Beberapa hari yang lalu saya berkesempatan menyaksikan Jemuran Orang, penampilan kelompok Artery Performa di kanal youtube milik Direktorat Jenderal Kebudayaan, Budaya Saya. Artery Performa mengadakan pertunjukan-siaran-langsung itu pada 7 April 2020 yang lalu. Saya juga sempat hendak menyaksikan penampilan Teater Kosong, Siklus Pembantaian, di kanal yang sama beberapa hari yang lalu, namun saya tidak berhasil menyaksikannya hingga tuntas. Pengalaman menonton pertunjukan Artery Performa yang sejatinya dilaksanakan sebulan yang lalu ini menjadi alasan kedua saya membuat tulisan ini. Alasan pertamanya adalah sebuah pertanyaan yang mengusik banyak orang akhir-akhir ini; jika memang apa yang kita hadapi saat ini—di dalam konteks pandemik COVID-19 ini—akan menjelma sebuah ‘kenormalan-baru’—sebagaimana dikatakan cerdik pandai dan akhir-akhir ini sudah diadopsi pula oleh pemerintah—maka, wajah kesenian seperti apakah yang akan ada di dalam ‘kenormalan-baru’ itu?

Dua alasan itu membawa saya untuk, pertama, sedikit menceritakan pengalaman saya menyaksikan Jemuran Orang-nya Artery Performa. Dari sana saya akan coba untuk, kedua, membayangkan perihal teater di dalam kondisi ‘kenormalan-baru’. Ada pun pembayangan saya ini dilandasi oleh kajian saya perihal aura karya seni menurut Walter Benjamin yang sempat pula saya sampaikan di dalam diskusi Program Lintas Media #4: Sirkular dari Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta tahun lalu. Saya akan sedikit mengulangi perihal aura karya seni Walter Benjamin tersebut sebagai ‘jeda’ antara poin pertama dan kedua di atas.

Tangkapan Layar Pertunjukan ‘Jemuran Orang’ Oleh Artery Performa

Layar Sebagai Panggung

Kenyataan pertama yang muncul di benak saya ketika menyaksikan Jemuran Orang adalah bahwa kini layar komputer atau pun telepon genggam sudah menjadi panggung untuk teater. Sesuatu yang agak sulit saya bayangkan di dalam konteks teater yang saya pahami. Barangkali pemahaman saya memang terlalu konvensional. Pengalaman saya menyaksikan teater kontemporer memang tidak banyak. Apalagi yang eksperimental. Maka bisa jadi, apa yang dilakukan Artery Performa merupakan sesuatu yang biasa saja di dalam konteks teater kontemporer atau pun eksperimental. Namun bagi saya, menyaksikan pertunjukan teater masih adalah berada di sebuah ruang-waktu yang sama dengan para aktor dan pertunjukan teater tersebut. Memang sebelumnya sesekali saya menyaksikan pertunjukan teater di layar komputer atau telepon genggam. Namun yang saya saksikan kala itu adalah dokumentasi pertunjukan teater dan bukan pertunjukan teater itu an sich. Ironisnya, Jemuran Orang yang saya tonton dua atau tiga hari yang lalu—artikel ini saya tulis pada 20-an Mei 2020—sejatinya juga adalah dokumentasi pertunjukan. Yang saya saksikan adalah versi putar ulang dari pertunjukan-siaran-langsung yang mereka lakukan sebulan yang lalu.

Setelah membaca artikel Afrizal Malna perihal sejarah wabah yang direkam karya-karya seni, sebagai prolog pertunjukan saya kira, Artery Performa masuk dengan beberapa layar yang di-display bersama di dalam satu layar dengan susunan yang tak beraturan. Artery Performa sepanjang hampir satu jam itu mempertontonkan pada kita keseharian orang Jakarta di masa pandemik COVID-19 yakni orang-orang selama 24 jam di rumah saja, bekerja dari rumah saja, berjemur diri di bawah matahari demi meningkatkan imunitas tubuh, semakin rajin mencuci kaki dan tangan serta mandi, semakin rajin berolahraga, di dalam kamar kosan saja bercengkrama bersama binatang peliharaan, dan lain sebagainya. Setting-nya adalah rumah kontrakan sederhana, rumah di sebuah perumahan kebanyakan, dan kamar kosan. Di luar itu, musik yang menghentak-hentak secara konstan terus berulang-ulang selama hampir sejam durasi pertunjukan. Footage-footage perihal situasi kekinian berhamburan; suara potongan berita perihal kejadian di Wuhan, suara perihal kurva COVID-19, video pendek dari netizen perihal erupsi Gunung Merapi beberapa waktu lalu, seorang perempuan Eropa menyapa dalam bahasa Sunda, dll. Beberapa footage ini terus diulang.

Para aktor Artery Performa tampil dalam layar-layar kecil dengan logo platform Skype yang disatukan—dijukstaposisikan—di dalam sebuah layar lantas ditampilkan pada platform youtube. Layar-layar dengan logo skype yang menunjukkan betapa mereka melakukannya secara bersama-sama dengan platform video conference itu. Footage-footage entah berupa suara, video, atau pun gambar saja tadi ditampilkan silih berganti secara bersamaan dengan video-video dari para aktor. Tanpa dialog. Para aktor terkadang memegang sendiri handphone atau laptopnya, terkadang para aktor diikuti oleh handphone atau laptop yang—sudah pasti—dioperasikan orang lain. Pertunjukan ditutup dengan sebuah pemberitahuan yang ditulis di selembar kertas pada salah satu video yang tadinya mempertontonkan seorang dan kadang dua orang aktor.

Susunan video itu—bagi mata saya—berantakan, kadang ada yang lebih besar dari yang lain, kadang bergerak-gerak ke atas ke bawah atau ke kiri ke kanan, kadang satu layer menimpa, bertumpuk-tumpuk dengan layer yang lainnya. Berantakan dan mengganggu mata. Memang inilah saya kira yang hendak dicapai Artery Performa. Ditunjang musik latar yang menghentak-hentak, tujuan itu berhasil. Saya merasakan momen keterkejutan di awal pertunjukan dan lantas momen keterkejutan itu—seiring durasi pertunjukan—berterima sebagai sesuatu yang wajar.

Afrizal Malna

Kini-Di Sini vs Kapan Saja-Di Mana Saja

Apa yang menandakan bahwa Jemuran Orang adalah sebuah pertunjukan teater? Pertama-tama tentu saja karena saya tahu bahwa Artery Performa adalah sebuah kelompok teater dan sejauh pengetahuan saya, Artery Performa sebelumnya memang kerap terlibat di dalam kerja-kerja perteateran dan berkecimpung di dalam medan sosial seni teater. Selain itu tentu saja penegasan itu muncul pula pada judul yang diberikan oleh kanal youtube Budaya Saya terhadap konten yang dimaksud. Selain penyebutan judul sedari awal, ia juga bisa dilihat dari lembaga kelompok teater itu sendiri yang melekat pada Artery. Namun bayangkan seorang pejalan konten yang tidak punya pengetahuan perihal Artery Performa sebelumnya—apa dan siapa mereka dan juga tak tahu bahwa mereka berkecimpung di medan sosial teater—dan judul yang diberikan pada konten itu bukan seperti judul yang ada sekarang; sebuah judul lain yang tidak menyebut atau merujuk pada sebuah pertunjukan teater sama sekali. Si pejalan konten itu bisa jadi tidak tahu sama sekali bahwa apa yang ia tonton adalah sebuah pertunjukan teater.

Apa yang terjadi pada si pejalan konten ini saya kira akan sedikit berbeda dengan seseorang yang datang secara tidak sengaja ke sebuah pertunjukan teater. Terlebih ketika pertunjukan itu dilakukan di ruang publik atau semacam sebuah karya teater yang bermaksud mengintervensi ruang publik. Dalam kasus ketika seseorang datang ke pertunjukan teater di gedung pertunjukan atau gedung yang dijadikan tempat pertunjukan, setidak-sengajanya ia, setidaknya ia akan punya kesadaran bahwa ia akan menyaksikan sebuah pertunjukan teater. Barangkali berbeda dengan orang yang menyaksikan sebuah pertunjukan teater di ruang publik atau karya teater yang diniatkan untuk mengintervensi ruang publik. Pada kasus yang ini, orang barangkali tidak sadar bahwa apa yang disaksikannya itu sebuah teater. Ia misalnya, setelah menyaksikan itu, barangkali bertanya-tanya; apa yang tadi ia saksikan dan banyak pertanyaan lainnya yang mengusik kepalanya namun tak ada jawaban. Ia pun tidak berkesempatan untuk menyaksikan kembali peristiwa itu untuk mencari jawaban di kepalanya.

Itulah pengalaman teater yang bersifat kini-di sini. Ia terjadi di saat itu-di tempat itu saja, tidak ada yang lain. Jika ia dipertunjukan lagi di tempat yang sama di hari berikutnya, ia akan menjadi pertunjukan yang berbeda. Akting seseorang atau tindakan seseorang di hari kemarin tidak bisa disamakan—meski pun ia berusaha semirip mungkin atau bahkan mirip sama sekali dengan akting dan tindakannya di hari sebelumnya—aktingnya dan tindakannya di hari yang lain adalah tindakan yang lain. Bahkan tubuhnya di hari kemarin dan tubuhnya di hari ini adalah tubuh yang berbeda. Keunikan seperti inilah yang membuat teater, oleh Walter Benjamin, disebut juga sebagai sebuah karya seni auratik.

Pada kasus Jemuran Orang, keauratikannya ini terganggu. Aura karya seni terganggu, menurut Walter Benjamin, pertama-tama disebabkan oleh teknologi utama untuk menciptakan karya seni tersebut. Sebelumnya, karya seni bagi Benjamin selalu bersifat sebagai copy-an, reproduksi, dari realitas. Dan cara manusia (seniman) mereproduksi realitas ini bergantung juga pada kemungkinan yang ditawarkan teknologi reproduksi yang dimanfaatkannya itu. Itu sebabnya, aura karya seni terganggu ketika teknologi reproduksi mekanis yang sebelumnya berada di ranah ekonomi merambah ke wilayah kebudayaan. Terkhusus dengan hadirnya fotografi dan film sebagai akibat dari tekonologi kamera.

Ketika menulis artikelnya “The Work of Art in the Age of Its Technological Reproducibility”, Benjamin melihat perbedaan antara film dan teater, terkhusus pada akting aktor teater dan aktor film. Pada teater, aktor harus berakting semaksimal mungkin sedangkan pada film justru yang dicari adalah akting yang sangat sedikit. Bahkan, karakter orangnya sendiri dicari berdasarkan tokoh yang diperankan (Benjamin [1936] 2002, 112-113). Esensi utama film ada pada proses penyuntingannya. Proses produksi film dengan teknologi inilah yang membuatnya berbeda dengan teater dan seni lainnya. Hal ini menurut Benjamin menunjukkan bagaimana seni sebagai “keindahan yang menatap balik” atau aura itu sendiri berakhir. Demikian Benjamin, “…tidak ada yang menunjukkan lebih jelas bahwa seni telah lolos dari ranah ‘kemiripan yang indah,’ yang begitu lama dianggap sebagai satu-satunya lingkup di mana ia bisa berkembang” (Benjamin [1936] 2002, 113). Jangan lupa pula bahwa, pada film sang aktor bisa menjadi mata penonton juga ketika hasil karya itu dipresentasikan di depan khalayak. Untuk pertama kalinya bahkan, seorang aktor bisa melihat seperti apa penampakannya di dalam karya bersama penonton yang lain. Sebuah pengalaman keaktoran yang tak mungkin dirasakan oleh aktor teater.

Di dalam teater di masa Benjamin (setidaknya sebelum Perang Dunia II), aktor teater tidak pernah bisa menjadi penonton atas aktingnya sendiri. Tentu saja banyak variasi perihal keaktoran ini di dalam perjalanannya namun esensi dasar bahwa ia tak pernah bisa melihat aktingnya sendiri saya kira tetaplah bertahan. Namun ketika, seperti kasus Jemuran Orang, aktor teater berakting di depan gawai, telepon genggam atau komputernya, kesadaran apakah yang muncul pada aktor tersebut?

Aktor-Gawai-Penonton

Tangkapan Layar Pada Pertunjukan Artery Performa

Pada Jemuran Orang kita menemukan tiga hal ini; aktor, gawai, dan penonton. Saya mengandaikan diri saya menonton Jemuran Orang ketika ia disiarkan secara langsung. Saya duduk di depan laptop di kamar sewaan saya dan para aktor Artery Performa di tempat mereka masing-masing sebagaimana yang bisa kita lihat di dalam pertunjukan itu. Beberapa peraturan yang lazim dikenakan ketika menonton di sebuah ruang pertunjukan tentunya tidak berlaku pada saya. Beberapa hal yang mesti disiapkan di ruang pertunjukan tentu juga tidak dilakukan Artery Performa. Namun beberapa hal sebagai syarat untuk pertunjukan langsung disiapkan oleh mereka. Saya menggunakan gawai saya dan mereka menggunakan gawai mereka.

Untuk menemukan tingkat pengalaman yang sama dengan tingkat pengalaman menyaksikan di ‘teater sebagai kini-di sini’, gawai ini mestilah kita lihat sebagai ‘peralatan’ primer untuk diri kita, bukan sekunder. Ini tidak berlebihan lantaran kini dengan gawai sebagian besar aktivitas hidup kita dilakukan. Pada gawai tersebut ada kamera. Kamera pada masa awal kemunculannya dan juga hingga beberapa waktu belakangan masih semacam menjadi privilese dari fotografi dan film beserta turunannya. Ketika itu, kamera masilah punya fungsi yang tertentu dan terbatas. Kini, kamera yang melekat pada telepon genggam atau pun laptop menjadi bagian tak terpisahkan bahkan mungkin untuk urusan seperti silahturami keluarga ketika Idul Fitri. Kamera menjadi semacam kaca mata di masa sebelumnya. Menjadi sesuatu yang saking melekatnya tak disadari keberadaannya oleh kita. Gawai dan kameranya menjadi bagian dari tubuh manusia. Hal ini tampak misalnya ketika kita begitu refleksnya dalam menggunakan gawai.

Ketika kamera menjadi bagian dari tubuh kita, maka teater yang selama ini memperlakukan tubuh aktor sebagai unsur utamanya mesti berjibaku dengannya. Sama seperti masa sebelumnya ketika tubuh non aktor tidak dieksplorasi sedemikian rupa demi sebuah reproduksi kenyataan sedangkan tubuh aktor dieksplorasi sedemikian rupa untuk menghadirkan kembali kenyataan yang sama untuk menghasilkan kesadaran atau sense tertentu pada penonton, tantangan aktor teater ketika gawai menjadi bagian dari tubuh kita adalah juga mengeksplorasi itu untuk memberi kesadaran baru pada penonton.

Kamera di dalam film sejauh pemahaman saya—sama seperti teater, pemahaman ini juga barangkali di dalam konteks film konvensional—setelah menangkap gambar, membutuhkan kerja lain lagi yakni penyuntingan. Pada teater, penyuntingan ini tidak terjadi. Ini salah satu unsur yang membedakan pula kesadaran aktor teater dan aktor film. Aktor film tahu bahwa ketika ia berdiri di depan kamera, ia tidak akan muncul sebagaimana yang dibayangkannya tetapi ia akan muncul sebagaimana nanti hasil penyuntingan di sebuah kamar kerja penyuntingan. Aktor film bisa-bisa tercengang-cengan atau kecewa ketika film dipresentasikan. Misbach Yusa Biran pernah berkelakar di dalam cerpennya perihal seorang figuran film di Pasar Senen yang begitu tersinggungnya ketika film yang ikut diperankannya muncul. Hal seperti ini agak sulit dibayangkan pada teater. Aktor teater akan kecewa perihal kehadirannya di dalam pertunjukan teater jauh sebelum karya teater itu dipresentasikan pada publik. Ia akan kecewa pada penentuan perannya seperti apa dan bagaimana sutradara menempatkan dirinya di masa-masa persiapan.

Di dalam konteks pertunjukan langsung Jemuran Orang, barangkali karena ia pun menggunakan kamera untuk merekam, ada juga kerja penyuntingan ini. Namun kerja penyuntingan ini dilakukannya di saat itu juga; hampir sama dengan penyuntingan pada siaran langsung pertandingan sepak bola misalnya. Penyuntingan pada Jemuran Orang lebih di perkara bagaimana mengjukstaposisi frame yang satu dengan frame yang lainnya. Pertanyaannya adalah apakah hasil penyuntingan itu—yang dihadirkan di hadapan kita—merupakan bagian dari hasil sebuah latihan—dan bagaimanakah proses latihan untuk pertunjukan yang demikian ini, saya belum punya informasinya—ataukah itu adalah keputusan-keputusan langsung sang penyunting—apakah ia, si penyunting itu, berperan juga di sini sebagai sutradara, lantas bagaimana menempatkan sutradara dan penyunting dalam perkara ini—itu pun saya belum terlalu punya informasinya. Pertanyaan-pertanyaan ini kiranya membutuhkan diskusi lebih jauh. Intinya adalah bahwa teater kini berhadapan dengan sebuah bagian tubuh baru manusia; gawai. Apakah itu adalah semacam pintu masuk menuju transhuman? Pertanyaan terakhir ini barangkali juga terlalu berlebihan. Namun yang pasti, ketika seorang aktor teater, dan saya kira kita bisa menemukan itu di Jemuran Orang, berakting dengan memegang gawai dan dari kamera gawai itu ia mengirimkan citra-citranya ke laptop si penyunting dan dari laptop si penyunting itu dikirimkan kepada kita—dalam delay beberapa detik saja—di situlah—jika tubuh adalah teknologi utama karya seni teater—gawai telah menjadi bagian dari tubuh manusia. Konsekuensi turunannya tentu saja bisa dibincangkan lebih lanjut.

Di dalam mekanisme kerja yang demikian, pertunjukan Jemuran Orang yang saya saksikan tidak ketika pertunjukan langsungnya tetap mesti dilihat sebagai dokumentasi dari Jemuran Orang itu sendiri. Ia bukan Jemuran Orang yang utama. Ia adalah Jemuran Orang yang diputar ulang. Posisinya sama seperti dokumentasi pertunjukan-pertunjukan teater lainnya dalam bentuk audio-visual. Bedanya, mereka, Jemuran Orang yang utama dan dokumentasi Jemuran Orang ini berada di platform yang sama—khusus yang kedua bisa dipindahkan ke platform yang lain—dan tidak membutuhkan tambahan kerja lain. Pada dokumentasi pertunjukan Kapai-Kapai dari Kalanari Theatre Movement misalnya kita tahu bahwa ada kerja tambahan lain untuk menghadirkan dokumentasi tersebut.

***

Foto Pertunjukan ‘Kapai-Kapai’ Oleh Kalanari Theatre Movement | Sumber: http://rimbundahan.org/ibed-surgana-yuga/kapai-kapai-atawa-gayuh-2013-2/

Selamat datang pada era gawai sebagai bagian dari tubuh, sebuah tantangan yang saya kira lebih masif pada teater, sebuah tantangan yang lebih berlipat-lipat ganda untuk teater, ketimbang tantangan ketika film dan fotografi muncul atau pun tantangan ketika televisi menjadi masif dan media massa serta media sosial pernah membuat teater kehidupan menjadi lebih nyata ketimbang teater itu sendiri. Dan ketika teater kita lihat sebagai bentuk ekstrimisasi dari keseharian hidup kita, maka juga adalah sebuah tantangan yang begitu masif untuk keseharian ini. Atau bisa dibaca sebaliknya. Karena tantangan untuk keseharian hidup sudah sebegitu masifnya, maka teater mesti menerima tantangan itu dengan lebih berlipat ganda lagi.

‘New-normal’ seshungguhnya sebuah frase yang menakutkan. Yang normal selalu adalah sesuatu yang stabil tanpa kejutan sedangkan yang baru adalah sesuatu yang selalu kerap mengejutkan, belum ada preseden sebelumnya. ‘New-normal’ dalam satu kata, dalam satu frase, menyiratkan sebuah kestabilan yang terus menerus bergoyang, sebuah keadaan yang biasa-biasa saja dengan keterselipan was-was di sana sini. Dalam kemungkinan hidup yang demikian, kita butuh pertunjukan-pertunjukan yang membiasakan diri kita hidup dalam keadaan yang biasa-biasa dengan kewas-wasan yang terus menerus menyala.


*Catatan: Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di laman Portal Teater, 27 Mei 2020. Sepertinya laman tersebut sudah tidak aktif lagi kini.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram