Murungnya sastra kita dalam mengarungi zaman terbaca pada tulisan Fathor Lt (“Menapaki Lorong Sastra”, Lampung Post, 23/03/08). Ia mempertanyakan sampai kapan bangsa ini berjalan dalam kehampaan dan kekosongan, bila sastra masih terus dianggap sepele. Kemurungan sastra kita yang dikeluhkan Fathor ituah yang hendak dibahas dalam tulisan berikut.

Taufiq Ismail dalam data hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa tingkat baca, menulis, dan apresiasi sastra pelajar SMU di Indonesia luar biasa merosotnya. Remaja sekarang lebih suka ke mall, bioskop atau tenggelam dalam realitas virtual baru—gemerlap kehidupan para artis—daripada pergi ke perpustakaan, toko buku atau tenggelam dalam realitas fiksi sastra. Terlepas dari soal minat sastra, kendala umum kita adalah kenyataan bahwa kini minat dan kemampuan membaca di kalangan remaja merosot. Masalah itu diperparah lagi dengan minimnya ketersediaan buku-buku sastra itu di perpustakaan sekolah dan kealpaan guru untuk mengarahkan siswa-siswi pada sastra.

Kurangnya minat baca pada remaja bukanlah kesalahan mereka an Sich, tapi akumulasi arogansi dan kesalah-pengertian bangsa ini pada sastra. Dari kurikulum pendidikan yang menganak-tirikan sastra, budaya glamour yang tersebar tanpa filterisasi di negeri ini, hingga hegemoni kapital pada pasar buku sastra mewarnai panorama sastra kita. Boleh jadi, sastra nantinyag akan menjadi terra incognita bila hal ini tak diubah.

***

Kalaulah sastra adalah makhluk tak berguna, tidak keliru bila dikesampingkan. Biarlah ia menjadi kenangan dalam mimpi manusia modern. Namun, persoalannya tidak demikian. Justru kealpaan manusia modern pada sastra itulah yang menyebabkan mereka menjadi bukan manusia seutuhnya. Manusia modern menjadi manusia robot, tanpa jati diri, manusia bertopeng yang hidupnya terkendali orang lain. Paling tidak, ketika manusia modern tidak disentuh getaran-getaran puitik, ia mulai tak seimbang. Hidupnya hanya akan mengandalkan otak dan otot. Kalau gagal mengakal-akali orang, otot pun dipakai.

Sumber: https://id.pinterest.com/pin/369858188150557807/

Karya sastra dapat berguna membentuk orang menjadi lebih berbudaya dan beradab, sebab pada hakekatnya sastra adalah representasi budaya dan kehidupan manusia tempat karya itu lahir. Dalam karya sastra, manusia bisa bercermin diri, melihat ketimpangan-ketimpangan dalam hidupnya.

Bahwa sastra kurang mendapat tempat di masyarakat modern, kita perlu menggalinya pada persepsi orang tentang hidup. Selama manusia lebih menggandrungi budaya material yang ditawarkan industri dan teknologi, selama itu pula manusia kurang menghargai hal-hal spiritual yang dapat diberikan sastra. Kalau orientasi manusia modern sangat kuat pada kekayaan materi, maka kalkulasi ekonomi sungguh mendapat tempat. Bertentangan dengan itu, sastra menawarkan pengalaman batin (spiritual) dan religiusitas yang merupakan semangat terfitrah sastra. Dengan sastra, sangatlah mungkin remaja yang adalah manusia-manusia baru hidup di alam modernisme tanpa melupakan kesetiaan pada hati nurani.

Tentu persoalan kita bukanlah kutub mana paling baik dan benar. Materi memang dibutuhkan manusia, tapi tentu tidak harus menjadikan manusia materialistis. Kita juga harus mengakui pentingnya hati nurani dan dunia spiritual tanpa harus terisolasi dari publik. Persoalannya adalah keseimbangan antara tuntutan materi dan kebutuhan spiritual. Kita tak mau menjadi badan tanpa jiwa atau pun sebaliknya. Soal mencapai keseimbangan inilah, sastra bukan saja diusulkan untuk ditumbuh-kembangkan, tetapi diharuskan demi menumbuh-kembangkan individu agar menjadi manusia utuh.

***
Problem kemerosotan kesadaran berkesusastraan ini sudah mengganggu banyak orang. Banyak pula yang telah berusaha mencari solusinya. Namun sepertinya, problem ini belum tamat dengan indah.

Beberapa hal yang dapat dikemukakan di sini antara lain, diharapkan instansi-instansi yang kompeten bisa memfasilitasi sastrawan untuk menghasilkan karya bermutu yang terterima dalam lingkukang remaja kita sekarang. Sastrawan mungkin harus mencoba “menyederhanakan” dunianya untuk konsumsi remaja. Sosialisai, distribusi dan keterjangkauan atas karya-karya sastra pun memegang peranan penting pula.

Hal lain, karya sastra bermutu harus memenuhi perpustakaan sekolah-sekolah, pelajaran sastra pun mendapat porsi yang lebih banyak dari sekarang. Di sini, peran guru sebagai orang terdepan berhadapan dengan remaja rupanya harus mendorong anak didik mereka untuk berminat pada sastra. Membaca buku sastra, membuat resensi, menggelar diskusi sastra dan kegiatan serupa harus mewarnai kegiatan pendidikan di sekolah. Yang paling mendasar adalah perlunya kesadaran kolektif bangsa ini akan pentingnya peran sastra dalam hidup manusia.

Dengan upaya-upaya ini, tidaklah perlu remaja diminta untuk meminati sastra. Minat sastra dengan sendirinya akan muncul tanpa perlu diperintah. Di massa depan, niscaya akan tampil generasi baru yang begitu gemar akan sastra. Generasi itu akan peduli sastra karena mereka tahu bahwa sastra merupakan komponen penting dalam hidup. Niscaya, keluhan bahwa sastra menjadi terra incognita, hanyalah bagaikan usaha menghilangkan gendang dari sebuah grup musik beraliran dangdut.***


*Serial tulisan lama yang pertama kali disiarkan via blog lama saya, Kecoa Merah, pada 26 Maret 2009.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram