“Keabadian itu dingin. Sebab arsip yang baik mesti disimpan di ruangan ber-ac.”

Sulaiman Harahap, 2018

Kira-kira pada pertengahan 2011, saya bersinggungan kerja secara ‘profesional’ dengan benda bernama arsip. Kawan saya yang kalimatnya saya kutip di atas, Sulaiman Harahap, mengajak saya berpartisipasi di dalam penelitian arsip untuk penerbitan buku Seni Rupa Indonesia dalam Kritik dan Esai  dari Dewan Kesenian Jakarta—buku tersebut terbit pada awal 2012 dan dieditori oleh Bambang Bujono dan Wicaksono Adi. Kami berdua kala itu melanjutkan kerja dari peneliti sebelumnya yakni Bagasworo, Fuad Fauji dan Mahardika Yudha, kawan-kawan yang aktif di Forum Lenteng, Jakarta. Ini adalah pengalaman saya bekerja secara profesional dengan arsip.

Di luar itu, saya memang melakukan kerja mandiri dengan arsip. Hal ini saya kira merupakan sumbangsih ayah saya pada hidup saya. Semenjak saya bisa berpikir dan mengingat, saya menemukan ayah memang kerap melakukan pengarsipan; rajin membeli buku, membuat kliping, dan mendirikan perpustakaan pribadi. Kerja-kerjanya kini mewujud dalam sebuah Lembaga bernama SimpaSio Institute: Lembaga Pengarsipan dan Pengkajian Budaya Flores Timur. Lembaga itu didirikan empat tahun silam. Ketika hijrah ke Jakarta—saya tinggal dengan orang tua sejak lahir hingga SMA di Larantuka, Flores Timur dan pada 2003 pindah ke Jakarta—pekerjaan seperti itu tetap dekat lantaran paman saya yang rumahnya saya tumpangi bekerja di Lembaga Studi Pers dan Pembangunan. Alhasil, pekerjaannya pun setali tiga uang dengan apa yang dilakukan ayah di kampung halaman.

Setelah pengalaman pertama pada 2011 itu, saya semakin kerap bersinggungan dengan kerja-kerja Bersama arsip; Riset Naskah Akademik Seni Rupa di Jakarta, Bandung dan Yogyakarta (2013)—hasil riset itu salah satunya adalah diterbitkannya buku karya Agung Hujatnikajenong dengan tajuk Kurasi dan Kuasa: Kekuratoran Dalam Medan Seni Rupa Kontemporer di Indonesia (DKJ dan Marjin Kiri, 2015), Riset Tulisan dan Ulasan Tari Indonesia (DKJ, 2015), Riset Untuk Pameran Pri S., di Selasar Sunaryo (2016), penelitian untuk penerbitan buku kumpulan tulisan Bambang Bujono Melampaui Citra dan Ingatan: Bunga Rampai Tulisan Seni Rupa, 1968-2017 (Jakarta Biennale, 2017), Riset Arsip Indonesian Dance Festival (2015-2017), penelitian untuk karya-karya GM Sudharta (IHI3K, 2018), penelitian untuk Katalog Beranotasi Karya Lengkap Ki Hajar Dewantara (Direktorat Sejarah, 2017), penelitian untuk Katalog Beranotasi Karya Lengkap Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo (Direktorat Sejarah, 2018). Yang paling terakhir adalah riset untuk pameran Batjaan Liar dalam rangka Jakarta International Literary Festival yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada Agustus 2019 yang lalu. Pengalaman-pengalaman itu membawa saya pada kesimpulan bahwa, pertama, kerja-kerja pemulung arsip itu penting bagi kita di Indonesia dengan system pengarsipan yang belum benar-benar baik ini. Lantaran, kedua, arsip-arsip kita sesungguhnya ada dan tersimpan, namun ia bertebaran di mana-mana dalam kondisi yang berbeda-beda pula—kondisi penyimpanan mau pun kondisi dari pemilik arsip tersebut. Kondisi penyimpanan ini yang membuat kita bertanya-tanya dengan getir; apakah semua arsip di tanah air ini bisa memastikan keabadian? Lantaran, tidak semua arsip memiliki tempat penyimpanan yang baik.

Menjadi Pemulung Arsip

Pengalaman-pengalaman kerja itu membawa saya mulai mengakrabi banyak Lembaga arsip dan perpustakaan—tempat di mana arsip-arsip kerap duduk sepi sendiri tanpa sering ditengoki. Dari Lembaga arsip seperti PDS HB JASSIN, ANRI, dan IVAA, serta perpustakaan-perpustakaan seperti Perpustakaan Nasional, perpustakaan kampus-kampus—IKJ, ISI Yogyakarta, FSRD ITB, UNJ, UI, ISBI Bandung dll.—kami datangi kala itu. Saya juga dibawa berkenalan dan tahu tentang kiprah para kolektor dan juga—fenomena belakangan ini—para pedagang buku bekas yang merangkap arsiparis serta merangkap para deramawan yang suka membagi arsip-arsip dalam bentuk digital. Memasuki lembaran-lembaran koran lama, mengarungi jurnal-jurnal yang sekali dua kali saja terbitnya, hingga buku-buku dan katalog-katalog dari zaman belum mengenal kurator hingga kurator menjadi semacam sesuatu yang wajib bagi saya melatih imajinasi sejarah kita.

Yang saya maksud dengan imajinasi sejarah adalah bagaimana ketika kita membicarakan suatu masa tertentu, isi kepala kita atau imajinasi kita setidaknya memahami seperti apa lanskap atau gambaran kehidupan di masa tersebut. Hal ini penting lantaran kita kerap menemukan bahwa orang-orang memperlakukan suatu zaman sama seperti zaman di mana ia hidup. Misalnya, ketika ia membicarakan era 1950-an tentang Pegawai Negeri Sipil misalnya, ia membayangkan birokrasi dan keruwetan yang sama dengan apa yang ia alami saat ini. Tentu saja bukan berarti bahwa apa yang ada sekarang jauh berbeda dengan apa yang ada di masa lalu. Namun demikian, setiap masa punya keunikan-keunikan sendiri yang tidak bisa disamakan dengan masa yang lainnya.

Kebanyakan pekerjaan saya yang berhubungan dengan arsip lebih suka saya sebut sebagai pekerjaan pemulung arsip. Lantaran, yang saya lakukan adalah mendatangi pelbagai lembaga dan perpustakaan yang saya sebut di atas—belakangan juga berselancar di internet—lantas memilah-milih arsip-arsip yang ada di sana. Arsip-arsip terkumpul itu tentunya nanti akan diolah lagi, dikurasi lagi entah oleh orang lain—yang tentu saja terkadang lebih berwenang untuk pekerjaan itu—terkadang juga saya olah sendiri. Bagi saya, kerja seorang pemulung arsip untuk sebuah projek atau kerja tertentu yang lain sungguh menyenangkan; pemulung arsiplah orang pertama yang berhadapan dengan arsip-arsip itu, bukan editor—di dalam kasus kerja pengumpulan arsip untuk penerbitan buku—atau pun kurator—di dalam kasus kerja pengumpulan arsip untuk pameran. Dengan begitu, seorang pemulung arsip adalah orang pertama yang paham tentang arsip itu; isinya dan keunikannya. Padanyalah juga terkadang editor dan kurator bertanya bila mengalami kebuntuan.

Perihal kedua pentingnya pemulung arsip adalah lantaran kita belum punya sebuah sistem pengarsipan yang terpadu. Alhasil, arsip apa pun masih tersebar di mana-mana. Kosekuensinya, jika untuk sebuah kerja penelitian tertentu di negara atau tempat dengan sistem pengarsipan terpadu yang baik hanya butuh waktu sedikit saja, kerja yang hampir sama di tanah air membutuhkan waktu dua bahkan tiga kali lipat darinya. Tetapi, bukankah itu keasyikan berkecimpung dengan arsip di sebuah negara berkembang? Namun jika, dan ini adalah harapan kita semua saya kira, jika tanah air ini melangkah menuju negara maju dan bukan negara berkembang lagi, di dalam konteks kerja arsip, pemulung arsip adalah profesi yang mesti di tempat pertama bersedia undur diri; fungsi kerjanya akan digantikan oleh mesin dan sistem yang baik.

Pada bagian berikut, saya akan menguraikan pengalaman dari tiga kerja pemulungan arsip yang pernah saya lakukan. Catatan di bawah ini adalah catatan yang saya buat dalam rangka kerja kala itu dan diedit seperlunya untuk kepentingan artikel ini. Masing-masing dari catatan ini berkonsentrasi pada hal yang berbeda-bed; pengalaman pada kerja Penelitian Naskah Ilmiah Seni Rupa berkonsentrasi pada perihal bahan pencarian dan perpustakaan-perpustakaan kampus; pengalaman kerja pada Penelitian dalam Rangka Pameran Batjaan Liar berkonsentrasi pada kesulitan-kesulitan yang ditemukan di lokasi penelitian; sedangkan catatan harian penelitian saya hadirkan di pengalaman penelitian karya-karya GM Sudharta.

Secuil Catatan Kerja Pemulung Arsip

 Penelitian Naskah Ilmiah Seni Rupa Empat Kota

Penelitian Karya Ilmiah Seni Rupa, Komite Seni Rupa DKJ berlangsung dari Juli-November 2013. Lokasi penelitian mengambil tiga kota yakni Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Sesuai dengan judulnya maka penelitian ini menyasar kampus-kampus seni dan juga kampus-kampus dari disiplin ilmu yang berbeda namun punya hubungan dengan seni. Selain itu beberapa lembaga swasta mau pun pemerintahan yang bukan lembaga pendidikan namun juga melakukan kerja-kerja ilmiah di bidang keseni-rupaan pun menjadi tempat penelitian.

Komite Seni Rupa DKJ sendiri dengan program ini berharap bisa membaca kembali wacana seni rupa di tiga kota yang dimaksud. Hal ini dirasa perlu karena terasa kurangnya referensi buku bacaan senirupa. Hal ini karena pewacanaan seniupa secara akademis juga masih kurang. Hasil akhir yang diharapkan dari penelitian ini adalah terekomendasinya 20 karya ilmiah mengenai seni rupa dari masing-masing peneliti. Selanjutnya, karya-karya ilmiah ini diharapkan bisa diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hasil lebih jauh yang diharapkan adalah karya-karya terpilih yang diterbitkan sebagai hasil dari penelitian ini bisa menjadi pemicu untuk membuat sebuah penelitian tentang seni rjupa Indonesia yang lebih mendalam. Dari sana diharapkan bisa dihasilkan ‘babon’ seni rupa Indonesia. Dari penelitian ini pula minimal dapat diketahui tentang bagaimana lembaga-lembaga akademik membaca persoalan seni rupa kita, bahkan juga bisa menerbitkan buku-buku dari hasil penelitian akademik tersebut.

Secara keseluruhan penelitian ini menentukan lokasi penelitian yang dibagi tugas antara tiga peneliti sebagai berikut:

  1. Kampus Prioritas: Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Institut Seni Indonesia, Universitas (Katolik) Sanata Dharma, Universitas Padjadjaran, Institut Teknologi Bandung, Universitas Pendidikan Indonesia, Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Universitas (Katolik) Parahyangan, Universitas Indonesia, Universitas Negeri Jakarta, Institut Kesenian Jakarta, Universitas Bina Nusantara.
  2. Kampus Non Prioritas: Sekolah Tinggi Seni Rupa dan Desain Visi Indonesia, Politeknik Seni Yogyakarta, Akademi Seni Rupa dan Desain MSD, Sekolah Tinggi Seni Rupa & Desain Indonesia Telkom, Universitas (Kristen) Maranatha, Institut Teknologi Nasional, Universitas Komputer Indonesia, Sekolah Tinggi Desain Indonesia, Universitas Pelita Harapan, Universitas Tarumanegara, Universitas Trisakti, Universitas Atma Jaya, Universitas Indonusa Esa Unggul, Universitas Multimedia Nusantar
  3. Lembaga Non Pendidikan Prioritas: Indonesian Visual Art Archive (IVAA), Perpustakaan Taman Budaya Yogyakarta, Perpustakaan Selasar Sunaryo Art Space, PDS HB Jassin.
  4. Lembaga Non Pendidikan Non Prioritas: Jogja Library Center, Kunci Cultural Studies Center, Indonesia Contemporary Art Network, Kineruku, Common Room, Dokumentasi Pribadi Tisna Sanjaya, Dokumentasi Pribadi Jim Supangkat, Perpustakaan Nasional RI, Perpustakaan Galeri Nasional, Perpustakaan Museum Senirupa dan Keramik

Jika dilihat daftar nama tempat penelitian yang ditentukan di atas maka jumlah tempat penelitian antara ketiga kota tersebut bisa dikatakan seimbang. Ini menunjukan bahwa secara institusi akademi dan lembaga yang concern pada wacana seni rupa di ketiga kota itu cukup seimbang. Jumlah kampus yang punya fakultas khusus seni rupa ada di ketiga kota tersebut. Bahkan Jurusan Seni Murni ada di ketiga kota itu. Di Yogyakarta ada ISI Yogyakarta, FSRD ITB di Bandung dan Institut Kesenian Jakarta. Selebihnya, kita akan kerap menemukan jurusan/fakultas DKV tersebar begitu banyak di kampus-kampus di ketiga kota tersebut. Bahkan, di luar nama-nama kampus yang terdaftar di atas, masih banyak kampus lagi yang punya jurusan/fakultas DKV. Kecurigaan saya, hal ini disebabkan karena sifat keilmuan dan penerapan dari DKV sendiri yang cukup praktis dan siap pakai di dunia kerja saat ini.

Institusi-institusi ini punya peraturan yang berbeda-beda atas koleksi karya ilmiah mereka. Ada yang sudah terbuka sebagai akses public dalam rupa bisa diunduh via internet, ada yang bisa difotokopi pada beberapa bagian saja dari karya, ada yang bisa difotokopi secara keseluruhan, ada pula yang tidak bisa difotokopi sama sekali. Khusus untuk ketiga kampus dengan konsentrasi pada seni murni, ISI Yogya, FSRD ITB, dan IKJ, termasuk punya kesamaan dalam pengaturan atas karya ilmiah mereka. Di ketiga kampus tersebut karya ilmiah tidak bisa difoto kopi tanpa persetujuan dari penulisnya. Ciri birokrasi masing-masing institusi pun berbeda-beda; ada yang begitu gampang, ada yang berbelit-belit, dan ada pula yang tanpa kompromi. Namun demikian, pada prinsipnya semua karya ilmiah boleh dibaca di tempat dan mayoritas tersedia di perpustakaan, kecuali Universitas Trisakti. Dari lembaga non pendidikan yang juga mengkoleksi karya ilmiah universitas, IVAA dan Sunaryo Art Space, ditemukanlah bahwa ternyata kampus-kampus lain yang tidak masuk dalam rencana awal juga ada yang mengkaji tentang seni rupa.

Saya sendiri, dan juga kedua peneliti yang lain, bukan berlatar belakang pendidikan formal seni rupa, meskipun sedikit banyak mengikuti juga perkembangan seni rupa secara umum. Kenyataan ini punya dampak positif dan juga negatif menurut hemat saya yakni (a) negatif:

  1. Belum terlalu familiar dengan kajian secara ilmiah akademis di bidang ini.
  2. Dengan demikian terkadang dalam pembacaan, justifikasi atas bacaan yang dihadapi tidak bisa cepat dilakukan.
  3. Punya potensi bias penilaian.

Namun demikian, posisi sebagai awam seni rupa dalam penelitian ini juga punya dampak positif:

  1. Sebagai ‘awam’ seni rupa terkadang lebih tahu apa yang dibutuhkan masyarakat awam akan wacana seni rupa tinimbang para akademisi seni rupa sendiri.
  2. Bebas dari permasalahan ‘pengetahuan umum’ atau ‘distingsi umum’ yang berlaku dalam dunia akademis seni rupa.
  3. Latar belakang disiplin ilmu lain dari peneliti menyebabkan adanya penilaian yang lebih baik pada karya ilmiah seni rupa yang mencoba melakukan pengkajian ‘lintas ilmu’. Pada kenyataannya, memang banyak karya ilmiah seni rupa yang melakukan pengkajian ‘lintas ilmu’ ini.

Dalam penelitian ini, kota pertama yang didatangi adalah Yogyakarta pada Juli-awal Agustus. Saya sendiri di Yogyakarta mendatangi tempat-tempat sebagai berikut: Institut Seni Indonesia, Universitas Sanata Dharma, IVAA, Akademi Seni Rupa dan Desain MDS. Bandung dari awal September-awal Oktober. Tempat yang saya datangi di kota tersebut: Universitas Maranatha, Institut Teknologi Nasional, Institut Teknologi Bandung dan Sunaryo Art Space. Sedangkan Jakarta dimulai dari Oktober-November. Yang saya datangi di Jakarta: Universitas Trisakti, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Tarumanegara, dan Institut Kesenian Jakarta.

Sedikit permasalahan teknis ditemukan di Yogyakarta. Beberapa karya ilmilah yang hendaknya saya rekomendasikan dari ISI Yogyakarta terpaksa tidak bisa didapatkan lantaran peraturan dari ISI sendiri atas karya ilmiah milik mereka. Jarak antara Yogyakarta dengan Jakarta yang terlalu jauh sehingga komunikasi dengan pihak ISI menyangkut alamat dan kontak para penulis karya ilmiah tersebut tidak berjalan lancar, ditambah saya harus juga berkonsentrasi dengan penelitian di dua kota selanjutnya.

Untuk karya-karya ilmiah secara keseluruhan sejauh ini bisa dikelompokkan dalam beberapa kelompok;

  • membicarakan tokoh seni rupa,
  • membicarakan peristiwa seni rupa,
  • membicarakan medan sosial seni rupa; kritikus, galeri, seniman, kolektor, dan curator,
  • melihat seni rupa dalam kaitannya dengan disiplin lain; ruang public, politik, teknologi, psikologi, dsb,
  • membicarakan sejarah seni rupa.
  • membicarakan pendidikan seni rupa

Yang sangat sulit ditemukan adalah sebuah kajian secara lengkap terhadap satu karya. Yang ada adalah beberapa karya dari satu seniman.

Di Yogyakarta, atau tepatnya ISI, kecenderungan tesisnya mengkaji seni rupa dalam ilmu kajian budaya hampir mirip dengan apa yang ada di Pascasarjana Kajian Budaya UGM. Ciri-ciri kajian budaya yang menggunakan pula pendasaran filsafat tertentu cukup kerap ditemukan. Terkadang kita bisa menemukan sedikit kekurangan dalam pembahasan mengenai teori budaya tertentu atau filsafat tertentu. Di lain pihak ketika membicarakan karya seorang penulis terkesan terlalu kaku dan tidak cair. Biasanya gaya seorang pelukis, tekniknya, disamakan atau dilihat dengan sudut pandang periodesasi berkarya seniman itu dan jarang ditemukan hal tersebut dilihat dari sudut pandang lain. Sedangkan pada tingkat skripsi cukup beragam sama seperti yang ada di FSRD ITB dan IKJ yang juga cukup beragam.

Tesis dan disertasi di FSRD ITB cukup beragam dan menghadirkan wilayah kajian yang cukup luas. Medan sosial seni rupa, seni rupa tradisional, perbandingan estetika Indonesia dan mancanegara, seni kontemporer, seni urban, media seni rupa, dll. Barangkali secara kajian keilmuan, kampus ini lebih kaya dibandingkan dua koleganya yang lain; IKJ dan ISI. Meski pun, sama seperti ISI, kita masih menemukan kekurangan di sana sini ketika kajiannya masuk ke wilayah lain seperti kajian budaya dan filsafat, terkadang semiotika, dan juga postmodernisme.

Sejauh pengamatan saya di UNJ, di bawah tahun 2000-an, karya ilmiah (skripsi) di Jurusan Pendidikan Seni Rupa UNJ mayoritas membicarakan perkara pendidikan seni rupa di pelbagai jenjang pendidikan; TK, SD, SMP, SLTA, dan juga Universitas (lebih pada IKIP). Yang saya perhatikan pada karya-karya ilmiah di sana tidak ditemukan sebuah skripsi atau tesis yang khusus membicarakan, atau mengkritik, atau sejarah dari kurikulum pendidikan seni rupa secara umum, atau pun spesifik pada kurikulum di tiap jenjang pendidikan. Yang kerap ditemukan adalah studi kasus pada sebuah sekolah yang sangat spesifik. Karya-karya ilmiah, skripsi, di institusi pendidikian ini setelah tahun 2000 mulai menunjukkan kecenderungan ke luar dari perihal pendidikan seni rupa.

Karya ilmiah seni rupa di IKJ jika dibandingkan dengan ITB dan ISI jumlahnya lebih sedikit. Barangkali ini akibat usia yang berbeda jauh; bahkan Pasca di IKJ sendiri baru berdiri beberapa tahun yang lalu. Kecenderungan pascasarjana yang baru beberapa tahun berdiri ini adalah kajian atas seni urban. Ini sejalan dengan nama program studinya. Namun demikian, teori budaya yang digunakan di sini cukup mumpuni. Hal ini barangkali karena pengajarnya, sejauh saya lihat, banyak juga yang berasal dari Kajian Budaya UI.

Kesulitan dalam penelitian ini lebih kepada birokrasi dari kampus yang begitu menyusahakan. Terkadang waktu membaca di perpustakaan dan mencari bahan banyak tersita lantaran urusan-urusan birokrasi yang demikian ini. Usul saya, jika ada kegiatan yang melibatkan koleksi kampus yang demikian ini ada baiknya diadakan pertemuan terlebih dahulu dengan pihak kampus terkait. Sehingga kemudahaan birokrasi sudah diantisipasi dan dipecahkan sebelum penelitian berjalan.

Sepertinya dibutuhkan sebuah buku yang merangkum semua karya ilmiah tentang seni rupa yang ada. Semacam buku katalog karya ilmiah seni rupa Indonesia. Buku ini disertakan pula dengan entry nama seniman, entry nama penulis, entry karya, entry peristiwa, kronologi, dsb. Tentu juga berisi synopsis karya ilmiah dan juga kata-kata kuncinya. Contoh untuk buku seperti ini sudah ada semisal buku yang diterbitkan oleh Jurusan FIlsafat Universitas Indonesia dan Komunitas Bambu dalam rangka ulang tahun Toety Herati.

Buku katalog karya ilmiah seni rupa Indonesia ini akan sangat membantu akademisi seni rupa, peneliti seni rupa, dan masyarakat awam. Buku ini akan menjadi semacam atlas bagi para peneliti untuk bisa menemukan karya-karya ilmiah yang membicarakan sesuatu hal yang sedang dicarinya.

Penelitian Karya-karya GM Sudarta di Yogyakarta dan Klaten, 22-25 Mei 2018

Hari Pertama (Selasa, 22 Mei 2018)

Tiba di Yogyakarta sekitar pukul 11.00 WIB hari Selasa, 22 Mei 2018. Setibanya di sana, kami berbagi tugas; Berto ke IVAA dan Sulaiman ke Pusat Informasi Kompas Jawa Tengah dan Bentara Budaya Yogyakarta.

  • IVAA

Berdasarkan pencarian di katalog perpustakaan IVAA, berikut daftar buku/katalog yang terdapat GM Sudarta:

    1. Katalog: “Sanggar Bambu: Gerakan Kesenian di Tepian” (2017)
    2. Katalog: “Syukur Fajar Milenium Ketiga” (2001)
    3. Katalog: “Pameran Besar Pelukis Nasional Kedua” (1989)
    4. Katalog: “Pameran Seni Rupa: Jakarta Fine Arts Exhibition” (1995)
    5. Katalog: “Pelukis Jakarta 94” (1994)
    6. Katalog dari Sidharta Auctioneer (Balai Lelang): “Affordable Art” (2007)
    7. Katalog dari Sidharta Auctioneer (Balai Lelang): “Affordable Art” (2006)
    8. Katalog: “Pameran Illustrasi Cerpen Kompas 2004” (2004)
    9. Buku: “Indonesia 1967-1980” (1980)

Yang diduga ada karya GM Sudarta atau memuat wacanan kartun dan karikatur:

    1. Katalog: “The 10th Asian Cartoon Exhibition” (2005)
    2. Kartun Politik Tua
    3. Katalog: “Bebas Dari Sensor: Kumpulan Karikatur 2005” (2005)

Dari tiga katalog ini, satu tidak ditemukan dan dua lagi tidak memuat karya GM Sudarta.

Dari pencarian itu, ada buku/katalog yang tidak berhasil ditemukan di Perpustakaan IVAA. Kesimpulan bahwa tidak diketemukan ini diambil setelah Berto sudah mencoba mencari di hampir semua rak IVAA dan tidak menemukannya. Maka, dimintalah bantuan ke Mas Santoso, pustakawan IVAA. Ia pun tidak berhasil menemukannya. Menurut Mas Santoso, tidak diketemukan ini mungkin saja karena buku/katalog tersebut entah terselip di mana; Dipinjam tanpa diberitahukan kepadanya; Atau, diambil oleh pengunjung. Buku/katalog yang tidak ditemukan itu adalah:

  1. Kartun Politik Tua
  2. Katalog Pelukis Jakarta 94
  3. Katalog Syukur Fajar Milenium Ketiga

Dari katalog/buku yang ditemukan di IVAA, hanya empat katalog yang discan karya GM Sudarta di dalamnya; Yakni:

  1. Katalog: “Pameran Seni Rupa: Jakarta Fine Arts Exhibition” (1995)
  2. Katalog dari Sidharta Auctioneer (Balai Lelang): “Affordable Art” (2007)
  3. Katalog dari Sidharta Auctioneer (Balai Lelang): “Affordable Art” (2006)
  4. Katalog: “Pameran Illustrasi Cerpen Kompas 2004” (2004)

Sedangkan, katalog/buku yang ditemukan dan tidak diambil karya GM Sudarta di dalamnya adalah:

  1. Katalog: “Sanggar Bambu: Gerakan Kesenian di Tepian” (2017): Alasannya, karya yang ada di dalam katalog ini sudah kita temukan di dalam katalog “Pameran Cinta GM Sudarta”.
  1. Katalog: “Pameran Besar Pelukis Nasional Kedua” (1989): Alasannya, dari pencarian di katalog Perpustakaan IVAA, memang tercantum nama GM Sudarta. Tetapi ternyata GM Sudarta bertindak sebagai salah satu pengarah pameran ini; Tidak menyertakan karyanya.
  2. Buku: “Indonesia 1967-1980” (1980): Alasannya, bisa didapatkan dengan cara lain.
  • Bentara Budaya Yogyakarta

Koleksi buku di PIK Yogyakarta ternyata sudah dipindahkan semuanya ke PIK Jakarta. Oleh karena itu, pencarian berpindah ke Bentara Budaya Yogyakarta. Di hari itu, ketua Bentara Budaya Yogyakarta sedang tidak berada di tempat. Maka, dimintalah nomor kontak beliau dan dibuatkan janji untuk bertemu besok hari; Sekaligus juga dititipkan daftar katalog yang hendak dimintakan/dicari dari Bentara Budaya Yogyakarta.

Hari Kedua (Rabu, 23 Mei 2018)

Pada hari kedua, kami berdua—Berto dan Sulaiman—pertama-tama, mendatangi Bentara Budaya Yogyakarta untuk bertemu ketua Bentara Budaya Yogyakarta. Di hari itu, kami berbincang banyak perihal GM Sudarta dan beliau mencoba mencarikan beberapa nomor kontak yang bisa kami hubungi untuk urusan rumah GM Sudarta di Klaten. Namun, tidak ada nomor kontak yang berhasil beliau temui. Beliau memberikan alamat rumah GM Sudarta di Klaten beserta nomor telepon rumah tersebut. Yang terakhir ini kami coba hubungi beberapa kali di hari itu dan beberapa kali keesokan harinya, namun, tidak ada yang menjawab. Untuk list katalog yang hendak dicari di Bentara Budaya Yogyakarta, Ketua Bentara Budaya Yogyakarta berjanji untuk mencarinya dan karena itu membutuhkan waktu, maka ia menyarankan untuk keesokan harinya kembali lagi ke Bentara Budaya Yogyakarta.

Selanjutnya, di siang harinya, kami dari Bentara Budaya Yogyakarta menuju ke Jogja Library Center. Tujuan ke Jogja Library Center adalah memeriksa beberapa majalah lama yang menurut keterangan GM Sudarta, sempat memuat karyanya ketika masih di bangku sekolah. Di perpustakaan ini, kami memeriksa majalah Panjebar Semangat dan menemukan sekitar 3 karya yang diduga karya GM Sudarta. Selain itu, kami juga memeriksa Suluh Indonesia yang sangat terbatas jumlahnya di perpustakaan itu dan tidak menemukan karya GM Sudarta.

Hari Ketiga (Kamis, 24 Mei 2018)

Berbekalkan alamat rumah GM Sudarta di Klaten, pada hari ketiga kami ke Klaten dengan menumpangi Kereta. Dan langsung menuju rumah GM Sudarta yang bisa dikatakan sangat besar dan megah dibandingkan dengan rumah-rumah di sekitarnya. Kami tidak bertemu sesiapa di rumah tersebut. Kami lantas ditemui oleh seorang tetangga GM Sudarta yang kebetulan lewat hendak ibadah siang. Ia memberi beberapa keterangan kepada kami:

  • Rumah itu dulu ketika didiami GM Sudarta sangat ramai dengan kegiatan kesenian dan diskusi. Satu yang sangat diingat oleh beliau adalah datangnya Cak Nun (Kiyai Kanjeng) ke mesjid di samping rumah GM Sudarta atas undangan GM Sudarta.
  • GM Sudarta mewakafkan sebagian tanahnya untuk pembangunan mesjid di samping rumahnya dan ia jugalah yang mendesain mesjid bergaya Demak itu.

Kami kembali ke Jogja dan tiba di Jogja sekitar pukul 16.00 WIB. Kami langsung menuju Bentara Budaya Yogyakarta dan bertemu Ketua Bentara Budaya Yogyakarta. Di sana kami menemukan katalog yang kami scan sebagai berikut:

  1. Katalog Pameran “6 Perupa Klaten” (2002)
  2. Katalog Pameran “Cartoon on Canvas” (2010)

Ada pameran yang menurut pemberitaan diikuti pula oleh GM Sudarta tetapi di katalog tidak ada karya GM Sudarta; Ada katalog yang sudah didapatkan.

Karena tidak ada kemungkinan untuk kembali lagi ke Klaten, kami memutuskan untuk membeli tiket pesawat pulang keesokan harinya pukul 15.40.

Hari Keempat (25 Mei 2018)

Hari keempat kami isi dengan mendatangi Perpustakaan Museum Sonobudoyo, Yogyakarta. Di museum ini, setahu kami, memang ada beberapa majalah tua yang mungkin bisa memenuhi apa yang tidak kami dapatkan di Jogja Library Center guna mencari karya-karya GM Sudarta ketika masih duduk di bangku sekolah. Sayang, perpustakaan ini tutup hingga Agustus 2018 dikarenakan sedang dalam proses pemindahan ke gedung baru. Kami pun melanjutkan ke Hatta Corner, di Perpustakaan UGM—tempat koleksi majalah dan buku tua milik UGM—untuk menambal kegagalan di Perpustakaan Sonobudoyo. Sayang, pencarian di tempat ini pun tidak membuahkan hasil.

Pukul 14.00, kami bertolak ke Bandara Yogyakarta.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram