Salah satu tema perbincangan yang hangat dalam keseharian kita di Indonesia saat ini adalah ruang publik. Ruang Publik menjadi sebuah tema penting karena kemajemukan masyarakat kita adalah sesuatu yang niscaya dan merupakan sesuatu kenyataan yang ada sejak dulu di negeri ini. Ruang Publik adalah ‘tempat’ interaksi beragam bentuk masyarakat. Itu berarti ruang publik adalah juga sebuah ‘tempat’ di mana masyarakat berkumpul dan dengan demikian bisa dikatakan menjadi pula sebuah bentuk masyarakat yang lain.

Melihat fenomena perbincangan ruang publik yang demikian ramai dan bersamaan dengan itu membaca karya Elias Canetti Crowds and Power, saya tergelitik untuk melihat ruang publik tersebut dalam kaca mata Canetti. Kenapa hal itu menjadi menarik? Saya berangkat dari beberapa asumsi. Jika ruang publik adalah sebuah keharusan atau salah satu jawaban dalam kondisi sebuah masyarakat yang majemuk, maka ruang publik itu adalah upaya pendamaian atau penertiban, mungkin pula penentraman atas kemajemukan tersebut. Hal ini coba saya sandingkan dengan salah satu butir pemikiran Canetti bahwa tatanan sosial muncul karena individu takut bersentuhan dengan yang tak diketahui. Bahkan soal takut bersentuhan ini bisa jadi merupakan titik pijak pemikiran Canetti; buku Crowd and Power dibuka dengan kalimat demikian, “there is nothing that man fears more than the touch of the unknown[1].

Maka, muncullah pertanyaan bagi saya, apakah ruang publik yang diperbincangkan akir-akir ini adalah dampak dari rasa takut bersentuhan itu? Untuk mencari jawab atas pertanyaan itu maka dalam tulisan ini saya coba untuk pertama sedikit memaparkan pemikiran Canetti yang relefan, dengan sebelumnya memberikan biodata singkat Canetti. Kedua, saya akan menyarikan beberapa pokok penting tentang ruang publik dari beberapa literatur mengenainya. Saya juga selanjutnya akan memberikan sebuah pembahasan tentang poin takut persentuhan Canetti dalam hubungannya dengan ruang publik pada bagian ketiga. Ini akan diikuti dengan pembahasan keadaan Indonesia kontemporer di mana terjadi banyak pertikaian antara ‘kerumunan’ yang satu dengan yang lainnya pada bagian keempat. Setelah perihal ini coba disentuh, saya akan coba melihat bangsa Indonesia sebagai sebuah ‘kerumunan nasion’ dari kaca mata Canetti pada bagian kelima dan bagaimana ‘kerumunan’ besar itu mengalami penurunan. Bagian kelima sebagai bagian penutup adalah mencari kemungkinan ruang publik dari sudut pandang Canettian.

Elias Canetti[2]

Canetti lahir dari keluarga Yahudi Bulgaria. Ia lahir di kota Rustschuk pada 25 Juli 1905 dan meninggal di Züric pada 03 Agustus 1994. Canetti pada usia belia harus melihat kematian ayahnya pada 1912. Menurut pengakuan Canetti sendiri, pengalaman inilah yang membuatnya membenci kematian. Canetti termasuk orang yang berpindah-pindah tempat tinggal. Selain di Rustschuk dan Züric ia juga pernah tinggal di Manchester, Wina, Paris, dan juga Frankfurt a.M. Di kota-kota berbeda inilah Canetti melihat beragam kebudayaan dan juga beragam masyarakat yang memupuk ketertarikannya pada antropologi dan perbedaan-perbedaan kehidupan masyarakat.

Elias Canetti | Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Elias_Canetti#/media/File:Elias_Canetti_2.jpg

Selain Crowd and Power yang pada 1981 mendapat hadiah nobel untuk kategori sastra, Canetti juga menulis karya-karya lain yang meliputi esai, novel, dan juga karya naskah drama. Crowd and Power merupakan karya yang merefleksikan perihal massa dan juga banyak hal lainnya. Bisa dikatakan di dalam buku ini Canetti menyelipkan beragam pemikirannya semisal soal metamorfosa, state of nature, politik, antropologi, dan lain sebagainya.

Di dalam perpindahan-perpindahan tempat tinggal inilah Canetti mendapatkan pengalaman bersama massa. Pada 1920-an ia menyaksikan kerusuhan massa akibat krisis ekonomi di Frankfurt a.M. Di Wina ia juga menyaksikan massa bersorak-sorai menyambut Perang Dunia I.   

Sebagai keturunan Yahudi yang tinggal di Eropa pada periode 1900-an sampai 1940-an, tentu Canetti juga akrab dengan soal kebencian akan Yahudi yang ditelorkan Adolf Hitler. Ini terlihat dalam buku Crowd and Power ini juga bagaimana ia menggambarkan hubungan antara massa dan juga kekuasaan. Ia juga pada sebuah bab tentang Rulers and Paranoiacs memberikan banyak ilustrasi tentang para penguasa dunia dari masa lalu dan juga masa sekarang. Di bagian ini memang tidak ditemukan seorang Hilter tetapi ketika kita membaca tentang raja-raja Afrika, Muhammad Tughlak dan  juga Schreber kita bisa menemukan ciri-ciri Hitler di sana[3]. Tentang Hitler ini pun dituangkannya dalam karya novelnya berjudul Die Blendung.

Takut Persentuhan

Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa Canetti membuka Crowd and Power dengan kalimat bahwa yang paling menakutkan manusia adalah persentuhan dengan yang tak dikenal. Dari kalimat ini kita menemukan dua kata kunci yaitu ‘persentuhan’ dan ‘yang tak dikenal’. Canetti membahas soal takut bersentuhan ini dengan melihat fenomena manusia di mana selalu mengunci dirinya di dalam rumah yang membuatnya merasa aman dari hal-hal yang tak dikenalnya. Rasa takut akan bersentuhan ini bahkan oleh Canetti dilihat pada keseharian manusia di banyak tempat umum.

Di dalam massa-lah rasa takut bersentuhan dengan yang lain ini menghilang.[4] Massa merupakan kerumunan dengan sebuah identitas penyama yang sama. Di dalam massa setiap individu menjadi sama, merasa sama. Dengan demikian, individu yang takut bersentuhan dengan yang tak dikenalnya ini membutuhkan massa.

Demikian Canetti:

The crowd he needs is the dense crowd, in which body is pressed to body; a crowd, too, whose psychical constitution is also dense, or compact, so that he no longer notices who it is that presses against him. As soon as a man has surrendered himself to the crowd, he ceases to fear its touch.[5]

Di dalam massa sesungguhnya seorang individu berada bersama dengan individu yang lain. Namun demikian ketika berada di dalam massa, justru individu-individu ini menjadi tidak takut untuk saling bersentuhan. Rasa takut untuk bersentuhan yang terjadi ketika individu sebagai individu lenyap dalam massa. Hal ini diakibatkan oleh karena di dalam massa mereka merasa sebagai satu tubuh dengan tujuan yang sama. Semakin besar tujuan dari terbentuknya massa tersebut atau semakin besar tujuan yang hendak dicapai massa tersebut maka semakin kuat juga ikatan di dalam massa tersebut.

Jadi kita melihat bahwa sebagai individu manusia selalu takut untuk bersentuhan dengan yang tak diketahuinya. Ini mengakibatkan manusia selalu menghindari apa pun yang asing baginya; termasuk orang asing. Segala yang asing selalu menakutkan manusia dan di dalam predikat ‘asing’ yang disematkan manusia untuk apa pun, selalu terkadung ketakutan atasnya. Bahkan, ketakutan itu pun bisa jadi terejawantah atau ada dalam setiap yang dianggap bukan saya, bukan kita, atau mereka, dia, dsb. Individu yang demikian lantas kehilangan rasa takutnya ketika tergabung dalam massa. Di dalam massa individu dengan individu yang lain merasa sama dan dipersatukan oleh suatu alasan atau tujuan tertentu yang menjadi landasan adanya massa tersebut.

Ruang Publik dan Takut Persentuhan

Ruang publik menjadi salah satu jawaban bagi tatanan masyarakat yang majemuk. B. Herry-Priyono mendefinisikan ruang publik demikian, “…ranah mau pun aset, barang, jasa, ruang atau gugus infrastruktur lain yang kinerjanya menjadi penyangga watak sosial suatu masyarakat, sehingga masyarakat tersebut berevolusi dari sekadar ‘kerumunan’ (crowd) menjadi ‘komunitas’ (community)[6]. Dari definisi ini kita melihat bahwa ruang publik ada demi menertibkan kemajemukan dalam masyarakat sehingga kemajemukan itu tidaklah membawa dampak destruktif melainkan konstruktif.

Kemajemukan bisa kita pahami juga sebagai kondisi adanya banyak individu. Di sini tentu saja kata individu tidak dipahami sekadar sebagai satu pribadi melainkan kata itu dipahami sebagai sesuatu yang tunggal. Namun agar lebih sederhana perbincangan ini, baiklah kata individu ini kita pahami sebagai satu pribadi saja. Masyarakat yang majemuk dengan demikian menjadi lebih kompleks lagi. Masyarakat sendiri kita tahu adalah individu-individu yang berkumpul dan membentuk sebuah tatanan kehidupan bersama. Oleh Canetti berkumpulnya individu-individu ini dalam sebuh masyarakat dikarenakan oleh ketakutannya akan sentuhan dari yang tak diketahui.

Lantas kita bawa problem ini pada ‘masyarakat majemuk’. Masyarakat majemuk berarti di dalam sebuah masyarkat yang besar ada masyarakat-masyarakat kecil. Dengan pengandaian Canettian bahwa setiap crowd punya tujuan dan alasan tertentu yang menjadikan mereka sebagai sebuah kerumunan maka bisa kita katakan bahwa di dalam masyarakat majemuk ada masyarkat-masyarakat dengan beragam tujuan dan alasan mengada masing-masing. Namun satu landasan pasti dari setiap masyarakat tersebut yang tersirat dalam proses menjadi mereka adalah adanya ketakutan untuk bersentuhan dengan yang tak dikenal dari setiap anggota dari masyarakat-masyarkat itu. Jadi, lagi-lagi mengamini Canetti, konsep ruang publik menjadi penting dibicarakan didasari oleh pertama-tama ketakutan akan sentuhan dengan yang tak dikenal yang secara primordial ada dalam diri setiap individu manusia.

Kawanan yang Bermasalah

Ruang Publik memang adalah sebuah konsep yang muncul dalam abad modern—bahkan mungkin di Indonesia baru mulai muncul di era reformasi ini. Sedangkan pencarian tentang crowd dari Canetti dilihatnya sejak dari zaman purba, pada masyarkat pra sejarah.[7] Menggabungkan keduanya saya kira bisa dipandang sejalan dengan ambisi Canetti untuk melihat akar-akar dari kehidupan masyarakat modern saat ini. Ruang Publik adalah sebuah konsep yang mulai ramai dibicarakan atau dianggap penting ada di Indonesia pasca reformasi.

Jika melihat keadaan Indonesia pasca reformasi maka kita bisa katakan bahwa masyarakat-masyarakat kecil itu saling bertikai dengan tetap kokoh dalam mengemban tujuan atau ciri khas dari kerumunan mereka. Kelompok Islam fundamental bertikai dengan kelompok sekuler, kelompok etnis tertentu bertikai dengan kelompok etnis yang lain, kelompok agama yang satu bertikai dengan kelompok agama yang lain. Hal ini menarik untuk kita lihat melalui kaca mata Canettian pula.

Kehilangan Soeharto adalah kehilangan seorang pemimpin yang kuat yang berhasil mendiamkan segala perbedaan yang ada di dalam masyarakat Indonesia. Soeharto menjaga dengan sedemikian rupa segala tendensi ber-metamorfosis-nya individu-individu maupun masyarakat di Indonesia. Rezim ini juga menjaga agar tak terjadi pertikaian di antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Ada sebuah kepatuhan yang tercipta di tengah masyarakat terhadap pemimpinnya. Kepatuhan ini muncul secara sadar atau pun tidak sadar terhada komando atau perintah dari yang berkuasa terhadap yang dikuasainya. Demikian Canneti:

The source of a command is thus something alien; but it must also be something recognized as stronger than ourselves. We submit because we see no hope of fighting; it is prospective victors who give commands.[8]

Dalam menghadapi komando dari pemimpin yang begitu kuat, perlawanan atasnya merupakan sesuatu yang mustahil. Komando itu selalu datang dari sesuatu yang asing sekaligus juga sesuatu yang lebih kuat. Dengan demikian ketidak-bermetamorfosisnya masyarat Indonesia pada sebagian besar era Orde Baru adalah juga karena ketakutan yang menimbulkan kepatuhan kepada yang asing sekaligus yang lebih kuat darinya.

Ketika sesuatu yang asing dan lebih kuat darinya yang memberikan komando ini tiada maka di dalam masyarakat Indonesia sudah tidak ada lagi yang dianggap lebih kuat. Ketakutan dan kepatuhan pun lenyap. Setiap masyarakat (kerumunan) menganggap dirinya setara atau juga berbeda dengan yang lain. Setiap masyarakat kecil ini pun bereaksi dalam berbagai cara dan dalam berbagai alasan.

Kerumunan Orang | Sumber: https://jooinn.com/images/crowd-of-people-3.png

Seperti dikatakan sebelumnya, pasca kejatuhan Soeharto menyeruaklah berbagai peristiwa di antaranya pertikaian antar agama, pertikaian antar etnis, dan soal sekuler dan fundamentalis. Secara Canettian bisa juga kita katakan bahwa pada pertikaian etnis, terjadi adanya pertikaian antara ‘kawanan’ dengan alasan menjaga teritori[9]. ‘Kawanan’ fundamentalis dan ‘kawanan’ sekuler betikai lantaran menjaga dan memperjuangkan alasan keberadaan mereka yaitu fundamentalisme dan sekularisme itu sendiri. Sedangkan ‘kawanan’keagamaan pun demikian juga namun bisa juga ditambahkan dengan adanya ketakutan dari ‘kawanan’ agama yang satu pada kemungkinan berkembangnya ‘kawanan’ agama yang lain.

Denga kaca mata Canettian kita melihat tak ada satu’kawanan’-pun yang bisa kita sebut lebih benar dan patut dibela dalam pertikaian-pertikaian itu. Setiap ‘kawanan’ mengada hanya karena ketakutan dari persentuhan dengan yang tak dikenalnya.

Kehilangan seorang pemimpin yang kuat dalam sebuah ‘kerumunan’ mengakibatkan chaos dalam ‘kerumunan’ itu. Menjadi lebih kompleks ketika ‘kerumunan’ itu sebesar Negara. Karena ini adalah sebuah ‘kerumunan’ yang terdiri dari ‘kerumunan-kerumunan’. Ketika ‘kerumunan-kerumunan’ bermasalah maka dicari suatu cara untuk menjaga kestabilan dari ‘kerumunan’ yang besar bernama Negara ini. Salah satu upaya menstabilkan itu adalah ruang publik.

Hilangnya Simbol Kerumunan Nasion

Di dalam kehidupan masyarakat yang paling modern seperti apa pun selalu tersimpan tendensi primordial manusia individu yakni ketakutannya untuk bersentuhan dengan yang tak dikenalnya. Dalam ‘massa’, ‘kerumunan’, atau ‘kawanan’ selalu ada sebuah alasan tertentu yang membentuk itu dan juga ada tujuan yang hendak dicapai. Demikian juga dengan ‘kerumunan’ maha besar yang dinamakan Negara.

Sebuah kerumunan yang maha besar sering mengidentifikasikan kesamaan di antara anggota-anggotanya dengan simbol-simbol tertentu. Canetti mengatakan bahwa dengan simbol-simbol tersebutlah individu-individu anggota sebuah nasion mengaitkan dirinya dengan anggota-anggota yang lain. Lebih jauh harus ada sebuah simbol yang sangat kuat dan sangat penting untuk nasion itu sehingga kepada simbol itulah anggota-anggotanya melekatkan diri. Penyatuan ini juga bisa dilakukan melalui bahasa, teritori tertentu dsb.

Selanjutnya, Canetti mengatakan bahwa kesadaran akan nasion ini akan jatuh atau menurun ketika simbolnya berubah. Demikian lengkapnya Canetti, “a nation’s consciousness of itself changes when, and only when, its symbol changes”[10]. Untuk Canetti yang paling mungkin untuk merubah kesadaran nation adalah berubahnya simbol sebuah bangsa, sebuah simbol terbesar dan terutama yang padanya setiap anggota merepresentasikan diri.

Apa yang dikatakan Canetti jika kita pakai untuk melihat keadaan Indonesia jauh dari kata keliru. Sejak kemerdekaan hingga kini, simbol terkuat dan terbesar Indonesia adalah Burung Garuda Pancasila. Sebuah symbol yang mengambil obyek benda yang bisa terbang ini memang adalah simbol yang paling menunjukan kebesaran. Bahkan pasca Orde Lama pemerintah Indonesia menetapkan juga hari khusus sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Yudi Latief dalam kuliah terbuka di STF Driyarkara pada medio November 2011 lalu bahkan mengatakan bahwa Garuda Pancasila ini bukan sekadar simbol melainkan ia juga adalah falsafah hidup Indonesia. Betapa perkasa dan pentingnya Pancasila ini.

Semua warga Indonesia yang sudah mulai mengenyam pendidikan pada periode Orde Baru tentu masih ingat pelajaran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila)[11]. Disinyalir bahwa Orde Baru hampir mengsakralkan Pancasila ini. Pancasila sebagai sebuah simbol kerumunan nasion terasa seperti dipaksakan. Bakhan dia menjadi sebuah cara penguasa untuk menundukan atau menertibkan metamofosis dari masyarakat atau yang dikuasainya. Tentu saja yang dimaksud di sini adalah bermetamorfosisnya masyarakat pada ideologi tertentu yang bisa mengancam keberadaan Orde Baru sendiri.

Ketika Orde Baru runtuh, P4 dan juga Pancasila kehilangan kesakralannya. P4 menjadi sebuah pelajaran masa lalu yang ditertawakan, Pancasila menjadi sebuah ideologi yang kolot. Kekolotan Pancasila ini diperparah lagi dengan semakin terbukanya kanal-kanal informasi dengan kemunculan internet yang menyebabkan Indonesia pasca reformasi bisa mengambil dan mempelajari apa saja ideologi dari luar. Di sini simbol yang pada awalnya menyatukan individu-individu anggota ‘kerumunan nasion’ Indonesia mengalami perubahan maknanya. Ia bukan lagi sebuah symbol pemersatu tetapi ia menjadi sebuah masa lalu yang menakutkan lantaran ia digunakan oleh penguasa otoriter untuk ‘menertibkan’ dan ‘melanggengkan’ kekuasaannya. Maka, kecarut-marutan yang terjadi di antara ‘kerumunan’ masyarakat yang satu dengan ‘kermunan’ masyarakat yang lainnya dalam ‘kerumunan’ besar nasion Indonesia adalah juga karena hilangnya atau dengan bahasa yang lebih halus berubahnya makna simbol itu. 

Penutup: Mencari Penyatu Baru

Sebelumnya sudah diutarakan apa itu ruang publik dan bagaimana keadaan Indonesia pasca reformasi. Untuk masuk ke bagian ini baiklah ditekankan kembali beberapa hal penting dari pembahasan sebelumnya. Ruang publik muncul sebagai wacana yang dianggap perlu diperjuangkan dalam rangka menyelamatkan masyarakat majemuk Indonesia.

Dalam Ruang Publik setiap individu warga nasion berhak dan secara otomatis punya hak atau kebebasan untuk membicarakan kepentingan-kepentingan sosialnya dalam rangka sebagai anggota satu nasion Indonesia. Di dala ruang publik yang ada adalah ‘kita’. Demikian Herry-Pryono:

…seluruh pembicaraan dan refleksi tentang ‘ruang publik’ hanya mempunyai arti jika, dan hanya jika, refleksi itu mengandaikan sesuatu yang disebut ‘kita’, entah ‘kita’ itu sebagai sebuah cita-cita atau pun fakta….. seandainya pun sesuatu yang biasa disebut ruang publik itu tidak ada, selama kita menghendaki adanya ‘kita’ dan koordinasi hidup bersama yang terpadatkan dalam istilah ‘kita’, ruang publik tidak-bisa-tidak diciptakan.[12]

Dari pemaparan Herry-Priyono di atas kita melihat bahwa kata ‘kita’ menjadi penting dalam perbincangan tentang Ruang Publik. Sedangkan melalui Canetti kita diajak untuk memikirkan tentang sebuah ‘kerumunan’ yang bukan hanya tercipta karena rasa takut persentuhan dari individu-individu anggotanya melainkan juga ada sebuah alasan atau tujuan dari ‘kerumunan’ itu yang memungkinkannya ada dan bertahan. Lebih jauh mengenai sebuah ‘kerumunan’ maha besar seperti nasion, Canetti menekankan sebuah simbol sebagai landasan dari anggotanya untuk menyatakan diri sama. Maka, ‘kita’ dalam pandangan Herry-Priyono di atas hanya mungkin tercipta ketika symbol nasion itu kembali menemukan maknanya.

Hal ini menjadi bermasalah ketika symbol Pancasila itu sendiri adalah sebuah pengingat akan sebuah trauma atau kehidupan di bawah rezim otoriter Orde Baru. Namun demikian, jika setia dengan pandangan Canetti dengan menyandingkannya pada pemikiran seputar ruang public dari Herry-Priyono maka ruang public tidak bisa tidak harus didahului dengan penemuan kembali atau penciptaan kembali sebuah symbol yang membuat semua individu anggota ‘kerumunan’ maha besar nasion Indonesia bisa merepresentasikan dirinya sebagai anggota dari nasion Indonesia itu.***

Daftar Bacaan:
Canetti, Elias, 1984, Crowds and Power, diterjemahkan oleh Carol Stewart, (New York: Farrar, Straus and Giroux).
Hardiman, F. Budi, 2007, “Elias Canetti dan Filsafat Zoologis”, dalam Jurnal Driyarkara Th. XXIX no. 1/2007: “Massa dan Kuasa: Berefleksi Bersama Elias Canetti”.
                                (ed), 2010, Ruang Publik: Melacak “Partisipasi Demokratis” dariPolis’ sampai ‘Cyberspace’, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius).
Tufan, Kosmas Damianus W., 2007, “Metamorfosis: Pandangan Elias Canetti Mengenai Massa dan Kuasa”, dalam Jurnal Driyarkara Th. XXIX no. 1/2007: “Massa dan Kuasa: Berefleksi Bersama Elias Canetti”.

Catatan Belakang:
[1] Elias Canetti, Crowds and Power, diterjemahkan oleh Carol Stewart, (New York: Farrar, Straus and Giroux), 1984, hal. 15.
[2] Bagian ini disarikan dari F. Budi Hardiman, “Elias Canetti dan Filsafat Zoologis”, serta Kosmas Damianus W. Tufan, “Metamorfosis: Pandangan Elias Canetti Mengenai Massa dan Kuasa”. Kedua artikel tersebut bersumber dari Jurnal Driyarkara Th. XXIX no. 1/2007.
[3] Nama Hitler sendiri bukannya sama sekali tidak muncul dalam Crowds and Power. Setidaknya dalam bagian Inflation and the Crowds kita menemukan nama Hitler. Lih. Elias Canetti, Crowds and Power…. hal. 187.
[4] “It is only in a crowd that man can become free of this fear of being touched.” Elias Canetti, Crowds and Power…. hal. 15.
[5] Elias Canetti, Crowds and Power…. hal. 15.
[6] B. Herry-Priyono SJ, “Menyelamatkan Ruang Publik”, dalam F. Budi Hardiman (ed), Ruang Publik: Melacak “Partisipasi Demokratis” dariPolis’ sampai ‘Cyberspace’, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius), 2010, hal. 376-377.
[7] Canetti misalnya dalam membahas tentang jenis-jenis pack mengambil ilustrasi-ilustrasi dari masyarakat-masyarakat kuno di Afrika dan Amerika.
Sedangkan ruang publik, sebagai istilah, mulai muncul pada abad ke-17 di Eropa. Lih. bagian pengantar dari F. Budi Hardiman (ed), Ruang Publik: Melacak “Partisipasi Demokratis”… hal. 10.
[8] Elias Canetti, Crowds and Power…. hal. 305.
[9] Pertikaian antara etnis Madura dan Dayak di Kalimantan misalnya adalah salah satunya karena orang Dayak hendak mengusir orang Madura dari daerah tersebut.
[10] Elias Canetti, Crowds and Power…. hal. 171.
[11] Saya sendiri masih mengalami hal ini ketika duduk di bangku Sekolah Dasar. Tidak terlalu saya ingat apakah ketika SMP masih mendapatkan pelajaran ini.
[12] B. Herry-Priyono SJ, “Menyelamatkan Ruang Publik”…. hal. 370.


Catatan: Tulisan ini merupakan makalah untuk mata kuliah Canetti (Massa dan Kuasa) di Sarjana STF Driyarkara, 2011.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram