Herakleitos lahir di Efesus, kira-kira pada tahun 540 SM. Ia sering pula dijuluki sebagai “si gelap” akibat karakternya, di mana ia begitu mengagungkan keningratannya dan sering mengasingkan diri dari publik. Ia sebenarnya mewariskan pada kita ribuan fragmen. Banyak dari fragmen-fragmennya itu bisa sampai pada kita saat ini berkat kerja keras dua Bapak Gereja yakni Clement dari Alexandria yang melihat Herakleitos sebagai nabi pagan dan Hippolytus dari Roma yang menganggapnya sebagai ayah spiritual dari Monarki Noetus yang bid’ah (Barnes, 1982). Ini mengakibatkan banyak sarjana yang membaca fragment-fragment Herakleitos dengan hati-hati dan berusaha untuk melepaskan teks-teks itu dari pengaruh pandangan Kristen Awal dan juga aliran filsafat Stoa.

Herakleitos bahkan mungkin pernah menulis buku karena ada sebuah anekdot dari Diogenes Laertius yang bercerita bahwa setelah Euripidies menyerahkan sebuah kopian buku Herakleitus pada Socrates dan bertanya tentang pandangan Sokrates atas buku itu, Sokrates menjawab: “apa yang saya pahami ini sangat bagus; dan apa yang saya tak mengerti pun sangat bagus juga. Tetapi dibutuhkan seorang penyelam Delian untuk mendapatkan dasar makna tulisan ini”. Fragmen ini menggambarkan bagaimana tulisan Herakleitos (maka juga pemikirannya) sulit dipahami, bahkan oleh Sokrates sekalipun.

Alam Sebagai Api

Sebagaimana para filsuf pra sokratik lainnya, Herakleitos pun menyibukan pemikirannya dengan pencaharian substansi pertama yang menjadi asal dari segala sesuatu (phusis). Maka, untuk Herakleitos, konsep dasar atau arche alam semesta adalah api. Sebab, api punya sifat yang selalu bergerak dan berubah dan tidak tepat.

The Parthenon under restoration in 2008 | Sumber: wikipedia.org

“Kosmos ini, sama bagi semua, tidak pernah dibuat oleh manusia maupun tuhan, kosmos ini selalu ada, (sekarang) ada dan akan ada seperti api yang selalu hidup, menyala dan meredup sesuai waktunya (ukurannya)” (DK 22 B 30)

“Segala sesuatunya dapat dipertukarkan dengan API, dan API adalah alat tukar bagi segala sesuatu, sama halnya semua harta milik bisa dipertukarkan dengan emas, dan emas dengan segala harta milik.” (DK 22 B 90)

“Herakleitos berpendapat bahwa api periodik adalah tuhan kekal, bahwa Takdir adalah logos yang memunculkan segala hal yang ada lewat persaingan antar hal-hal yang berlawanan. –Herakleiots mengatakan bahwa segala sesuatunya muncul seturut Takdir dan bahwa Takdir itu sama dengan Keniscayaan.— Herakleiots mendukung pendapat bahwa esensi dari Takdir adalah logos yang menyebar dalam seluruh realitas. Realitas kita ini adalah sebuah tubuh dari ether (sesuatu yang transparan), benih dari mana semesta ini muncul dan (benih) bagi periode sesuai ukuran (waktu) yang sudah ditetapkan.” (DK 22 A 8 (Aetius 17:22)

“Ia mengatakan bahwa api berfungsi sebagai logos dan tuhan, memerintah segala hal, (api) berubah menjadi udara lalu bertransformasi menjadi kelembaban (…) yang lalu ia sebut sebagai lautan; dan dari lautan, pada gilirannya muncullah tanah, langit dan segala hal yang ada di dalamnya. Cara semua hal itu kembali lagi ke asal semula dan terbakar semuanya dalam api.” (DK Fragmen 31)

“Herakleitos… mengatakan bahwa api adalah prinsip utama, dan asal dari benda-benda lainnya yang ada dari api oleh pengembunan dan penipisan, dan berubah menjadi api kembali, ini adalah pokok dari alam; bagi Herakleitus, segalanya adalah penukaran api.” (Menurut Simplicius; dalam Barnes, 1982)

Perang Adalah Ayah dari Segalanya

Perang di sini dibaca sebagai kontradiksi.

“Harus mengerti bahwa perang itu sesuatu yang biasa, bahwa pertentangan adalah keadilan dan bahwa segala sesuatunya muncul dan mati seturut dengan pertentangan dan keniscayaan.” (DK 22 B 80)

“Hidup atau mati, bangun atau tidur, muda atau tua, semuanya sama saja, karena masing-masing berubah ke lawannya dan sebaliknya.” (DK 22 B 88)

Peloponnesian War | Sumber: britannica.com

“Herakleitos menyatakan bahwa yang Menyeluruh adalah terbatas (dan) tak terbatas, menjadi (dan) tidak menjadi, mortal (dan) imortal, logos kekal, ayah anak, tuhan adil, dan mengatakan : jangan dengarkan aku tetapi dengarkanlah logos, dan sangat bijaksana menerima bahwa yang Melenyuruh adalah satu.” (DK Fragmen 50)

“Tuhan adalah siang hari dan malam hari, musim dingin dan musim panas, perang dan damai, kekayaan dan kelaparan,(maksudnya segala hal yang bertentangan) ia mengambil bentuk yang beraneka ragam, mirip dengan minyak zaitun, saat dicampurkan dengan rempah tertentu, ia lalu diberi nama yang berbeda-beda sesuai dengan bau yang muncul darinya.” (DK Fragmen 67 dari Herakleitos)

Pada kontradiksi-kontradiksi ini, Herakleitos ingin menggambarkan bagaimana sesuatu yang stabilitas bisa menjadi keseimbangan yang dicapai oleh kekuatan yang berlawanan di dalam proses yang sama. Selain itu, sebuah pemahaman akan sesuatu bisa muncul ketika ada kontradiksinya yang dipahami. Atau bisa juga dikatakan bahwa sesuatu menjadi ada ketika ia mempunyai kontradiksinya. “Kenyang” bisa ada karena ada “lapar”. Tak bisa dibayangkan kalau “lapar” itu tak ada. Bisa-bisa, “kenyang” tidak berarti apa-apa atau malah tak ada sama sekali. Selain itu, hal-hal yang bertentangan bisa membangun suatu hal yang utuh.

Segala hal yang bertentangan adalah tuhan bisa dipahami sebagai; segala yang bertentangan itu adalah sebuah usaha mengada. Jadi pertentangan itu berfungsi sebagai faktor pendorong mengadanya sesuatu.

Segalanya dalam Proses Bergerak dan Berubah

Salah satu ucapan yang terkenal dari Herakleitos adalah Panta khorei kai ouden menei: segalanya berubah, dan tidak ada yang tetap tinggal. Dalam pemahaman ini juga, Herakleitos pernah berujar bahwa seseorang tidak bisa masuk ke dalam sungai yang sama dua kali.

“Bukankah Herakleitos yang mengatakan bahwa segalanya berubah dan tidak ada yang tetap tinggal; dan membandingkan segala sesuatu itu (benda-benda) dengan aliran sungai, ia menambahkan bahwa kita tidak bisa masuk dua kali ke sungai yang sama.” (Platon; dialog Katylos 402a).

“Herakleitos, saya kira, berkata bahwa segalasesuatu bergerak (panta rhei) dan tak ada yang beristirahat.” (42: Cratylus 402A = A6 dalam Barnes 1982.)

“…tidak ada beberapa benda bergerak dan lainnya tidak, tetapi semuanya selalu bergerak, lebih dahulu dari persepsi kita.” (Physics 253b9, dalam Guthrie, 1969)

Untuk memahami “segalanya dalam proses bergeraknya Herakleitos” ini lebih gampang dimulai dengan perkataannya bahwa “kita tidak bisa masuk dua kali ke dalam sungai yang sama. Sebab sungai itu selalu mengalir dan berubah. Air yang ada di depanku sedetik lalu, tak sama dengan air (sungai) di depanku saat ini. Dan “aku” yang hendak masuk ke dalam sungai pun sudah berubah, bukan lagi aku yang sedetik lalu.

Sebuah Penggambaran Herakleitos

Maka, yang ada di dunia ini (semua realitasnya) adalah selalu berada dalam proses mengalir, berubah, atau menjadi. Maka, segala yang terlihat stabil, tetap seperti apa adanya, tidak berubah, pada hakikatnya tengah mengalami perubahan. Di sini terjadi bagaimana “realitas” yang ditangkap panca indera adalah realitas yang tak benar atau menipu.

Pertanyaannya adalah bila pancaindera yang bisa dirasakan secara real itu menipu, lantas apa yang bisa meneguhkan bahwa pemikiran yang lebih abstrak itu tidak akan menipu? Dan penipuan yang dilakukan realitas itu seperti apa bentuknya? Atau mungkin lebih baik dikatakan bahwa panca indera tidak mampu menangkap sesuatu yang sesungguhnya sehingga yang ditangkapnya adalah sebuah kebohongan. Namun bila dikembalikan pada ide Herakleitos sendiri di point “Perang Adalah Ayah dari Segalanya” di atas, bukankah sesuatu yang berbohong dibutuhkan untuk memunculkan kontradiksinya yaitu sesuatu yang tidak berbohong? Maka, jika memang benar panca indera itu berbohong, maka kenyataan itu harus diterima sebagai keniscayaan karena dia adalah salah satu faktor yang memungkinkan adanya kontradiksi yang memungkinkan munculnya kebenaran.

Daftar Bacaan:

Bahan Kuliah, “Sejarah Filsafat Yunani”, oleh A Setyo Wibowo.
Bahan Kuliah, “Extension Course 2 September 2008; Tuhan dalam Pemikiran Yunani” oleh A. Setyo Wibowo.
C.A. van Peursen (terjemahan), Orientasi Di Alam Filsafat (cetakan kelima), Jakarta: PT Gramedia, 1988.
Hector Hawton (terjemahan), Filsafat yang Menghibur, Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003.
I.R. Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat (cetakan keenam), Jakarta: Bina Aksara, 1983.
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers, London: Routledge & Kegan Paul, 1982.
W.K.C Guthrie, A History of Grek Philosophy Vol II The Presocratic Tradition from Parmenides to Democritos, Cambridge: Cambridge University Press, 1969.


Catatan: tulisan ini merupakan makalah untuk sebuah mata kuliah S1 di STF Driyarkara kala itu. Dipublikasikan di blog kecoamerah pada Desember 2009.

 

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram