan S. Indah Lestari Beding, Lensa Flores Timur, Pemda Tk. II Flores Timur-NTT, Larantuka, hal. 31.
[9] Ibid, hal. 33.
[10] Ibid, hal. 34. Bdk. Johan Suban Tukan (ed), Prosesi Bersama Tuan Ma dan Tuan Ana: Mempertimbangkan Tradisi Katolik di Larantuka-Konga-Wureh, YPPM, Jakarta 2001


Catatan: Tulisan ini merupakan tugas pada kuliah Antropologi Budaya Indonesia, STF Driyarkara, semester II, TA 2008/2009.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram