Menulis untuk showcase duo Babay dan Jayu ini terasa berat bagi saya. Bukan perihal karya-karya keduanya sulit dicerna—tulisan ini mulai diutak-atik ketika karya-karya yang hendak ditampilkan pada showcase ini belum pula jelas wujudnya; sebuah panorama yang biasa bagi kami-kami yang dekat dengan sistem kerja ‘kebut semalam’ ini—tapi lebih kepada bagaimana menuliskan perjalanan karya dua orang yang keduanya begitu dekat satu sama lain. Dari lubang mana sebaiknya kita intip hidup keduanya yang adalah suami istri sebagai seniman atau pekerja seni ibu kota? Dari mana saya harus memulai tulisan ini? Baiklah….

I.
Karya-karya keduanya yang ada pada showcase ini tentu bukan karya kolaborasi; keduanya membawa karya masing-masing dengan kekhasan masing-masing; Babay yang lebih kita kenal bermain-main dengan digital art dan media art—meski pun sesungghunya pameran pertamanya adalah pameran lukisan (Grand Indonesia, 2011) dan dia juga masih sering, bahkan merasa lebih enjoy, berkuas-kuas ria—dan Jayu yang kita tahu lebih suka bermain-main dengan drawing—padahal di awal mula terjerembab ke dalam dunia seni ia justru bikin karya video (Jakarta 32-Galeri Nasional, 2010). Jadi, Babay dan Jayu seperti bertukar peran atau saling mengambil-alih. Maksud saya begini. Jayu awalnya bermain dengan sesuatu yang dekat dengan seni media yang belakangan justru lebih ditekuni Babay. Sebaliknya, Jayu mengambil alih apa yang awalnya menjadi keasyikan Babay; Jayu hari-hari ini lebih banyak menggambar, sebagaimana Babay pada awal perjalanan kariernya.

Keduanya tahun lalu sempat menghadirkan kerja kolaborasi di dalam karya performance di bawah label Plusminus. Menurut pengakuan keduanya, projek itu dibuat dalam rangka ‘ruang bermain’ bersama. Di Auditorium Gudskul kala itu, Babay mencoba memanfaatkan glitch dan bunyi dengan dan merespon teks-teks tulisan Jayu yang dialih-wahanakan ke dalam kode morse. Lalu tahun ini showcase; semacam gregetan banget ingin berkarya gitu.

 

II.
Keduanya mendaku hidup mereka adalah hidup yang ngacak. Pada awalnya suka apa, lantas ketika kuliah ngambil apa, lantas untuk kerja—dalam konteks mendapatkan duit—melakukan apa. Pada awal berkarya asyik dengan medium tertentu dan lantas di kemudian hari justru lebih tenggelam di dalam medium yang lainnya. Semacam tidak ada satu garis lurus yang tegas. Apa yang dialami keduanya ini tentunya tidaklah luar biasa; hampir kebanyakan dari kita pun mengalami hal yang sama dalam konteks berbeda. Itulah manusia barangkali. Apa yang direncanakan di dalam perjalanannya bertemu pelbagai hal yang lantas memodivikasi rencana awal tersebut.

Namun bayangkanlah sebuah dunia di masa depan ketika teknologi sudah begitu canggihnya dan statistik sudah begitu menguasai hajat hidup manusia. Bisa saja kasus-kasus seperti di atas tak akan terjadi. Ketika lahir seorang anak sudah bisa diprediksi—melalui pelbagai hasil laboratorium—harus jadi apa dan sebaiknya jadi apa dia; entah seniman seni media atau aktor panggung, entah pilot pesawat terbang atau koki di restoran, entah guru sekolah dasar atau pekerja kilang minyak lepas pantai. Si anak masa depan itu atau orang tuanya cukup mengikuti petunjuk-petunjuk dari pemerintah atau pun perusahan swasta penyedia jasa konsultasi kehidupan perihal ia harus dikasih les apa, mesti dibiasakan mainan apa sedari dini, hingga sekolahnya mesti di mana. Tak ada lagi kasus hidup yang acak kadul. Jayu di masa depan tak perlu nyasar kuliah di bidang ekonomi tetapi langsung sedari kecil sudah les cat air dan Babay masa depan tak perlu mesti kuliah desain grafis dulu sebelum berseni-media ria karena sedari kecil sudah dibiasakan dengan mainan utak atik mesin pesawat menari. Tetapi ketika orang tua Babay masa depan tak suka anaknya jadi seniman, sedari Babay masa depan belum masuk Play Group, ke dalam dirinya sudah disuntikan hormon tertentu. Baiklah, sebelum terlalu jauh masuk ke dunia Black Mirror fiksi ilmiah, saya sudahkan di sini.

Hidup acak kadul yang demikian saya kira juga tetap akan terjadi di masa depan. Kita tahu, secanggih-canggihnya perkembangan teknologi, penyerapannya tetap tak merata. Laboratorium-laboratorium pemprediksi masa depan bayi yang demikian itu pastilah berkualitas rendah atau kerap ngadat dalam kasus dunia ketiga masa depan. Hasilnya, sejarah mengulang dirinya sendiri di dalam konteks yang berbeda.

III.
Bahwa karya Jayu dan Babay pada showcase ini bukanlah karya kolaborasi adalah kesimpulan yang kita ambil dari sudut intip yang sempit. Tetapi jika kita melihatnya dari sudut intip yang lebih luas, tentu saja karya-karya ini adalah karya kolaborasi keduanya. Kecuali jika ada satu atau dua karya yang memang berasal dari tarikh waktu sebelum keduanya bertemu. Pada masa ini kita tahu mereka berkolaborasi dalam arti luas, berumah-tangga. Di dalam konteks itu, mereka selalu mencari rumah tempat tinggal dengan syarat ada ruangan yang enak untuk dijadikan studio tempat keduanya bekerja.

Saya sempat melihat dokumentasi foto ruang-ruang kerja itu dari arsip keduanya; tempat kerja di Kalibata (2013), Lenteng Agung (2014), dan Pancoran (2018-2019). Untuk tempat kerja mereka saat ini tentu saja tak asing karena studio mereka adalah salah satu penghuni Rt. 3, Gudside, Gudskul, Jagakarsa. Sekilas pandang pada foto-foto dokumentasi itu, warna temboknya sama; putih. Barang-barang yang ada di dalamnya pun setali tiga uang; tak terlalu jauh berbeda. Yang sepertinya selalu ada di sana adalah papan berbentuk bulat, lukisan Babay (kecuali pada foto tempat kerja di Kalibata).

IV.
Showcase ini bisa dibilang merupakan sebuah kerinduan mereka berdua untuk berkarya. Baik Jayu mau pun Babay sama-sama memisahkan antara ‘kerja’ dan ‘karya’. Di dalam obrolan kami, ada semacam cuaca lelah atas ‘kerja’ yang terkadang menghambat apa yang diinginkan pada ‘karya’. Dilema ini tentu saja perkara besar lain lagi yang menghantui kerja-kerja kesenian di konteks Jakarta dan tulisan ini saya kira cukuplah sudah berhenti sampai di sini.

Selamat ber-showcase untuk duo Ricky ‘Babay’ Janitra dan Jayu Juli! Tentu saja hilangnya “er pada berdua”, “a pada satu”, dan “u pada tujuan” bisa saya kira-kira dan interpretasi sendiri. Namun ada baiknya nanti saya tanyakan saja maksud dari keisengan itu.

Jakarta menuju Yogyakarta, 19 November 2019

*Catatan: Tulisan ini dibuat sebagai tulisan pendamping untuk showcase duo seniman Ricky Janitra dan Jayu Juli. Showcase keduanya yang bertajuk “Berdua Satu Tujuan” itu dilangsungkan pada 23 – 30 November 2019 di ATIGA, Jl. Tebet Timur Dalam Raya no. 6A, Tebet, Jakarta Selatan.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram