Beberapa hari belakangan ini nama Frankfurt ramai diperbincangkan di laman facebook milik beberapa orang yang saya ikuti. Keriuhan dipicu oleh kabar yang tersiar bahwa novel karya Laksmi Pamuntjak, Amba, dan Leila S. Chudori, Pulang, dianggap sebagai karya penting tentang pengungkapan sejarah kelam 1965 di Indonesia. Lebih lanjut, tersiar di dalam diskusi-diskusi tadi, Goenawan Mohamad (GM) berkata bahwa kekerasan pasca 1965 yang terjadi di negeri kita ini tak ada sangkut pautnya sama sekali dengan pihak asing dan itu hanya kejadian antara kita dengan kita; sesama orang Indonesia sajalah yang saling membunuh. Dua hal ini mengemuka dalam riuh rendah persiapan Frankfurt Book Fair 2015, di mana Indonesia didaulat sebagai tamu kehormatan. Apa dan bagaimana Frankfurt Book Fair itu, sedikit banyak tulisan Ronny Agustinus di media ini sudah mengutarakannya.

Saya termasuk orang yang cukup malas untuk menelusuri fakta-fakta di atas, dalam pengertian membaca tautan-tautan yang dibagikan teman-teman di facebook tadi. Sehingga, tentu saja tulisan ini tidak berpretensi mengecek ketepatan fakta-fakta di atas. Mengenai perihal apa benar pendapat GM serta sejauh apa kualitas dua novel yang disebut di muka tak perlu diperbincangkan lagi. Kita semua sudah sangat bisa mengecek kebenaran klaim GM pada hasil riset banyak sarjana dari dalam negeri maupun luar negeri. Mengenai kualitas kedua novel di muka serta bagaimana mereka membingkai Peristiwa 1965—tentu saja beserta peristiwa-peristiwa turunannya—sudah ada banyak tulisan bagus yang telah membahasnya; kita hanya perlu, layaknya generasi digital native, familiar dengan google.

Tahun ini, jika dikurangi dengan 1965, maka berjumlah 50 tahun; sebuah usia yang cukup layak untuk dirayakan dengan digdaya. Barangkali itu pula yang menyebabkan wacana perihal 1965 mewarnai juga riuh rendah Frankfurt Book Fair tadi. Atau berbagai barangkali lainnya. Saya tidak bermaksud masuk ke sana dalam tulisan ini. Apalagi untuk menanggapi tuduhan bahwa ribut-ribut yang saya ceritakan di atas dipicu oleh iri hati dari sastrawan lain lantaran karyanya tidak diboyong ke Frankfurt. Cukuplah menengok kajian sosiologi sastra yang paling sederhana sekali pun tuduhan itu gugur dengan sendirinya. Sastra dan perbukuan adalah sebuah disiplin ilmu, sebagaimana disiplin ilmu lainnya yang barangkali salah satunya membuat dahi Bung dan Nona berkerut-kerut sebelum waktunya.

***

Hubungan sejarah dan sastra—bedakan dengan sejarah sastra—bisa dikatakan penting ga penting. Sastra bagaimana pun juga adalah karya fiksi yang kedekatannya dengan kenyataan merentang dari akrab tak terpisahkan sampai tak kenal sama sekali. Sebagai novel sejarah, misalnya, ia dituntut untuk bekerja dengan arsip-arsip dan data sejarah yang mumpuni. Sebagai novel fantasi ia sedikit sekali, atau tidak sama sekali, membutuhkan fakta-fakta sejarah.

Perkara lain, barangkali karena usianya yang teramat tua sejak hanya sebagai cerita lisan hingga sastra digital ini, sastra kerap digunakan sebagai sumber kajian untuk bidang-bidang ilmu sosial dan humaniora lainnya. Begitu juga ilmu sejarah memandang sastra. Ia bisa menggunakan sastra sebagai pelengkap atau malah alternatif di samping arsip-arsip dan data-data sejarah yang tersedia. Nah, sampai di sini kita lihat ada hubungan simbiosis mutualisme antara sastra dan sejarah. Model penciptaan sastra tertentu menggunakan sejarah untuk amunisinya. Begitu juga metode ilmu sejarah tertentu menggunakan sastra sebagai bahan-bahannya. Begitu pula nasib dari peristiwa 1965 sebagai fakta sejarah dan karya-karya sastra yang berkisah seputar zaman itu.

Semacam Suasana Frankfurt Book Fair | Sumber: https://www.ikapi.org/wp-content/uploads/2023/10/FBF-2023_boikot-1-1080×675.jpg

Nah, pada cerita tentang Frankfurt yang lain—Institut Penelitian Sosial Frankfurt, maksud saya—kita akan bertemu peringatan soal arsip sejarah dan bagaimana seorang pembaca arsip membuat kesimpulan atau memaparkan hasil bacaannya atas arsip. Pertama-tama patut kita renungkan bahwa arsip selalu adalah milik sang pemenang dalam pertarungan sejarah. Sederhananya, kita ambil contoh Peristiwa 1965 tadi. Arsip-arsip perihal itu yang benar-benar tersedia untuk publik kala Orde Baru berkuasa tentu saja yang menguntungkan Orde Baru bukan? Tentu saja ada satu dua yang tercecer dan lantas bisa mengungkapkan sisi lain dari versi ‘resmi’ itu. Di sini, sastra diharapkan bisa jadi jalan juga untuk mengungkapkan itu. Ingat kredo Seno Gumira Ajidarma ketika jurnalisme dibungkam maka sastra harus bicara.

Kebanyakan karya-karya sastra Indonesia semenjak 70-an yang membicarakan Peristiwa 1965, selalu mengangkat segi kemanusiaannya dan kerap tetap mendiskreditkan komunisme atawa orang komunis. Yang jadi jagoan mereka seringnya orang lugu apolitis, yang lagi sial aja kena angkut. Salah duanya dan yang paling kontemporer ya dua karya sastra yang sudah disebut di muka. Kenyataan ini sebenarnya sudah diutarakan juga oleh banyak tulisan dan telaah orang-orang. Namun tentu saja kita harus tak bosan-bosan mengulanginya lagi karena rasanya tak akan pernah habis-habis juga cerita-cerita macam Amba ingin Pulang tetapi takut jadi komunis” ini muncul plus segala bunga-bunga cerita penunjangnya.

Laksmi Pamuntjak dan Leila S. Chudori dalam hal ini tentu saja adalah seorang pembaca arsip. Lebih jauh tentu saja mereka mendengarkan cerita lisan, mengetahui dan kenal satu dua, barangkali jauh lebih banyak lagi, mereka-mereka yang langsung menjadi korban Peristiwa 1965 itu. Nah perkara bagaimana pengetahuan mereka dari semua itu diaktualisasikan di dalam novel, itu perkara lain lagi. Di sini, kelas mereka atau ke mana mereka berpihak, sangat menentukan dan terlihat jelas. Mereka tetap berusaha menghalau hantu-hantu yang bergentayangan itu dengan cara memanipulasi kenyataan. Ketika arsip-arsip semakin terbuka, yang dahulunya jauh dan tak tersentuh kini mengemuka dan bisa kita akses, Amba dan Pulang adalah contoh upaya terus menguburkan apa yang dikubur selama puluhan tahun itu. Dan ketika upaya itu dikampanyekan ke luar negeri sebagai narasi utama tentang Peristiwa 1965, sia-sialah segala arsip yang mengemuka tadi.

Ingat, entah Frankfurt Book Fair itu ajang jualan buku atau sekadar kesempatan jalan-jalan, itu tidak soal. Segala kesempatan—semoga Anda sepakat—adalah penting untuk urusan pelurusan sejarah. Dan meluruskan sejarah adalah ajang pertarungan antara sang pemenang yang berkuasa sejak dahulu hingga kini dengan kita-kita yang merasa terpanggil untuk berpihak pada yang kalah (jika bukan yang kalah itu sendiri). Dengan demikian, pokok soal penting lainnya adalah bagaimana kita memanfaatkan arsip-arsip tadi dengan tujuan yang berbeda dengan mereka.

Ngomong-ngomong—ini lelucon lama yang hampir tidak lucu lagi—bagi saya GM masih berhutang dua tulisan. Semoga setelah Frankfurt Book Fair, belionya lebih punya kesempatan untuk melunasinya. Oh ya, kalau belio bilang Peristiwa 1965 itu adalah hanya masalah antara sesama orang Indonesia yang saling membunuh saja, sial betul kita yang berumur seperempat pun tak dari belio. Belum paham betul apa yang sesungguhnya terjadi di era itu, dosa-dosanya sudah buru-buru dibagikan ke pundak kita!!! ***

 


 

* Catatan: Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Rubrik Oase IndoProgress, 28 Juni 2015.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram